***"Mas, kok kamu ada disini?""Kenapa? Kaget?" Aku mengerutkan kening. "Kamu ngikutin aku?"Mas Andra bersedekap dada. Dia menatap Hazel dengan tajam sambil sesekali berdecih."Kamu memintaku bercerai dengan Anita, sementara dirimu ... apa pantas wanita bersuami mendatangi rumah pria lain?"Aku membuang napas panjang. Kuayunkan kaki mendekati tiga orang tidak tau diri itu sambil berkacak pinggang."Jangan basa-basi, katakan ... mau apa ngikutin aku?""Jaga sikapmu, Helena! Andra itu suami kamu, jangan mentang-mentang dari tadi kami diam saja lalu kamu bisa bersikap seenaknya!" cecar Mama Desinta sengit. "Kamu bilang Anita adalah wanita murahan ... tapi ternyata dirimu sendiri ...."Plak ...!!!Entah sejak kapan Tante Nela sudah berdiri di sebelahku. Tangannya dengan cepat menampar pipi Mama dan meninggalkan bekas kemerahan disana. Mama Desinta melotot, sedetik kemudian tangannya turut terangkat tapi dengan sigap aku mencekal pergelangannya sambil berkata. "Jauhkan tangan kotor Mama
***Mas Andra dan keluarganya terpaku di tempat ketika tiga orang polisi datang di ambang pintu. Kulihat Hazel buru-buru keluar rumah dan kembali datang dengan memapah tubuh Mamang, satmpan yang berjaga di rumahnya. "Astaga, Mamang!" pekik Tante Nela. "Kenapa bisa babak belur begini, Mang? Siapa yang ....""Tuan yang disana, Bu. Dia tiba-tiba melayangkan tinju berkali-kali sampai saya tidak sadarkan diri."Tante Nela menatap tajam ke arah Mas Andra. Sementara suami yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu seakan tidak gentar mendapat tatapan mengerikan dari keluarga Hazel."Kenapa?" tanyanya sombong. "Dia satpam lemah, lagipula siapa suruh menghalangi kami untuk masuk. Ini rumah bawahanku, bukan rumah presiden yang harus dijaga ketat. Bukan?"Tante Nela hendak melangkah mendekati Andra, tapi Om Prabu segera memeluk istrinya dan berseru. "Tangkap mereka, Pak!"Kepalaku tiba-tiba terasa berputar melihat kejadian demi kejadian di depan mata. Mas Andra dan keluarganya yang tidak tau ma
***Mobil yang kita kendarai akhirnya sampai di tempat tujuan. Mama, Kamila dan Mas Andra duduk di kursi yang sudah disediakan. Bagaimanapun, pihak kepolisian belum memutuskan hukumannya karena kami semua masih menyimpan barang bukti."Helena, tolong maafkan kami, Nak." Mama Desinta bersimpuh di kakiku sambil menangis sesenggukan. "Andra khilaf, Len.""Duduk dengan tenang, Bu Desinta. Pihak kepolisian pasti memiliki keputusan yang terbaik," kata Om Prabu tegas. "Silahkan berdiri, Helena risih diperlakukan seperti itu."Mama Desinta mendongak penuh harap. Aku memundurkan langkah membuat kedua tangannya luruh dari kakiku. Tante Nela menggandeng tanganku untuk duduk di tempat yang sudah disediakan. Kulihat Mas Andra membantu Mamanya berdiri tanpa membuka suara sama sekali."Seharusnya kasus ini sudah tidak bisa dibuka lagi, bukan? Kenapa setelah bertahun-tahun justru harus diusut lagi?" Mas Andra membuka suara. "Lagipula mau dimulai darimana penyelidikan ini, Helena? Semua barang bukti
***Malam menjelang, rasa sepi kembali merajai rumah ini. Rumah yang dulu terasa hangat dengan kelembutan Mas Andra, kasih sayangnya yang selalu tercurah setiap saat, juga perhatiannya yang tidak pernah luput untukku. Semua yang dia berikan kukira adalah perasaan yang tulus, tapi nyatanya ... perhatian dan kasih sayang berlebih darinya hanyalah sebagai bentuk pengalihan agar kecurangannya tidak bisa aku endus. Semakin aku mengingat semua kenangan yang Mas Andra ciptakan, semakin aku merutuki diri sendiri karena begitu bodohnya jatuh dalam pelukan pria penuh topeng. Seberapapun aku berusaha bersikap kuat di depan banyak orang, tetap saja ketika sendiri seperti ini aku merasa begitu kosong. Benar kata para pujangga, "Jangan berteman dengan rasa sepi ketika dirimu hancur, atau setiap jam dalam hidupmu terasa begitu menyesakkan."Berulang kali aku menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Foto-foto pernikahan bersama Mas Andra sudah aku turunkan sejak sore tadi sepulang dari rumah
***Plak ...!!Plak ...!!Dua tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri dan kananku. Terpaksa, mau tidak mau aku harus membuka mata daripada wajahku semakin babak belur dibuatnya."Akhirnya bangun juga," seloroh salah seorang pria dengan tato naga di lengan kanannya. Baju tanpa lengan membuatku bisa melihat dengan jelas gambar mengerikan itu. "Cepat tanda tangani surat ini, Bos sudah menunggu dari tadi. Cepat!""Siapa Bos kalian?""Jangan banyak tanya! Tanda tangani saja surat itu dan jangan membantah atau kita patahkan tanganmu!""Apa Bos kalian adalah Anita ....?""Kau tidak perlu tau! Dengar ... tugasmu saat ini hanya perlu menandatangani surat yang ada di depanmu, setelah itu ....""Setelah itu apa aku bisa bebas?"Tiga pria berperawakan tinggi tegap dengan masing-masing tato di lengannya itu tertawa lebar. "Bisa, setelah kita bertiga puas dengan tubuhmu!" bisik pria yang lain.Aku termangu. Bulu kudukku merinding mendengar ancaman yang keluar dari mulut mereka. Sebisa mungki
***"Jangan! Tolong jangan, lepaskan aku!" Aku benar-benar panik malam ini. Tiga pria dengan wajah sangar semakin mendekat sambil sesekali memainkan lidahnya di bibir. "Kalian ... aku bisa membayar kalian lebih banyak dari yang Anita berikan. Tolong lepaskan aku!"Anita tertawa semakin keras. Demi Tuhan, jika aku berhasil keluar dari tempat ini dengan aman, akan kubuat hidupnya sangat menderita. Bahkan begitu menderita!"Merengek saja terus, Len. Mereka tidak akan berhenti kalau aku tidak menyuruh untuk berhenti. Ha ... ha ... ha ....""Brengsek kamu, Nit! Gila, kamu wanita gila yang pernah aku kenal!" teriakku frustrasi. "Aku tidak peduli!" "Lepaskan aku atau kamu menyesal, Anita!""Oh ya? Aku tidak yakin dengan ancaman yang kamu berikan. Lihat ... sekali saja aku bilang pada mereka untuk menikmati kamu malam ini, maka semua pasti terjadi. Mau mencoba?""Wanita gila! Kamu dan Mamamu benar-benar haus kekayaan. Dasar wanita-wanita miskin!"Plak ....Lagi-lagi pipiku terasa kebas. A
***"Hazel?" Aku memekik haru. Bagaimana ... bagaimana bisa dia ...."Tangkap pria itu! Jangan biarkan dia bebas di ruangan ini !" teriak Anita. Tiga pria di depanku segera bergerak maju ke arah dimana Hazel tengah berdiri di sana. Tapi sayang ...."Angkat tangan!"Mendadak suasana semakin mencekam. Tiga pria dengan paras mengerikan itu terpaku di tempat dengan masing-masing pistol mengarah pada kening mereka. Sementara Anita ....Krak ...."Argh ...!!!"Aku menjerit ketika merasakan kedua tanganku ditarik ke belakang oleh Anita. Wanita itu ... gila! "Berani mendekat, Helena mati saat ini juga!"Aku hampir menangis ketika menyadari ada sebilah pisau berada tepat di leherku. Sedikit saja aku bergerak, maka kupastikan darah mengalir dari sana."Posisi kamu tidak menguntungkan, Anita. Lepaskan Helena, lihat ... ada banyak polisi disini. Percuma kamu mengancam ....""Aakkkhhh ...."Leherku terasa perih. Aku bisa melihat dengan jelas beberapa tetes darah mulai mengotori bajuku."Lepaskan
***"Hazel, aku ....""Diam lah! Biarkan suster mengobati lukamu, setelah itu kita pulang."Aku mengangguk lemah. Hatiku terasa hangat mendapat perhatian yang sebelumnya tidak pernah aku dapatkan. Hazel ... pria itu sejak dulu memang selalu bersikap baik. Kurang lebih tiga puluh menit kami berada di Rumah Sakit. Luka goresan yang tidak terlalu dalam membuatku bisa langsung pulang tanpa harus rawat inap.Sepanjang perjalanan suasana di dalam mobil terasa hening. Hazel yang biasanya banyak berbicara kini mendadak tidak banyak berkomentar."Terima kasih.""Hem," sahut Hazel tak acuh. Pandangan matanya masih fokus pada kemudi. Dia pantas marah. Aku memang selalu tidak tau diri dengan terus saja menyulitkan Hazel di setiap masalah yang mendatangiku."Kamu pantas marah, maafkan aku. Aku memang bodoh, seharusnya tidak perlu aku bersikap sok baik untuk Anita ... dan lihat, pada kenyataannya memang dia hanya ingin menjebakku. Aku bodoh sekali.""Maafkan aku, Hazel. Aku selalu saja menyeretmu