***"Maaf sudah menggantung perasaan kamu cukup lama, Hazel.""Aku mengerti. Tidak masalah, Len. Semua orang butuh waktu untuk menyembuhkan lukanya," sahut Hazel bijak. "Tapi aku yakin sekali kamu mau membuka hati karena memiliki perasaan yang sama sepertiku. Benar kan?"Helena mencebik. Seketika ia mengusap air matanya dengan gerakan kasar dan berkata. "Aku mau marah mendengar tingkat ke-pede-an kamu, tapi ... itu semua benar."Hazel tergelak di seberang sana. Pun dengan Helena, perlahan senyum tipis tergambar di sudut bibirnya. "Tidurlah, besok aku jemput!""Ijinkan aku pulang sendiri, aku ... gak mau ada orang yang tau tentang kedekatan kita sementara waktu sampai Adinda benar-benar merelakan kamu, Hazel."Hazel bergeming. Sambungan telepon mendadak hening karena keduanya yang tengah berkutat dengan pikiran masing-masing."Kalau memang itu yang kamu mau, baiklah, tapi ... pastikan kamu sampai di rumah dengan selamat. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku. Mengerti?""Mengerti sekal
*** "E-- eh, Mas, kamu bisa tunggu aku sebentar saja? Ak-- aku ada urusan sama teman lama.""Urusan apa sampai-sampai Mas harus nunggu kamu lebih lama lagi, hem? Din, makanan kita bahkan sudah datang, ayo!"Sudut bibir Helena terangkat. Geli sekali ketika mendengar perempuan yang usianya setara dengannya harus memanggil seorang pria yang lebih tua dengan sebutan 'Mas'."Mas ...." Adinda merengek. "Sebentar saja, please!"Pria yang rambutnya sedikit dihiasi uban itu terdengar menghela napas panjang. "Baiklah. Lima menit, kalau lebih dari itu Mas gak akan menunggu kamu lagi.""Terima kasih," ucap Adinda senang. Sebuah kecupan mendarat di pipi Adinda membuat Helena segera memalingkan muka. Geli, juga mual. Adinda berdiri kikuk, setelah kepergian kekasihnya, dia mencekal bahu Helena dan berbisik. "Kalau sampai kejadian hari ini tersebar, aku gak akan maafkan kamu, Len!""Kalau begitu kita impas," sahut Helena asal. "Kamu gak akan memaafkan aku, dan aku juga menolak untuk memaafkan semua
***Hazel tergelak sementara Helena mencebik geram. "Kalau mau, sejak awal sudah kunodai kamu, Len.""Hazel!" Helena mengeram. "Cukup! Kamu kesini sebenarnya mau bicara apa?"Hazel mengedikkan bahu. Dia duduk di sofa dan mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Mama mau kamu memakai gaun ini di acara pernikahan nanti."Helena menerima ponsel Hazel dan menatap seksama pada sebuah gambar gaun yang begitu mewah dan indah. "Tapi kita sudah sepakat pakai jasa teman lamaku, Hazel.""Tidak masalah, kita selipkan gaun pilihan Mama juga. Kamu bisa berganti gaun tiga kali, itu masalah buatmu?"Helena nampak berpikir sebelum akhirnya dia mengangguk pasrah. "Baiklah, demi Mama," ucapnya tegas. "Kapan kita mulai fitting bajunya?""Besok siang, Mama sudah membuat janji jadi mau gak mau kita harus ikut."Helena mengangguk paham. "Urusan kantor biar ....""Biar aku yang urus. Kamu keberatan aku mengelola Perusahaan orang tuamu?"Helena menunduk. Kilas masa lalu kembali menguasai pikirannya. Ketika A
***Andra tertawa mengejek bahkan tanpa segan mantan suami Helena itu menepuk-nepuk bahu Hazel sok simpati. "Jangan berbohong di depanku, kau pikir selama ini penjara aku tidak update berita tentang kalian, hah?" Andra memainkan kedua alisnya. "Kau sebentar lagi akan menikah, Hazel, jadi jangan bersikap sok pahlawan untuk Helena.""Dia ... mantan istriku tidak butuh kamu melainkan aku. Aku yang akan menjaganya untuk menebus rasa bersalah atas semua yang sudah aku lakukan padanya dulu. Jadi ... menyingkir lah!"Helena mencebik. Dia membuang muka ketika Andra dengan sengaja mencondongkan tubuh ke arahnya. "Kamu mau kan, Len, memulai semuanya dari awal lagi?"Tubuh Hazel menegang geram. Helena bisa merasakan dari cengkeraman tangan Hazel pada bahunya. Dari belakang, lengan Helena melingkar di pinggang Hazel sambil sesekali memberi usapan lembut sebagai isyarat agar Hazel tidak terpancing emosi."Berhenti memainkan drama murahan di depanku, Lena. Sejak dulu, kamu bahkan tidak pernah menc
***"Kamu yakin, Len?" Bu Nela nampak tidak percaya dengan ucapan Helena. "Dua ... dua minggu lagi, iya?"Helena mengangguk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Boleh ya, Ma?""Bilang apa kamu ini, Len!" jawab Bu Nela cepat. "Ya jelas boleh, Sayang. Sangat boleh, bahkan kalau kalian mau menikah besok, Mama dengan senang hati ....""Ck, Mama pikir menikah gak butuh persiapan matang? Kemarin saja gaun sudah dua kali ganti designer. Kalau tiba-tiba menikah besok, itu para perancang gaun bakalan lupa tidur gara-gara pesanan Mama," gerutu Hazel panjang lebar. "Mama sih enak tinggal bilang, ganti Hazel, jangan gaun yang itu, gak cocok sama Lena." Hazel berbicara mengikuti gaya bicara Bu Nela. Helena dan Bu Nela tertawa lebar mendengar Hazel menggerutu sementara Pak Prabu hanya geleng-geleng melihat keributan kecil yang diciptakan anak dan istrinya."Kalau begitu, mulai besok orang-orang Papa yang akan menyebarkan undangan pernikahan kalian," kata Pak Prabu menengahi. "Kalian berd
***Seminggu berlalu, semua persiapan pernikahan sudah diatur sempurna oleh Hazel. Minggu ini keduanya ada janji dengan designer pilihan Bu Nela, mau tidak mau Helena meninggalkan Perusahaan di jam makan siang. "Hati-hati di jalan ya, Bu," kata Vinara ramah. Helena mengangguk sambil tersenyum. "Makasih ya, Ra. Aku pergi dulu, kalau ada apa-apa langsung telepon. Oke?""Baik, Bu!"Helena berjalan anggun sambil sesekali membalas pesan Hazel. Pria itu sengaja menunggu di dalam mobil atas permintaan Helena. Dia tidak mau para staf heboh karena keduanya berjalan beriringan. "Len, kita perlu bicara!" Tiba-tiba saja pergelangan tangan Helena ditarik kasar oleh seorang pria. Tubuh Lena dihentakkan ke tembok hingga bibir berlapis lip tint berwarna peach itu mengaduh kesakitan. "Aw!""Jangan berusaha membodohiku, Helena. Kamu ... kamu masih mencintaiku, iya kan?"Helena menarik tangannya kasar. Matanya menatap nyalang pada sosok pria di depannya. Andra. Mantan suaminya itu terlampau berani mun
***"Kau yang memanggil semua security itu, hah? Banci!" Andra mencibir sinis. "Takut babak belur kamu, brengsek?"Hazel sedikit mundur. Tangannya bersedekap dada dan berkata, "Bukan aku, mungkin saja calon istriku yang memanggilnya. Dia tidak mau aku terluka apalagi minggu depan kita menikah. Tidak lucu bukan kalau ada berita yang mengatakan 'Hazel dihajar oleh mantan suami Helena yang gagal move on'. Tidak tau diri.""Brengsek!"Keamanan Perusahaan segera mengepung Andra dan mengunci pergerakan mantan suami Helena. "Lepaskan aku!" Andra berteriak marah. "Akan aku hajar pria brengsek itu, minggir kalian semua!"Melihat Andra tidak bisa berkutik, Helena keluar dari dalam mobil dan langsung berlari mendekati Hazel. Tanpa sadar, perempuan itu meraba wajah Hazel dengan panik. Helena menghela napas lega ketika melihat wajah calon suaminya baik-baik saja. "Kamu baik-baik saja?" tanya Helena lemah. Kepalanya dia rebahkan pada dada Hazel yang sempat bergemuruh menahan emosi karena menghadapi
***"Len, melepaskan Andra bukan keputusan yang tepat," kata Hazel setengah dongkol. "Kalau kita biarkan dia bebas, yang ada dia akan selalu mengusik kamu. Mengganggu kita!""Mas ...." Helena memanggil. "Kalau kita lanjutkan laporan ini, Mas yakin kalau Andra akan mendekam di penjara sesuai dengan hukumannya, hah? Hukuman atas kasus kedua orang tuaku saja dengan mudah dia beli apalagi yang hanya kasus seperti ini." Helena berbicara benar. Jika hukuman untuk perbuatan yang paling fatal saja bisa Andra lewati, lalu bagaimana dengan hukuman untuk perbuatan yang hanya mengganggu ketenangan hidup orang lain? "Kita hanya akan membuang-buang waktu, Mas. Pernikahan kita kurang satu minggu lagi, akan sangat melelahkan kalau kita fokus sama Andra."Hazel nampak berpikir. Keduanya sedang dalam perjalanan pulang setelah fitting gaun pengantin pada seorang designer kenalan Mama Nela. "Bagaimana kalau dia menggangu lagi?" tanya Hazel cemas. "Bagaimana kalau dia nekat mengganggu kamu sementara aku
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,