***Tidak ada sahutan dari depan pintu kamar Helen. Hanya suara langkah kaki yang terdengar semakin menjauh dan perlahan-lahan menghilang dari pendengarannya. Helena terduduk di tepi ranjang sambil menangis. Bukan ia tidak ingin membantu Hazel dan keluarganya, bukan! Hanya saja untuk menjadi pengganti Adinda sebagai mempelai perempuan itu artinya dengan Helena siap dicaci maki banyak orang meskipun dia mencoba menjelaskan duduk perkaranya. Dan ia tidak mau hal itu terjadi. Helen tidak mau jika masalah Hazel dan Adinda berimbas pada reputasi Perusahaannya."Non ...." Suara Bik Asih menggantung di udara. "Mas Hazel sudah pergi," sambungnya ragu. Helena tidak menyahut. Dadanya kembali merasakan sesak setelah berbulan-bulan lamanya dia merasa cukup tenang karena satu per satu masalah mulai teratasi."Non ... Non Lena tidak apa-apa?" tanya Bik Asih di depan pintu. "Kalau Non Lena tidak menjawab, saya minta Mas Hazel untuk mendobrak pintu kamar ini," ancamnya panik."Aku baik, Bik," sahut
***Helena segera membersihkan diri untuk yang kedua kali. Tidak butuh waktu lama, hanya lima belas menit dia berkutat di dalam kamar dan kini sudah keluar membawa satu tas besar berisi beberapa helai pakaian sederhana.Di rumah tamu, langkahnya terhenti ketika melihat Hazel duduk bersantai sambil meminum kopi yang terlihat asapnya masih mengepul."Kamu mau kemana?" Hazel menyelidik. "Mau melarikan diri?"Helena melengos. "Bukan urusan kamu! Lagipula untuk apa aku melarikan diri? Aku bukan penyebab utama hubungan kamu dan Adinda hancur. Semua itu, gak ada sangkut pautnya denganku!""Kamu tau kalau semua yang terjadi tidak ada sangkut pautnya denganmu, lalu kenapa mau pergi? Kenapa sengaja menghindar?"Helena lagi-lagi melengos. "Dengar, Hazel ... aku tidak mau orang-orang menganggap aku adalah alasan kamu mengurungkan rencana pernikahanmu dengan Adinda. Ck, kau tau kan betapa licik calon istri kamu?!""Kalau sampai aku mendengar kabar jika Adinda membawa-bawa namaku, sungguh ... aku t
***Hazel pulang dengan membawa segenggam penyesalan dalam hati. Keputusannya untuk menikahi Adinda memang keputusan paling terburu-buru dalam hidupnya. Berawal dari takut jika rasa cintanya pada Helena tidak akan berbalas, pria itu nekat membuka hati untuk wanita lain yang ternyata memiliki kepribadian yang cukup buruk.Brengsek kah?Bisa iya, bisa juga tidak.Andai Adinda tidak mengusik Helena dan membuat fitnah murahan tentang sahabat Hazel tersebut, tentu saja rencana pernikahan mereka tidak akan berantakan. Dan poin paling pentingnya, keluarga Hazel tidak akan pernah tahu seberapa busuk hati Adinda sebenarnya. Namun, takdir seperti ingin memberitahukan pada Hazel bahwa wanita yang ia pilih, salah! Sebelum terlambat lebih jauh, akhiri semuanya cukup sampai disini saja."Bagaimana?""Sebentar lagi mungkin dia kasih kabar sama Mama dan Papa. Sekarang dia lagi pergi, entah kemana," jawab Hazel lesu. Papa Prabu dan Mama Nela saling pandang. Sejak awal mereka sudah mengatakan agar mem
***"Oke, baik! Mama sama Papa bebas menghardikku sekarang, tapi tolong ... beri aku solusi!" rengek Hazel frustrasi. "Kita ke rumah Adinda, bagaimanapun keluarganya pasti syok dan tidak terima jika pernikahan ini tiba-tiba dibatalkan sepihak," kata Papa Prabu bijak. "Ayo!"Hazel melangkah gontai mengikuti langkah Papa dan Mamanya dari belakang. Dengan tekad yang bulat, dia tetap akan membatalkan pernikahan ini karena perangai Adinda yang sudah ketahuan bobroknya. "Pa, apa tidak sebaiknya memang pernikahan ini batal?" tanya Mama ragu, "Mama merasa memang Adinda itu bukan wanita baik."Hazel memilih bungkam. Biar lah nanti kedua orang tuanya mengerti dengan sendirinya mengapa ia kekeuh membatalkan pernikahan ini karena Adinda yang ternyata sedang mengandung anak dari pria lain."Kalau kedua orang tua Adinda menolak pernikahan ini batal, mau tidak mau Hazel harus mempertanggungjawabkan keputusannya sejak awal.""Pa!" seru Mama Nela sengit. "Itu sama saja dengan Papa menumbalkan anak s
***"Setelah memutuskan acara pernikahan secara sepihak, kenapa kalian baru datang? Kalian pikir kami keluarga miskin yang pantas diperlakukan seperti ini?" Bapak Adinda kembali naik pitam. "Sejak tadi kami menunggu kedatangan kalian, bagaimana bisa Hazel membatalkan acara pernikahan sementara dua minggu lagi acara itu digelar? Belum lagi ... Adinda hamil, mau ditaruh dimana muka saya sebagai orang tua, Pak?"Pak Prabu mengusap wajahnya kasar. Pun dengan Bu Nela, dua pasangan itu tidak menyangka jika kejadiannya akan semakin rumit karena mereka pikir Hazel sengaja menyembunyikan kebenaran tentang kehamilan Adinda."Kami akan bertanggung jawab, Hazel tetap akan menikahi Adinda," kata Pak Prabu mencetak senyum sinis di bibir Ibu Adinda. "Memang seharusnya seperti itu. Enak sekali sudah mereguk madu, dia ludahkan begitu saja. Anakku bukan wanita murahan!" seru Ibu Adinda kalap. "Kedua orang tua kamu sangat santun, sayang sekali ternyata kelakuan kamu begitu minus, Hazel. Apa jangan-jang
***"Kenapa pucat sekali?" Hazel menarik ujung bibirnya sinis. "Kalau memang dia darah dagingku, seharusnya kamu tidak perlu panik, Adinda."Mata Adinda berkaca-kaca. Kepalanya menggeleng samar berharap Hazel mau memberinya waktu dan tidak memaksa untuk melakukan Tes DNA hari ini juga. "Apa yang kamu katakan, Hazel?" Pak Prabu naik pitam. Tangannya terkepal kuat, takut-takut jika tanpa kontrol pria paruh bay itu justru menghajar putranya sendiri. "Jangan bikin semuanya semakin sulit. Kalau kamu memang pernah berbuat seperti itu dengan Adinda ....""Aku kecewa dengan Papa," sela Hazel sinis. "Papa pikir aku se-brengsek itu?""Lalu bayi siapa yang dia kandung?" Bu Nela menimpali. "Kalau bukan kamu, lalu siapa ayah dari calon bayi Adinda?"Brak ....Bapak Adinda menggebrak meja dengan kuat. Dadanya membusung mendengar keluarga Hazel memojokkan Adinda karena kehamilan yang tidak Hazel akui. "Kalian bersekongkol?" teriak Bapak Adinda lantang. "Kalian sekeluarga sengaja tidak mau mengakui
***"Semua yang berkaitan denganku, sudah bukan menjadi urusanmu lagi, Adinda!" ucap Hazel sengit. "Dan ya, jangan pernah menyamakan dirimu dengan Helena. Kamu dan dia ... sangat berbeda!" Hazel menarik ujung bibirnya sinis. Adinda melengos sambil menyusut air di hidungnya. Dadanya kembang kempis. Kekesalannya pada Helena masih berlanjut hingga detik ini."Mulai detik ini, saya dan keluarga saya mohon maaf karena harus membatalkan rencana pernikahan ini, Pak. Terima kasih atas semua cacian yang anda berikan pada kami," kata Hazel sambil terkekeh. "Maaf sekali lagi, tapi saya sangat menjaga ajaran kedua orang tuanya. Terima kasih banyak, Pak, Bu ... kalimat-kalimat pedas tadi masih saya simpan dengan baik."Pak Prabu dan Bu Nela saling pandang. Sejenak dua pasangan paruh baya itu merasa bersalah pada Hazel. Betapa mereka meragukan sikap putranya sendiri dan memaksa Hazel mengakui perbuatan yang tidak pernah dia lakukan. Bapak dan Ibu Adinda gelagapan. Wanita paruh baya itu tiba-tiba m
***Hazel melengos. Berulang kali dia menarik dan membuang napas dengan kasar. Tatapannya menerawang jauh pada jalanan di depan sana. "Papa yang akan bicara sama dia," ucap Pak Prabu lagi."Dan Papa pikir dia mau?" sahut Hazel sambil tersenyum sinis. "Helena tidak akan pernah mau, Pa. Bagaimana kalau dia berpikir bahwa kita sedang memanfaatkan kehadirannya? Bagaimana kalau Adinda berkoar-koar di depan semua orang dan menyalahkan Helena atas semua yang terjadi, bagaimana?"Bu Nela memijit pelipisnya dengan lembut. Sejak awal, wanita paruh baya itu menolak hubungan Hazel dan wanita bernama Adinda itu. Namun apalah daya, Hazel mengatakan kalau Adinda adalah wanita baik dan lembut. Mau tidak mau Bu Nela menyetujui pilihan putranya yang ternyata ... busuk!"Kita belum mencoba, Hazel," kata Pak Prabu gigih. "Papa akan bicara secara gamblang, dan tentu saja tidak memaksa. Kalau Helena menolak, Papa juga gak akan marah. Setidaknya kita usaha.""Helena akan berpikir sangat buruk padaku, Pa,"