Lova sudah mengira jika dia akan kembali bertemu dengan ayah Caid, Calton. Namun dia tidak menduga jika pertemuan ini terjadi dengan cepat.
Calton datang ke kampusnya, layaknya melakukan kunjungan biasa, ditemani oleh beberapa bodyguard yang berjaga disisi kanan dan kirinya
Lova menatap Calton dengan tenang, matanya tajam dan penuh perhitungan. Dia duduk tepat di depan pria itu, tidak menunjukkan sedikit pun kegugupan meskipun dia tahu betul siapa yang sedang dia hadapi.
Ruangan itu sunyi sejenak, hanya suara detakan jam yang terdengar memecah keheningan. Calton memandang Lova dengan ekspresi datar, namun ada aura yang sulit dijelaskan di antara mereka, sebuah ketegangan yang tak terlihat, namun jelas terasa.
“Tidak ingin menjelaskan sesuatu, Nona Luvena?” Calton akhirnya buka suara
Lova menarik napas pelan, matanya tetap tajam menatap pria yang sudah lama tidak ia temui ini. Semua perasaan campur aduk di dalam dirinya, namun ia t
“Berapa lama kalian sudah berhubungan?” tanya Calton, suara nya terdengar lebih lembut, seolah-olah dia benar-benar ingin mendengar jawabannya tanpa ada niat tersembunyi.Secara natural, obrolan mereka berjalan lebih tenang dari sebelumnya. Kini, Lova merasa seperti berbicara dengan ayahnya sendiri—bukan sebagai pria yang penuh pengaruh dan kekuasaan, tetapi lebih seperti seorang ayah yang hanya ingin memahami hidup anaknya.Lova menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya. Dia sadar bahwa ini bukan lagi percakapan yang sekadar tentang Caid atau tentang dirinyaCalton hanya ingin mendengar kisah Lova dengan Caid, putranya. Setelah Lova ingat-ingat, dulu, Ophelia juga menanyakan hal yang sama“sekitar 4 bulan” Jawab Lova. Dia tidak terlalu ingat berapa lama mereka bersama tapi setau Lova ini sudah lewat sebulan dari kontrak 3 bulan yang mereka sepakati diawal“Empat bulan” ulang Calton perlahan, seolah mencoba mencerna jawaban itu. “Jadi,
"Kau mau kemana?" Caid menanyakan itu saat dia terbangun karena beberapa gerakan yang Lova lakukan. Pria itu memang terbiasa untuk waspada, bahkan saat dia masih setengah terjaga.Lova yang sudah mengenakan mantelnya, menoleh dengan alis sedikit terangkat, namun bibirnya membentuk senyum tipis yang sarkastik. "Tidak kemana-mana, hanya merasa udara di sini terlalu panas."Caid menghela napas, pandangannya tetap terarah pada Lova, memperhatikan setiap detail ekspresi Lova. "Aku rasa kau tahu kalau alasan itu tak akan membuatku berhenti menahanmu di sini, Love"Lova hanya mendengus kecil "Virginia" Jawab Lova sambil mengalihkan pandangannya dari Caid yang masih terbaring diranjangnyaCaid menatap Lova dengan kerutan di dahinya, jelas tak puas dengan jawabannya yang singkat. "Tiba-tiba? Kau tak pernah bilang ada rencana ke Virginia."Lova menghela napas, berusaha menahan nada kesal yang nyaris keluar. "Meredith memanggilku. Dia butuh bantuanku di sana"
“Kukira kau sangat terburu-buru ingin ke Virginia” Ucap Caid seraya menghela napasSelama 26 tahun hidupnya, ini adalah kali pertama Caid menaiki kereta. Gerbong yang berguncang ringan, deru roda yang berulang, serta pemandangan yang melesat cepat di balik jendela membuatnya sedikit terganggu, meski ia berusaha tampil biasa di depan Lova.Lova, yang duduk di sebelahnya, terlihat lebih santai. Dia menatap ke luar jendela dengan ekspresi tenang, sesekali memandang ke arah Caid dengan senyum kecil yang menyiratkan ejekan ringan. Meskipun begitu, Caid tidak terlalu memperhatikannya, sibuk menyesuaikan diri dengan sensasi baru ini.“Siapa bilang aku buru-buru?” Lova bertanya balikCaid mengamati Lova dengan alis terangkat, rasa penasaran muncul di balik tatapan tajamnya. “Aku masih tidak mengerti” gumamnya sambil melirik sekeliling gerbong kereta yang penuh penumpang biasa. “Kau tampak seperti dikejar waktu, tapi&helli
Newark penn station, USEmpat jam di dalam kereta tanpa melakukan apa-apa, akhirnya mereka berhenti di stasiun persinggahan. Lova menarik napas panjang, entah kenapa tubuhnya merasa begitu lelah padahal Lova yakin jika perjalanan ini tidak ada apa-apanya dibandingkan misi-misi yang sudah dilaluinya.Lova menatap penumpang di gerbongnya. Semua penumpang tampak enggan bergerak, seakan menikmati beberapa menit ketenangan sebelum melanjutkan perjalanan mereka.Caid, yang sedari tadi duduk di sampingnya dengan sikap tenang sambil memainkan handphone, kini mulai bergerak. Ia mengeluarkan tas punggungnya dari bawah kursi dan berdiri perlahan, menatap Lova dengan mata yang penuh arti. "Kita turun sebentar" katanyaLova mengangkat bahu, tidak merasa terlalu tertarik untuk menjawab. Namun, dia tahu bahwa di hadapan Caid, kadang-kadang lebih baik mengikuti saja daripada bertanya terlalu banyak.Mereka berjalan menyusuri lorong kereta yang sempit, menuju pintu
Lova tak tahu apa yang salah dengan Caid. Lova merasa bingung, seluruh tubuhnya kaku seketika. Pelukan Caid begitu erat, dan ia bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang makin menekan. Namun, yang lebih mengejutkan adalah kelembaban di bahunya, yang kini mulai terasa jelas.Dia perlahan menolehkan kepala, mencoba melihat ekspresi Caid tanpa membuat gerakan yang bisa membuatnya merasa lebih canggung. Lova terdiam sejenak, mencoba memahami situasi yang tiba-tiba berubah begitu intens ini."Ca...id?" suara Lova terdengar ragu, seperti bertanya pada dirinya sendiri apakah ia benar-benar ingin mengetahui jawaban yang mungkin akan datang.Caid tak langsung menjawab. Justru, dia menarik napas panjang, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya, hampir seperti berbisik. "I love you. I love you so bad, Relova Luvena” ungkapan cinta tiba-tiba terdengar dari mulutnyaLova tidak tahu harus merespon seperti apa. Nama lengkapnya disebutkan dengan cara yang begitu intim,
Deep House Bar and Cassino Club, Chicago, US, 01.10 AMBunyi dentuman musik terdengar dengan nyaring disertai seruan orang-orang yang berada di lantai dansa. Seorang wanita cantik dengan cocktail dress pendek berwarna merah berkilau itu melangkah dengan percaya diri. Membuat orang-orang yang berada di depannya otomatis menyingkir, membuka jalan bagi sosok wanita yang menjadi primadona para pria di tempat itu.Relova Luvena, wanita cantik yang menjadi perhatian semua pria ditempat itu kini berjalan menuju seorang wanita lain dengan mini dress berwarna hitam yang duduk di depan sebuah meja bar. Tangan wanita itu memutar gelas bening berisi cairan berwarna merah keunguan.“Kamu terlambat” Ucap Emily, wanita yang mengenakan mini dress hitam dan duduk di depan meja bar itu adalah Emily Yonsen, sahabat seorang Relova Luvena.“Bukannya bintang memang selalu muncul belakangan” Seru Lova membuat Emily mendengus keras, dia meneguk minuman beralkohol itu sambil menatap Lova dengan tatapan menila
President Private Suite Room, Hotel in Milan, Italia03.32 AM“Shit!” Pria dengan tubuh atletis itu mengumpat sambil mendorong wanita seksi yang berada di depannya dengan kasar. Mata abu-abu itu menatap penuh amarah“Sudah ku bilang jangan pernah menciumku!” Pria itu mengusap bibirnya dengan punggung tangan, seakan jijik dengan tingkah wanita yang baru saja mencium dirinya. Membuat wanita itu menatapnya dengan bingung akan penolakan sang pria“Bukankah kita harus berciuman sebelum bermain, Caid?” Seru wanita berpakaian minim yang sudah nyaris terbuka bagian depannya.“Kau sudah melanggar persyaratan nya Georgina” Suara berat dan sarat akan aura berbahaya itu sontak membuat tubuh Georgina memanas. Matanya menatap sosok Caid dengan penuh damba, dia mendekat dengan sensual lalu memeluk tubuh Caid dan mengusap dada pria itu.“Itu hanya ciuman Caid, kenapa kau sensitive sekali” Ucap Georgina dengan suara yang dibuat manja.Jika pria lain mungkin mereka akan langsung menerjang Georgina seca
Boston, Amerika 11.00 AM“Relova” mendengar namanya dipanggil sontak gadis dengan rambut coklat yang diikat menjadi satu dan sebuah kacamata bulat dengan frame bening itu menoleh ke belakang.Tampilannya disiang hari jauh berbeda dibanding saat malam hari. tetapi, meski Lova menggunakan kaca mata dengan setelah sederhana, dia tidak terlihat seperti mahsiswa kolot justru tampilannya terlihat lebih sederhana dan polos.“Ya?” Jawabnya sambil tersenyum tipis“Ha-hai aku Alex Ederson” ucapnya sambil menjabat tangan Lova“Oke dan sepertinya kau sudah mengenalku” Lova tertawa kecil membuat pria itu salah tingkah namun tak ayal dia mengangguk meng’iya’kan ucapan Lova jika Alex mengenal wanita itu“Emm, apa kau akan pulang?”“Tidak, rencananya aku ingin ke perpustakaan lalu auditorium. Kau butuh sesuatu?” Lova bertanya bukan karena tak tau, namun Lova memilih pura-pura tak tau jika lelaki itu tertarik padanya.“A-apa kau bisa membantuku dengan tugas Mrs. Suya. Aku tidak bisa mengerjakannya?” t