Lagi-lagi William harus menelan pil pahit ketika pada hari Senin ia tetap tak bisa bertemu dengan Debby. Ia tahu kapan pertemuan tim Anggoro akan berlangsung, tetapi ia tidak mengetahui berapa lama pertemuan itu akan berjalan. Jadi, ia memindahkan beberapa agenda kerjanya yang mengharuskan dirinya keluar kantor atau melakukan pertemuan bisnis dengan pihak lain ke sore hari. Lelaki jangkung itu berharap bisa menemui Debby setelah pertemuan dengan tim Anggoro tersebut selesai. Namun, Tuhan rupanya punya rencana lain. Meskipun ia sudah mengosongkan jadwal, ternyata tetap saja ada agenda pertemuan yang tidak bisa dihindari. Kabar tersebut dibawa oleh sang sekretaris yang tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruang kantornya pada pukul sebelas lewat lima belas menit. “Sori, Will!” seru Leon begitu masuk ke ruangan. “Rencanamu hari ini kayaknya nggak akan berjalan sesuai dengan harapanmu!” “Kenapa? Apa yang terjadi?” Pikiran buruk tiba-tiba tebersit di kepala William. “Apa terjadi sesuatu pada De
“Maaf? Barusan Bapak bilang apa?” tanya wanita di ujung sambungan telepon dengan nada sedikit meninggi.“Aku tahu kamu mendengarnya.” William lalu mengembuskan napas panjang. “Maaf, gak seharusnya ... belum saatnya aku bilang gitu.” William memijit pangkal hidungnya.‘Dasar bodoh kamu, Will! Jangan gegabah!’“Maaf, bisakah kita bertemu di luar urusan pekerjaan?” ulang William sesaat kemudian. “Jika bertemu di malam hari terdengar seperti kencan romantis bagimu, bagaimana kalau kita bertemu di siang hari?” tawar lelaki itu lebih lanjut. “Aku gak keberatan asalkan Debby merasa nyaman.”Ada jeda lagi selama beberapa detik. Sekarang, sudah tidak terdengar lagi bunyi klik seperti beberapa saat yang lalu.‘Apa aku sudah mendapat perhatianmu sekarang?’Sambil menunggu jaw
Suara sahutan dengan nada tinggi dari suatu tempat di dalam rumah langsung menyapa indra pendengaran Debby meskipun batang hidung si pemilik suara belum tampak. Debby memutar bola matanya. Ia lalu membalikkan tubuh untuk menutup pintu.Ketika kembali berbalik, sang mami sudah berada di hadapannya. Tak ada senyum hangat yang menyambut kepulangannya, hanya raut wajah yang menampilkan ketidakpuasan dan ketidaksenangan. Debby menghela napas lirih.‘Ah, selalu aja kayak gini!’Di belakang Liliana, seorang pria paruh baya yang masih tampak gagah tengah berjalan mendekat ke arah dua wanita beda generasi itu. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang mulai dihiasi kerut-kerut halus. Namun, jejak ketampanan di masa muda masih tampak jelas terpahat di sana.“Anak Papi sudah sampai rupanya. Ayo, duduk sini!” ajak Gunawan yang sudah lebih dahulu mendaratkan bokongnya di sofa empuk di ruang tamu. “Kamu pasti lelah. Ayo, istirahat dulu.”“Nggak sampai selelah itu, Pi,” timpal Debby, tetapi didudukkannya
Debby menjawab saran sang papi dengan anggukan kepala sebelum masuk kamar. Ruangan berukuran sedang yang mendapat limpahan cahaya matahari itu memang jarang ia tempati sejak orang tuanya memutuskan untuk menghabiskan masa tua mereka di rumah ini. Tepatnya sejak sang mami pensiun dari pekerjaannya sebagai kepala kantor cabang di salah satu bank swasta di ibu kota tiga tahun yang lalu.Tak ingin membuat orang tuanya menunggu lama, Debby segera meletakkan tas bahu dan tas yang berisi pakaian ganti di atas meja rias. Lemari pakaian di kamar ini nyaris kosong melompong, hanya berisi tumpukan seprei dan selimut. Sejak awal rumah ini ditempati orang tuanya, Debby tidak ikut memindahkan barang-barang miliknya ke dalam kamar ini, apalagi saat itu ia juga tengah mencari rumah untuk dirinya sendiri. Rumah lama mereka terlalu besar jika hanya ditempati oleh dirinya seorang. Alhasil, setiap kali Debby menginap di sini, ia harus selalu membawa pakaian ganti.
Debby berusaha keras untuk bersabar dan menahan kemarahan. Namun, dalam hati ia sudah menjerit kesal. ‘Argh! Selalu aja memaksakan kehendak!’“Kalau aku nggak mau?” tantang Debby dengan dagu terangkat. Kedua lengannya dilipat di depan dada.“Debby!” panggil Papi tegas. Tatapan tajam lelaki berumur itu mengarah pada lengan Debby lalu beralih ke wajahnya dan kembali lagi menatap ke bawah.Lagi-lagi Debby mengembuskan napas. Namun, diturunkannya juga kedua lengannya ke atas pangkuan. Postur tubuhnya yang semula duduk dengan kaku pun ikut melemas. “Maaf, Pi.”“Jangan sama Papi,” tolak Gunawan yang kembali melembut.“Maaf, Mi. Tapi aku benar-benar nggak mau kenalan sama orang asing atau bahkan dijodoh-jodohkan,” protes Debby. “Buat apa sih, Mi? Kalau aku mau aku bakal cari sendiri.”
Debby tak menghiraukan rasa ingin tahu sang asisten rumah tangga. Ia terus saja berjalan menuju pintu utama. “Maafkan aku, Bi. Aku nggak mau bohong sama Bi Siti,” gumam Debby sembari menutup pintu depan.Tak lama kemudian, Debby sudah melajukan mobil kesayangannya menjauhi rumah orang tuanya. Beruntung rute yang harus ia tempuh berbeda arah dengan gereja yang sedang dikunjungi oleh orang tuanya. Debby merasa santai, toh ia memang tidak sedang terburu-buru.Selagi berada di Kota Kembang ini, Debby memutuskan untuk sekalian bernostalgia sejenak ke masa-masa ketika tengah mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di kota ini. Debby melajukan kendaraannya ke daerah kos-kosan yang dahulu ia tempati bersama dengan Fanny. Banyak kenangan yang terpatri di sana karena dari tempat itulah persahabatan Debby dan Fanny dimulai.“Hmm, sudah banyak yang berubah,” gumam Debby seraya melajukan ken
Debby menunduk dan menutup mulutnya dengan satu tangan. Tubuhnya lama-lama berguncang dengan keras. Tak kuat berdiri, Debby akhirnya menjatuhkan tubuh hingga berjongkok.Ia meluapkan semua amarah, kekecewaan, dan sakit hati pada sang mami lewat air mata. Dengan menggigit punggung tangan, Debby berusaha meredam isak tangisnya. Dadanya terasa sesak dan napasnya tersengal-sengal. Sesekali, Debby bahkan sampai membuka mulutnya untuk meraup oksigen banyak-banyak.Setelah puas menumpahkan kekesalan hati, Debby mulai berusaha menguasai diri. Tubuhnya tidak lagi berguncang-guncang. Isak tangisnya juga sudah berganti menjadi sesenggukan kecil. Cairan bening yang menganak sungai di wajah sudah semakin berkurang. Jejak-jejaknya pun sudah dibersihkan. Tampak di samping kanan Debby, seonggok tisu bekas pakai yang wujudnya sudah tak beraturan.Kini, Debby sudah duduk bersila di depan batu nisan. Ia tak peduli jika pak
Tak ingin memperpanjang otaknya berkelana tentang pria itu, Debby segera menggerakkan roda kemudi meninggalkan tanah lapang. Ketika sedang memundurkan mobilnya, Debby baru teringat sesuatu. Ia menyadari kalau kedua mobil SUV hitam dan sedan putih yang tadi pagi sudah berada di tanah lapang sebelum dirinya tiba sekarang sudah tidak tampak.“Oh, astaga! Apa tadi ada yang dengar suara tangisanku? Duh, moga-moga aja sih nggaklah, ya,” harap Debby sambil terus menggerakkan roda kemudi.“Tapi … kalau ada yang dengar juga, ya, bodoh amatlah!” putus Debby kemudian.Sebelum memasuki jalan beraspal, Debby menoleh ke belakang sebentar dan bergumam, “Aku pulang dulu, Tante.”Namun, alih-alih langsung melarikan mobilnya ke rumah, Debby justru membelokkan kendaraan SUV-nya ke salah satu mal di ibu kota. Selain untuk mengisi perut, ia juga berniat untuk menghabiskan waktu
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam