Langit jingga telah menyebar. Pemandangan kota yang padat penuh orang-orang berhamburan. Kendaraan-kendaraan berseliweran. Pada pinggir jalan, tepatnya trotoar, seorang wanita muda melenggang dengan kebisuan. Tangan kirinya menjinjing tas kecil warna coklat tua. Tangan kanannya yang bebas membenarkan anak rambutnya yang tergerai menutupi matanya. Suasana sore ini memang agak berangin.
Cukup lama ia berjalan, langkah kakinya berhenti pada sebuah bangunan yang terbilang klasik. Suasananya yang kebarat-baratan terasa memberi angin segar. Bangunan itu bertengger di pinggir jalan dan mengarah ke jalanan besar di depannya. Tertera lampu besar di atasnya dengan tulisan Gusto Armonia Caffe. Benar, itulah nama bangunan klasik tersebut. Tempatnya berjejer dengan bangunan lain di sampingnya, tetapi pesonanya itu dapat dilihat siapa saja yang melihatnya. Rasanya seperti di luar negeri, jika kita tidak ingat di mana ini—Indonesia.
Wanita itu menghirup udara dan mengembuskannya dengan mantap. Lalu langkahnya memasuki kafe tersebut. Suasana di dalam kafe terlihat sepi. Pencahayaannya cukup redup, dan hangat. Wanita itu memasuki sebuah ruangan yang pintunya agak terbuka. Di dalam, banyak wanita yang juga sudah ada di sana. Salah satu wanita itu datang menghampirinya.
“Kamu baru datang?”
“Huum,” jawabnya singkat.
“Cepat ganti bajumu. Sebentar lagi kita akan beroperasi,” tutur wanita itu yang tak lain adalah temannya.
Wanita itu hanya menganggukkan kepala dan berjalan ke arah loker. Diambilnya kunci kecil dari dalam tasnya, dan membuka salah satu pintu loker itu. Ia segera mengambil seragamnya, dan meletakkan tasnya dan bajunya di dalam loker. Setelah berganti pakaian, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Ia memoles wajahnya dengan beberapa kosmetik agar terlihat lebih segar. Bibir yang tadinya agak pucat, kini sudah berwarna. Ia juga menyemprotkan sedikit minyak wangi ke tubuhnya. Setelah itu, ia kembali merapikan penampilannya.
DJ mulai memutar musik di dalam kafe. Lampu yang redup ditambah terpaan sinar warna kuning keemasan memberikan sensasi hangat, dan mewah. Di lounge bar, bartender sedang meracik minuman untuk para pelanggan yang datang. Suasana malam ini sangat ramai seperti biasanya. Wanita itu sudah bekerja sedari tadi. Mengantar makanan, dan minuman untuk pelanggan.
Kafe itu sebenarnya terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah bar, dan bagian kedua adalah restoran mewah. Namun malam ini, wanita cantik itu kedapatan jadwal di bagian bar. Ia melayani pelanggan dengan sopan. Meskipun sorot matanya agak kosong. Mungkin saja, wanita itu cukup lelah.
“Na!” panggil seorang pria paruh baya dari meja bartender. Efek musik yang terlalu keras membuat pemilik kafe itu memanggilnya dengan cukup lantang.
Wanita itu datang dengan agak terburu-buru, tak ingin bosnya menunggu lama. Ia diberi instruksi untuk melayani tamu di meja paling ujung. Di sana terlihat tiga orang pria dewasa dan beberapa wanita di sana. Wanita itu mengangguk patuh.
“Selamat malam, Tuan-Tuan. Ada yang ingin dipesan?” ucap Raina dengan sopan.
Meskipun ia sebenarnya agak jijik saat melihat salah satu tamunya sedang bercumbu dengan pasangannya. Wanita itu menyangka kalau wanita itu pasti hanya wanita bayaran.
“Sajikan kami wine yang paling mahal yang kalian punya,” ucap salah satu tamu pria dengan sopan.
Wanita itu mengangguk patuh, dan kembali dengan membawa nampan yang berisi pesanan para tamunya itu. Ia menyajikan gelas, dan tak lupa menuangkan wine pada masing-masing gelas tersebut. Saat menuangkan minuman di gelas terakhir, sebuah tangan menyentuh punggung tangannya. Wanita itu kaget, dan tak sengaja menumpahkan gelas yang berisi wine ke celana pria kurang ajar itu. Wanita di sampingnya itu pun juga langsung sebal.
“Lihat nih, beb, rokku jadi kotor begini,” rengek wanita itu.
“Ma… maaf Tuan, dan Nyonya. Saya tidak bermaksud—“
“Lalu apa maksudmu?” giliran si pria yang protes.
Wanita yang tadi duduk di samping pria itu pun kini berdiri.
“Kalau tidak bisa melayani, tidak usah kerja. Tidak becus!” maki wanita itu sembari menyiramkan wine pada bajunya.
“Maaf, Nyonya.”
Pemilik kafe tersebut datang, dan buru-buru minta maaf pada tamunya itu. Ia menatap karyawannya yang tertunduk. Kemudian pemilik kafe itu menyesal, dan meminta maaf kembali atas peristiwa yang tidak menyenangkan itu. Ia bahkan tak segan memberi sebotol wine terbaik untuk mengganti rugi pada tamunya itu. Wanita itu langsung menatap bosnya.
“Tapi, Bos!”
Pemilik kafe tersebut menggelengkan kepalanya memberi isyarat supaya karyawannya tidak meneruskan lagi.
“Tapi apa, huh? Kamu yang membuat masalah dengan kami, tentu bos kalian harus menanggung kesalahan kamu, kan?” ucap pria itu.
“Tapi Tuan, jika bukan karena sikap Anda yang—“
“Ada yang salah dengan sikap saya, huh?” Pria itu seakan mengejek wanita tersebut.
Ketika ia ingin membalas, bosnya langsung menahan tangannya.
“Sudah, Kaf. Lebih baik kita kembali menikmati suasana malam ini. Toh mereka sudah memberi kompensasi kepada kita. Sudahlah, lupakan itu. Kapan lagi kita bisa ngumpul bertiga begini? Besok kamu pasti sudah mulai sibuk lagi,” ujar temannya melerai.
Pria itu pun melenggang pergi ke toilet untuk membersihkan pakaiannya. Wanita dan bosnya pun undur diri.
“Ke mari, ikut saya.”
Wanita itu mengikuti bosnya. Ia sudah menebak akan dimarahi oleh bosnya itu..
“Raina… kamu malam ini kenapa? Tidak biasanya kamu melakukan kesalahan seperti itu.”
“Maaf, Bos. Tapi ini bukan salah saya, jika saya pria itu tidak memegang tangan saya secara tiba-tiba, pasti—“
“Ah, sudahlah. Saya tahu, apa yang ingin kamu katakan. Lagi pula hanya memegang tangan saja masa kamu kaget begitu. Memangnya kamu tidak pernah bersentuhan sama pacar kamu apa?” tanya bosnya.
Raina hanya diam saja. Ia tak berani menyangkal atau menjawabnya.
“Sudah, sudah. Saya tidak akan memecatmu karena mengingat kinerja kamu untuk kafe ini. Namun, saya tetap akan memotong gaji kamu untuk mengganti kerugian itu, oke? Kalau begitu, cepat bersihkan dirimu, dan lanjut bekerja.”
Raina hanya mengangguk patuh. Ia berjalan ke dalam toilet. Mood-nya menjadi jelek. ia berdiri di depan wastafel dan membersihkan pakaiannya sembari merutuki tamunya itu di dalam toilet.
“Sial! Kalau bukan karena pria kurang ajar itu, gajiku tidak akan dipotong!”
“Awas saja kalau ketemu pria kurang ajar itu lagi! Akan kubuat dia tidak bisa berjalan supaya tidak bisa mempermainkan wanita lagi, huh!” ucapnya berapi-api.
Sebuah pintu toilet terbuka tepat di belakang Raina. Gadis itu langsung menatap cermin wastafel di hadapannya. Matanya kemudian membulat sempurna.
Seorang pria dengan setelan jaket kulit gelapnya itu sedang menatap horor ke arah Raina. Pria itu mendekat ke arahnya. Raina tidak berani berbalik. Ia merutuki dirinya karena telah berbicara asal di sembarang tempat.
Pria itu semakin mendekat. Bahkan napasnya menerpa telinga Raina, dan membuat bulu kuduknya merinding.
“Apakah kau baru saja merencanakan sesuatu yang buruk terhadapku, Nona?”
Menyebalkan.Kata itu yang diucapkan dalam hati Raina. Bahkan di toilet saja ia bertemu dengan pria kurang ajar itu.“Ma… maaf, Tuan. Saya tidak tahu apa maksud perkataan Anda,” lirih Raina.Raina yang berpura-pura tak tahu itu pun membuat pria itu semakin gencar menggodanya. Kedua tangannya menyangga pinggiran wastafel, dan mengurung Raina agar wanita itu tidak bisa ke mana-mana.“Jadi, bisakah Nona menjelaskan apa yang tadi kamu gumamkan? Tenang saja, aku tak akan memberi tahu siapapun,” bisik pria itu tepat di telinga Raina.Raina yang ketakutan tak berani menatap mata pria itu dari kaca. Ia langsung menunduk. Sang pria memunculkan seringaiannya.“Apakah Nona tidak bisa menjawabku? Ah, atau mungkin kamu sengaja ingin berlama-lama di sini bersamaku?” goda pria itu.Raina langsung berbalik. Ia ingin menyanggah ucapan pria itu. Namun kata itu tak terucapkan, dan malah berganti dengan ra
Kini Raina sedang duduk di hadapan pria kurang ajar sekaligus menyebalkan bernama Kafta. Mata lentik Raina terus memperhatikan gerak-geriknya.“Apakah Nona begitu menyukaiku sampai terus memandangiku?”Raina membuang muka, dan mendengus sebal. Kafta yang melihatnya semakin tertarik untuk menggoda wanita di depannya itu.“Cepat katakan apa yang Anda inginkan. Saya tidak ada waktu untuk bermain-main dengan Anda!” ucap Raina ketus.“Tenang, Nona. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” jawab Kafka dengan santai.“Saya rasa tidak ada alasan untuk memperkenalkan diri saya kepada orang seperti Anda,” terang Raina.“Oh ya? Memangnya saya orang seperti apa di matamu, Nona?” tantang Kafta.Raina memajukan wajahnya. Ia menatap mata cokelat Kafta dengan senyum sinis.“Anda adalah bajingan yang suka mempermainkan wanita. Jangan harap Anda bisa mempermainkan saya juga.” R
Malam semakin larut. Namun Raina masih saja sibuk melayani pelanggan di bar itu. Tangannya cekatan melayani pesanan pembeli, mengantarkan minuman yang dapat menghangatkan serta memabukkan. Bisa dibilang, Raina cukup profesional.Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Suasana di dalam bar mulai sepi. Hanya tersisa dua orang pelanggan yang sangat mabuk, dan tak ingin pergi. Beberapa pelayan pria memapahnya untuk bangun, dan menghubungi nomor seseorang yang bisa mengantar mereka.Raina berjalan menuju ruang ganti. Mimik wajahnya perlahan menjadi tak berekspresi. Bahkan saat mengambil pakaian di lokernya, tatapannya terasa kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan gadis itu.“Uh dasar! Minum nggak inget waktu. Digerebek baru tahu rasa dia,” keluh Intan sambil berjalan ke loker.Intan terus mengeluhkan pelanggan yang tidak juga mau pergi, padahal bar sudah tutup. Namun Raina hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan tak menggubris Intan.
Kafta sedang mengamati wanita yang sedang menjelajahi ruangannya itu.“Kamu ke sini tidak hanya ingin mengagumi ruanganku, bukan?”Wanita yang sedang melihat lukisan itu pun tersenyum, dan duduk di sofa. Ia puas dengan kualitas sofa yang tengah ia duduki.“Aku hanya ingin mengunjungimu,” jawab wanita tersebut.Kafta memicingkan mata, menatap curiga wanita di depannya itu. Pria itu sudah tahu tabiat wanita itu, sehingga ia tak mudah percaya.“Kenapa kamu menatapku begitu, hum?”“Tak biasanya kamu melakukan hal seperti tadi di lift. Ingat ya, jangan melakukan hal seperti itu lagi,” peringat Kafta sewot.Wanita itu tertawa. “Aku tak habis pikir denganmu. Bagaimana bisa kamu menarik semua wanita yang ada di sekitarmu. Dasar playboy.”“No, no, no. Kamu salah. Aku bukan playboy. Aku ini hanya suka bersikap ramah terhadap wanita, asal kamu tahu saja,” ucapnya samb
Pengantin wanita dengan gaun putihnya berjalan dengan anggun bersama sang ayah. Senyumnya berseri-seri menandakan hari bahagianya akan berjalan bersama orang terkasihnya yang telah menunggu di altar. Para tamu undangan bertepuk tangan dan turut berbahagia atas menyatunya dua insan di halaman terbuka gedung pencakar langit itu.“Siapa yang akan nyusul selanjutnya, ya? Berani taruhan?” bisik Bimo pada kedua temannya.“Yang pasti bukan aku,” jawab Kafta lirih.“Nggak berharap lu juga yang bakal duluan,” timpal Bimo.Kafta hanya membalasnya dengan tepukan di pundak Bimo yang terasa seperti remasan. Sang empunya pundak langsung menghindar.“Sssttt, diem deh. Momen sakral ini,” lerai Tomi.Semua orang bertepuk tangan meriah saat pasangan itu berciuman mesra di akhir prosesi.“Nggak usah cemburu. Cewek lu kan banyak,” goda Tomi. Bimo yang mendengarnya hanya mendengus.“
Raina tampak sedang berpikir keras. Ia terduduk di lantai. Kamarnya remang, hanya diterangi lampu dari mejanya. Wajahnya diusap kasar. Ia merasa lelah, sekaligus frustrasi dengan kehidupannya.Sinar matahari menelusup ke balik jendelanya. Ayam pun sudah berkokok. Raina terbangun dengan tubuh yang pegal. Semalam ia tertidur di lantai kamarnya dengan posisi terduduk.Ia segera bangkit, dan berjalan ke kamar mandi. Ia menghela napasnya berat, sembali mematut diri di cermin. Hari beratnya kembali datang. Hari ini ia akan bekerja di restoran terlebih dahulu.“Apakah aku harus mencari pekerjaan lain lagi?” tuturnya pada dirinya di cermin.Nampaknya penghasilan Raina yang sekarang sama sekali tidak bisa mencukupi kehidupannya. Apalagi menampung hutang ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja, Raina sibuk melayani pelanggan. Ia berjalan ke sana-kemari, sampai kakinya mulai muncul kapalan. Raina tak pernah mengeluhkan itu, sebab itu adalah hal ya
Raina tampak sedang berpikir keras. Ia terduduk di lantai. Kamarnya remang, hanya diterangi lampu dari mejanya. Wajahnya diusap kasar. Ia merasa lelah, sekaligus frustrasi dengan kehidupannya.Sinar matahari menelusup ke balik jendelanya. Ayam pun sudah berkokok. Raina terbangun dengan tubuh yang pegal. Semalam ia tertidur di lantai kamarnya dengan posisi terduduk.Ia segera bangkit, dan berjalan ke kamar mandi. Ia menghela napasnya berat, sembali mematut diri di cermin. Hari beratnya kembali datang. Hari ini ia akan bekerja di restoran terlebih dahulu.“Apakah aku harus mencari pekerjaan lain lagi?” tuturnya pada dirinya di cermin.Nampaknya penghasilan Raina yang sekarang sama sekali tidak bisa mencukupi kehidupannya. Apalagi menampung hutang ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja, Raina sibuk melayani pelanggan. Ia berjalan ke sana-kemari, sampai kakinya mulai muncul kapalan. Raina tak pernah mengeluhkan itu, sebab itu adalah hal ya
Pengantin wanita dengan gaun putihnya berjalan dengan anggun bersama sang ayah. Senyumnya berseri-seri menandakan hari bahagianya akan berjalan bersama orang terkasihnya yang telah menunggu di altar. Para tamu undangan bertepuk tangan dan turut berbahagia atas menyatunya dua insan di halaman terbuka gedung pencakar langit itu.“Siapa yang akan nyusul selanjutnya, ya? Berani taruhan?” bisik Bimo pada kedua temannya.“Yang pasti bukan aku,” jawab Kafta lirih.“Nggak berharap lu juga yang bakal duluan,” timpal Bimo.Kafta hanya membalasnya dengan tepukan di pundak Bimo yang terasa seperti remasan. Sang empunya pundak langsung menghindar.“Sssttt, diem deh. Momen sakral ini,” lerai Tomi.Semua orang bertepuk tangan meriah saat pasangan itu berciuman mesra di akhir prosesi.“Nggak usah cemburu. Cewek lu kan banyak,” goda Tomi. Bimo yang mendengarnya hanya mendengus.“
Kafta sedang mengamati wanita yang sedang menjelajahi ruangannya itu.“Kamu ke sini tidak hanya ingin mengagumi ruanganku, bukan?”Wanita yang sedang melihat lukisan itu pun tersenyum, dan duduk di sofa. Ia puas dengan kualitas sofa yang tengah ia duduki.“Aku hanya ingin mengunjungimu,” jawab wanita tersebut.Kafta memicingkan mata, menatap curiga wanita di depannya itu. Pria itu sudah tahu tabiat wanita itu, sehingga ia tak mudah percaya.“Kenapa kamu menatapku begitu, hum?”“Tak biasanya kamu melakukan hal seperti tadi di lift. Ingat ya, jangan melakukan hal seperti itu lagi,” peringat Kafta sewot.Wanita itu tertawa. “Aku tak habis pikir denganmu. Bagaimana bisa kamu menarik semua wanita yang ada di sekitarmu. Dasar playboy.”“No, no, no. Kamu salah. Aku bukan playboy. Aku ini hanya suka bersikap ramah terhadap wanita, asal kamu tahu saja,” ucapnya samb
Malam semakin larut. Namun Raina masih saja sibuk melayani pelanggan di bar itu. Tangannya cekatan melayani pesanan pembeli, mengantarkan minuman yang dapat menghangatkan serta memabukkan. Bisa dibilang, Raina cukup profesional.Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Suasana di dalam bar mulai sepi. Hanya tersisa dua orang pelanggan yang sangat mabuk, dan tak ingin pergi. Beberapa pelayan pria memapahnya untuk bangun, dan menghubungi nomor seseorang yang bisa mengantar mereka.Raina berjalan menuju ruang ganti. Mimik wajahnya perlahan menjadi tak berekspresi. Bahkan saat mengambil pakaian di lokernya, tatapannya terasa kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan gadis itu.“Uh dasar! Minum nggak inget waktu. Digerebek baru tahu rasa dia,” keluh Intan sambil berjalan ke loker.Intan terus mengeluhkan pelanggan yang tidak juga mau pergi, padahal bar sudah tutup. Namun Raina hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan tak menggubris Intan.
Kini Raina sedang duduk di hadapan pria kurang ajar sekaligus menyebalkan bernama Kafta. Mata lentik Raina terus memperhatikan gerak-geriknya.“Apakah Nona begitu menyukaiku sampai terus memandangiku?”Raina membuang muka, dan mendengus sebal. Kafta yang melihatnya semakin tertarik untuk menggoda wanita di depannya itu.“Cepat katakan apa yang Anda inginkan. Saya tidak ada waktu untuk bermain-main dengan Anda!” ucap Raina ketus.“Tenang, Nona. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” jawab Kafka dengan santai.“Saya rasa tidak ada alasan untuk memperkenalkan diri saya kepada orang seperti Anda,” terang Raina.“Oh ya? Memangnya saya orang seperti apa di matamu, Nona?” tantang Kafta.Raina memajukan wajahnya. Ia menatap mata cokelat Kafta dengan senyum sinis.“Anda adalah bajingan yang suka mempermainkan wanita. Jangan harap Anda bisa mempermainkan saya juga.” R
Menyebalkan.Kata itu yang diucapkan dalam hati Raina. Bahkan di toilet saja ia bertemu dengan pria kurang ajar itu.“Ma… maaf, Tuan. Saya tidak tahu apa maksud perkataan Anda,” lirih Raina.Raina yang berpura-pura tak tahu itu pun membuat pria itu semakin gencar menggodanya. Kedua tangannya menyangga pinggiran wastafel, dan mengurung Raina agar wanita itu tidak bisa ke mana-mana.“Jadi, bisakah Nona menjelaskan apa yang tadi kamu gumamkan? Tenang saja, aku tak akan memberi tahu siapapun,” bisik pria itu tepat di telinga Raina.Raina yang ketakutan tak berani menatap mata pria itu dari kaca. Ia langsung menunduk. Sang pria memunculkan seringaiannya.“Apakah Nona tidak bisa menjawabku? Ah, atau mungkin kamu sengaja ingin berlama-lama di sini bersamaku?” goda pria itu.Raina langsung berbalik. Ia ingin menyanggah ucapan pria itu. Namun kata itu tak terucapkan, dan malah berganti dengan ra
Langit jingga telah menyebar. Pemandangan kota yang padat penuh orang-orang berhamburan. Kendaraan-kendaraan berseliweran. Pada pinggir jalan, tepatnya trotoar, seorang wanita muda melenggang dengan kebisuan. Tangan kirinya menjinjing tas kecil warna coklat tua. Tangan kanannya yang bebas membenarkan anak rambutnya yang tergerai menutupi matanya. Suasana sore ini memang agak berangin.Cukup lama ia berjalan, langkah kakinya berhenti pada sebuah bangunan yang terbilang klasik. Suasananya yang kebarat-baratan terasa memberi angin segar. Bangunan itu bertengger di pinggir jalan dan mengarah ke jalanan besar di depannya. Tertera lampu besar di atasnya dengan tulisan Gusto Armonia Caffe. Benar, itulah nama bangunan klasik tersebut. Tempatnya berjejer dengan bangunan lain di sampingnya, tetapi pesonanya itu dapat dilihat siapa saja yang melihatnya. Rasanya seperti di luar negeri, jika kita tidak ingat di mana ini—Indonesia.Wanita itu menghirup udara dan menge