***Plak ...!!Plak ...!!Dua tamparan keras mendarat sempurna di pipi kiri dan kananku. Terpaksa, mau tidak mau aku harus membuka mata daripada wajahku semakin babak belur dibuatnya."Akhirnya bangun juga," seloroh salah seorang pria dengan tato naga di lengan kanannya. Baju tanpa lengan membuatku bisa melihat dengan jelas gambar mengerikan itu. "Cepat tanda tangani surat ini, Bos sudah menunggu dari tadi. Cepat!""Siapa Bos kalian?""Jangan banyak tanya! Tanda tangani saja surat itu dan jangan membantah atau kita patahkan tanganmu!""Apa Bos kalian adalah Anita ....?""Kau tidak perlu tau! Dengar ... tugasmu saat ini hanya perlu menandatangani surat yang ada di depanmu, setelah itu ....""Setelah itu apa aku bisa bebas?"Tiga pria berperawakan tinggi tegap dengan masing-masing tato di lengannya itu tertawa lebar. "Bisa, setelah kita bertiga puas dengan tubuhmu!" bisik pria yang lain.Aku termangu. Bulu kudukku merinding mendengar ancaman yang keluar dari mulut mereka. Sebisa mungki
***"Jangan! Tolong jangan, lepaskan aku!" Aku benar-benar panik malam ini. Tiga pria dengan wajah sangar semakin mendekat sambil sesekali memainkan lidahnya di bibir. "Kalian ... aku bisa membayar kalian lebih banyak dari yang Anita berikan. Tolong lepaskan aku!"Anita tertawa semakin keras. Demi Tuhan, jika aku berhasil keluar dari tempat ini dengan aman, akan kubuat hidupnya sangat menderita. Bahkan begitu menderita!"Merengek saja terus, Len. Mereka tidak akan berhenti kalau aku tidak menyuruh untuk berhenti. Ha ... ha ... ha ....""Brengsek kamu, Nit! Gila, kamu wanita gila yang pernah aku kenal!" teriakku frustrasi. "Aku tidak peduli!" "Lepaskan aku atau kamu menyesal, Anita!""Oh ya? Aku tidak yakin dengan ancaman yang kamu berikan. Lihat ... sekali saja aku bilang pada mereka untuk menikmati kamu malam ini, maka semua pasti terjadi. Mau mencoba?""Wanita gila! Kamu dan Mamamu benar-benar haus kekayaan. Dasar wanita-wanita miskin!"Plak ....Lagi-lagi pipiku terasa kebas. A
***"Hazel?" Aku memekik haru. Bagaimana ... bagaimana bisa dia ...."Tangkap pria itu! Jangan biarkan dia bebas di ruangan ini !" teriak Anita. Tiga pria di depanku segera bergerak maju ke arah dimana Hazel tengah berdiri di sana. Tapi sayang ...."Angkat tangan!"Mendadak suasana semakin mencekam. Tiga pria dengan paras mengerikan itu terpaku di tempat dengan masing-masing pistol mengarah pada kening mereka. Sementara Anita ....Krak ...."Argh ...!!!"Aku menjerit ketika merasakan kedua tanganku ditarik ke belakang oleh Anita. Wanita itu ... gila! "Berani mendekat, Helena mati saat ini juga!"Aku hampir menangis ketika menyadari ada sebilah pisau berada tepat di leherku. Sedikit saja aku bergerak, maka kupastikan darah mengalir dari sana."Posisi kamu tidak menguntungkan, Anita. Lepaskan Helena, lihat ... ada banyak polisi disini. Percuma kamu mengancam ....""Aakkkhhh ...."Leherku terasa perih. Aku bisa melihat dengan jelas beberapa tetes darah mulai mengotori bajuku."Lepaskan
***"Hazel, aku ....""Diam lah! Biarkan suster mengobati lukamu, setelah itu kita pulang."Aku mengangguk lemah. Hatiku terasa hangat mendapat perhatian yang sebelumnya tidak pernah aku dapatkan. Hazel ... pria itu sejak dulu memang selalu bersikap baik. Kurang lebih tiga puluh menit kami berada di Rumah Sakit. Luka goresan yang tidak terlalu dalam membuatku bisa langsung pulang tanpa harus rawat inap.Sepanjang perjalanan suasana di dalam mobil terasa hening. Hazel yang biasanya banyak berbicara kini mendadak tidak banyak berkomentar."Terima kasih.""Hem," sahut Hazel tak acuh. Pandangan matanya masih fokus pada kemudi. Dia pantas marah. Aku memang selalu tidak tau diri dengan terus saja menyulitkan Hazel di setiap masalah yang mendatangiku."Kamu pantas marah, maafkan aku. Aku memang bodoh, seharusnya tidak perlu aku bersikap sok baik untuk Anita ... dan lihat, pada kenyataannya memang dia hanya ingin menjebakku. Aku bodoh sekali.""Maafkan aku, Hazel. Aku selalu saja menyeretmu
***"Kau akan menyesal sudah bertindak kasar padaku, Helena!"Aku menoleh sejenak, lalu mengedikkan bahu agar Mama Fiona tahu jika ancaman yang ia berikan tidak berpengaruh apapun pada mentalku saat ini.Hari ini sengaja aku memilih untuk mendatangi kantor polisi tempat dimana Anita sedang berada. Sementara kasus Mas Andra, aku meminta Hazel dan pengacaranya yang mengurus semuanya, tentu saja setelah urusan Anita selesai aku pun akan segera datang dan memberikan ganjaran yang setimpal untuk pria tidak tau diri itu!"Helena ...."Anita bersimpuh disaat aku baru saja masuk ke dalam ruangan. Dia meraung meskipun Mama Fiona berulang kali menarik tangannya agar menjauh dari kakiku."Len, maafkan aku, Len ...." Aku menarik kedua alis ke atas. "Wow, drama baru yang epic sekali, Anita," decakku kagum. Anita mendongak. Wajahnya bersimbah air mata bahkan kedua netranya memerah. Tapi sayang, hal itu tidak lantas membuat Helena tergugah. Rasa kasihan yang ia miliki sudah mati!"Len, aku ....""
***Seminggu kemudian ....Mas Andra dan Anita sudah mendekam di penjara. Suamiku yang sebentar lagi menjadi mantan itu dijerat hukuman 15 tahun penjara dengan dugaan mensabotase mobil Papa sampai orang yang kusayangi itu meninggal karena kecelakaan tunggal. Dan untuk kasus Mama, aku tidak menemukan bukti lebih lanjut karena pihak kepolisian menduga jika Mas Andra dan sekutunya hanya mempermainkan mental Mama yang memang sudah sempat hancur karena perselingkuhan Papa dengan Mama Fiona."Selamat pagi, Bu Helena!""Pagi!"Sapaan para staf menjadi makanan sehari-hari mulai sekarang apalagi hari ini merupakan hari pertama aku memimpin Perusahaan yang sejak Papa meninggal sudah diambil alih oleh Mas Andra. Sementara Butik yang sudah aku rintis sejak lama mulai diatur oleh Ana.Seminggu yang lalu aku menghabiskan hari-hari dengan menangis. Jika orang lain pikir aku adalah wanita plin plan, maka mereka tidak salah. Aku memang plin plan, sebentar bisa menjadi kuat, dan sebentar lagi akan kem
***Bibirku mencebik. Sejenak saat aku menghentikan langkah, wanita muda itu memang sudah menangkap sosokku berdiri tidak jauh dari tempat dimana ia duduk."Mandul ... janda ... untuk apa banyak harta kalau hidupnya berantakan, ya kan, Mas?"Pria paruh baya di depannya mengangguk sinis sambil melirik ku. Demi apa ... pria tua itu dia panggil Mas? Telingaku rasanya tergelitik ketika mendengarnya. Menjijikkan."Ah, maaf ... silahkan anda duduk, Nona. Melihatku berada di Cafe mahal begini tidak lantas membuat anda mengurungkan niat untuk duduk merenung di sini kan?" sindirnya kemudian terkekeh puas.Aku membuang muka. Semua hinaan yang ia lontarkan aku anggap angin lalu. Membalas semua ucapannya di muka umum sama halnya dengan aku mempermalukan diri sendiri.Langkahku menyerong menuju meja yang terpisah beberapa buah meja dari tempat wanita itu duduk. Namun suaranya lagi-lagi membuat darahku mendidih."Kepalang malu ya, sampai semua ucapanku tidak kamu gubris? Oh ya ... asal kamu tau, Ma
***"Cepat sekali, Non?""Kita pulang saja, Mang!"Mang Dana mengangguk patuh meskipun aku tau seraut wajahnya menunjukkan kebingungan melihatku keluar dari Cafe dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh menit."Non Lena baik-baik saja?" Pria paruh baya itu bertanya sambil melirikku dari kaca.Aku mengangguk. Apa yang bisa kulakukan selain mengulas senyum tipis di depan banyak orang? Aku tidak mau mereka kembali mencemaskan keadaanku seperti seminggu belakangan. "Baik, Mang. Tadi saya berubah pikiran, sepertinya makan masakan Bik Asih bersama kalian di rumah jauh lebih enak daripada sendirian di Cafe."Mang Dana manggut-manggut. "Asih memang pandai memasak, tidak rugi Non Helena menggajinya."Kami tergelak. Bukan rahasia umum lagi jika Bik Asih selalu menjadi bahan guyonan para satpam dan tukang kebun di rumah. Namun begitu, Bik Asih selalu menanggapi gurauan mereka dengan senyuman. Di rumah Papa itulah mereka bersikap seperti keluarga. Dan hanya mereka yang mengisi kesepianku selama
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,