Hari ini Angga boleh bergembira, apa yang dia usahakan telah menampakkan hasil yang nyata, saham perusahaannya bisa melenggang ke lantai bursa. Dan keputusan para pemegang saham menetapkan dialah yang menjadi Ceo nya. Bukan tanpa masalah proses akusisi ini berjalan, ancaman yang ditujukan padanya ataupun pada keluaganya mulai berkurang.
Dia bisa bernapas lega meski begitu Angga belum bisa mengendurkan kewaspadaannya. Bisa saja mereka memang menunggu saat dia lengah untuk kembali menyerangnya.Tapi masalah yang menurutnya sangat krusial belum juga menemukan titik terang, rumah tangganya dengan Dina , masih menggantung bak jemuran, istrinya itu sekarang lebih memilih diam jika bersamanya, bahkan sang istri juga kembali selalu memunggunginya saat tidur.Angga hanya diam, setidaknya dia ingin memberi sedikit ruang untuk Dina menenangkan diri. Angga mungkin manusia yang egois yang dengan kukuh ingin mempertahankan istrinya meskipun ada sisi hatinya yang masih untDina mengerutkan kening tak mengerti, dia memandang Hendra yang terlihat tak nyaman duduk di kursinya antara takut tapi juga penuh harap. Laki-laki yang biasanya menampilkan wajah dingin tak terbaca itu untuk pertama kalinya kehilangan kendali dirinya. “Pak Angga di dalam?” tanya Dina. “Bu Dina… itu---itu, Bu,” jawabnya terbata dan salah tingkah Bara yang berdiri di belakang Dina ikut menatap laki-laki itu dengan heran, tidak biasanya laki-laki ini gugup padahal tadi jelas-jelas Hendra meneleponnya, memintanya segera ke sini untuk membantu Angga yang kerepotan memeriksa berkas pengalihan saham. Apa Angga berpesan untuk tidak boleh diganggu? Dan kehadiran Dina yang tiba-tiba membuat laki-laki itu tak enak hati mengatakannya, bagaimanapun Dina istri Angga, tapi tumben sekali Angga keberatan dengan kedatangan Dina. “Bicara yang jelas, sejak kapan kamu suka gagu,” Dina menatap tajam Hendra. “Apa aku akan menganggu Mas Angga jika masuk sekarang?” tiba-t
Bara berlari menyusul Dina yang berlari keluar dari ruangan Angga, sepanjang matanya memandang seluruh lantai ini, tak ditemukannya sosok Dina."Cepat sekali larinya," gumam Bara pelan. Laki-laki itu segera memasuki lift sejenak dia ragu untuk memilih ke atas atau ke bawah. "Coba di atas dulu." Lift khusus petinggi perusahaan selalu sepi, Bara menyandarkan tubuhnya di dinding, ada rasa marah, kasihan dan juga... Lega yang berkumpul jadi satu dalam dadanya. Bara tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi satu yang pasti dia tidak akan membiarkan Dina terluka lagi. Bara langsung menuju lantai teratas gedung ini, dia yakin Dina tidak mungkin mampir ke lantai lain, Dina orang baru di sini dan belum mempunyai teman akrab. Suatu pikiran ajaib terlintas di otaknya, bagaimana kalau Dina ke atap gedung dan berniat bunuh diri. Dina sangat mencintai suaminya, bukannya tidak mungkin dia putus asa, dan berniat bunuh diri melompat da
Bersama mereka menuruni anak tangga dalam diam. Sesekali Bar melirik wajah Dina, wajahnya yang sembab terlihat dingin, Bara belum pernah menikah dia tak tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh pasangan yang sudah berbagi suka dan duka. Tapi Bara selalu percaya Dina dapat menghadapi semuanya. "Mbak akan ke mana setelah ini?" tanya Bara pelan sebelum mereka membuka pintu tangga darurat. "Maksudku, jika Mbak Dina pisah dari Mas Angga, tidak mungkin Mbak akan tetap tinggal di sini?" Bara benar dia tidak mau lagi tinggal di rumah itu, rumah itu dibangun untuk Laras, mantan istri Angga bukan untuk dirinya jadi sepantasnya dia harus pergi, tapi ke mana? Dia tak mungkin membawa anak-anak ke tempat yang tidak layak."Aku tidak punya siapa-siapa, tentu Bu Rahmi adalah tujuanku, aku bisa sambil membantu beliau di sana." Dina tersenyum meyakinkan Bara bahwa semuanya baik-baik saja.Bara memang baik, tapi tidak sepantasnya dia menjadi beban untuk la
Inilah akhirnya, Angga memejamkan matanya berharap tadi Dina hanya salah bicara, atau dia sedang bermimpi saja, tapi sekian detik mereka ada di sana duduk berdua dalam ruang kerja yang terasa dingin mencekam, Dina tak hendak meralat ucapannya atau tidak juga menggoyangkan lengannya seperti saat dia bermimpi buruk. Ini nyata, perkataan Dina tadi juga nyata tak ada yang bisa di sangkal lagi. “Kenapa kamu memilih hal itu? apa kamu sudah menyerah dengan rumah tangga kita, bukankah kamu pernah bilang akan mempertahankan pernikahan kita.” “Untuk apa dipertahankan jika kamu tidak mau untuk bertahan, rumah tangga itu dijalankan oleh dua orang buka salah satu saja, jika kamu memilih ingin menjalankan rumah tangga dengan wanita lain, tentu aku harus rela mundur.” Angga menggeleng. “Kamu salah, jika aku ingin membangun rumah tangga itu hanya denganmu, mungkin memang salahku telah menghadirkan Keira, tapi kamu tahu benar alasannya, pernikahan kami hanya s
Bara menyadari ada orang lain di ruangan ini, dia tadi tak tega melihat Dina menangis tergugu dan tanpa sadar memeluknya. Dan Angga berdiri di pintu masuk dengan wajah tak berdaya. Segera dilepaskannya pelukannya pada Dina dan menepuk bahu wanita itu lembut. “Apa kalian akan benar-benar berpisah?” Bara mendekati Angga yang masih berdiri mematung. “Itu permintaan Dina.” “Aku permisi dulu, aku harap itu jalan yang terbaik untuk kalian berdua.” Angga tak tahu apa dia masih berhak untuk cemburu, mendapati Dina lebih nyaman menangis di pelukan laki-laki lain daripada dirinya yang masih berstatus suami sahnya. Apa kesalahannya begitu fatal?Dina mengangkat kepalanya, memandang Angga tajam, meski wajahnya sudah sangat sembab dia tak akan sudi menunjukkan kelemahannya pada Angga. “Maaf,” kata Angga sambil mengulurkan tisu yang ada di meja kerja Dina. Ingin sekali dia memeluk wanita itu dan mengusap air matanya, tapi dia sadar dirinyalah alasa
Dina tak menyangka Bibi akan begitu keras kepala, ingin ikut bersamanya, bahkan saat Dina berkata mungkin saja jika dia berpisah dengan Angga tak akan bisa memberinya gaji seperti saat ini. Tapi wanita itu tetap kukuh dengan pendiriannya. “Kalau begitu Bibi bisa bilang langsung pada Mas Angga, bagaimanapun dialah yang menggaji Bibi selama ini,” kata Dina akhirnya. “Tentu, Nyonya, saya akan bilang pada Tuan,” jawab Bibi yakin. Dina memadang bibi sekilas, mulutnya sudah gatal ingin bertanya alasan Bibi yang begitu membenci Vanya, tapi kalimatnya selalu tertahan di ujung lidah. Bibi sudah lama ikut keluarga ini tentu saja dia tahu persis bagaimana kelakuan Vanya, bahkan bukannya tidak mungkin Bibi juga menyaksikan secara langsung apa yang dilakukan Vanya pada Laras dan Aksa. Tak ingin berpikir terlalu berat Dina hanya menyimpan saja pertanyaannya, dalam diam mereka membereskan barang-barang yang akan mereka bawa. Dina sendiri tak b
Dina menutup pintu depan, dan bersandar lemas pada dinding. Hatinya tidak baik-baik saja remuk redam rasanya, bukan perpisahan yang dia inginkan sesungguhnya, lima tahun sudah dia bertahan dalam ketidakpastian, tapi sebuah rumah tangga tidak hanya tentang satu orang. Sebaik apapun dia bertahan tapi bila hanya dia yang berusaha tentu akan pincang, dan lama-lama akan ambruk juga. Itulah yang terjadi dalam rumah tangganya kali ini, nekad memang, dia bahkan tak tahu hidupnya setelah ini apakah akan baik-baik saja, apalagi dengan adanya Anak-anak yang selamanya akan membentuk ikatan tersendiri antara mereka. Dina memejamkan mata merasakan sesak di dada, saat selintas bayangan Angga yang akan bahagia dengan wanita pilihannya, dan pastinya itu bukan dirinya. Dina begitu cemburu, pada bayangan masa depan yang akan terjadi pada hidupnya."Tuan sangat mengkhawatirkan Nyonya dan anak-anak." Dina membuka matanya menyeka air matanya deng
"Karena kalau Tuan nekad menikahi Non Vanya, Non Vanya akan masuk penjara."Kalimat Bibi kemarin kembali terngiang di telinganya, bagai kaset rusak yang dimainkan berkali-kali.Dina tak tahu apa yang dilakukan keluarga Aryobimo, sampai janji yang dibuat antara Angga dan Laras bisa berdampak begitu, meski Laras sendiri sudah lama tiada.Tidak ada gunanya mengintrogasi bibi lebih jauh lagi, karena sepertinya wanita itu juga tak tahu alasannya, dia hanya tak sengaja mendengar percakapan Angga saja. Dina tersadar dari lamunannya saat ponselnya berbunyi pelan menandakan sebuah pesan masuk. Diambilnya benda itu ternyata dari Angga, yang hanya mengucapkan selamat pagi. Hari ini hari pertama Dina kembali lagi ke kantor lamanya. Dan juga pagi pertama hidupnya tanpa Angga di sisinya.Tak bisa dipungkiri, bagaimanapun Angga menyakiti hatinya Dina tak dapat menghentikan pikiran, bagaimana laki-laki itu tanpa dirinya, pagi tadi dia sudah me