“Percayalah, kau tidak ingin tahu apa yang baru saja kulakukan.”Lova merasa darahnya berdesir mendengar jawaban itu. “Aku tahu kau punya rencana aneh dalam kepalamu. Apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?”Caid mendekat, tangannya yang masih mengenakan sarung tangan hitam itu menggapai pipi Lova dengan lembut, seolah mencoba menenangkannya. “Kau yakin ingin tahu, Love?” Tanya CaidLova menepis tangannya, perasaan marah dan curiga bergejolak dalam dirinya. “Jangan bicara padaku seolah-olah aku ini boneka yang hanya bisa menerima perintahmu. Kau memintaku memercayaimu, tapi kau terus-menerus menyembunyikan sesuatu dariku.”Caid menatapnya, tatapannya melembut, namun bibirnya tetap terkatup rapat. Lalu, tiba-tiba, langkah-langkah cepat terdengar mendekat ke arah mereka. Caid segera meraih lengan Lova“Diam di sini” bisik Caid, matanya waspada“Kau mau apa?! Gedung disayap kanan
Central Intelligence Agency memiliki unit departemennya sendiri dan Lova tergabung dalam unit SSU ‘Strategic Services Unit’. Sebuah departemen yang didedikasikan untuk misi-misi yang tidak dapat diidentifikasi oleh badan utama CIA. Dalam SSU, terdapat beberapa sub-unit yang memiliki peran masing-masing, termasuk Secret Intelligence, yang menangani infiltrasi, pengintaian tingkat tinggi, dan eliminasi target strategis.Lova tergabung disana dalam tim yang disebut dengan Foxy02 dan Phantom Blitz adalah pasukan elite bayangan yang dimiliki unit SSU“Apa Meredith memerintahkan kalian untuk membunuhnya?” tanya Lova dengan nada penuh ketegangan, matanya menatap tajam ke arah pria yang Lova perkirakan pemimpin Phantom Blitz.Dia hanya menatap Lova dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah mempertimbangkan apakah akan menjawab pertanyaannya atau tidak. Namun, sedikit gerakan tangan darinya cukup untuk membuat salah satu anak buahnya menu
Letusan tembakan terdengar dengan cepat, memecah keheningan yang hanya sejenak terhenti setelah salah seorang anggota Phantom Blitz melesatkan sebuah peluru yang mengenai lengan Caid, darah mengucur deras dari luka yang terbuka di kulitnya“Shit! Berlindung Love”Lova segera bergerak gesit, merunduk dan melompat ke sisi mobil, berlindung di balik badan kendaraan yang menjadi pelindung sementara dari serangan yang datang tanpa ampun.Tembakan-tembakan itu terus berseliweran, menyentuh dinding mobil dan menghantam kaca yang langsung pecah berhamburan. Lova merunduk lebih dalam, merasakan panas dari tembakan yang melesat hanya beberapa inci di atas kepalanya. Detak jantungnya berdegup kencang, mengingatkan dia bahwa setiap detik di tempat ini bisa berakhir dengan bencana.Dia mengintip dari balik mobil, melihat beberapa pasukan Phantom Blitz mengarahkan senjata mereka pada Caid dan Calton.Lova bergerak gelisah, ini situasi yang sulit karena kondisi m
Jalanan yang semula sepi dan kosong kini dipenuhi oleh genangan darah yang menyatu dengan aspal dan tubuh manusia yang teronggok di atasnya tanpa nyawa.Suasana suram menyelimuti, aroma besi dan kematian menggantung di udara. Di antara tumpukan tubuh yang tak bergerak, darah mengalir seperti sungai kecil yang tak henti-hentinya, menciptakan pemandangan yang bahkan bagi Lova sekalipun terasa mencekam.Tak pernah Lova perkirakan jika dia akan melakukan pembantaian dan melihat pemandangan seperti ini secara langsung. Namun, lebih dari itu, ada perasaan dingin yang mulai merayapi dirinya, seolah-olah sisi lain dari dirinya—sisi yang lebih gelap—sedang tumbuh.Lova berdiri di tengah-tengah kekacauan itu, nafasnya terengah-engah namun tenang, pandangannya tajam mengamati setiap gerakan yang masih ada.Tangan kanannya memegang erat G18, matanya berkeliling mencari ancaman yang tersisa. Di balik kegelapan yang menutupi jalanan, suara ledakan dan temba
Lova gelisah, sungguh Lova berharap dia mengusai ilmu media agar bisa menyelamatkan Caid yang kini berada dalam ruang pemeriksaan.Beberapa menit yang terasa seperti selamanya, pintu ruang pemeriksaan terbuka, dan seorang wanita berjas putih keluar dengan wajah tegas namun tenang. Lova segera berdiri, tubuhnya tegang, menunggu kabar tentang kondisi Caid.“Bagaimana keadaannya?” tanya Lova cepat, suaranya serak dan penuh kecemasan.Dokter itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Dr. Annelise, menghela napas pelan. “Racunnya sangat kuat, tapi untungnya kami berhasil menetralkannya tepat waktu. Kondisinya masih kritis, tapi stabil untuk saat ini. Dia membutuhkan istirahat total dan perawatan intensif.”Lova merasakan sedikit kelegaan “Aku bisa menemuinya?” tanyanya dengan penuh harap.Dr. Annelise mengangguk. “Hanya sebentar. Dia masih dalam pengaruh obat penenang. Pastikan kau tidak membuatnya terlalu lelah.&
Lova menatap Dr. Annelise yang memeriksa Caid. Dia memicingkan mata, fokus pada setiap gerakan Dr. Annelise yang tampak begitu profesional, namun sedikit berlebihan di mata Lova. Dokter itu dengan santai menggeser stetoskop di dada Caid, menyentuhnya dengan hati-hati namun terlalu lamaLova mendengus, kenapa rasanya dia menjadi kekanakan begini? Tapi tetap saja, ada sesuatu dalam cara Dr. Annelise memeriksa Caid yang membuatnya merasa tidak nyaman. Tatapan lembut dokter itu, sentuhan yang menurutnya terlalu personal, dan cara bibirnya melengkung saat berbicara dengan Caid, semuanya memicu rasa tidak suka di dalam dirinya.‘Kau cemburu’Suara dalam otaknya itu terus berputar‘Ayo patahkan saja tangannya, berani sekali dia menyentuh milikmu’Lova menggeleng pelan, mengepalkan tangannya dengan kuat, berusaha keras menahan dorongan impulsif yang menguar dalam dirinya.Ini gila. Aku tidak mungkin benar-benar mematahkan
Ciuman antara dua insan itu sempat terputus karena mereka harus kembali kerumah. Namun setibanya dirumah itu, Caid keluar dari mobil terlebih dahulu, membanting pintu dengan keras, sorot matanya penuh gairah dan ketegangan yang ia tahan sepanjang perjalanan.Lova, yang masih mencoba mengatur napasnya setelah interaksi panas mereka sebelumnya, hanya bisa menatapnya dengan senyum miring, tahu persis apa yang sedang terjadi dalam pikiran pria itu.“Kau tak sabar, Walton” kata Lova dengan nada santai, meskipun ada kilauan tantangan di matanya.Caid tidak menjawab. Sebaliknya, dia melangkah cepat ke arah Lova, membuka pintu mobil untuknya dengan kasar, lalu menarik tangannya hingga Lova terpaksa melangkah turun. Sebelum Lova bisa berkata apa-apa lagi, Caid menerjangnya—tangannya melingkar di pinggangnya, mengangkat tubuhnya dengan mudah seperti dia tidak berbobot sama sekali.“Caid! Tanganmu?!” seru Lova. Dia khawatir dengan perba
“Goodboy, huh?" suaranya rendah namun berbahaya, hampir seperti geraman.Lova terkekeh, dia mendongak menatap mata abu itu yang menyorotnya tajam.“Apa aku boleh memutar lagu Animal-Marron 5?”Caid mengangkat alis, sedikit terkejut oleh respons tak terduga Lova. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tapi tatapan tajamnya tidak berubah. "Kau ingin menambah suasana?”Lova mengangkat bahu santai “Aku hanya merasa lagu itu cocok untuk kita”“Siapa pemburunya?”“Kau. Tapi sayangnya sang pemburu terlena pada tangkapannya”Caid tertawa kecil, suara rendahnya bergema di ruangan. Terkadang Lova bersikap dewasa, terkadang nampak seperti anak kecil yang polos dan terkadang menjadi sangat liar. Kombinasi itu membuat Caid tak pernah bosan, selalu terpesona sekaligus tertantang oleh wanita di depannya.Mungkin inilah yang membuat Caid tak bisa melepaskannya bahkan setelah 3 bulan be
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t