Malam semakin larut. Namun Raina masih saja sibuk melayani pelanggan di bar itu. Tangannya cekatan melayani pesanan pembeli, mengantarkan minuman yang dapat menghangatkan serta memabukkan. Bisa dibilang, Raina cukup profesional.
Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Suasana di dalam bar mulai sepi. Hanya tersisa dua orang pelanggan yang sangat mabuk, dan tak ingin pergi. Beberapa pelayan pria memapahnya untuk bangun, dan menghubungi nomor seseorang yang bisa mengantar mereka.
Raina berjalan menuju ruang ganti. Mimik wajahnya perlahan menjadi tak berekspresi. Bahkan saat mengambil pakaian di lokernya, tatapannya terasa kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
“Uh dasar! Minum nggak inget waktu. Digerebek baru tahu rasa dia,” keluh Intan sambil berjalan ke loker.
Intan terus mengeluhkan pelanggan yang tidak juga mau pergi, padahal bar sudah tutup. Namun Raina hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan tak menggubris Intan.
“Na, kamu denger aku ngomong nggak si?”
“Na, are you okay?”
Intan meraih bahu Raina, dan seketika Raina tersadar dari lamunannya. Raina cepat-cepat mengambil tasnya.
“Kamu ada masalah, Na?”
“Tidak ada, aku baik-baik saja. Kalau gitu aku duluan ya,” ucap Raina.
Raina mempercepat langkahnya, bahkan masalah dua orang pelanggan yang sedang ramai itu pun tak dilirik olehnya. Ia berjalan sepanjang bahu jalan dengan menghela napas. Pikirannya menjadi tak tenang.
Flashback.
Sore itu, Raina hendak bekerja, dan tiba-tiba ponselnya bergetar. Untung saja Raina belum meninggalkan loker, sehingga ia bisa mengangkat ponselnya. Ia melihat nama yang tertera di ponselnya—itu adiknya.
“Halo, Kak.”
“Iya, kenapa, Bi?”
Raina mengerutkan dahi. Samar ia mendengar suara berisik dari seberang ponsel. Ia sudah menduga siapa itu.
“Kau baik-baik saja, Bi? Apakah mereka bertengkar lagi? Apa masalahnya kali ini?” terang Raina to the point.
“Tadi ada orang yang datang ke rumah, dan meminta uang pada ayah, Kak. Katanya itu sudah jatuh tempo,” adu Debi—adik Raina paling bungsu.
“Apa? Ayah berutang lagi? Baiklah, nanti kakak akan bicara dengan Ayah. Sudah dulu, Kakak sedang bekerja.”
“Baik, Kak.”
Begitu sambungan ponsel dimatikan, Raina menghela napas jengah.
Flasback End.
Telepon sore itu membuat Raina makin sesak. Ia mendudukkan diri. Tak henti-hentinya Raina menghela napas. Ia tak habis pikir, kapan Ayahnya itu dapat berhenti berutang. Padahal setiap bulan, Raina selalu mengirimkan uang pada keluarganya—bahkan ia lebihkan nominalnya. Namun kenyataan sore ini menghantamnya. Sepertinya tabiat ayahnya yang suka membeli barang-barang tak berguna itu masih berlanjut.
Raina mendongakkan wajah, sembari memejamkan mata. Ia sungguh merasa lelah, tapi ia sadar tak bisa berhenti di sini. Jalannya masih gelap, dan entah kapan akan ada penerangan sepanjang jalan yang ditempuh dalam hidupnya.
Langkahnya semakin berat, bahkan untuk berjalan. Tak terasa langkahnya sampai di depan taman bermain. Di sana, ada beberapa wahana bermain seperti komedi putar, dan sebagainya. Namun hari sudah larut, dan tentu saja tidak ada orang yang bermain selarut ini.
Raina melangkahkan kakinya memasuki taman bermain. Ia melihat sekeliling, sepertinya sudah terlambat baginya untuk menaiki wahana. Ia pun memilih duduk di bangku taman, mengeluarkan penyuara telinga, dan menyalakan musik.
Raina menyandarkan diri pada kursi, dan melihat ke langit—gelap. Tak banyak yang bisa dilihatnya, karena pikirannya masih diliputi kelelahan. Bersyukurnya, ada beberapa bintang yang mau menemaninya malam ini. Setelah beberapa waktu, ia menyudahinya, dan segera pulang untuk mengistirahatkan diri. Urusan yang lain akan diurusinya besok. Meskipun malam ini, Raina juga tak yakin tidurnya akan lelap.
***
Suasana di dalam ruangan ber-AC itu tampak cukup serius. Tak ada yang berani mengalihkan pandangan mereka dengan hal lain. Semua fokus pada satu titik. Layar proyektor yang menampilkan project, sedang dijelaskan seseorang di sana.
Meskipun suasana sedang serius, seorang pria yang duduk di ujung tampaknya tak terlalu tertarik dengan paparan di depannya. Ia lebih memilih memainkan kertas dokumen itu. Saat penjelasan berakhir, lampu ruangan dinyalakan kembali. Semua mata tertuju pada pria itu.
Sadar dirinya sedang menjadi perhatian semua orang, ia menghentikan aktivitasnya. Ia beralih menatap orang di depannya.
“Saya belum puas dengan cara kerja project ini. Masih ada beberapa aspek yang harus diikutsertakan di dalamnya. Saya harap kalian dapat memberikan yang terbaik jika masih ingin bekerja di sini. Kalau begitu, rapat kita akhiri,” terangnya dengan lugas.
Kafta segera bangkit dari kursinya, dan meninggalkan ruang rapat. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu tak habis pikir dengan atasan barunya itu.
Kafta berjalan dengan berwibawa, tapi pandangannya tetap tak lepas pada karyawan wanita yang lalu lalang di sekitarnya. Sekretarisnya—Putra juga mengikutinya di belakangnya.
“Apakah kamu sudah mengerjakan tugas yang kuberikan padamu?”
Kafta bertanya tiba-tiba. Putra menjawabnya dengan gugup.
“Untuk project dengan Sentana Group sudah memasuki tahap kontrak, Pak.”
Kafta mendadak berhenti. Putra yang ada di belakangnya langsung mengerem. Ia melihat Kafta yang berbalik menghadapnya. Putra dibuat terintimidasi dengan atasannya itu.
“Kau tahu, ‘kan, bukan itu maksudku,” ucap Kafta sembari mengerlingkan mata pada karyawan wanita yang melintas di belakang Putra.
Putra pun melihat karyawan wanita itu, dan baru mengerti maksud dari atasannya itu. Ia mengambil salah satu dokumen di tangannya, lalu menyerahkannya pada Kafta.
“Kerja bagus.”
Kafta dan Putra melanjutkan perjalanan ke ruangannya. Saat menunggu di depan pintu lift, bersamaan dengan seorang wanita yang datang, dan melihat Kafta.
“Sayang, akhirnya kamu kembali juga. Bagaimana bisa kamu tidak memberitahu kepulanganmu, hum?” ucapnya manja.
Kafta melihat ke sekeliling, ia tak mau ada yang mendengar ucapan wanita itu. Putra yang ada di belakangnya hanya bisa mengalihkan pandangan saat melihat seorang wanita yang begitu lengket pada atasannya itu.
“Sudah, kita ke kantorku saja,” bisik Kafta dengan senyum dibuat-buat.
Mereka bertiga menaiki lift, dan langsung menuju ke lantai teratas gedung itu. Bahkan saat ada karyawan yang ingin masuk, Putra segera menyarankan mereka untuk naik lift berikutnya.
Kafta memberitahu Putra agar tidak mengizinkan siapa pun masuk ke ruangannya selama wanita itu ada di sini. Ia pun mengangguk paham.
“Oh ya, jangan beritahu Papa saya, mengerti?”
Putra agak ragu, tapi ia menyanggupi perintah Kafta. Putra tahu, kariernya menjadi pertaruhan di sini.
Kafta dan wanita itu masuk ke dalam ruangan. Sang Wanita menatap takjub ruangan Kafta.
“Whoaaa, besar sekali ruanganmu. Lihat ini, bukankah ini produk Italia? Berapa hargannya bila dijual, ya?” tanyanya.
Wanita itu terus melihat-lihat isi ruangan Kafta. pria itu hanya membiarkan si wanita menjelajahi ruangannya, bahkan tak melarang. Kafta duduk di kursi kerjanya, sambil memperhatikan wanita itu.
“Kamu ke sini tidak hanya ingin mengagumi ruanganku, ‘kan?”
Kafta sedang mengamati wanita yang sedang menjelajahi ruangannya itu.“Kamu ke sini tidak hanya ingin mengagumi ruanganku, bukan?”Wanita yang sedang melihat lukisan itu pun tersenyum, dan duduk di sofa. Ia puas dengan kualitas sofa yang tengah ia duduki.“Aku hanya ingin mengunjungimu,” jawab wanita tersebut.Kafta memicingkan mata, menatap curiga wanita di depannya itu. Pria itu sudah tahu tabiat wanita itu, sehingga ia tak mudah percaya.“Kenapa kamu menatapku begitu, hum?”“Tak biasanya kamu melakukan hal seperti tadi di lift. Ingat ya, jangan melakukan hal seperti itu lagi,” peringat Kafta sewot.Wanita itu tertawa. “Aku tak habis pikir denganmu. Bagaimana bisa kamu menarik semua wanita yang ada di sekitarmu. Dasar playboy.”“No, no, no. Kamu salah. Aku bukan playboy. Aku ini hanya suka bersikap ramah terhadap wanita, asal kamu tahu saja,” ucapnya samb
Pengantin wanita dengan gaun putihnya berjalan dengan anggun bersama sang ayah. Senyumnya berseri-seri menandakan hari bahagianya akan berjalan bersama orang terkasihnya yang telah menunggu di altar. Para tamu undangan bertepuk tangan dan turut berbahagia atas menyatunya dua insan di halaman terbuka gedung pencakar langit itu.“Siapa yang akan nyusul selanjutnya, ya? Berani taruhan?” bisik Bimo pada kedua temannya.“Yang pasti bukan aku,” jawab Kafta lirih.“Nggak berharap lu juga yang bakal duluan,” timpal Bimo.Kafta hanya membalasnya dengan tepukan di pundak Bimo yang terasa seperti remasan. Sang empunya pundak langsung menghindar.“Sssttt, diem deh. Momen sakral ini,” lerai Tomi.Semua orang bertepuk tangan meriah saat pasangan itu berciuman mesra di akhir prosesi.“Nggak usah cemburu. Cewek lu kan banyak,” goda Tomi. Bimo yang mendengarnya hanya mendengus.“
Raina tampak sedang berpikir keras. Ia terduduk di lantai. Kamarnya remang, hanya diterangi lampu dari mejanya. Wajahnya diusap kasar. Ia merasa lelah, sekaligus frustrasi dengan kehidupannya.Sinar matahari menelusup ke balik jendelanya. Ayam pun sudah berkokok. Raina terbangun dengan tubuh yang pegal. Semalam ia tertidur di lantai kamarnya dengan posisi terduduk.Ia segera bangkit, dan berjalan ke kamar mandi. Ia menghela napasnya berat, sembali mematut diri di cermin. Hari beratnya kembali datang. Hari ini ia akan bekerja di restoran terlebih dahulu.“Apakah aku harus mencari pekerjaan lain lagi?” tuturnya pada dirinya di cermin.Nampaknya penghasilan Raina yang sekarang sama sekali tidak bisa mencukupi kehidupannya. Apalagi menampung hutang ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja, Raina sibuk melayani pelanggan. Ia berjalan ke sana-kemari, sampai kakinya mulai muncul kapalan. Raina tak pernah mengeluhkan itu, sebab itu adalah hal ya
Langit jingga telah menyebar. Pemandangan kota yang padat penuh orang-orang berhamburan. Kendaraan-kendaraan berseliweran. Pada pinggir jalan, tepatnya trotoar, seorang wanita muda melenggang dengan kebisuan. Tangan kirinya menjinjing tas kecil warna coklat tua. Tangan kanannya yang bebas membenarkan anak rambutnya yang tergerai menutupi matanya. Suasana sore ini memang agak berangin.Cukup lama ia berjalan, langkah kakinya berhenti pada sebuah bangunan yang terbilang klasik. Suasananya yang kebarat-baratan terasa memberi angin segar. Bangunan itu bertengger di pinggir jalan dan mengarah ke jalanan besar di depannya. Tertera lampu besar di atasnya dengan tulisan Gusto Armonia Caffe. Benar, itulah nama bangunan klasik tersebut. Tempatnya berjejer dengan bangunan lain di sampingnya, tetapi pesonanya itu dapat dilihat siapa saja yang melihatnya. Rasanya seperti di luar negeri, jika kita tidak ingat di mana ini—Indonesia.Wanita itu menghirup udara dan menge
Menyebalkan.Kata itu yang diucapkan dalam hati Raina. Bahkan di toilet saja ia bertemu dengan pria kurang ajar itu.“Ma… maaf, Tuan. Saya tidak tahu apa maksud perkataan Anda,” lirih Raina.Raina yang berpura-pura tak tahu itu pun membuat pria itu semakin gencar menggodanya. Kedua tangannya menyangga pinggiran wastafel, dan mengurung Raina agar wanita itu tidak bisa ke mana-mana.“Jadi, bisakah Nona menjelaskan apa yang tadi kamu gumamkan? Tenang saja, aku tak akan memberi tahu siapapun,” bisik pria itu tepat di telinga Raina.Raina yang ketakutan tak berani menatap mata pria itu dari kaca. Ia langsung menunduk. Sang pria memunculkan seringaiannya.“Apakah Nona tidak bisa menjawabku? Ah, atau mungkin kamu sengaja ingin berlama-lama di sini bersamaku?” goda pria itu.Raina langsung berbalik. Ia ingin menyanggah ucapan pria itu. Namun kata itu tak terucapkan, dan malah berganti dengan ra
Kini Raina sedang duduk di hadapan pria kurang ajar sekaligus menyebalkan bernama Kafta. Mata lentik Raina terus memperhatikan gerak-geriknya.“Apakah Nona begitu menyukaiku sampai terus memandangiku?”Raina membuang muka, dan mendengus sebal. Kafta yang melihatnya semakin tertarik untuk menggoda wanita di depannya itu.“Cepat katakan apa yang Anda inginkan. Saya tidak ada waktu untuk bermain-main dengan Anda!” ucap Raina ketus.“Tenang, Nona. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” jawab Kafka dengan santai.“Saya rasa tidak ada alasan untuk memperkenalkan diri saya kepada orang seperti Anda,” terang Raina.“Oh ya? Memangnya saya orang seperti apa di matamu, Nona?” tantang Kafta.Raina memajukan wajahnya. Ia menatap mata cokelat Kafta dengan senyum sinis.“Anda adalah bajingan yang suka mempermainkan wanita. Jangan harap Anda bisa mempermainkan saya juga.” R
Raina tampak sedang berpikir keras. Ia terduduk di lantai. Kamarnya remang, hanya diterangi lampu dari mejanya. Wajahnya diusap kasar. Ia merasa lelah, sekaligus frustrasi dengan kehidupannya.Sinar matahari menelusup ke balik jendelanya. Ayam pun sudah berkokok. Raina terbangun dengan tubuh yang pegal. Semalam ia tertidur di lantai kamarnya dengan posisi terduduk.Ia segera bangkit, dan berjalan ke kamar mandi. Ia menghela napasnya berat, sembali mematut diri di cermin. Hari beratnya kembali datang. Hari ini ia akan bekerja di restoran terlebih dahulu.“Apakah aku harus mencari pekerjaan lain lagi?” tuturnya pada dirinya di cermin.Nampaknya penghasilan Raina yang sekarang sama sekali tidak bisa mencukupi kehidupannya. Apalagi menampung hutang ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja, Raina sibuk melayani pelanggan. Ia berjalan ke sana-kemari, sampai kakinya mulai muncul kapalan. Raina tak pernah mengeluhkan itu, sebab itu adalah hal ya
Pengantin wanita dengan gaun putihnya berjalan dengan anggun bersama sang ayah. Senyumnya berseri-seri menandakan hari bahagianya akan berjalan bersama orang terkasihnya yang telah menunggu di altar. Para tamu undangan bertepuk tangan dan turut berbahagia atas menyatunya dua insan di halaman terbuka gedung pencakar langit itu.“Siapa yang akan nyusul selanjutnya, ya? Berani taruhan?” bisik Bimo pada kedua temannya.“Yang pasti bukan aku,” jawab Kafta lirih.“Nggak berharap lu juga yang bakal duluan,” timpal Bimo.Kafta hanya membalasnya dengan tepukan di pundak Bimo yang terasa seperti remasan. Sang empunya pundak langsung menghindar.“Sssttt, diem deh. Momen sakral ini,” lerai Tomi.Semua orang bertepuk tangan meriah saat pasangan itu berciuman mesra di akhir prosesi.“Nggak usah cemburu. Cewek lu kan banyak,” goda Tomi. Bimo yang mendengarnya hanya mendengus.“
Kafta sedang mengamati wanita yang sedang menjelajahi ruangannya itu.“Kamu ke sini tidak hanya ingin mengagumi ruanganku, bukan?”Wanita yang sedang melihat lukisan itu pun tersenyum, dan duduk di sofa. Ia puas dengan kualitas sofa yang tengah ia duduki.“Aku hanya ingin mengunjungimu,” jawab wanita tersebut.Kafta memicingkan mata, menatap curiga wanita di depannya itu. Pria itu sudah tahu tabiat wanita itu, sehingga ia tak mudah percaya.“Kenapa kamu menatapku begitu, hum?”“Tak biasanya kamu melakukan hal seperti tadi di lift. Ingat ya, jangan melakukan hal seperti itu lagi,” peringat Kafta sewot.Wanita itu tertawa. “Aku tak habis pikir denganmu. Bagaimana bisa kamu menarik semua wanita yang ada di sekitarmu. Dasar playboy.”“No, no, no. Kamu salah. Aku bukan playboy. Aku ini hanya suka bersikap ramah terhadap wanita, asal kamu tahu saja,” ucapnya samb
Malam semakin larut. Namun Raina masih saja sibuk melayani pelanggan di bar itu. Tangannya cekatan melayani pesanan pembeli, mengantarkan minuman yang dapat menghangatkan serta memabukkan. Bisa dibilang, Raina cukup profesional.Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Suasana di dalam bar mulai sepi. Hanya tersisa dua orang pelanggan yang sangat mabuk, dan tak ingin pergi. Beberapa pelayan pria memapahnya untuk bangun, dan menghubungi nomor seseorang yang bisa mengantar mereka.Raina berjalan menuju ruang ganti. Mimik wajahnya perlahan menjadi tak berekspresi. Bahkan saat mengambil pakaian di lokernya, tatapannya terasa kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan gadis itu.“Uh dasar! Minum nggak inget waktu. Digerebek baru tahu rasa dia,” keluh Intan sambil berjalan ke loker.Intan terus mengeluhkan pelanggan yang tidak juga mau pergi, padahal bar sudah tutup. Namun Raina hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan tak menggubris Intan.
Kini Raina sedang duduk di hadapan pria kurang ajar sekaligus menyebalkan bernama Kafta. Mata lentik Raina terus memperhatikan gerak-geriknya.“Apakah Nona begitu menyukaiku sampai terus memandangiku?”Raina membuang muka, dan mendengus sebal. Kafta yang melihatnya semakin tertarik untuk menggoda wanita di depannya itu.“Cepat katakan apa yang Anda inginkan. Saya tidak ada waktu untuk bermain-main dengan Anda!” ucap Raina ketus.“Tenang, Nona. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” jawab Kafka dengan santai.“Saya rasa tidak ada alasan untuk memperkenalkan diri saya kepada orang seperti Anda,” terang Raina.“Oh ya? Memangnya saya orang seperti apa di matamu, Nona?” tantang Kafta.Raina memajukan wajahnya. Ia menatap mata cokelat Kafta dengan senyum sinis.“Anda adalah bajingan yang suka mempermainkan wanita. Jangan harap Anda bisa mempermainkan saya juga.” R
Menyebalkan.Kata itu yang diucapkan dalam hati Raina. Bahkan di toilet saja ia bertemu dengan pria kurang ajar itu.“Ma… maaf, Tuan. Saya tidak tahu apa maksud perkataan Anda,” lirih Raina.Raina yang berpura-pura tak tahu itu pun membuat pria itu semakin gencar menggodanya. Kedua tangannya menyangga pinggiran wastafel, dan mengurung Raina agar wanita itu tidak bisa ke mana-mana.“Jadi, bisakah Nona menjelaskan apa yang tadi kamu gumamkan? Tenang saja, aku tak akan memberi tahu siapapun,” bisik pria itu tepat di telinga Raina.Raina yang ketakutan tak berani menatap mata pria itu dari kaca. Ia langsung menunduk. Sang pria memunculkan seringaiannya.“Apakah Nona tidak bisa menjawabku? Ah, atau mungkin kamu sengaja ingin berlama-lama di sini bersamaku?” goda pria itu.Raina langsung berbalik. Ia ingin menyanggah ucapan pria itu. Namun kata itu tak terucapkan, dan malah berganti dengan ra
Langit jingga telah menyebar. Pemandangan kota yang padat penuh orang-orang berhamburan. Kendaraan-kendaraan berseliweran. Pada pinggir jalan, tepatnya trotoar, seorang wanita muda melenggang dengan kebisuan. Tangan kirinya menjinjing tas kecil warna coklat tua. Tangan kanannya yang bebas membenarkan anak rambutnya yang tergerai menutupi matanya. Suasana sore ini memang agak berangin.Cukup lama ia berjalan, langkah kakinya berhenti pada sebuah bangunan yang terbilang klasik. Suasananya yang kebarat-baratan terasa memberi angin segar. Bangunan itu bertengger di pinggir jalan dan mengarah ke jalanan besar di depannya. Tertera lampu besar di atasnya dengan tulisan Gusto Armonia Caffe. Benar, itulah nama bangunan klasik tersebut. Tempatnya berjejer dengan bangunan lain di sampingnya, tetapi pesonanya itu dapat dilihat siapa saja yang melihatnya. Rasanya seperti di luar negeri, jika kita tidak ingat di mana ini—Indonesia.Wanita itu menghirup udara dan menge