***Menjelang sore hari, ponsel Helena berdering nyaring membuatnya terpaksa bangun dari tidur siang yang teramat panjang."Kamu kemana saja sih, Len? Aku telepon dari tadi bukannya langsung diangkat ....""Baru bangun tidur," sela Helena. "Ada apa?""Ck, tidur dari jam berapa sekarang baru bangun?" cecar Hazel kesal. "Aku telepon kamu dari jam satu siang dan sekarang sudah jam lima sore. Kamu bilang baru bangun?""Aku lelah," sahut Helena malas. Enggan berdebar dengan Hazel di sambungan telepon. "Kalau mau ngajakin ribut, nanti malam saja ya, aku belum makan. Lapar."Hazel menyentak napasnya kasar. "Jangan sampai jatuh sakit menjelang hari pernikahan kita. Awas kamu!""Iya ....""Makan dulu gih! Setelah makan telepon aku, ada yang mau aku bicarakan.""Baiklah," sahut Helena mengalah. "Nanti malam aku telepon balik. Selamat sore.""Waalaikumsalam, Len."Helena membuka matanya lebar. Sejenak dia menatap layar ponsel yang sudah terputus panggilannya. "Benar Hazel kan itu tadi?" gumam He
***"Maaf sudah menggantung perasaan kamu cukup lama, Hazel.""Aku mengerti. Tidak masalah, Len. Semua orang butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya," sahut Hazel bijak. "Tapi aku yakin sekali kamu mau membuka hati karena memiliki perasaan yang sama sepertiku. Benar kan?"Helena mencebik. Seketika ia mengusap air matanya dengan gerakan kasar dan berkata. "Aku mau marah mendengar tingkat ke-pede-an kamu, tapi ... itu semua benar."Hazel tergelak di seberang sana. Pun dengan Helena, perlahan senyum tipis tergambar di sudut bibirnya. "Tidurlah, besok aku jemput!""Ijinkan aku pulang sendiri, aku ... gak mau ada orang yang tau tentang kedekatan kita sementara waktu sampai Adinda benar-benar merelakan kamu, Hazel."Hazel bergeming. Sambungan telepon mendadak hening karena keduanya yang tengah berkutat dengan pikiran masing-masing."Kalau memang itu yang kamu mau, baiklah, tapi ... pastikan kamu sampai di rumah dengan selamat. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku. Mengerti?""Mengerti sekal
*** "E-- eh, Mas, kamu bisa tunggu aku sebentar saja? Ak-- aku ada urusan sama teman lama.""Urusan apa sampai-sampai Mas harus nunggu kamu lebih lama lagi, hem? Din, makanan kita bahkan sudah datang, ayo!"Sudut bibir Helena terangkat. Geli sekali ketika mendengar perempuan yang usianya setara dengannya harus memanggil seorang pria yang lebih tua dengan sebutan 'Mas'."Mas ...." Adinda merengek. "Sebentar saja, please!"Pria yang rambutnya sedikit dihiasi uban itu terdengar menghela napas panjang. "Baiklah. Lima menit, kalau lebih dari itu Mas gak akan menunggu kamu lagi.""Terima kasih," ucap Adinda senang. Sebuah kecupan mendarat di pipi Adinda membuat Helena segera memalingkan muka. Geli, juga mual. Adinda berdiri kikuk, setelah kepergian kekasihnya, dia mencekal bahu Helena dan berbisik. "Kalau sampai kejadian hari ini tersebar, aku gak akan maafkan kamu, Len!""Kalau begitu kita impas," sahut Helena asal. "Kamu gak akan memaafkan aku, dan aku juga menolak untuk memaafkan semua
***Hazel tergelak sementara Helena mencebik geram. "Kalau mau, sejak awal sudah kunodai kamu, Len.""Hazel!" Helena mengeram. "Cukup! Kamu kesini sebenarnya mau bicara apa?"Hazel mengedikkan bahu. Dia duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Mama mau kamu memakai gaun ini di acara pernikahan nanti."Helena menerima ponsel Hazel dan menatap seksama pada sebuah gambar gaun yang begitu mewah dan indah. "Tapi kita sudah sepakat pakai jasa teman lamaku, Hazel.""Tidak masalah, kita selipkan gaun pilihan Mama juga. Kamu bisa berganti gaun tiga kali, itu masalah buatmu?"Helena nampak berpikir sebelum akhirnya dia mengangguk pasrah. "Baiklah, demi Mama," ucapnya tegas. "Kapan kita mulai fitting bajunya?""Besok siang, Mama sudah membuat janji jadi mau gak mau kita harus ikut."Helena mengangguk paham. "Urusan kantor biar ....""Biar aku yang urus. Kamu keberatan aku mengelola Perusahaan orang tuamu?"Helena menunduk. Kilas masa lalu kembali menguasai pikirannya. Ketika A
***Andra tertawa mengejek bahkan tanpa segan mantan suami Helena itu menepuk-nepuk bahu Hazel sok simpati. "Jangan berbohong di depanku, kau pikir selama ini penjara aku tidak update berita tentang kalian, hah?" Andra memainkan kedua alisnya. "Kau sebentar lagi akan menikah, Hazel, jadi jangan bersikap sok pahlawan untuk Helena.""Dia ... mantan istriku tidak butuh kamu melainkan aku. Aku yang akan menjaganya untuk menebus rasa bersalah atas semua yang sudah aku lakukan padanya dulu. Jadi ... menyingkir lah!"Helena mencebik. Dia membuang muka ketika Andra dengan sengaja mencondongkan tubuh ke arahnya. "Kamu mau kan, Len, memulai semuanya dari awal lagi?"Tubuh Hazel menegang geram. Helena bisa merasakan dari cengkeraman tangan Hazel pada bahunya. Dari belakang, lengan Helena melingkar di pinggang Hazel sambil sesekali memberi usapan lembut sebagai isyarat agar Hazel tidak terpancing emosi."Berhenti memainkan drama murahan di depanku, Lena. Sejak dulu, kamu bahkan tidak pernah menc
***"Kamu yakin, Len?" Bu Nela nampak tidak percaya dengan ucapan Helena. "Dua ... dua minggu lagi, iya?"Helena mengangguk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Boleh ya, Ma?""Bilang apa kamu ini, Len!" jawab Bu Nela cepat. "Ya jelas boleh, Sayang. Sangat boleh, bahkan kalau kalian mau menikah besok, Mama dengan senang hati ....""Ck, Mama pikir menikah gak butuh persiapan matang? Kemarin saja gaun sudah dua kali ganti designer. Kalau tiba-tiba menikah besok, itu para perancang gaun bakalan lupa tidur gara-gara pesanan Mama," gerutu Hazel panjang lebar. "Mama sih enak tinggal bilang, ganti Hazel, jangan gaun yang itu, gak cocok sama Lena." Hazel berbicara mengikuti gaya bicara Bu Nela. Helena dan Bu Nela tertawa lebar mendengar Hazel menggerutu sementara Pak Prabu hanya geleng-geleng melihat keributan kecil yang diciptakan anak dan istrinya."Kalau begitu, mulai besok orang-orang Papa yang akan menyebarkan undangan pernikahan kalian," kata Pak Prabu menengahi. "Kalian berd
***Seminggu berlalu, semua persiapan pernikahan sudah diatur sempurna oleh Hazel. Minggu ini keduanya ada janji dengan designer pilihan Bu Nela, mau tidak mau Helena meninggalkan Perusahaan di jam makan siang. "Hati-hati di jalan ya, Bu," kata Vinara ramah. Helena mengangguk sambil tersenyum. "Makasih ya, Ra. Aku pergi dulu, kalau ada apa-apa langsung telepon. Oke?""Baik, Bu!"Helena berjalan anggun sambil sesekali membalas pesan Hazel. Pria itu sengaja menunggu di dalam mobil atas permintaan Helena. Dia tidak mau para staf heboh karena keduanya berjalan beriringan. "Len, kita perlu bicara!" Tiba-tiba saja pergelangan tangan Helena ditarik kasar oleh seorang pria. Tubuh Lena dihentakkan ke tembok hingga bibir berlapis lip tint berwarna peach itu mengaduh kesakitan. "Aw!""Jangan berusaha membodohiku, Helena. Kamu ... kamu masih mencintaiku, iya kan?"Helena menarik tangannya kasar. Matanya menatap nyalang pada sosok pria di depannya. Andra. Mantan suaminya itu terlampau berani mun
***"Kau yang memanggil semua security itu, hah? Banci!" Andra mencibir sinis. "Takut babak belur kamu, brengsek?"Hazel sedikit mundur. Tangannya bersedekap dada dan berkata, "Bukan aku, mungkin saja calon istriku yang memanggilnya. Dia tidak mau aku terluka apalagi minggu depan kita menikah. Tidak lucu bukan kalau ada berita yang mengatakan 'Hazel dihajar oleh mantan suami Helena yang gagal move on'. Tidak tau diri.""Brengsek!"Keamanan Perusahaan segera mengepung Andra dan mengunci pergerakan mantan suami Helena. "Lepaskan aku!" Andra berteriak marah. "Akan aku hajar pria brengsek itu, minggir kalian semua!"Melihat Andra tidak bisa berkutik, Helena keluar dari dalam mobil dan langsung berlari mendekati Hazel. Tanpa sadar, perempuan itu meraba wajah Hazel dengan panik. Helena menghela napas lega ketika melihat wajah calon suaminya baik-baik saja. "Kamu baik-baik saja?" tanya Helena lemah. Kepalanya dia rebahkan pada dada Hazel yang sempat bergemuruh menahan emosi karena menghadapi