***"Kenapa pucat sekali?" Hazel menarik ujung bibirnya sinis. "Kalau memang dia darah dagingku, seharusnya kamu tidak perlu panik, Adinda."Mata Adinda berkaca-kaca. Kepalanya menggeleng samar berharap Hazel mau memberinya waktu dan tidak memaksa untuk melakukan Tes DNA hari ini juga. "Apa yang kamu katakan, Hazel?" Pak Prabu naik pitam. Tangannya terkepal kuat, takut-takut jika tanpa kontrol pria paruh bay itu justru menghajar putranya sendiri. "Jangan bikin semuanya semakin sulit. Kalau kamu memang pernah berbuat seperti itu dengan Adinda ....""Aku kecewa dengan Papa," sela Hazel sinis. "Papa pikir aku se-brengsek itu?""Lalu bayi siapa yang dia kandung?" Bu Nela menimpali. "Kalau bukan kamu, lalu siapa ayah dari calon bayi Adinda?"Brak ....Bapak Adinda menggebrak meja dengan kuat. Dadanya membusung mendengar keluarga Hazel memojokkan Adinda karena kehamilan yang tidak Hazel akui. "Kalian bersekongkol?" teriak Bapak Adinda lantang. "Kalian sekeluarga sengaja tidak mau mengakui
***"Semua yang berkaitan denganku, sudah bukan menjadi urusanmu lagi, Adinda!" ucap Hazel sengit. "Dan ya, jangan pernah menyamakan dirimu dengan Helena. Kamu dan dia ... sangat berbeda!" Hazel menarik ujung bibirnya sinis. Adinda melengos sambil menyusut air di hidungnya. Dadanya kembang kempis. Kekesalannya pada Helena masih berlanjut hingga detik ini."Mulai detik ini, saya dan keluarga saya mohon maaf karena harus membatalkan rencana pernikahan ini, Pak. Terima kasih atas semua cacian yang anda berikan pada kami," kata Hazel sambil terkekeh. "Maaf sekali lagi, tapi saya sangat menjaga ajaran kedua orang tuanya. Terima kasih banyak, Pak, Bu ... kalimat-kalimat pedas tadi masih saya simpan dengan baik."Pak Prabu dan Bu Nela saling pandang. Sejenak dua pasangan paruh baya itu merasa bersalah pada Hazel. Betapa mereka meragukan sikap putranya sendiri dan memaksa Hazel mengakui perbuatan yang tidak pernah dia lakukan. Bapak dan Ibu Adinda gelagapan. Wanita paruh baya itu tiba-tiba m
***Hazel melengos. Berulang kali dia menarik dan membuang napas dengan kasar. Tatapannya menerawang jauh pada jalanan di depan sana. "Papa yang akan bicara sama dia," ucap Pak Prabu lagi."Dan Papa pikir dia mau?" sahut Hazel sambil tersenyum sinis. "Helena tidak akan pernah mau, Pa. Bagaimana kalau dia berpikir bahwa kita sedang memanfaatkan kehadirannya? Bagaimana kalau Adinda berkoar-koar di depan semua orang dan menyalahkan Helena atas semua yang terjadi, bagaimana?"Bu Nela memijit pelipisnya dengan lembut. Sejak awal, wanita paruh baya itu menolak hubungan Hazel dan wanita bernama Adinda itu. Namun apalah daya, Hazel mengatakan kalau Adinda adalah wanita baik dan lembut. Mau tidak mau Bu Nela menyetujui pilihan putranya yang ternyata ... busuk!"Kita belum mencoba, Hazel," kata Pak Prabu gigih. "Papa akan bicara secara gamblang, dan tentu saja tidak memaksa. Kalau Helena menolak, Papa juga gak akan marah. Setidaknya kita usaha.""Helena akan berpikir sangat buruk padaku, Pa,"
***Hazel tersenyum smirk dan menyambar kunci mobil di atas nakas. Tidak sulit mencari keberadaan Helena, sejak awal dia memang sudah menyusun rencana dengan Bik Asih. Helena mungkin lupa jika Hazel yang sudah merekomendasikan Bik Asih sebagai asisten rumah tangga di rumahnya. "Dia kenapa mudah sekali menemukanku," gumam Helena heran. "Siapa yang jadi penghianat disini?" gumamnya lagi seraya berpikir.Kesal karena tak menemukan seseorang yang bisa ia curigai, Helena melempar kasar ponselnya di atas ranjang sederhana di rumah Bik Asih. Sambil cemberut, dia melenggang keluar kamar dan memilih duduk di belakang rumah yang terdapat hamparan sawah yang begitu luas. Tenang sekali pemandangan di desa. Sangat sejuk. Cocok untuk menghilangkan penat karena kesibukan di kota."Non, astaga ... Bibik cari kemana-mana ternyata disini." Bik Asih muncul sambil membawa sarapan di atas nampan dan segelas susu hangat. "Sarapan dulu."Helena mengulas senyum sangksi. "Harusnya makanan aku disini samakan
***"Kamu jangan nge-prank Mama ya, Hazel. Gak lucu!" Bu Nela berbicara tegas. "Sudah cukup kamu bikin malu keluarga gara-gara pernikahan kamu dan Adinda yang batal. Jangan aneh-aneh pakai bawa-bawa nama Helen ....""Ck, jangan ngomel di jalan, Ma," sela Hazel kesal. "Harusnya Mama itu berdoa semoga Helena mau menikah sama aku, bukannya malah marah-marah begini."Bu Nela menarik napas panjang. Pelan-pelan wanita cantik dengan usia yang sudah tidak muda itu menghela napasnya. "Banyak sekali doa Mama buat kamu," sahutnya lemah. "Terima kasih, Ma," kata Hazel tulus. "Aku tau kalau Mama pasti mau yang terbaik buatku."Pak Prabu menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Matanya memejam erat, kepalanya mendadak pening memikirkan rencana pernikahan putranya yang gagal dan hancur berantakan. Lalu apalagi ini? Hazel mengatakan akan menikahi Helena, ilusi kah?"Memang dimana Helen, Hazel?" Pak Prabu membuka suara. "Yakin kalau dia gak bakalan nolak kamu?"Hazel mengedikkan bahu. "Bukan perkara
***Bu Nela sedikit berlari ke arah dimana Helena berdiri dengan mulut ternganga. Melihat Helena yang baik-baik saja membuat perasaan wanita paruh baya itu sedikit lega. Dipeluknya Helena yang masih mematung di ambang pintu."Tante khawatir banget waktu Hazel bilang kamu pergi liburan gak ngasih kabar," tutur Bu Nela dengan posisi masih terus memeluk Helena. "Kamu sehat kan, Len?"Helena mengangguk. Tangannya yang sejak tadi menggantung kini sudah membalas pelukan Bu Nela dengan perasaan rindu. "Maaf, Tante," cicit Helena lirih. "Aku ....""Tante paham, sudah, jangan jelaskan apapun," sela Bu Nela.Bu Nela melepaskan pelukan sementara dua pria berbeda usia sedang berjalan mendekat. Hazel dengan wajahnya yang datar, dan Pak Prabu dengan air muka sumringah."Kamu baik-baik saja, Len?" tanya Pak Prabu. Kedua mata Helena memanas. Dia menghambur di pelukan Pak Prabu laiknya seorang putri yang tengah memeluk orang tuanya sendiri. "Maafkan Hazel, dia memang bodoh!" kata Pak Prabu sarkas. "
***"Me-- menikah?" tanya Helena gagap. "Siapa?"Bik Asih menepuk-nepuk bibirnya berulang kali karena kelepasan mengatakan rencana pernikahan Hazel yang entah akan disetujui atau tidak oleh Helena. "Siapa, Bik?" cecar Helena. "Katakan!""Anu, Non ....""Apa sih, Len, kamu kepo banget," sela Hazel cepat. "Lagian Bik Asih itu nanya ke aku, bukan kamu!"Helena menganga. Dia menatap Bik Asih dan Hazel bergantian dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. "Jangan macam-macam kamu, Hazel!" Helena berbicara ketus. "Bilang apa kamu sama Bik Asih, hah?Hazel mencebik. Dia meneguk minuman di atas meja tanpa peduli dengan tatapan tajam yang Helena lontarkan. Sementara Pak Prabu dan Bu Nela memilih diam, mereka menyerahkan sepenuhnya masalah hati ini pada Hazel dan Helena. "Tante sama Om juga tau kan?" selidik Lena. Pak Prabu dan Bu Nela mengedikkan bahu dan memilih bungkam membuat Helena mendengkus kesal dan cemberut. "Kamu kenapa marah-marah sih, Len? Harusnya kamu senang ada yang melamar," c
***Hazel seketika menghentikan tawanya dan bersikap cool. Dia memperbaiki posisi duduk dan berkata. "Menikah secara agama dan negara juga gak masalah kan, Len? Nanti resepsi kita atur saja jadwalnya."Helena nampak berpikir. Berulang kali wanita cantik itu menggigit jemarinya untuk mengusir rasa cemas. Menikah lagi sebenarnya bukan tujuan yang ingin Helena capai, ya, meskipun sebelumnya dia sempat mengiyakan permintaan dari Adinda untuk menggantikan posisinya kala itu. Siapa sangka, Adinda justru ingin menjebak Helena dan membuat nama baiknya hancur di depan keluarga Hazel. Helena masih ingin melajang. Trauma akan gagalnya pernikahan masih bersemayam di hatinya. Teringat bagaimana baiknya Andra di masa lalu namun ternyata diam-diam menghamili wanita lain.Dan mengenai Anita juga Mama Fiona ... Helena sudah lama tidak mencari tahu. Dia ingin mengubur dalam-dalam semua kenangan tentang masa lalu."Bagaimana, Len?" tanya Hazel lembut. Sikapnya yang semula mengesalkan tiba-tiba berubah