Gestur Debby yang jelas-jelas mengarahkan perhatian sepenuhnya pada Fanny sudah membuat panik sang sahabat. “Ada apa? Kenapa kamu melihatku kayak gitu? Apa ada remah-remah di mulutku?” tanya Fanny setelah menoleh sekilas padanya. Punggung tangannya yang bebas ikut bergerak mengusap ujung-ujung bibirnya.
Debby menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Tenang aja. Nggak ada kok.”
“Lantas? Jangan bikin takut deh!” tuntut Fanny. Kepalanya kembali menoleh sekilas.
Setelah menatap Fanny beberapa detik lebih lama, Debby akhirnya buka suara. “Boleh aku tanya sesuatu?”
Tawa Fanny langsung tersembur. “Ck! Apaan sih? Tanya, ya, tinggal tanya aja. Kenapa harus minta izin?”
“Karena yang mau kutanyakan ini masalah pribadi. Jujur aja, aku penasaran.”
Fanny akhirnya memalingkan kepala dan menaruh perhat
“Hah! Kenapa Fanny enggak menjawab satu pun panggilanku? Ada apa sebenarnya sama dia? Sudah seminggu ini enggak ada kabar sama sekali. Apa terjadi sesuatu sama dia? Apa dia baik-baik aja? Aduh! Kamu ini kenapa sih, Fan?” Niel bersungut-sungut pada ponselnya. Lelaki berpostur 175 sentimeter itu berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Tangannya yang bertato diletakkan di pinggang sementara tangan yang lain kembali mendekatkan benda pipih persegi panjang itu ke telinganya.Nada sambung memasuki gendang telinganya, tetapi hingga panggilan terputus dengan sendirinya, suara wanita itu belum juga terdengar. Niel akhirnya duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mulai bergerak di atas layar ponsel untuk mengetikkan sederet pesan.Kepalanya menggeleng-geleng pelan melihat pesan-pesan sebelumnya selama seminggu terakhir ini yang belum juga dibaca satu pun oleh wanita itu. Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Sejurus kemudian, ia melemparkan
Seminggu sudah berlalu, tetapi Niel masih belum mendapatkan kabar tentang Fanny. Ia sudah mencoba bertanya pada saudara lelakinya meskipun tidak secara gamblang. Begitu pula ketika Niel mengunjungi orang tua Fanny beberapa hari yang lalu. Secara sambil lalu, ia bertanya tentang keberadaan wanita itu. Ia tidak ingin memancing kecurigaan orang-orang terdekat Fanny. Namun, hasilnya nihil semua.Niel juga sudah beberapa kali menyambangi apartemen Fanny, tetapi hasilnya sama saja. Nihil! Sebenarnya pria berpostur sedang itu memiliki kode akses untuk masuk ke apartemen Fanny, tetapi ia masih berusaha untuk menghormati privasi wanita itu. Ia tidak mau menyalahgunakan kepercayaan yang sudah diberikan oleh Fanny. Kode akses tersebut biasanya memang hanya ia gunakan di saat-saat genting, seperti saat ia mengantar pulang wanita itu ketika mabuk.Namun, pada kesempatan terakhir Niel datang ke sana kemarin malam, ia memutuskan untuk mencoba memasuki apar
Niel meringis mendengar pertanyaan blak-blakan yang dilontarkan wanita berambut panjang di depannya itu. “Yah, bisa dibilang gitu.” Namun, detik berikutnya Niel mengangkat bahu. “Entahlah. Aku sendiri lagi cari tahu karena akhir-akhir ini Fanny sulit dihubungi. Mungkin lagi sibuk sama kerjaannya juga. Jadi, waktu tadi aku lihat kamu di sini … yah, kupikir siapa tahu kamu tahu kabar Fanny.” “Hmm,” gumam Debby. Wanita itu terdiam sejenak, tampak tengah menimbang-nimbang sesuatu. Sebuah harapan muncul di hati Niel. Melihat gelagat Debby, sepertinya tak lama lagi ia bisa mengetahui kabar Fanny bahkan mungkin keberadaan wanita itu selama menghilang dari radarnya. Ia sudah tak sabar ingin segera mendengar jawaban Debby, tetapi masih berusaha untuk menahan diri. “Saya nggak bisa bilang apa Fanny baik-baik aja atau nggak karena cuma dia yang tahu. Bisa aja ‘kan dia tersenyum di luar, tapi di dalam hati siapa yang tahu?” Niel mengernyitkan kening, bingung dengan jawaban Debby yang penuh tek
Niel buru-buru mengitari meja bartender. Mulutnya menggerutu karena langkahnya terhalang meja panjang sehingga tidak bisa langsung mengejar Fanny. Ia mengumpat kesal ketika kehilangan sosok Fanny. Mata sipitnya nyalang mencari-cari di antara kerumunan pengunjung kelab malam hingga pintu keluar. Ia masih memanggil-manggil dan mencari sosok Fanny ketika suara dering telepon memasuki indra pendengarannya. Niel mengabaikan panggilan tersebut. Namun, suara itu tak kunjung berhenti setelah sekian lama, bahkan suara dering telepon itu mengalahkan teriakannya. Setibanya di luar kelab malam, barulah Niel melihat sosok Fanny lagi. Ia memanggil sekencang-kencangnya. Namun, Fanny hanya melambaikan tangan sembari berjalan mundur. Seulas senyum kembali terbit di wajah wanita itu. “Fanny!” teriak Niel sekali lagi dengan napas tersengal-sengal. Matanya nyalang dan tubuhnya bermandikan peluh. Niel memandang berkeliling dan menyadari jika ia tengah berada di dalam ruang kerjanya. “Oh, sial!” erang N
Debby meraih ponsel yang diletakkan di meja bar dan membawanya ke depan televisi dengan langkah lebar. Jari lentiknya sudah menggulir layar ponsel dan mulai mencari-cari nomor kontak orang itu. Ketika menyadari kalau ia tidak menyimpan nomor kontak tersebut, Debby kembali menepuk keningnya.Ia bangkit dan melangkah menuju ruang kerja. Diaduk-aduknya isi tas laptop untuk mencari buku kartu nama. Sejurus kemudian, Debby sudah membolak-balik lembaran-lembaran plastik berisi kumpulan kartu nama. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, wanita itu kembali ke ruang duduk. Tangannya dengan cepat mengetikkan sederet pesan yang ditujukan pada orang itu.“Malam, Ko. Ini Debby. Maaf, saya cuma mau memberi tahu kalau Fanny belum bersedia untuk menghubungi Koko. Bersabarlah saja dulu, siapa tahu setelah beberapa hari lagi, Fanny bersedia menghubungi Ko Niel.”Tak sampai satu menit, Debby segera mendapatkan balasan. Lelaki it
William tertegun sejenak kala sambungan teleponnya diputus secara sepihak oleh Debby, bahkan tanpa pamit. Tatapan William seakan-akan ingin menembus ponsel yang sudah dijauhkan dari indra pendengarannya. Namun, detik berikutnya, ia terbahak-bahak ketika menyadari Debby baru saja membuka rahasianya sendiri. William sampai meninju udara dengan kepalan tangannya.“Yes! Akhirnya! Ternyata kamu itu lucu juga, ya.” William jadi gemas sendiri membayangkan reaksi Debby saat ini yang berada di tempat lain. Sayang, ia tidak bisa melihat langsung. “Ah, coba kalau aku di hadapanmu sekarang!”Sang CEO begitu senang mendapati sisi Debby yang lainnya lagi. Namun, setelah euforianya mulai berkurang, akal sehatnya mulai mengambil alih kembali. Lelaki berdagu belah itu menggali ingatan lagi akan pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya. Mengingat lagi bagaimana reaksi Debby pada setiap pertemuan mereka dan membandingkan dengan re
Niel masih belum bisa menghubungi Fanny hingga saat ini. Nomornya memang tidak diblokir, tetapi semua panggilan maupun pesan tetap tidak ada yang direspons. Entah harus sampai kapan ia bersabar seperti yang diminta oleh Debby melalui pesan percakapan pada minggu lalu. Sama sekali tidak ada batas waktu yang jelas.Namun, hidup terus berlanjut. Tidak mungkin juga bagi Niel jika ia hanya memfokuskan diri pada masalahnya dengan Fanny. Lelaki itu punya pekerjaan dan kehidupan pribadi yang harus ia perhatikan juga. Dengan berbesar hati, Niel akan memberikan ruang bagi Fanny yang ingin menjauh darinya.“Baiklah, Fan, Koko enggak akan mendesak kamu terus-terusan. Kalau kamu mau menjauh dulu, Koko akan kasih kamu ruang. Tapi Koko harap kita bisa balik lagi kayak dulu,” putus lelaki bertato itu pada akhirnya.Meskipun begitu, Niel berniat untuk tetap memperhatikan dan memantau Fanny dari jauh kalau-kalau wanita itu membutuhkan dirinya. Biar bagaimana pun, kebiasaan-kebiasaan di antara mereka seb
Lagi-lagi William harus menelan pil pahit ketika pada hari Senin ia tetap tak bisa bertemu dengan Debby. Ia tahu kapan pertemuan tim Anggoro akan berlangsung, tetapi ia tidak mengetahui berapa lama pertemuan itu akan berjalan. Jadi, ia memindahkan beberapa agenda kerjanya yang mengharuskan dirinya keluar kantor atau melakukan pertemuan bisnis dengan pihak lain ke sore hari. Lelaki jangkung itu berharap bisa menemui Debby setelah pertemuan dengan tim Anggoro tersebut selesai. Namun, Tuhan rupanya punya rencana lain. Meskipun ia sudah mengosongkan jadwal, ternyata tetap saja ada agenda pertemuan yang tidak bisa dihindari. Kabar tersebut dibawa oleh sang sekretaris yang tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruang kantornya pada pukul sebelas lewat lima belas menit. “Sori, Will!” seru Leon begitu masuk ke ruangan. “Rencanamu hari ini kayaknya nggak akan berjalan sesuai dengan harapanmu!” “Kenapa? Apa yang terjadi?” Pikiran buruk tiba-tiba tebersit di kepala William. “Apa terjadi sesuatu pada De
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa