***Malam menjelang, rasa sepi kembali merajai rumah ini. Rumah yang dulu terasa hangat dengan kelembutan Mas Andra, kasih sayangnya yang selalu tercurah setiap saat, juga perhatiannya yang tidak pernah luput untukku. Semua yang dia berikan kukira adalah perasaan yang tulus, tapi nyatanya ... perhatian dan kasih sayang berlebih darinya hanyalah sebagai bentuk pengalihan agar kecurangannya tidak bisa aku endus. Semakin aku mengingat semua kenangan yang Mas Andra ciptakan, semakin aku merutuki diri sendiri karena begitu bodohnya jatuh dalam pelukan pria penuh topeng. Seberapapun aku berusaha bersikap kuat di depan banyak orang, tetap saja ketika sendiri seperti ini aku merasa begitu kosong. Benar kata para pujangga, "Jangan berteman dengan rasa sepi ketika dirimu hancur, atau setiap jam dalam hidupmu terasa begitu menyesakkan."Berulang kali aku menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Foto-foto pernikahan bersama Mas Andra sudah aku turunkan sejak sore tadi sepulang dari rumah
***Plak ...!!Plak ...!!Dua tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri dan kananku. Terpaksa, mau tidak mau aku harus membuka mata daripada wajahku semakin babak belur dibuatnya."Akhirnya bangun juga," seloroh salah seorang pria dengan tato naga di lengan kanannya. Baju tanpa lengan membuatku bisa melihat dengan jelas gambar mengerikan itu. "Cepat tanda tangani surat ini, Bos sudah menunggu dari tadi. Cepat!""Siapa Bos kalian?""Jangan banyak tanya! Tanda tangani saja surat itu dan jangan membantah atau kita patahkan tanganmu!""Apa Bos kalian adalah Anita ....?""Kau tidak perlu tau! Dengar ... tugasmu saat ini hanya perlu menandatangani surat yang ada di depanmu, setelah itu ....""Setelah itu apa aku bisa bebas?"Tiga pria berperawakan tinggi tegap dengan masing-masing tato di lengannya itu tertawa lebar. "Bisa, setelah kita bertiga puas dengan tubuhmu!" bisik pria yang lain.Aku termangu. Bulu kudukku merinding mendengar ancaman yang keluar dari mulut mereka. Sebisa mungki
***"Jangan! Tolong jangan, lepaskan aku!" Aku benar-benar panik malam ini. Tiga pria dengan wajah sangar semakin mendekat sambil sesekali memainkan lidahnya di bibir. "Kalian ... aku bisa membayar kalian lebih banyak dari yang Anita berikan. Tolong lepaskan aku!"Anita tertawa semakin keras. Demi Tuhan, jika aku berhasil keluar dari tempat ini dengan aman, akan kubuat hidupnya sangat menderita. Bahkan begitu menderita!"Merengek saja terus, Len. Mereka tidak akan berhenti kalau aku tidak menyuruh untuk berhenti. Ha ... ha ... ha ....""Brengsek kamu, Nit! Gila, kamu wanita gila yang pernah aku kenal!" teriakku frustrasi. "Aku tidak peduli!" "Lepaskan aku atau kamu menyesal, Anita!""Oh ya? Aku tidak yakin dengan ancaman yang kamu berikan. Lihat ... sekali saja aku bilang pada mereka untuk menikmati kamu malam ini, maka semua pasti terjadi. Mau mencoba?""Wanita gila! Kamu dan Mamamu benar-benar haus kekayaan. Dasar wanita-wanita miskin!"Plak ....Lagi-lagi pipiku terasa kebas. A
***"Hazel?" Aku memekik haru. Bagaimana ... bagaimana bisa dia ...."Tangkap pria itu! Jangan biarkan dia bebas di ruangan ini !" teriak Anita. Tiga pria di depanku segera bergerak maju ke arah dimana Hazel tengah berdiri di sana. Tapi sayang ...."Angkat tangan!"Mendadak suasana semakin mencekam. Tiga pria dengan paras mengerikan itu terpaku di tempat dengan masing-masing pistol mengarah pada kening mereka. Sementara Anita ....Krak ...."Argh ...!!!"Aku menjerit ketika merasakan kedua tanganku ditarik ke belakang oleh Anita. Wanita itu ... gila! "Berani mendekat, Helena mati saat ini juga!"Aku hampir menangis ketika menyadari ada sebilah pisau berada tepat di leherku. Sedikit saja aku bergerak, maka kupastikan darah mengalir dari sana."Posisi kamu tidak menguntungkan, Anita. Lepaskan Helena, lihat ... ada banyak polisi disini. Percuma kamu mengancam ....""Aakkkhhh ...."Leherku terasa perih. Aku bisa melihat dengan jelas beberapa tetes darah mulai mengotori bajuku."Lepaskan
***"Hazel, aku ....""Diam lah! Biarkan suster mengobati lukamu, setelah itu kita pulang."Aku mengangguk lemah. Hatiku terasa hangat mendapat perhatian yang sebelumnya tidak pernah aku dapatkan. Hazel ... pria itu sejak dulu memang selalu bersikap baik. Kurang lebih tiga puluh menit kami berada di Rumah Sakit. Luka goresan yang tidak terlalu dalam membuatku bisa langsung pulang tanpa harus rawat inap.Sepanjang perjalanan suasana di dalam mobil terasa hening. Hazel yang biasanya banyak berbicara kini mendadak tidak banyak berkomentar."Terima kasih.""Hem," sahut Hazel tak acuh. Pandangan matanya masih fokus pada kemudi. Dia pantas marah. Aku memang selalu tidak tau diri dengan terus saja menyulitkan Hazel di setiap masalah yang mendatangiku."Kamu pantas marah, maafkan aku. Aku memang bodoh, seharusnya tidak perlu aku bersikap sok baik untuk Anita ... dan lihat, pada kenyataannya memang dia hanya ingin menjebakku. Aku bodoh sekali.""Maafkan aku, Hazel. Aku selalu saja menyeretmu
***"Kau akan menyesal sudah bertindak kasar padaku, Helena!"Aku menoleh sejenak, lalu mengedikkan bahu agar Mama Fiona tahu jika ancaman yang ia berikan tidak berpengaruh apapun pada mentalku saat ini.Hari ini sengaja aku memilih untuk mendatangi kantor polisi tempat dimana Anita sedang berada. Sementara kasus Mas Andra, aku meminta Hazel dan pengacaranya yang mengurus semuanya, tentu saja setelah urusan Anita selesai aku pun akan segera datang dan memberikan ganjaran yang setimpal untuk pria tidak tau diri itu!"Helena ...."Anita bersimpuh disaat aku baru saja masuk ke dalam ruangan. Dia meraung meskipun Mama Fiona berulang kali menarik tangannya agar menjauh dari kakiku."Len, maafkan aku, Len ...." Aku menarik kedua alis ke atas. "Wow, drama baru yang epic sekali, Anita," decakku kagum. Anita mendongak. Wajahnya bersimbah air mata bahkan kedua netranya memerah. Tapi sayang, hal itu tidak lantas membuat Helena tergugah. Rasa kasihan yang ia miliki sudah mati!"Len, aku ....""
***Seminggu kemudian ....Mas Andra dan Anita sudah mendekam di penjara. Suamiku yang sebentar lagi menjadi mantan itu dijerat hukuman 15 tahun penjara dengan dugaan mensabotase mobil Papa sampai orang yang kusayangi itu meninggal karena kecelakaan tunggal. Dan untuk kasus Mama, aku tidak menemukan bukti lebih lanjut karena pihak kepolisian menduga jika Mas Andra dan sekutunya hanya mempermainkan mental Mama yang memang sudah sempat hancur karena perselingkuhan Papa dengan Mama Fiona."Selamat pagi, Bu Helena!""Pagi!"Sapaan para staf menjadi makanan sehari-hari mulai sekarang apalagi hari ini merupakan hari pertama aku memimpin Perusahaan yang sejak Papa meninggal sudah diambil alih oleh Mas Andra. Sementara Butik yang sudah aku rintis sejak lama mulai diatur oleh Ana.Seminggu yang lalu aku menghabiskan hari-hari dengan menangis. Jika orang lain pikir aku adalah wanita plin plan, maka mereka tidak salah. Aku memang plin plan, sebentar bisa menjadi kuat, dan sebentar lagi akan kem
***Bibirku mencebik. Sejenak saat aku menghentikan langkah, wanita muda itu memang sudah menangkap sosokku berdiri tidak jauh dari tempat dimana ia duduk."Mandul ... janda ... untuk apa banyak harta kalau hidupnya berantakan, ya kan, Mas?"Pria paruh baya di depannya mengangguk sinis sambil melirik ku. Demi apa ... pria tua itu dia panggil Mas? Telingaku rasanya tergelitik ketika mendengarnya. Menjijikkan."Ah, maaf ... silahkan anda duduk, Nona. Melihatku berada di Cafe mahal begini tidak lantas membuat anda mengurungkan niat untuk duduk merenung di sini kan?" sindirnya kemudian terkekeh puas.Aku membuang muka. Semua hinaan yang ia lontarkan aku anggap angin lalu. Membalas semua ucapannya di muka umum sama halnya dengan aku mempermalukan diri sendiri.Langkahku menyerong menuju meja yang terpisah beberapa buah meja dari tempat wanita itu duduk. Namun suaranya lagi-lagi membuat darahku mendidih."Kepalang malu ya, sampai semua ucapanku tidak kamu gubris? Oh ya ... asal kamu tau, Ma