***"Cepat sekali, Non?""Kita pulang saja, Mang!"Mang Dana mengangguk patuh meskipun aku tau seraut wajahnya menunjukkan kebingungan melihatku keluar dari Cafe dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh menit."Non Lena baik-baik saja?" Pria paruh baya itu bertanya sambil melirikku dari kaca.Aku mengangguk. Apa yang bisa kulakukan selain mengulas senyum tipis di depan banyak orang? Aku tidak mau mereka kembali mencemaskan keadaanku seperti seminggu belakangan. "Baik, Mang. Tadi saya berubah pikiran, sepertinya makan masakan Bik Asih bersama kalian di rumah jauh lebih enak daripada sendirian di Cafe."Mang Dana manggut-manggut. "Asih memang pandai memasak, tidak rugi Non Helena menggajinya."Kami tergelak. Bukan rahasia umum lagi jika Bik Asih selalu menjadi bahan guyonan para satpam dan tukang kebun di rumah. Namun begitu, Bik Asih selalu menanggapi gurauan mereka dengan senyuman. Di rumah Papa itulah mereka bersikap seperti keluarga. Dan hanya mereka yang mengisi kesepianku selama
***"Kamu gila, Din!" "Aku tidak punya pilihan lain, Helena.""Tapi tidak harus aku, Adinda! Aku ... tidak mau disebut sebagai wanita perebut lelaki orang, apalagi kabar pertunangan kalian sudah menyebar. Aku tidak bisa!""Tapi Hazel hanya mencintai kamu, bukan aku dan bukan wanita yang lain!" teriak Adinda lepas.Aku cengo beberapa saat. Bukan aku buta pada sikap Hazel yang teramat peduli, tapi jujur ... rasa trauma setelah mendapat penghianatan dari Mas Andra membuatku ragu untuk membuka hati pada siapapun. Hazel sekalipun."Omong kosong!""Terserah apa katamu, Helena! Aku, untuk terakhir kalinya aku minta tolong padamu ... gantikan posisiku, Len. Kau tega jika aku berbohong atas kehamilan ini pada Hazel dan semua keluarganya?"Mata yang terasa panas sejenak aku pejamkan. Kebimbangan menguasai hati ini, bagaimana tidak ... berkorban untuk Adinda sama halnya dengan aku rela mengenyam semua cacian orang-orang karena dianggap merebut Hazel darinya.Ingin menolak, aku tidak kuasa melih
***Aku mengendarai mobil dengan perasaan gamang. Sebenarnya apa yang sedang adinda rencanakan? Baru saja selesai masalah Mas Andra dan keluarganya, sekarang justru datang masalah baru lagi. Apa aku memang ditakdirkan untuk hidup tidak tenang?Belum lagi Mama Fiona yang kerap menggangguku dan memaksa aku mencabut tuntutan untuk Anita. Lama-lama aku lelah hidup di kota ini.Haruskah kubiarkan perusahaan Papa terbengkalai?Atau aku merekrut staf baru yang bisa kujadikan kaki tangan?Sesampainya di depan rumah Andra, sengaja aku memarkir mobil tanpa masuk ke halaman meskipun salah satu satpam mereka sudah membuka pintu dengan lebar."Enggak dimasukkan saja mobilnya, Non?"Aku menggeleng samar kemudian melangkah ragu masuk ke dalam rumah Andra. Rumah yang selama ini sudah aku anggap sebagai rumah saudaraku sendiri.Di ruang tamu, Om Prabu dan Tante Nela berdiri saling bersisian sementara Andra terlihat sedang menenangkan Adinda yang tengah menangis. Entah apa maksud wanita itu?"Len," pa
***"Hentikan omong kosongmu, Helena!" sentak Adinda sengit. "Kebohongan apa lagi yang sedang kamu mainkan, hah?"Aku bersedekap dada menatap Adinda yang terlihat sangat panik. "Din, ini memang rekaman CCTV di ruang tamu, Helena. Aku yang membantu memasangnya," ucap Hazel. "Aku nggak nyangka kalau kamu ....""Mas!" pekik Adinda, "Tega ya kamu nuduh aku seperti itu. Semua ini akal-akalan Helena!"Adinda menangis. Dia meremas dada sambil menatap lekat ke arahku yang tengah duduk tenang di sisi Tante Nela dan Om Prabu."Aku ... mana mungkin aku datang ke rumah wanita lain dan memintanya untuk menikah denganmu. Apa kau pikir aku sebodoh itu, Mas?""Nyatanya kamu memang bodoh, Din," selaku. Wajah Adinda memerah. Kedua matanya yang sudah bersimbah air mata menatap nyalang ke arahku. "Kau pasti tidak menyangka jika ada CCTV di rumahku, iya kan?""Aku tidak tau apa sebenarnya yang sedang kamu rencanakan, Adinda. Tapi, ketika kamu berani menyeret namaku, maka kupastikan semua kebusukanmu akan
***"Ternyata benar dugaanku, kau mencintainya kan?"Hazel membuang muka. Tentang perasaannya pada Helena bukanlah rahasia yang tidak bisa orang lain tebak. Bagaimana cara pria itu memperlakukan Helena selama ini sudah menjadi jawaban betapa Helena adalah wanita spesial di hati Hazel."Katakan, Hazel!" teriak Adinda. "Aku tidak salah sudah merencanakan ini, bukan? Seharusnya kamu bisa menjauhi Helena karena sebentar lagi kita menikah!" Suara Adinda terdengar menggebu-gebu apalagi ketika matanya tanpa sengaja bersirobok dengan mata Helena yang justru terlihat begitu tenang."Kau mau tau kenapa aku melakukan ini, hah? Aku benci, muak dan ingin sekali rasanya mencabik-cabik wajahnya!" ucap Adinda sembari menunjuk Helena yang saat ini tengah duduk dengan santai. "Kau ... kenapa selalu Helena yang kau pikirkan. Ada aku, aku adalah calon istrimu!""Cukup, Adinda!" bentak Hazel. "Jangan meninggikan suaramu di rumahku. Cukup!"Adinda terengah-engah. Semua sesak di dalam dada ia keluarkan di d
***"Mas, kita bisa bicarakan ini baik-baik," rengek Adinda disertai kedua mata yang berkaca-kaca. "Pernikahan kita tinggal dua minggu lagi, apa kata orang-orang kalau tiba-tiba semuanya dibatalkan?"Hazel menoleh. Tatapannya tajam seakan tengah menguliti wajah Adinda. Kedua tangannya mencengkeram kemudi sambil sesekali menghela napas kasar."Seharusnya itu yang kamu pikirkan sebelum bertindak bodoh," sahut Hazel sarkas. "Bisa-bisanya kamu memfitnah Helena dan hampir saja membuat hubungan keluarga kami hancur, hah?!""Mas!" Adinda memekik kesal. "Rencana pernikahan kita hampir hancur dan kamu ... masih memikirkan Helena?" Wanita di samping Hazel itu menggeleng lemah. Tidak habis pikir dengan pola pikir keluarga calon suaminya itu. "Disini aku loh yang dirugikan, Mas!""Semua ini terjadi gara-gara Helena!" ucapnya sengit. "Andai saja dari awal kalian bukan teman dekat, aku tidak mungkin berbuat sejauh ini. Mas tau, aku cemburu!""Tapi cemburumu tidak beralasan, Adinda!" bentak Hazel. "
***Hazel menghentikan langkah tanpa menoleh. Jantungnya berdegup kencang menahan agar marahnya tidak memuncak di depan para wanita yang kini tengah menatapnya nyalang."Sebenarnya siapa calon istri kamu, Adinda ... atau Helena?" tanya Ibu sambil tersenyum sinis. "Seharusnya, sebagai calon suami yang baik dan bertanggung jawab, bela Adinda, bela calon istrimu agar tidak diinjak-injak oleh wanita lain!"Hazel memejamkan matanya erat. Pria itu berulang kali menghela napas kasar mendengar Ibu Adinda berulang-ulang memojokkan Helena."Saya akan membela Adinda ... kalau dia melakukan hal benar tapi orang-orang justru menganggapnya salah," sahut Hazel tenang. "Tapi jika yang Adinda lakukan salah ... setelah saya berusaha untuk menegurnya dan dia tidak sadar atas kesalahan yang dia perbuat. Maaf, sebelum hubungan ini berjalan terlalu jauh, saya kembali dia pada Ibu, semoga Ibu bisa mendidiknya lebih baik lagi karena saya menolak menikahi wanita penuh topeng.""Cuih! Alasan klasik," cibir Ibu
***"Akhirnya kamu pulang juga, Len ...."Helena kaget ketika mendapati Mama Desinta dan Kamila berdiri di depan rumahnya. Penampilan keduanya benar-benar berbanding terbalik dengan saat keduanya masih bergantung hidup pada Helena."Mang, buka pagarnya!"Mamang mengangguk patuh. Dibukanya pintu pagar tanpa mempersilahkan dua wanita beda generasi itu untuk masuk."Tutup, Mang!"Mama Desinta terbelalak mendengar ucapan Helena dari halaman rumah. Sontak saja wanita yang hampir menginjak kepala lima itu berlari mencegah pintu pagar agar tidak tertutup."Len, tolong Mama, Len!" teriaknya lantang. "Helena ... tolong biarkan Mama dan Kamila masuk, kami butuh bantuan kamu!""Mama benar, Mbak," sahut Kamila sambil menangis. "Mas Andra sakit keras, dia butuh kamu!"Helena menghentikan langkah. Bukan karena masih peduli dengan keadaan Andra, hanya saja dia merasa janggal dengan ucapan Kamila. Pasalnya, beberapa hari yang lalu Helena datang ke kantor polisi untuk mengabarkan pada Andra bahwa sura