Dua minggu ini terasa sangat lama bagi Caid. Ia sibuk dengan para pengacau di monarki, untungnya menjadikan Lorenzo sebagai Sultan adalah hal yang mudah.Mereka juga mendapatkan daerah yang bebas dari pemerintahan, daerah yang dijadikan gudang senjata dan obat-obatan terlarangMarkas kelompok Oletros. "Kalian sudah bekerja keras dua minggu ini, pergilah ke manapun kalian suka" Ucap Caid pada keempat temannya. "Syukurlah, aku sudah merindukan Jenice" Ucap Lucius dengan senyuman tipisnya yang nampak seperti orang bodohLucius memang menyusul mereka saat kudeta mulai dilakukan, tentu saja setelah membuat keributan karena sang ayah mengetahui hubungannya dengan saudara angkatnya sendiri, sang ballerina terkenal. "Kukira kalian putus" Seloroh DaynLucius mendengus, memutar bola matanya malas "sampai matipun tak akan kubiarkan dia lepas""Ckk para orang gila ini""Sepertinya kau ketularan Caid" Tambah Dylan"Tentu saja tidak, aku masih jauh lebi
Magic Lounge, ChicagoSuasana malam itu memanas seiring dentuman musik yang memenuhi ruangan. Lampu-lampu redup yang berpendar warna ungu dan merah, menciptakan aura yang memikat di sekitar panggung. Sosok Angelic muncul dengan langkah percaya diri, mengenakan mini dress merah yang pas membalut tubuhnya, membuat setiap pasang mata tak bisa berpaling darinya. Rambut pirang sebahu tergerai dengan sempurna, menambah kesan menggoda yang melekat pada penampilannya. Riasan wajahnya tegas dan memikat, menonjolkan mata yang tajam dan bibir merah yang menggoda.Lova mulai bergerak seiring alunan musik, melangkah ringan namun penuh energi. Ia menari dengan gerakan yang sensual dan terlatih, memperlihatkan setiap lekuk tubuhnya dengan penuh percaya diri. Setiap gerakannya terukur, menghipnotis penonton yang kini terpaku, seolah terseret dalam pesona yang ia bawa. Saat ia memutar tubuhnya dengan lincah dan mendekati tiang yang menjadi pusat panggung, suara sorak-sorai dari pen
"Apa yang kau lamunkan?"Lova tersentak dari lamunannya saat suara Rick terdengar disebelah telinganya “Tidak ada" Jawabnya sambil tersenyum kecilLova mengedarkan pandangannya cepat, sejenak memastikan keadaan sekitar. “Di mana Mr Broker?" tanyanya, nadanya dibuat senetral mungkin.Rick terkekeh kecil, seolah pertanyaan itu tidak mengejutkannya. "Aleandro? Dia sudah pergi" jawabnya santai. "Sepertinya urusannya di sini sudah selesai, dan dia tidak suka berlama-lama."Lova menyembunyikan rasa kecewanya, berusaha tidak menunjukkan bahwa keberadaan Aleandro sebenarnya cukup penting baginya. Ia ingin tahu alasan Aleandro bekerja sama dengan Rick, terutama jika menyangkut senjata dan bisnis kotor seperti yang ia duga."Kau kecewa dia pergi?" Rick bertanya, suaranya penuh sindiran, seolah-olah sudah bisa membaca pikiran Lova.“Kenapa harus kecewa? Bukankah aku sudah menemukan yang lebih menarik di sini?” balas Lova, mengarahkan pandangan menggoda padanya.
Sebuah ide gila terlintas dibenak Caid, begitu yakin Lova sudah benar-benar menghilang dari Club. Pria itu turun dari mobilnya dan masuk ke dalam klub malam, langsung menuju bartender yang menyapa dengan ramah"Minuman jenis apa yang anda butuhkan tuan?" Bartender itu jelas tau siapa pria didepannya ini.“apapun, tambahkan afrodisiak didalamnya" katanya, tanpa basa-basi, menyodorkan senyuman miring yang penuh arti. Bartender mengangkat alis, terkejut tapi akhirnya mengangguk dan meracik minuman itu dengan cepat. Caid ingin memastikan pikirannya semakin kabur, lebih dalam lagi ke dalam ketidakwarasan yang ia pilih malam ini."Ini dia Tuan" Bartender itu memberikan sebuah gelas berisi cairan dengan aroma pekat. Matanya mengkode seorang pelacur disana untuk mendekat pada merekaSaat pelacur itu mendekat, ia menatap Caid dengan senyum penuh rayuan, seolah sudah terbiasa menghadapi pria yang mabuk dan tersesat dalam pikirannya sendiri. Pelacur itu menyentuh lengan
Sejak menjadi agen, Lova adalah orang yang paling konsisten dan berkomitmen tinggi. Dia memiliki prinsip Lova selalu menempatkan misinya di atas segalanya, menjaga jarak dari hal-hal yang dapat merusak fokus dan ketenarannya sebagai agen yang paling tangguh dan berdedikasi. Tapi Caid… pria itu, dengan segala pesona dan ketidakpastian yang ia bawa, selalu berhasil menembus lapisan tebal perlindungan yang Lova bangun. Saat ini, Lova berdiri di hadapannya, merasa lemah di bawah tatapan tajam Caid yang tidak biasa. "Kau seharusnya tidak di sini" bisik Lova, mencoba untuk mempertahankan nada tegas, namun suaranya justru terdengar rapuh. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Caid adalah risiko yang tidak bisa ia hindari. Setiap kali ia berusaha menjauh, sesuatu dalam dirinya justru menariknya kembali. Ketika Caid akhirnya menarik diri sedikit, napasnya memburu, dan tatapan matanya semakin gelap, penuh keinginan yang liar dan tidak terkendali. “Tidak untuk saat ini, Love” bisiknya dengan suara s
“Kau suka tato ini?” Caid bertanya dengan serak, fokusnya kini tertuju pada wajah LovaLova mengalihkan pandangannya, merasa canggung namun juga tak mampu menyembunyikan rasa penasaran yang membara. Ia mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih tersimpan banyak pertanyaan. "Kenapa... kenapa wajahku?" tanyanya lirih.Caid tersenyum tipis, matanya penuh intensitas yang memabukkan. "Karena kau satu-satunya yang memenuhi pikiranku, Love. Aku ingin kau selalu dekat, bahkan saat kau tak di sini."Lova merasakan wajahnya memanas. Caid bukan hanya pria yang obsesif, tetapi juga penuh dengan ketulusan yang tak biasa. Di satu sisi, ia merasa tergoda untuk melangkah lebih jauh, tetapi di sisi lain, ketakutan itu masih ada, ketakutan bahwa ini adalah jalan yang sulit dan penuh risiko."Bagaimana kalau orang lain melihatnya?" Lova bertanya, nada suaranya agak tegang.Caid tertawa pelan, memegang dagu Lova dan menatapnya dalam-dalam. "Tak ada yang akan melihatnya, Love. Hanya
Lova memainkan jarinya di dada bidang Caid, jari-jarinya menari perlahan di permukaan kulitnya yang hangat dan berdenyut. Sentuhan itu lembut, hampir seperti sentuhan yang penuh rasa sayang, seolah ingin mengabadikan momen ini. Mereka terbaring berdua di atas ranjang, dengan napas yang perlahan mulai tenang, namun sisa-sisa keintiman masih memenuhi udara di antara mereka.Caid menatap Lova dengan intens, matanya memancarkan kehangatan yang jarang ia tunjukkan. "Aku harap kau sudah sadar.." gumamnya dengan suara rendah, "aku tidak akan pernah melepaskanmu apapun yang terjadi, Love."Lova hanya tersenyum samar, tapi ada keraguan yang masih tersimpan dalam benaknya. Namun, dalam pelukan Caid yang erat, ia merasa aman dan nyaman, perasaan yang jarang ia dapatkan dalam hidupnya yang penuh dengan kerumitan."Sudah kubilang, kau gila" jawabnya dengan suara serak yang diwarnai tawa kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai menguat di dalam dirinyaTangan Caid me
"Kau sungguh tak akan kembali ke Boston?" Tanya Caid Lova mengangguk sambil melepaskan handuk yang melilit rambutnya, membiarkan helai-helai basahnya terurai. "Tidak untuk sekarang" Jawab Lova. Ia meraih hairdryer di meja, siap untuk mengeringkan rambutnya sendiri, namun Caid dengan sigap mengambilnya dari tangannya."Biar aku yang melakukannya" ucap Caid dengan nada lembutLova menatapnya dengan sedikit kaget. "Kau… ingin mengeringkan rambutku?" tanyanya, sedikit ragu, namun tak mampu menyembunyikan rasa hangat di dadanya.Caid hanya tersenyum kecil, menyalakan hairdryer dan mulai mengarahkan aliran hangat ke rambut Lova. Jemarinya dengan lembut menyusuri helai-helai rambut, seolah tak ingin melewatkan satu bagian pun. Perlahan, gerakannya yang penuh perhatian membuat Lova merasa nyaman, lebih dari yang ia bayangkan.Setiap sentuhan Caid terasa intim, dan Lova bisa merasakan setiap detik berlalu dengan tenang. Sesekali, tatapan mereka bertemu di cermin, da