***"Kamu jangan nge-prank Mama ya, Hazel. Gak lucu!" Bu Nela berbicara tegas. "Sudah cukup kamu bikin malu keluarga gara-gara pernikahan kamu dan Adinda yang batal. Jangan aneh-aneh pakai bawa-bawa nama Helen ....""Ck, jangan ngomel di jalan, Ma," sela Hazel kesal. "Harusnya Mama itu berdoa semoga Helena mau menikah sama aku, bukannya malah marah-marah begini."Bu Nela menarik napas panjang. Pelan-pelan wanita cantik dengan usia yang sudah tidak muda itu menghela napasnya. "Banyak sekali doa Mama buat kamu," sahutnya lemah. "Terima kasih, Ma," kata Hazel tulus. "Aku tau kalau Mama pasti mau yang terbaik buatku."Pak Prabu menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Matanya memejam erat, kepalanya mendadak pening memikirkan rencana pernikahan putranya yang gagal dan hancur berantakan. Lalu apalagi ini? Hazel mengatakan akan menikahi Helena, ilusi kah?"Memang dimana Helen, Hazel?" Pak Prabu membuka suara. "Yakin kalau dia gak bakalan nolak kamu?"Hazel mengedikkan bahu. "Bukan perkara
***Bu Nela sedikit berlari ke arah dimana Helena berdiri dengan mulut ternganga. Melihat Helena yang baik-baik saja membuat perasaan wanita paruh baya itu sedikit lega. Dipeluknya Helena yang masih mematung di ambang pintu."Tante khawatir banget waktu Hazel bilang kamu pergi liburan gak ngasih kabar," tutur Bu Nela dengan posisi masih terus memeluk Helena. "Kamu sehat kan, Len?"Helena mengangguk. Tangannya yang sejak tadi menggantung kini sudah membalas pelukan Bu Nela dengan perasaan rindu. "Maaf, Tante," cicit Helena lirih. "Aku ....""Tante paham, sudah, jangan jelaskan apapun," sela Bu Nela.Bu Nela melepaskan pelukan sementara dua pria berbeda usia sedang berjalan mendekat. Hazel dengan wajahnya yang datar, dan Pak Prabu dengan air muka sumringah."Kamu baik-baik saja, Len?" tanya Pak Prabu. Kedua mata Helena memanas. Dia menghambur di pelukan Pak Prabu laiknya seorang putri yang tengah memeluk orang tuanya sendiri. "Maafkan Hazel, dia memang bodoh!" kata Pak Prabu sarkas. "
***"Me-- menikah?" tanya Helena gagap. "Siapa?"Bik Asih menepuk-nepuk bibirnya berulang kali karena kelepasan mengatakan rencana pernikahan Hazel yang entah akan disetujui atau tidak oleh Helena. "Siapa, Bik?" cecar Helena. "Katakan!""Anu, Non ....""Apa sih, Len, kamu kepo banget," sela Hazel cepat. "Lagian Bik Asih itu nanya ke aku, bukan kamu!"Helena menganga. Dia menatap Bik Asih dan Hazel bergantian dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. "Jangan macam-macam kamu, Hazel!" Helena berbicara ketus. "Bilang apa kamu sama Bik Asih, hah?Hazel mencebik. Dia meneguk minuman di atas meja tanpa peduli dengan tatapan tajam yang Helena lontarkan. Sementara Pak Prabu dan Bu Nela memilih diam, mereka menyerahkan sepenuhnya masalah hati ini pada Hazel dan Helena. "Tante sama Om juga tau kan?" selidik Lena. Pak Prabu dan Bu Nela mengedikkan bahu dan memilih bungkam membuat Helena mendengkus kesal dan cemberut. "Kamu kenapa marah-marah sih, Len? Harusnya kamu senang ada yang melamar," c
***Hazel seketika menghentikan tawanya dan bersikap cool. Dia memperbaiki posisi duduk dan berkata. "Menikah secara agama dan negara juga gak masalah kan, Len? Nanti resepsi kita atur saja jadwalnya."Helena nampak berpikir. Berulang kali wanita cantik itu menggigit jemarinya untuk mengusir rasa cemas. Menikah lagi sebenarnya bukan tujuan yang ingin Helena capai, ya, meskipun sebelumnya dia sempat mengiyakan permintaan dari Adinda untuk menggantikan posisinya kala itu. Siapa sangka, Adinda justru ingin menjebak Helena dan membuat nama baiknya hancur di depan keluarga Hazel. Helena masih ingin melajang. Trauma akan gagalnya pernikahan masih bersemayam di hatinya. Teringat bagaimana baiknya Andra di masa lalu namun ternyata diam-diam menghamili wanita lain.Dan mengenai Anita juga Mama Fiona ... Helena sudah lama tidak mencari tahu. Dia ingin mengubur dalam-dalam semua kenangan tentang masa lalu."Bagaimana, Len?" tanya Hazel lembut. Sikapnya yang semula mengesalkan tiba-tiba berubah
***"Jangan sembarangan kamu, Len ...." Hazel menatap sengit pada Helena yang justru nyengir di sebelah Bu Nela. "Kamu pikir aku se-brengsek itu?"Helena mengedikkan bahu. "Kamu memang breng ....""Kalau aku brengsek, aku sudah perkosa kamu waktu kamu ketiduran tanpa baju di bathtub ....""Hazel!" Helena memekik malu. Wajahnya memanas sementara dia menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangan. "Ketiduran di bathtub, kok bisa?" tanya Bu Nela menyelidik. "Kecapean atau gimana ....""Tanya sendiri sama orangnya, Ma! Aku sama Bik Asih sampai panik, kami kira dia pingsan karena pintu kamar udah digedor-gedor tapi gak dibuka sama dia!" Hazel menggerutu. "Pikiranku waktu itu udah over banget, kukira juga dia patah hati gara-gara aku sama Dinda mau menikah ....""Pede!" sela Helena seraya mencebik. "Jangan mengada-ada ya kamu, Hazel! Sok cakep!"Semua orang yang ada di ruang tamu tertawa mendengar perdebatan Helena dan Hazel. Tidak terkecuali Pak Prabu, diam-diam hatinya merasa lega karena
***Helena masih terpaku di depan rumah dengan senyum yang masih mengembang. Melihat Sang Majikan bersemu sambil senyum-senyum tidak jelas, Bik Asih mengulum bibirnya menahan tawa. Jarang, atau bahkan hampir tidak pernah Helena terlihat sebahagia ini."Non, mobilnya sudah pergi. Sudah dong senyumnya," goda Bik Asih.Helena terperanjat. Alih-alih marah, wanita cantik itu justru bergelayut manja di lengan Bik Asih dan berkata. "Terima kasih banyak ya, Bik.""Saya gak melakukan apa-apa, Non. Terima kasih untuk apa?""Tanpa Bibi, mungkin sekarang aku tidak sebahagia ini."Bik Asih mengangguk samar. "Bibi minta maaf ya, Non. Maaf sekali karena sudah lancang memberitahukan keberadaan Non Lena. Tapi ... Bibi hanya ingin Non Lena mendapatkan seseorang yang benar-benar tulus menyayangi Non.""Apa Bibi melihat ketulusan itu pada keluarga Hazel?""Saya rasa Non Lena pun tahu jawabannya," sahut Bik Asih seraya tersenyum. "Bu Nela, Pak Prabu dan Pak Hazel terlihat sangat tulus, Non."Helena mengan
***Menjelang sore hari, ponsel Helena berdering nyaring membuatnya terpaksa bangun dari tidur siang yang teramat panjang."Kamu kemana saja sih, Len? Aku telepon dari tadi bukannya langsung diangkat ....""Baru bangun tidur," sela Helena. "Ada apa?""Ck, tidur dari jam berapa sekarang baru bangun?" cecar Hazel kesal. "Aku telepon kamu dari jam satu siang dan sekarang sudah jam lima sore. Kamu bilang baru bangun?""Aku lelah," sahut Helena malas. Enggan berdebar dengan Hazel di sambungan telepon. "Kalau mau ngajakin ribut, nanti malam saja ya, aku belum makan. Lapar."Hazel menyentak napasnya kasar. "Jangan sampai jatuh sakit menjelang hari pernikahan kita. Awas kamu!""Iya ....""Makan dulu gih! Setelah makan telepon aku, ada yang mau aku bicarakan.""Baiklah," sahut Helena mengalah. "Nanti malam aku telepon balik. Selamat sore.""Waalaikumsalam, Len."Helena membuka matanya lebar. Sejenak dia menatap layar ponsel yang sudah terputus panggilannya. "Benar Hazel kan itu tadi?" gumam He
***"Maaf sudah menggantung perasaan kamu cukup lama, Hazel.""Aku mengerti. Tidak masalah, Len. Semua orang butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya," sahut Hazel bijak. "Tapi aku yakin sekali kamu mau membuka hati karena memiliki perasaan yang sama sepertiku. Benar kan?"Helena mencebik. Seketika ia mengusap air matanya dengan gerakan kasar dan berkata. "Aku mau marah mendengar tingkat ke-pede-an kamu, tapi ... itu semua benar."Hazel tergelak di seberang sana. Pun dengan Helena, perlahan senyum tipis tergambar di sudut bibirnya. "Tidurlah, besok aku jemput!""Ijinkan aku pulang sendiri, aku ... gak mau ada orang yang tau tentang kedekatan kita sementara waktu sampai Adinda benar-benar merelakan kamu, Hazel."Hazel bergeming. Sambungan telepon mendadak hening karena keduanya yang tengah berkutat dengan pikiran masing-masing."Kalau memang itu yang kamu mau, baiklah, tapi ... pastikan kamu sampai di rumah dengan selamat. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku. Mengerti?""Mengerti sekal
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,