Menyebalkan.
Kata itu yang diucapkan dalam hati Raina. Bahkan di toilet saja ia bertemu dengan pria kurang ajar itu.
“Ma… maaf, Tuan. Saya tidak tahu apa maksud perkataan Anda,” lirih Raina.
Raina yang berpura-pura tak tahu itu pun membuat pria itu semakin gencar menggodanya. Kedua tangannya menyangga pinggiran wastafel, dan mengurung Raina agar wanita itu tidak bisa ke mana-mana.
“Jadi, bisakah Nona menjelaskan apa yang tadi kamu gumamkan? Tenang saja, aku tak akan memberi tahu siapapun,” bisik pria itu tepat di telinga Raina.
Raina yang ketakutan tak berani menatap mata pria itu dari kaca. Ia langsung menunduk. Sang pria memunculkan seringaiannya.
“Apakah Nona tidak bisa menjawabku? Ah, atau mungkin kamu sengaja ingin berlama-lama di sini bersamaku?” goda pria itu.
Raina langsung berbalik. Ia ingin menyanggah ucapan pria itu. Namun kata itu tak terucapkan, dan malah berganti dengan rasa lembab di bibirnya. Rania langsung membelalakkan mata karena kaget, tak percaya apa yang sedang terjadi padanya saat ini. Ia langsung mendorong kuat tubuh pria itu. Raina tak percaya situasi ini akan terjadi padanya. Ia pikir hal seperti ini hanya ada di drama-drama saja. Nyatanya tidak, ciuman pertamanya direnggut oleh pria kurang ajar yang menyebalkan itu!
Raina langsung berlari keluar dari toilet. Pria di dalam toilet itu juga agak tertegun saat dengan situasi yang terjadi barusan. Niat awal hanya untuk menakut-nakuti wanita itu, malah hal tak terduga yang terjadi.
“Kaf? Kafta? Hei, are you hier?”
Kafta tersadar, dan melihat sahabatnya itu sudah muncul di depannya.
“Ada apa denganmu? Kami sudah menunggumu cukup lama, dan kamu belum keluar-keluar. Kukira kau bertemu dengan wanita lain, dan sudah membawanya pergi,” ucap Tomi, sahabat Kafta.
Kafta hanya melenggang tanpa menggubris ucapan Tomi. Mereka kembali ke bar.
“Hei, Dude. Lama sekali kamu. Kukira sudah dibawa pergi wanita cantik lain,” sindir sahabatnya yang lain, Bimo. Wanita yang ada di sebelahnya langsung memukul kecil bahu Bimo.
Kafta duduk dengan diam. Bahkan ia tak menggubris godaan wanita di sampingnya. Ia hanya meminum wine-nya sampai tandas. Sorot matanya mengawasi wanita yang sedang melayani pelanggan lain. Bahkan saat bos Raina memanggil wanita itu, Kafta terus mengamatinya. Wanita itu mengangguk, dan pergi. Sosoknya hilang di balik pintu.
Hari sudah larut malam. Tepat pukul 1 dini hari, Raina sudah berganti baju, dan siap untuk pulang. Hari ini adalah hari yang melelahkan untuknya, ditambah peristiwa aib itu. Rasanya Raina ingin menghilang saat itu juga.
Beruntungnya, sang bos memerintahkannya untuk bertukar tugas, sehingga paruh malam tadi ia menghabiskan waktunya untuk melayani pelanggan di bagian restoran. Bahkan ia bisa pulang lebih cepat. Langkah kaki Raina begitu berat, ia menghirup udara malam yang dingin dengan resah. Ia teringat kejadian di toilet. Bisa-bisanya hal itu terjadi.
Raina tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menjadi lebih menajamkan penglihatan, dan pendengarannya. Kemudian ia mendatangi semak-semak untuk memastikan suara yang tadi didengarnya. Benar saja, ada dua kucing kecil yang meringkuk di antara semak-semak.
“Hei, kenapa kalian di sini, huh? Apakah kalian tidak kedinginan?” Raina mengelus kepala kucing-kucing itu bergantian.
Raina mengeluarkan sebuah boks kecil dari dalam kantong plastik yang dibawanya.
“Kalian pasti lapar, kan? Coba tebak, aku bawa apa untuk kalian? Tara… ikan bakar! Kalian pasti suka, ‘kan? Makan yang banyak ya,” ucap Raina sembari memberi daging ikan pada kedua kucing malang itu.
Tanpa sadar, terbitlah senyuman di bibir Raina. Wanita itu mendengus saat ingusnya ingin keluar. Namun, ia tak menghiraukan udara dingin malam ini. Dunianya teralihkan oleh kucing manis di depannya.
“Jangan berebut. Ini untuk kalian semua. Makan perlahan, oke? Bagus, pintar.”
Setelah cukup lama ia melayani kedua kucing malang itu, ia kembali melanjutkan perjalanan. Ia menatap langit malam yang tak berbintang. Bahkan malam ini langit sangat kosong.
***
Seorang pria berjalan dengan penuh wibawa di dalam sebuah gedung pencakar langit. Ia melewati semua karyawan yang menyambutnya dengan penuh hormat. Ia tak malu-malu saat menyapa karyawan wanita yang menurutnya cukup menarik. Tak lupa ia memberikan kerlingan matanya pada karyawan wanita itu.
“Selamat datang, Pak Kafta. Mari saya antarkan ke ruangan bapak,” ucap Putra, sekretaris Kafta.
Mereka segera menuju ke lantai 40, lantai tertinggi di gedung tersebut. sesampainya di dalam ruangannya, Kafta langsung menduduki kursi kerjanya dengan tetap mempertahankan wibawanya.
“Putra, nanti siang saya akan makan siang dengan Pak Gana dari perusahaan Waten, bukan?”
“Betul, Pak. Makan siang nanti sudah diatur di restoran Gusto Armonia, Pak.”
“Gusto Armonia, huh?”
“Betul, Pak. Apakah bapak ingin mengganti tempat?”
“Tidak, tidak. Di situ saja.”
“Baik, Pak. Seperti yang bapak perintahkan. Oh iya, dan ini ada beberapa dokumen penting yang harus bapak tandatangani.”
Kafta mengerti, dan langsung melihat isi dokumen itu. Putra pun pamit undur diri. Setelah kepergian Putra, Kafta bergumam sendiri. Ia menaikkan satu alisnya.
“Gusto Armonia, huh?”
Pria itu tiba-tiba menyentuh bibirnya. Ia teringat akan kejadian semalam di toilet dengan wanita itu. Rasanya ada sesuatu yang hangat pada dirinya, entah apa itu. Ia sudah sering berciuman dengan banyak wanita, tetapi baru pertama kali ini ia sampai tertegun karena ciuman dari pelayan kafe itu. Kafta menjadi penasaran dengan wanita itu.
“Tunggu saja.”
***
Acara makan siang berjalan dengan lancar. Cuaca siang ini cerah, dan tak terlalu terik.
“Anda memilih tempat yang bagus, Pak Kafta. ini adalah tempat yang patut dikunjungi. Saya dan istri saya juga pernah merayakan ulang tahun pernikahan kami di sini. Apakah Pak Kafta sering ke mari juga?”
“Bisa dibilang begitu.”
Kafta hanya menjawab singkat. Sejujurnya ia pernah ke sini, tapi bukan di bagian restoran, melainkan di bagian bar. Tentu saja ia tak akan menceritakan itu karena citra baiknya di perusahaan.
“Oh ya? Apakah Pak Kafta ke mari bersama seorang kekasih? Ah maaf, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi Pak Kafta. Namun penilaian saya terhadap Pak Kafta pasti benar, bahwa Pak Kafta sudah punya kekasih. Siapa yang tidak ingin memiliki Pak Kafta yang rupawan sebagai kekasih.” Keduanya tertawa.
“Pak Gana bisa saja. Tapi memang benar seperti yang Anda katakan. Sepertinya tidak ada wanita yang bisa menolak pesona saya,” ucap Kafta percaya diri.
Seseorang yang sedang berada di sekitar situ bergidik ngeri saat mendengar ucapan Kafta yang terlalu percaya diri.
“Saya suka keperyaan diri Anda. Semoga kerja sama kita akan berjalan lancar ke depannya. Saya mengandalkan Pak Kafta.”
“Tentu saja, Pak. Terima kasih banyak sudah bersedia bekerja sama dengan Dafu Properti.”
Keduanya bersalaman, dan Pak Gana pergi terlebih dahulu. Kini Kafta tengah menghabiskan minumannya. Saat pelayan itu melewatinya, ia langsung mencekal tangan wanita itu. Seketika Raina berhenti. Ia segera melepaskan tangannya. Ia seolah merasa jijik saat tangannya disentuh pria itu. Namun Raina tak bisa melepaskannya, cekalan itu terlalu kuat.
“Lepaskan tangan saya, atau saya teriak!” ancam Raina dengan suara tertahan.
“Coba saja kalau berani, saya tak segan-segan untuk menutup tempat ini selamanya,” ancam balik Kafta.
“Apa yang Anda mau?”
“Duduk!” perintahnya pada Raina. Namun Raina tak bergeming.
“Lepaskan tangan saya dulu, sakit tahu.”
Kafta melepaskan cekalannya, dan menyuruh Raina dengan sopan untuk duduk di depannya.
“Cepat katakan, apa mau Anda?”
“Tuangkan minuman ini ke gelas,” perintah Kafta dengan senyum liciknya.
Raina sungkan, tetapi ia tak punya pilihan. Jika ingin pergi dari pria itu dengan selamat, ia harus menuruti perintahnya.
Kini Raina sedang duduk di hadapan pria kurang ajar sekaligus menyebalkan bernama Kafta. Mata lentik Raina terus memperhatikan gerak-geriknya.“Apakah Nona begitu menyukaiku sampai terus memandangiku?”Raina membuang muka, dan mendengus sebal. Kafta yang melihatnya semakin tertarik untuk menggoda wanita di depannya itu.“Cepat katakan apa yang Anda inginkan. Saya tidak ada waktu untuk bermain-main dengan Anda!” ucap Raina ketus.“Tenang, Nona. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” jawab Kafka dengan santai.“Saya rasa tidak ada alasan untuk memperkenalkan diri saya kepada orang seperti Anda,” terang Raina.“Oh ya? Memangnya saya orang seperti apa di matamu, Nona?” tantang Kafta.Raina memajukan wajahnya. Ia menatap mata cokelat Kafta dengan senyum sinis.“Anda adalah bajingan yang suka mempermainkan wanita. Jangan harap Anda bisa mempermainkan saya juga.” R
Malam semakin larut. Namun Raina masih saja sibuk melayani pelanggan di bar itu. Tangannya cekatan melayani pesanan pembeli, mengantarkan minuman yang dapat menghangatkan serta memabukkan. Bisa dibilang, Raina cukup profesional.Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Suasana di dalam bar mulai sepi. Hanya tersisa dua orang pelanggan yang sangat mabuk, dan tak ingin pergi. Beberapa pelayan pria memapahnya untuk bangun, dan menghubungi nomor seseorang yang bisa mengantar mereka.Raina berjalan menuju ruang ganti. Mimik wajahnya perlahan menjadi tak berekspresi. Bahkan saat mengambil pakaian di lokernya, tatapannya terasa kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan gadis itu.“Uh dasar! Minum nggak inget waktu. Digerebek baru tahu rasa dia,” keluh Intan sambil berjalan ke loker.Intan terus mengeluhkan pelanggan yang tidak juga mau pergi, padahal bar sudah tutup. Namun Raina hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan tak menggubris Intan.
Kafta sedang mengamati wanita yang sedang menjelajahi ruangannya itu.“Kamu ke sini tidak hanya ingin mengagumi ruanganku, bukan?”Wanita yang sedang melihat lukisan itu pun tersenyum, dan duduk di sofa. Ia puas dengan kualitas sofa yang tengah ia duduki.“Aku hanya ingin mengunjungimu,” jawab wanita tersebut.Kafta memicingkan mata, menatap curiga wanita di depannya itu. Pria itu sudah tahu tabiat wanita itu, sehingga ia tak mudah percaya.“Kenapa kamu menatapku begitu, hum?”“Tak biasanya kamu melakukan hal seperti tadi di lift. Ingat ya, jangan melakukan hal seperti itu lagi,” peringat Kafta sewot.Wanita itu tertawa. “Aku tak habis pikir denganmu. Bagaimana bisa kamu menarik semua wanita yang ada di sekitarmu. Dasar playboy.”“No, no, no. Kamu salah. Aku bukan playboy. Aku ini hanya suka bersikap ramah terhadap wanita, asal kamu tahu saja,” ucapnya samb
Pengantin wanita dengan gaun putihnya berjalan dengan anggun bersama sang ayah. Senyumnya berseri-seri menandakan hari bahagianya akan berjalan bersama orang terkasihnya yang telah menunggu di altar. Para tamu undangan bertepuk tangan dan turut berbahagia atas menyatunya dua insan di halaman terbuka gedung pencakar langit itu.“Siapa yang akan nyusul selanjutnya, ya? Berani taruhan?” bisik Bimo pada kedua temannya.“Yang pasti bukan aku,” jawab Kafta lirih.“Nggak berharap lu juga yang bakal duluan,” timpal Bimo.Kafta hanya membalasnya dengan tepukan di pundak Bimo yang terasa seperti remasan. Sang empunya pundak langsung menghindar.“Sssttt, diem deh. Momen sakral ini,” lerai Tomi.Semua orang bertepuk tangan meriah saat pasangan itu berciuman mesra di akhir prosesi.“Nggak usah cemburu. Cewek lu kan banyak,” goda Tomi. Bimo yang mendengarnya hanya mendengus.“
Raina tampak sedang berpikir keras. Ia terduduk di lantai. Kamarnya remang, hanya diterangi lampu dari mejanya. Wajahnya diusap kasar. Ia merasa lelah, sekaligus frustrasi dengan kehidupannya.Sinar matahari menelusup ke balik jendelanya. Ayam pun sudah berkokok. Raina terbangun dengan tubuh yang pegal. Semalam ia tertidur di lantai kamarnya dengan posisi terduduk.Ia segera bangkit, dan berjalan ke kamar mandi. Ia menghela napasnya berat, sembali mematut diri di cermin. Hari beratnya kembali datang. Hari ini ia akan bekerja di restoran terlebih dahulu.“Apakah aku harus mencari pekerjaan lain lagi?” tuturnya pada dirinya di cermin.Nampaknya penghasilan Raina yang sekarang sama sekali tidak bisa mencukupi kehidupannya. Apalagi menampung hutang ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja, Raina sibuk melayani pelanggan. Ia berjalan ke sana-kemari, sampai kakinya mulai muncul kapalan. Raina tak pernah mengeluhkan itu, sebab itu adalah hal ya
Langit jingga telah menyebar. Pemandangan kota yang padat penuh orang-orang berhamburan. Kendaraan-kendaraan berseliweran. Pada pinggir jalan, tepatnya trotoar, seorang wanita muda melenggang dengan kebisuan. Tangan kirinya menjinjing tas kecil warna coklat tua. Tangan kanannya yang bebas membenarkan anak rambutnya yang tergerai menutupi matanya. Suasana sore ini memang agak berangin.Cukup lama ia berjalan, langkah kakinya berhenti pada sebuah bangunan yang terbilang klasik. Suasananya yang kebarat-baratan terasa memberi angin segar. Bangunan itu bertengger di pinggir jalan dan mengarah ke jalanan besar di depannya. Tertera lampu besar di atasnya dengan tulisan Gusto Armonia Caffe. Benar, itulah nama bangunan klasik tersebut. Tempatnya berjejer dengan bangunan lain di sampingnya, tetapi pesonanya itu dapat dilihat siapa saja yang melihatnya. Rasanya seperti di luar negeri, jika kita tidak ingat di mana ini—Indonesia.Wanita itu menghirup udara dan menge
Raina tampak sedang berpikir keras. Ia terduduk di lantai. Kamarnya remang, hanya diterangi lampu dari mejanya. Wajahnya diusap kasar. Ia merasa lelah, sekaligus frustrasi dengan kehidupannya.Sinar matahari menelusup ke balik jendelanya. Ayam pun sudah berkokok. Raina terbangun dengan tubuh yang pegal. Semalam ia tertidur di lantai kamarnya dengan posisi terduduk.Ia segera bangkit, dan berjalan ke kamar mandi. Ia menghela napasnya berat, sembali mematut diri di cermin. Hari beratnya kembali datang. Hari ini ia akan bekerja di restoran terlebih dahulu.“Apakah aku harus mencari pekerjaan lain lagi?” tuturnya pada dirinya di cermin.Nampaknya penghasilan Raina yang sekarang sama sekali tidak bisa mencukupi kehidupannya. Apalagi menampung hutang ayahnya.Seperti biasa, di tempat kerja, Raina sibuk melayani pelanggan. Ia berjalan ke sana-kemari, sampai kakinya mulai muncul kapalan. Raina tak pernah mengeluhkan itu, sebab itu adalah hal ya
Pengantin wanita dengan gaun putihnya berjalan dengan anggun bersama sang ayah. Senyumnya berseri-seri menandakan hari bahagianya akan berjalan bersama orang terkasihnya yang telah menunggu di altar. Para tamu undangan bertepuk tangan dan turut berbahagia atas menyatunya dua insan di halaman terbuka gedung pencakar langit itu.“Siapa yang akan nyusul selanjutnya, ya? Berani taruhan?” bisik Bimo pada kedua temannya.“Yang pasti bukan aku,” jawab Kafta lirih.“Nggak berharap lu juga yang bakal duluan,” timpal Bimo.Kafta hanya membalasnya dengan tepukan di pundak Bimo yang terasa seperti remasan. Sang empunya pundak langsung menghindar.“Sssttt, diem deh. Momen sakral ini,” lerai Tomi.Semua orang bertepuk tangan meriah saat pasangan itu berciuman mesra di akhir prosesi.“Nggak usah cemburu. Cewek lu kan banyak,” goda Tomi. Bimo yang mendengarnya hanya mendengus.“
Kafta sedang mengamati wanita yang sedang menjelajahi ruangannya itu.“Kamu ke sini tidak hanya ingin mengagumi ruanganku, bukan?”Wanita yang sedang melihat lukisan itu pun tersenyum, dan duduk di sofa. Ia puas dengan kualitas sofa yang tengah ia duduki.“Aku hanya ingin mengunjungimu,” jawab wanita tersebut.Kafta memicingkan mata, menatap curiga wanita di depannya itu. Pria itu sudah tahu tabiat wanita itu, sehingga ia tak mudah percaya.“Kenapa kamu menatapku begitu, hum?”“Tak biasanya kamu melakukan hal seperti tadi di lift. Ingat ya, jangan melakukan hal seperti itu lagi,” peringat Kafta sewot.Wanita itu tertawa. “Aku tak habis pikir denganmu. Bagaimana bisa kamu menarik semua wanita yang ada di sekitarmu. Dasar playboy.”“No, no, no. Kamu salah. Aku bukan playboy. Aku ini hanya suka bersikap ramah terhadap wanita, asal kamu tahu saja,” ucapnya samb
Malam semakin larut. Namun Raina masih saja sibuk melayani pelanggan di bar itu. Tangannya cekatan melayani pesanan pembeli, mengantarkan minuman yang dapat menghangatkan serta memabukkan. Bisa dibilang, Raina cukup profesional.Waktu telah menunjukkan pukul 2 dini hari. Suasana di dalam bar mulai sepi. Hanya tersisa dua orang pelanggan yang sangat mabuk, dan tak ingin pergi. Beberapa pelayan pria memapahnya untuk bangun, dan menghubungi nomor seseorang yang bisa mengantar mereka.Raina berjalan menuju ruang ganti. Mimik wajahnya perlahan menjadi tak berekspresi. Bahkan saat mengambil pakaian di lokernya, tatapannya terasa kosong. Entah apa yang sedang dipikirkan gadis itu.“Uh dasar! Minum nggak inget waktu. Digerebek baru tahu rasa dia,” keluh Intan sambil berjalan ke loker.Intan terus mengeluhkan pelanggan yang tidak juga mau pergi, padahal bar sudah tutup. Namun Raina hanya terdiam dengan tatapan kosong. Bahkan tak menggubris Intan.
Kini Raina sedang duduk di hadapan pria kurang ajar sekaligus menyebalkan bernama Kafta. Mata lentik Raina terus memperhatikan gerak-geriknya.“Apakah Nona begitu menyukaiku sampai terus memandangiku?”Raina membuang muka, dan mendengus sebal. Kafta yang melihatnya semakin tertarik untuk menggoda wanita di depannya itu.“Cepat katakan apa yang Anda inginkan. Saya tidak ada waktu untuk bermain-main dengan Anda!” ucap Raina ketus.“Tenang, Nona. Aku hanya ingin berkenalan denganmu,” jawab Kafka dengan santai.“Saya rasa tidak ada alasan untuk memperkenalkan diri saya kepada orang seperti Anda,” terang Raina.“Oh ya? Memangnya saya orang seperti apa di matamu, Nona?” tantang Kafta.Raina memajukan wajahnya. Ia menatap mata cokelat Kafta dengan senyum sinis.“Anda adalah bajingan yang suka mempermainkan wanita. Jangan harap Anda bisa mempermainkan saya juga.” R
Menyebalkan.Kata itu yang diucapkan dalam hati Raina. Bahkan di toilet saja ia bertemu dengan pria kurang ajar itu.“Ma… maaf, Tuan. Saya tidak tahu apa maksud perkataan Anda,” lirih Raina.Raina yang berpura-pura tak tahu itu pun membuat pria itu semakin gencar menggodanya. Kedua tangannya menyangga pinggiran wastafel, dan mengurung Raina agar wanita itu tidak bisa ke mana-mana.“Jadi, bisakah Nona menjelaskan apa yang tadi kamu gumamkan? Tenang saja, aku tak akan memberi tahu siapapun,” bisik pria itu tepat di telinga Raina.Raina yang ketakutan tak berani menatap mata pria itu dari kaca. Ia langsung menunduk. Sang pria memunculkan seringaiannya.“Apakah Nona tidak bisa menjawabku? Ah, atau mungkin kamu sengaja ingin berlama-lama di sini bersamaku?” goda pria itu.Raina langsung berbalik. Ia ingin menyanggah ucapan pria itu. Namun kata itu tak terucapkan, dan malah berganti dengan ra
Langit jingga telah menyebar. Pemandangan kota yang padat penuh orang-orang berhamburan. Kendaraan-kendaraan berseliweran. Pada pinggir jalan, tepatnya trotoar, seorang wanita muda melenggang dengan kebisuan. Tangan kirinya menjinjing tas kecil warna coklat tua. Tangan kanannya yang bebas membenarkan anak rambutnya yang tergerai menutupi matanya. Suasana sore ini memang agak berangin.Cukup lama ia berjalan, langkah kakinya berhenti pada sebuah bangunan yang terbilang klasik. Suasananya yang kebarat-baratan terasa memberi angin segar. Bangunan itu bertengger di pinggir jalan dan mengarah ke jalanan besar di depannya. Tertera lampu besar di atasnya dengan tulisan Gusto Armonia Caffe. Benar, itulah nama bangunan klasik tersebut. Tempatnya berjejer dengan bangunan lain di sampingnya, tetapi pesonanya itu dapat dilihat siapa saja yang melihatnya. Rasanya seperti di luar negeri, jika kita tidak ingat di mana ini—Indonesia.Wanita itu menghirup udara dan menge