Setelah makan malam romantis yang agak dramatis, Caid membawa Lova keluar dari restoran dan menuju mobil yang diparkir di depan hotel. Caid mengambil alih kemudi, dan Lova duduk di sebelahnya
"Mau ke mana?" tanya LovaCaid hanya tersenyum penuh misteri, tidak memberikan jawaban. Ia melajukan mobilnya dengan tenang melewati lampu-lampu kota yang berkilauan, membuat Lova bertanya-tanya. Awalnya, ia pikir Caid akan membawanya ke pusat perbelanjaan atau mungkin ke tempat romantis lainnya, tapi arah yang mereka ambil justru membuatnya semakin curiga.Mereka menjauh dari pusat kota"Hei, kau tak berpikir untuk meninggalkan ku di pinggiran kota kan?" Tanya Lova apatisCaid terkekeh mendengar nada apatis Lova. Ia meliriknya dengan ekspresi penuh godaan. "Ayolah, Kau pikir aku akan melakukan hal seperti itu padamu, Love?" tanyanya balik, dengan senyum menyebalkan di wajahnya.Lova mendengus kecil, melipat tangan di dada sambil memandang keluar jendela. "Kau selalu punSelama perjalanan kembali dari klub malam itu, Lova hanya diam sambil menatap kearah kaca mobil di sampingnya, mulutnya terasa kering, matanya terfokus pada kilatan lampu jalan yang melintas cepat. Selama 22 tahun hidupnya, baru kali ini Lova merasa tak yakin dengan pilihannya. Semua yang dia lihat dan alami tadi begitu jauh dari apa yang dia bayangkan sebelumnya. Dunia yang selama ini dia tahu, tiba-tiba terbelah menjadi dua, dan dia terjebak di tengahnya.Caid tetap menyetir dengan tenang, tidak ada yang berubah dari ekspresinya. Lova bisa merasakan aura yang kuat darinya, tetapi di balik ketenangan itu, dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang sangat gelap yang mungkin tidak akan pernah bisa dia pahami sepenuhnya.Mereka memang saling mencintai tetapi Lova merasa terperangkap dalam dunia yang sangat berbeda dari yang dijalaninya saat ini"Kenapa kau bawa aku ke sana?" tanya Lova akhirnya, suaranya rendah, hampir terdengar seperti gumaman. Suasana di da
Lova kembali ke Boston setelah melakukan perjalanan panjang. Ia tiba di apartemennya dengan langkah yang lelah, mencoba menenangkan pikirannya. Kuliah dan kehidupan di kampus kembali menyambutnya dengan rutinitas yang biasa, namun ada rasa canggung yang tak bisa dihindari. Meskipun Caid telah mengungkapkan obsesi dan perasaannya yang mendalam padanya, hubungan mereka tetap berjalan dengan baik. Caid tidak mengganggu kesehariannya, tapi pria itu selalu menempel padanya. Caid seperti mengawasinya, memastikan jika Lova selalu dalam pantauannya. Lova sadar itu sejak perjalanan terakhir mereka dari Paris, sejak Caid mengenalkan Lova pada dunia Caid yang sesungguhnya Mereka tidak ada masalah namun entah mengapa terasa layaknya pasangan yang bertengkar Mau dibilang romantis, namun ada garis tipis yang membuat hubungan keduanya berbeda dari sebelumnya Entahlah, Lova bingung harus menjelaskan seperti apa Caid mengajaknya menikah ta
Lova sudah mengira jika dia akan kembali bertemu dengan ayah Caid, Calton. Namun dia tidak menduga jika pertemuan ini terjadi dengan cepat.Calton datang ke kampusnya, layaknya melakukan kunjungan biasa, ditemani oleh beberapa bodyguard yang berjaga disisi kanan dan kirinyaLova menatap Calton dengan tenang, matanya tajam dan penuh perhitungan. Dia duduk tepat di depan pria itu, tidak menunjukkan sedikit pun kegugupan meskipun dia tahu betul siapa yang sedang dia hadapi.Ruangan itu sunyi sejenak, hanya suara detakan jam yang terdengar memecah keheningan. Calton memandang Lova dengan ekspresi datar, namun ada aura yang sulit dijelaskan di antara mereka, sebuah ketegangan yang tak terlihat, namun jelas terasa.“Tidak ingin menjelaskan sesuatu, Nona Luvena?” Calton akhirnya buka suaraLova menarik napas pelan, matanya tetap tajam menatap pria yang sudah lama tidak ia temui ini. Semua perasaan campur aduk di dalam dirinya, namun ia t
“Berapa lama kalian sudah berhubungan?” tanya Calton, suara nya terdengar lebih lembut, seolah-olah dia benar-benar ingin mendengar jawabannya tanpa ada niat tersembunyi.Secara natural, obrolan mereka berjalan lebih tenang dari sebelumnya. Kini, Lova merasa seperti berbicara dengan ayahnya sendiri—bukan sebagai pria yang penuh pengaruh dan kekuasaan, tetapi lebih seperti seorang ayah yang hanya ingin memahami hidup anaknya.Lova menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya. Dia sadar bahwa ini bukan lagi percakapan yang sekadar tentang Caid atau tentang dirinyaCalton hanya ingin mendengar kisah Lova dengan Caid, putranya. Setelah Lova ingat-ingat, dulu, Ophelia juga menanyakan hal yang sama“sekitar 4 bulan” Jawab Lova. Dia tidak terlalu ingat berapa lama mereka bersama tapi setau Lova ini sudah lewat sebulan dari kontrak 3 bulan yang mereka sepakati diawal“Empat bulan” ulang Calton perlahan, seolah mencoba mencerna jawaban itu. “Jadi,
"Kau mau kemana?" Caid menanyakan itu saat dia terbangun karena beberapa gerakan yang Lova lakukan. Pria itu memang terbiasa untuk waspada, bahkan saat dia masih setengah terjaga.Lova yang sudah mengenakan mantelnya, menoleh dengan alis sedikit terangkat, namun bibirnya membentuk senyum tipis yang sarkastik. "Tidak kemana-mana, hanya merasa udara di sini terlalu panas."Caid menghela napas, pandangannya tetap terarah pada Lova, memperhatikan setiap detail ekspresi Lova. "Aku rasa kau tahu kalau alasan itu tak akan membuatku berhenti menahanmu di sini, Love"Lova hanya mendengus kecil "Virginia" Jawab Lova sambil mengalihkan pandangannya dari Caid yang masih terbaring diranjangnyaCaid menatap Lova dengan kerutan di dahinya, jelas tak puas dengan jawabannya yang singkat. "Tiba-tiba? Kau tak pernah bilang ada rencana ke Virginia."Lova menghela napas, berusaha menahan nada kesal yang nyaris keluar. "Meredith memanggilku. Dia butuh bantuanku di sana"
“Kukira kau sangat terburu-buru ingin ke Virginia” Ucap Caid seraya menghela napasSelama 26 tahun hidupnya, ini adalah kali pertama Caid menaiki kereta. Gerbong yang berguncang ringan, deru roda yang berulang, serta pemandangan yang melesat cepat di balik jendela membuatnya sedikit terganggu, meski ia berusaha tampil biasa di depan Lova.Lova, yang duduk di sebelahnya, terlihat lebih santai. Dia menatap ke luar jendela dengan ekspresi tenang, sesekali memandang ke arah Caid dengan senyum kecil yang menyiratkan ejekan ringan. Meskipun begitu, Caid tidak terlalu memperhatikannya, sibuk menyesuaikan diri dengan sensasi baru ini.“Siapa bilang aku buru-buru?” Lova bertanya balikCaid mengamati Lova dengan alis terangkat, rasa penasaran muncul di balik tatapan tajamnya. “Aku masih tidak mengerti” gumamnya sambil melirik sekeliling gerbong kereta yang penuh penumpang biasa. “Kau tampak seperti dikejar waktu, tapi&helli
Newark penn station, USEmpat jam di dalam kereta tanpa melakukan apa-apa, akhirnya mereka berhenti di stasiun persinggahan. Lova menarik napas panjang, entah kenapa tubuhnya merasa begitu lelah padahal Lova yakin jika perjalanan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan misi-misi yang sudah dilaluinya.Lova menatap penumpang di gerbongnya. Semua penumpang tampak enggan bergerak, seakan menikmati beberapa menit ketenangan sebelum melanjutkan perjalanan mereka.Caid, yang sedari tadi duduk di sampingnya dengan sikap tenang sambil memainkan handphone, kini mulai bergerak. Ia mengeluarkan tas punggungnya dari bawah kursi dan berdiri perlahan, menatap Lova dengan mata yang penuh arti. "Kita turun sebentar" katanyaLova mengangkat bahu, tidak merasa terlalu tertarik untuk menjawab. Namun, dia tahu bahwa di hadapan Caid, kadang-kadang lebih baik mengikuti saja daripada bertanya terlalu banyak.Mereka berjalan menyusuri lorong kereta yang sempit, menuju pintu
Deep House Bar and Cassino Club, Chicago, US, 01.10 AMBunyi dentuman musik terdengar dengan nyaring disertai seruan orang-orang yang berada di lantai dansa. Seorang wanita cantik dengan cocktail dress pendek berwarna merah berkilau itu melangkah dengan percaya diri. Membuat orang-orang yang berada di depannya otomatis menyingkir, membuka jalan bagi sosok wanita yang menjadi primadona para pria di tempat itu.Relova Luvena, wanita cantik yang menjadi perhatian semua pria ditempat itu kini berjalan menuju seorang wanita lain dengan mini dress berwarna hitam yang duduk di depan sebuah meja bar. Tangan wanita itu memutar gelas bening berisi cairan berwarna merah keunguan.“Kamu terlambat” Ucap Emily, wanita yang mengenakan mini dress hitam dan duduk di depan meja bar itu adalah Emily Yonsen, sahabat seorang Relova Luvena.“Bukannya bintang memang selalu muncul belakangan” Seru Lova membuat Emily mendengus keras, dia meneguk minuman beralkohol itu sambil menatap Lova dengan tatapan menila