***"Mas, kita bisa bicarakan ini baik-baik," rengek Adinda disertai kedua mata yang berkaca-kaca. "Pernikahan kita tinggal dua minggu lagi, apa kata orang-orang kalau tiba-tiba semuanya dibatalkan?"Hazel menoleh. Tatapannya tajam seakan tengah menguliti wajah Adinda. Kedua tangannya mencengkeram kemudi sambil sesekali menghela napas kasar."Seharusnya itu yang kamu pikirkan sebelum bertindak bodoh," sahut Hazel sarkas. "Bisa-bisanya kamu memfitnah Helena dan hampir saja membuat hubungan keluarga kami hancur, hah?!""Mas!" Adinda memekik kesal. "Rencana pernikahan kita hampir hancur dan kamu ... masih memikirkan Helena?" Wanita di samping Hazel itu menggeleng lemah. Tidak habis pikir dengan pola pikir keluarga calon suaminya itu. "Disini aku loh yang dirugikan, Mas!""Semua ini terjadi gara-gara Helena!" ucapnya sengit. "Andai saja dari awal kalian bukan teman dekat, aku tidak mungkin berbuat sejauh ini. Mas tau, aku cemburu!""Tapi cemburumu tidak beralasan, Adinda!" bentak Hazel. "
***Hazel menghentikan langkah tanpa menoleh. Jantungnya berdegup kencang menahan agar marahnya tidak memuncak di depan para wanita yang kini tengah menatapnya nyalang."Sebenarnya siapa calon istri kamu, Adinda ... atau Helena?" tanya Ibu sambil tersenyum sinis. "Seharusnya, sebagai calon suami yang baik dan bertanggung jawab, bela Adinda, bela calon istrimu agar tidak diinjak-injak oleh wanita lain!"Hazel memejamkan matanya erat. Pria itu berulang kali menghela napas kasar mendengar Ibu Adinda berulang-ulang memojokkan Helena."Saya akan membela Adinda ... kalau dia melakukan hal benar tapi orang-orang justru menganggapnya salah," sahut Hazel tenang. "Tapi jika yang Adinda lakukan salah ... setelah saya berusaha untuk menegurnya dan dia tidak sadar atas kesalahan yang dia perbuat. Maaf, sebelum hubungan ini berjalan terlalu jauh, saya kembali dia pada Ibu, semoga Ibu bisa mendidiknya lebih baik lagi karena saya menolak menikahi wanita penuh topeng.""Cuih! Alasan klasik," cibir Ibu
***"Akhirnya kamu pulang juga, Len ...."Helena kaget ketika mendapati Mama Desinta dan Kamila berdiri di depan rumahnya. Penampilan keduanya benar-benar berbanding terbalik dengan saat keduanya masih bergantung hidup pada Helena."Mang, buka pagarnya!"Mamang mengangguk patuh. Dibukanya pintu pagar tanpa mempersilahkan dua wanita beda generasi itu untuk masuk."Tutup, Mang!"Mama Desinta terbelalak mendengar ucapan Helena dari halaman rumah. Sontak saja wanita yang hampir menginjak kepala lima itu berlari mencegah pintu pagar agar tidak tertutup."Len, tolong Mama, Len!" teriaknya lantang. "Helena ... tolong biarkan Mama dan Kamila masuk, kami butuh bantuan kamu!""Mama benar, Mbak," sahut Kamila sambil menangis. "Mas Andra sakit keras, dia butuh kamu!"Helena menghentikan langkah. Bukan karena masih peduli dengan keadaan Andra, hanya saja dia merasa janggal dengan ucapan Kamila. Pasalnya, beberapa hari yang lalu Helena datang ke kantor polisi untuk mengabarkan pada Andra bahwa sura
***Helena tidur dalam keadaan menangis. Setelah puas meluapkan air matanya, dia terbang ke alam mimpi berharap kedua orang tuanya hadir meskipun dalam ilusi.Menjelang pagi, Bik Asih mengetuk pintu kamar berharap Helena bangun sudah dalam keadaan mood yang baik."Non, bangun, Non," ucap Bik Asih.Helena menggeliat. Mukena yang ia kenakan masih melekat. Ternyata dia tertidur dengan sisa-sisa air mata setelah sholat subuh."Ya, Bik," sahurnya lirih. "Aku sudah bangun."Bik Asih tidak bersuara lagi. Wanita paruh baya itu kembali ke dapur setelah memastikan Helena terbangun dari tidurnya. Tring ....Helena memicing. Ponselnya berdering nyaring di atas nakas yang menampilkan nama Hazel di layarnya.Enggan menerima panggilan, dia menolak telepon Hazel dan mematikan ponselnya untuk sementara. Tadi malam, sekertaris barunya sudah ia minta untuk menghandle Perusahaan selama satu minggu. Helena ingin meliburkan diri meskipun sesekali memantau perkembangan produk keluaran terbaru dari file yan
***"Sudah sewajarnya, Non. Saya bekerja disini memang untuk mengabdi," kata Bik Asih. "Pekerjaan ringan dengan gaji besar seperti yang saya dapatkan ini pasti sedang diburu banyak orang. Beruntung Mas Hazel membawa Bibi kesini.""Bibi bisa aja!" Helena terkekeh mendengar ucapan Bik Asih yang terlalu banyak merendah dan tanpa sadar memuji betapa baiknya Helena. "Ya sudah, aku mau naik ke atas dulu ya, Bik. Bilang ke Mamang nanti siang kita liburan.""Siap, Non!"Helena melangkah gontai memasuki kamarnya yang kian hari kian terasa sepi. Pernikahan bersama Andra belum menghasilkan anak membuat rumahnya semakin sunyi. Hanya ada Bik Asih, Mamang dan juga dirinya sendiri yang terkadang lebih suka menghabiskan waktu di Cafe sendirian karena pulang ke rumah pun tidak akan ada yang menyambut riang kedatangannya. Wanita cantik dengan setelan baju santai itu menghela napas panjang. "Sampai kapan perasaan sepi ini mengurungku, Ma?" Helena bermonolog, "Aku ingin bahagia seperti orang-orang di lu
***Tidak ada sahutan dari depan pintu kamar Helen. Hanya suara langkah kaki yang terdengar semakin menjauh dan perlahan-lahan menghilang dari pendengarannya. Helena terduduk di tepi ranjang sambil menangis. Bukan ia tidak ingin membantu Hazel dan keluarganya, bukan! Hanya saja untuk menjadi pengganti Adinda sebagai mempelai perempuan itu artinya dengan Helena siap dicaci maki banyak orang meskipun dia mencoba menjelaskan duduk perkaranya. Dan ia tidak mau hal itu terjadi. Helen tidak mau jika masalah Hazel dan Adinda berimbas pada reputasi Perusahaannya."Non ...." Suara Bik Asih menggantung di udara. "Mas Hazel sudah pergi," sambungnya ragu. Helena tidak menyahut. Dadanya kembali merasakan sesak setelah berbulan-bulan lamanya dia merasa cukup tenang karena satu per satu masalah mulai teratasi."Non ... Non Lena tidak apa-apa?" tanya Bik Asih di depan pintu. "Kalau Non Lena tidak menjawab, saya minta Mas Hazel untuk mendobrak pintu kamar ini," ancamnya panik."Aku baik, Bik," sahut
***Helena segera membersihkan diri untuk yang kedua kali. Tidak butuh waktu lama, hanya lima belas menit dia berkutat di dalam kamar dan kini sudah keluar membawa satu tas besar berisi beberapa helai pakaian sederhana.Di rumah tamu, langkahnya terhenti ketika melihat Hazel duduk bersantai sambil meminum kopi yang terlihat asapnya masih mengepul."Kamu mau kemana?" Hazel menyelidik. "Mau melarikan diri?"Helena melengos. "Bukan urusan kamu! Lagipula untuk apa aku melarikan diri? Aku bukan penyebab utama hubungan kamu dan Adinda hancur. Semua itu, gak ada sangkut pautnya denganku!""Kamu tau kalau semua yang terjadi tidak ada sangkut pautnya denganmu, lalu kenapa mau pergi? Kenapa sengaja menghindar?"Helena lagi-lagi melengos. "Dengar, Hazel ... aku tidak mau orang-orang menganggap aku adalah alasan kamu mengurungkan rencana pernikahanmu dengan Adinda. Ck, kau tau kan betapa licik calon istri kamu?!""Kalau sampai aku mendengar kabar jika Adinda membawa-bawa namaku, sungguh ... aku t
***Hazel pulang dengan membawa segenggam penyesalan dalam hati. Keputusannya untuk menikahi Adinda memang keputusan paling terburu-buru dalam hidupnya. Berawal dari takut jika rasa cintanya pada Helena tidak akan berbalas, pria itu nekat membuka hati untuk wanita lain yang ternyata memiliki kepribadian yang cukup buruk.Brengsek kah?Bisa iya, bisa juga tidak.Andai Adinda tidak mengusik Helena dan membuat fitnah murahan tentang sahabat Hazel tersebut, tentu saja rencana pernikahan mereka tidak akan berantakan. Dan poin paling pentingnya, keluarga Hazel tidak akan pernah tahu seberapa busuk hati Adinda sebenarnya. Namun, takdir seperti ingin memberitahukan pada Hazel bahwa wanita yang ia pilih, salah! Sebelum terlambat lebih jauh, akhiri semuanya cukup sampai disini saja."Bagaimana?""Sebentar lagi mungkin dia kasih kabar sama Mama dan Papa. Sekarang dia lagi pergi, entah kemana," jawab Hazel lesu. Papa Prabu dan Mama Nela saling pandang. Sejak awal mereka sudah mengatakan agar mem