"Mereka berada di hotel Shangri-La Parise, suite room, Tuan"
Calton mengangguk, matanya menyipit mendengar laporan itu. Ia duduk dengan tenang di kursi kulit besar di ruang kerjanya, tapi pikirannya berkecamuk."2 hari ini Tuan Muda tidak keluar dari kamar sekalipun. Apa kami harus terus mengawasinya?""Tidak perlu, putraku itu akan jadi makin liar tiap harinya" Katanya dengan suara dingin dan tegas.Calton memandang jauh ke luar jendela besar ruang kerjanya, memikirkan putranya, Caid. Dalam benaknya, muncul kilasan kenangan lama tentang anak lelaki itu, saat masih kecil dan selalu menurut padanya. Namun, kini Caid telah berubah menjadi seseorang yang terlalu liar, terlalu ambisius, bahkan berani mengambil risiko yang melampaui batas kewajaran.Calton menghela napas panjang, tangannya mengepal di atas meja kerjanya. Mungkin, dalam hati kecilnya, ia menyadari bahwa cara keras yang ia terapkan sejak awal telah membentuk Caid menjadi sosok yang sulit dikendalikan,Setelah makan malam romantis yang agak dramatis, Caid membawa Lova keluar dari restoran dan menuju mobil yang diparkir di depan hotel. Caid mengambil alih kemudi, dan Lova duduk di sebelahnya"Mau ke mana?" tanya LovaCaid hanya tersenyum penuh misteri, tidak memberikan jawaban. Ia melajukan mobilnya dengan tenang melewati lampu-lampu kota yang berkilauan, membuat Lova bertanya-tanya. Awalnya, ia pikir Caid akan membawanya ke pusat perbelanjaan atau mungkin ke tempat romantis lainnya, tapi arah yang mereka ambil justru membuatnya semakin curiga.Mereka menjauh dari pusat kota"Hei, kau tak berpikir untuk meninggalkan ku di pinggiran kota kan?" Tanya Lova apatisCaid terkekeh mendengar nada apatis Lova. Ia meliriknya dengan ekspresi penuh godaan. "Ayolah, Kau pikir aku akan melakukan hal seperti itu padamu, Love?" tanyanya balik, dengan senyum menyebalkan di wajahnya.Lova mendengus kecil, melipat tangan di dada sambil memandang keluar jendela. "Kau selalu pun
Selama perjalanan kembali dari klub malam itu, Lova hanya diam sambil menatap kearah kaca mobil di sampingnya, mulutnya terasa kering, matanya terfokus pada kilatan lampu jalan yang melintas cepat. Selama 22 tahun hidupnya, baru kali ini Lova merasa tak yakin dengan pilihannya. Semua yang dia lihat dan alami tadi begitu jauh dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Dunia yang selama ini dia tahu, tiba-tiba terbelah menjadi dua, dan dia terjebak di tengahnya.Caid tetap menyetir dengan tenang, tidak ada yang berubah dari ekspresinya. Lova bisa merasakan aura yang kuat darinya, tetapi di balik ketenangan itu, dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sangat gelap yang mungkin tidak akan pernah bisa dia pahami sepenuhnya.Mereka memang saling mencintai tetapi Lova merasa terperangkap dalam dunia yang sangat berbeda dari yang dijalaninya saat ini"Kenapa kau bawa aku ke sana?" tanya Lova akhirnya, suaranya rendah, hampir terdengar seperti gumaman. Suasana di da
Lova kembali ke Boston setelah melakukan perjalanan panjang. Ia tiba di apartemennya dengan langkah yang lelah, mencoba menenangkan pikirannya. Kuliah dan kehidupan di kampus kembali menyambutnya dengan rutinitas yang biasa, namun ada rasa canggung yang tak bisa dihindari. Meskipun Caid telah mengungkapkan obsesi dan perasaannya yang mendalam padanya, hubungan mereka tetap berjalan dengan baik. Caid tidak mengganggu kesehariannya, tapi pria itu selalu menempel padanya. Caid seperti mengawasinya, memastikan jika Lova selalu dalam pantauannya. Lova sadar itu sejak perjalanan terakhir mereka dari Paris, sejak Caid mengenalkan Lova pada dunia Caid yang sesungguhnya Mereka tidak ada masalah namun entah mengapa terasa layaknya pasangan yang bertengkar Mau dibilang romantis, namun ada garis tipis yang membuat hubungan keduanya berbeda dari sebelumnya Entahlah, Lova bingung harus menjelaskan seperti apa Caid mengajaknya menikah ta
Lova sudah mengira jika dia akan kembali bertemu dengan ayah Caid, Calton. Namun dia tidak menduga jika pertemuan ini terjadi dengan cepat.Calton datang ke kampusnya, layaknya melakukan kunjungan biasa, ditemani oleh beberapa bodyguard yang berjaga disisi kanan dan kirinyaLova menatap Calton dengan tenang, matanya tajam dan penuh perhitungan. Dia duduk tepat di depan pria itu, tidak menunjukkan sedikit pun kegugupan meskipun dia tahu betul siapa yang sedang dia hadapi.Ruangan itu sunyi sejenak, hanya suara detakan jam yang terdengar memecah keheningan. Calton memandang Lova dengan ekspresi datar, namun ada aura yang sulit dijelaskan di antara mereka, sebuah ketegangan yang tak terlihat, namun jelas terasa.“Tidak ingin menjelaskan sesuatu, Nona Luvena?” Calton akhirnya buka suaraLova menarik napas pelan, matanya tetap tajam menatap pria yang sudah lama tidak ia temui ini. Semua perasaan campur aduk di dalam dirinya, namun ia t
“Berapa lama kalian sudah berhubungan?” tanya Calton, suara nya terdengar lebih lembut, seolah-olah dia benar-benar ingin mendengar jawabannya tanpa ada niat tersembunyi.Secara natural, obrolan mereka berjalan lebih tenang dari sebelumnya. Kini, Lova merasa seperti berbicara dengan ayahnya sendiri—bukan sebagai pria yang penuh pengaruh dan kekuasaan, tetapi lebih seperti seorang ayah yang hanya ingin memahami hidup anaknya.Lova menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya. Dia sadar bahwa ini bukan lagi percakapan yang sekadar tentang Caid atau tentang dirinyaCalton hanya ingin mendengar kisah Lova dengan Caid, putranya. Setelah Lova ingat-ingat, dulu, Ophelia juga menanyakan hal yang sama“sekitar 4 bulan” Jawab Lova. Dia tidak terlalu ingat berapa lama mereka bersama tapi setau Lova ini sudah lewat sebulan dari kontrak 3 bulan yang mereka sepakati diawal“Empat bulan” ulang Calton perlahan, seolah mencoba mencerna jawaban itu. “Jadi,
"Kau mau kemana?" Caid menanyakan itu saat dia terbangun karena beberapa gerakan yang Lova lakukan. Pria itu memang terbiasa untuk waspada, bahkan saat dia masih setengah terjaga.Lova yang sudah mengenakan mantelnya, menoleh dengan alis sedikit terangkat, namun bibirnya membentuk senyum tipis yang sarkastik. "Tidak kemana-mana, hanya merasa udara di sini terlalu panas."Caid menghela napas, pandangannya tetap terarah pada Lova, memperhatikan setiap detail ekspresi Lova. "Aku rasa kau tahu kalau alasan itu tak akan membuatku berhenti menahanmu di sini, Love"Lova hanya mendengus kecil "Virginia" Jawab Lova sambil mengalihkan pandangannya dari Caid yang masih terbaring diranjangnyaCaid menatap Lova dengan kerutan di dahinya, jelas tak puas dengan jawabannya yang singkat. "Tiba-tiba? Kau tak pernah bilang ada rencana ke Virginia."Lova menghela napas, berusaha menahan nada kesal yang nyaris keluar. "Meredith memanggilku. Dia butuh bantuanku di sana"
“Kukira kau sangat terburu-buru ingin ke Virginia” Ucap Caid seraya menghela napasSelama 26 tahun hidupnya, ini adalah kali pertama Caid menaiki kereta. Gerbong yang berguncang ringan, deru roda yang berulang, serta pemandangan yang melesat cepat di balik jendela membuatnya sedikit terganggu, meski ia berusaha tampil biasa di depan Lova.Lova, yang duduk di sebelahnya, terlihat lebih santai. Dia menatap ke luar jendela dengan ekspresi tenang, sesekali memandang ke arah Caid dengan senyum kecil yang menyiratkan ejekan ringan. Meskipun begitu, Caid tidak terlalu memperhatikannya, sibuk menyesuaikan diri dengan sensasi baru ini.“Siapa bilang aku buru-buru?” Lova bertanya balikCaid mengamati Lova dengan alis terangkat, rasa penasaran muncul di balik tatapan tajamnya. “Aku masih tidak mengerti” gumamnya sambil melirik sekeliling gerbong kereta yang penuh penumpang biasa. “Kau tampak seperti dikejar waktu, tapi&helli
Newark penn station, USEmpat jam di dalam kereta tanpa melakukan apa-apa, akhirnya mereka berhenti di stasiun persinggahan. Lova menarik napas panjang, entah kenapa tubuhnya merasa begitu lelah padahal Lova yakin jika perjalanan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan misi-misi yang sudah dilaluinya.Lova menatap penumpang di gerbongnya. Semua penumpang tampak enggan bergerak, seakan menikmati beberapa menit ketenangan sebelum melanjutkan perjalanan mereka.Caid, yang sedari tadi duduk di sampingnya dengan sikap tenang sambil memainkan handphone, kini mulai bergerak. Ia mengeluarkan tas punggungnya dari bawah kursi dan berdiri perlahan, menatap Lova dengan mata yang penuh arti. "Kita turun sebentar" katanyaLova mengangkat bahu, tidak merasa terlalu tertarik untuk menjawab. Namun, dia tahu bahwa di hadapan Caid, kadang-kadang lebih baik mengikuti saja daripada bertanya terlalu banyak.Mereka berjalan menyusuri lorong kereta yang sempit, menuju pintu
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t