Lova memainkan jarinya di dada bidang Caid, jari-jarinya menari perlahan di permukaan kulitnya yang hangat dan berdenyut. Sentuhan itu lembut, hampir seperti sentuhan yang penuh rasa sayang, seolah ingin mengabadikan momen ini.
Mereka terbaring berdua di atas ranjang, dengan napas yang perlahan mulai tenang, namun sisa-sisa keintiman masih memenuhi udara di antara mereka.Caid menatap Lova dengan intens, matanya memancarkan kehangatan yang jarang ia tunjukkan. "Aku harap kau sudah sadar.." gumamnya dengan suara rendah, "aku tidak akan pernah melepaskanmu apapun yang terjadi, Love."Lova hanya tersenyum samar, tapi ada keraguan yang masih tersimpan dalam benaknya. Namun, dalam pelukan Caid yang erat, ia merasa aman dan nyaman, perasaan yang jarang ia dapatkan dalam hidupnya yang penuh dengan kerumitan."Sudah kubilang, kau gila" jawabnya dengan suara serak yang diwarnai tawa kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang mulai menguat di dalam dirinyaTangan Caid me"Kau sungguh tak akan kembali ke Boston?" Tanya Caid Lova mengangguk sambil melepaskan handuk yang melilit rambutnya, membiarkan helai-helai basahnya terurai. "Tidak untuk sekarang" Jawab Lova. Ia meraih hairdryer di meja, siap untuk mengeringkan rambutnya sendiri, namun Caid dengan sigap mengambilnya dari tangannya."Biar aku yang melakukannya" ucap Caid dengan nada lembutLova menatapnya dengan sedikit kaget. "Kau… ingin mengeringkan rambutku?" tanyanya, sedikit ragu, namun tak mampu menyembunyikan rasa hangat di dadanya.Caid hanya tersenyum kecil, menyalakan hairdryer dan mulai mengarahkan aliran hangat ke rambut Lova. Jemarinya dengan lembut menyusuri helai-helai rambut, seolah tak ingin melewatkan satu bagian pun. Perlahan, gerakannya yang penuh perhatian membuat Lova merasa nyaman, lebih dari yang ia bayangkan.Setiap sentuhan Caid terasa intim, dan Lova bisa merasakan setiap detik berlalu dengan tenang. Sesekali, tatapan mereka bertemu di cermin, da
Lova membuka matanya perlahan, merasa deja vu dengan perasaan tak asing ini. Lova mengedarkan pandangan, menyadari dirinya berada di kursi pesawat dengan sabuk pengaman terpasang rapi. Ia menoleh ke samping dan melihat Caid duduk di sebelahnya dengan ekspresi santai, seperti tidak terjadi apa-apa.Lova memang mengatakan pada Caid jika dia belum ingin kembali ke Boston, dia juga bilang jika ingin memperpanjang cuti, namun bukan berarti Caid bisa membawanya seenak pria itu ke dalam pesawat yang entah kemana tujuannya"Caid" ujarnya dengan suara dingin "Aku tidak bilang kau bisa membawaku begitu saja dengan pesawat ini."Caid menoleh padanya dengan senyum tipis yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. "Kau terlalu nyenyak tidur, Love."Lova mendengus, berusaha menenangkan dirinya. "Aku bilang aku ingin memperpanjang cuti, bukan berarti aku ingin diculik ke tempat yang entah di mana, Caid."Caid tertawa kecil "Bukankah menyenangkan? Cuti dengan sedikit ke
Setelah perjalanan yang cukup lama, pesawat akhirnya mendarat di Bandara Charles de Gaulle, Paris. “Selamat datang di Paris, Love” ucap Caid sambil menggenggam tangan Lova. Mengiring wanitanya untuk turun dari pesawat"Kau benar-benar membawaku ke Paris?” tanyanya, meski sebenarnya sudah mulai menyadari tujuan mereka sejak beberapa waktu lalu.Caid mengangguk, tersenyum penuh percaya diri. “Tentu saja. Bukankah ini tempat bulan madu terbaik?”"Bulan madu?" Ulang Lova skeptisCaid terkekeh melihat reaksi skeptis Lova. “Iya, kau dengar dengan benar, bulan madu" jawabnya santai, seraya berjalan bersamanya melewati gerbang kedatangan. "Kau dan aku?" Caid mendengus, rasanya dia pernah mendengar Lova mengucapkan itu sebelumnya "Kita, Love. Kau dan aku sudah menjadi kita"Lova menghela napas panjang, setengah malas tapi juga tak bisa menyembunyikan sedikit senyuman di bibirnya. “Kita, ya?” gumamnya, berpura-pura meragukan kata-katanya, meskipun di hatinya
Lova kira menjadi agen CIA adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidupnya, namun ternyata perasaan hangat saat bersama Caid melebihi semua itu. Selama ini, ia berpikir bahwa kebebasan dan petualangan dalam pekerjaannya adalah puncak dari kehidupan yang ia inginkan. Ia terbiasa menghadapi bahaya, menyelesaikan misi-misi berisiko tinggi, dan merasa puas dengan hidup yang penuh adrenalin. Namun, semua itu tidak pernah benar-benar mengisi kekosongan di hatinya.Sejak bersama Caid, pandangannya mulai berubah. Di setiap momen kebersamaan mereka, ia menemukan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kedamaian, perlindungan, dan cinta yang tulus. Caid memberikannya kenyamanan yang tak pernah ia sadari selama ini ia butuhkan. Ketika ia berada di sisinya, dunia yang penuh ketegangan dan bahaya terasa menjauh, digantikan oleh kehangatan yang menenangkan.Caid melakukan segalanya untuk LovaCaid menoleh padanya, sebelah tangannya mengusap punggung tangannya lembut
"Aku tidak pernah menyangka bisa ke sini... denganmu.” Suara Lova terdengar pelan, hampir seperti gumaman yang hanya untuk dirinya sendiri.Caid melirik ke arah Lova, matanya bersinar lembut melihat ekspresi terkejut dan takjub di wajah wanita itu. Mereka menatap menara Eiffel dari dalam kamar hotel, ditemani dua gelas wine mahal.Caid mengangkat gelasnya, menatap Lova dengan senyum yang sedikit lebih lembut dari biasanya. "Kau suka pemandangannya?"Lova mengangguk pelan, matanya masih terpaku pada kerlap-kerlip kota di bawah mereka. "Aku memang selalu ingin ke sini... tapi tidak pernah terpikirkan kalau akan ada momen seperti ini." Lova menjeda sejenak untuk sekedar menatap Caid "Terasa sangat fancy" Sambungnya"Fancy? Kupikir ini hal yang biasa untuk seorang Angelic?" Goda CaidLova tertawa kecil, tetapi nadanya sedikit getir. "Apa kau akan bosan denganku?""Maksud pertanyaanmu?""Yah hanya berpikir, kadang pria kaya cenderung tidak puas hanya memiliki
"Sudah kubilang untuk berhenti berhubungan dengannya, Caid Walton" Caid memandangi pemandangan kota dari balkon dengan sorot mata yang tenang namun penuh pemikiran. Asap rokok yang perlahan memudar di udara seakan mencerminkan pikirannya yang tak kunjung berhenti berputar. Tubuhnya yang terbuka diterpa angin malam, membuat bayangan otot-ototnya semakin terlihat di bawah cahaya lampu redup dari kamar hotel "Aku tidak bisa, dad" "Dengar Caid, kau bisa berhubungan dengan siapapun tapi tidak dengan agen CIA" Tekan Calton yang justru membuat Caid terkekeh "Kenapa dad begitu tidak sukanya dengan mereka?" Caid memutar tubuhnya sedikit, memandangi ponselnya yang masih tersambung dalam panggilan dengan ayahnya. Kekehannya penuh dengan sindiran, sementara pikirannya mulai dipenuhi oleh alasan di balik ketidaksukaan ayahnya terhadap CIA. Selama ini, Caid tahu bahwa ayahnya selalu menghindari segala hal yang berhubungan dengan organisasi tersebut. Namun, dia tidak pernah mendapatkan a
"Aku bisa mandi sendiri" protes Lova. Mereka baru saja selesai dengan kegiatan panas mereka dan Caid tetap kekeh ingin memandikannya “Apa kau mendengarku Caid Walton?!” "Sst, biarkan aku memandikanmu, Love" ucap Caid lembut mengambil sabun dan mulai mengusapnya ke kulit Lova. Gerakan tangannya lembut dan penuh perhatian, membuat Lova merasa rileks meskipun awalnya merasa terganggu dengan kehadiran pria itu Masalahnya mereka hanya mandi, sekedar mandi tanpa melakukan kegiatan intim apapun dan Lova merasa canggung dibuatnya "Angkat tanganmu, Love" "CAID.." Lova berusaha protes lagi, tetapi suaranya melemah saat merasakan sentuhan lembut Caid yang menyatukan kedua tangannya dan mengangkatnya ke atas hingga satu tangan Caid kini bergerak menyabuni ketiaknya Caid hanya tersenyum kecil melihat Lova yang jelas-jelas berusaha menahan rasa canggung. Wajah wanitanya itu nampak memerah, namun hal itu justru membuat Caid kesulitan. Caid tidak bisa melihat Lova yang seperti ini Terlal
"Mereka berada di hotel Shangri-La Parise, suite room, Tuan"Calton mengangguk, matanya menyipit mendengar laporan itu. Ia duduk dengan tenang di kursi kulit besar di ruang kerjanya, tapi pikirannya berkecamuk. "2 hari ini Tuan Muda tidak keluar dari kamar sekalipun. Apa kami harus terus mengawasinya?" "Tidak perlu, putraku itu akan jadi makin liar tiap harinya" Katanya dengan suara dingin dan tegas.Calton memandang jauh ke luar jendela besar ruang kerjanya, memikirkan putranya, Caid. Dalam benaknya, muncul kilasan kenangan lama tentang anak lelaki itu, saat masih kecil dan selalu menurut padanya. Namun, kini Caid telah berubah menjadi seseorang yang terlalu liar, terlalu ambisius, bahkan berani mengambil risiko yang melampaui batas kewajaran.Calton menghela napas panjang, tangannya mengepal di atas meja kerjanya. Mungkin, dalam hati kecilnya, ia menyadari bahwa cara keras yang ia terapkan sejak awal telah membentuk Caid menjadi sosok yang sulit dikendalikan,