***"Kamu yakin, Len?" Bu Nela nampak tidak percaya dengan ucapan Helena. "Dua ... dua minggu lagi, iya?"Helena mengangguk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Boleh ya, Ma?""Bilang apa kamu ini, Len!" jawab Bu Nela cepat. "Ya jelas boleh, Sayang. Sangat boleh, bahkan kalau kalian mau menikah besok, Mama dengan senang hati ....""Ck, Mama pikir menikah gak butuh persiapan matang? Kemarin saja gaun sudah dua kali ganti designer. Kalau tiba-tiba menikah besok, itu para perancang gaun bakalan lupa tidur gara-gara pesanan Mama," gerutu Hazel panjang lebar. "Mama sih enak tinggal bilang, ganti Hazel, jangan gaun yang itu, gak cocok sama Lena." Hazel berbicara mengikuti gaya bicara Bu Nela. Helena dan Bu Nela tertawa lebar mendengar Hazel menggerutu sementara Pak Prabu hanya geleng-geleng melihat keributan kecil yang diciptakan anak dan istrinya."Kalau begitu, mulai besok orang-orang Papa yang akan menyebarkan undangan pernikahan kalian," kata Pak Prabu menengahi. "Kalian berd
***Seminggu berlalu, semua persiapan pernikahan sudah diatur sempurna oleh Hazel. Minggu ini keduanya ada janji dengan designer pilihan Bu Nela, mau tidak mau Helena meninggalkan Perusahaan di jam makan siang. "Hati-hati di jalan ya, Bu," kata Vinara ramah. Helena mengangguk sambil tersenyum. "Makasih ya, Ra. Aku pergi dulu, kalau ada apa-apa langsung telepon. Oke?""Baik, Bu!"Helena berjalan anggun sambil sesekali membalas pesan Hazel. Pria itu sengaja menunggu di dalam mobil atas permintaan Helena. Dia tidak mau para staf heboh karena keduanya berjalan beriringan. "Len, kita perlu bicara!" Tiba-tiba saja pergelangan tangan Helena ditarik kasar oleh seorang pria. Tubuh Lena dihentakkan ke tembok hingga bibir berlapis lip tint berwarna peach itu mengaduh kesakitan. "Aw!""Jangan berusaha membodohiku, Helena. Kamu ... kamu masih mencintaiku, iya kan?"Helena menarik tangannya kasar. Matanya menatap nyalang pada sosok pria di depannya. Andra. Mantan suaminya itu terlampau berani mun
***"Kau yang memanggil semua security itu, hah? Banci!" Andra mencibir sinis. "Takut babak belur kamu, brengsek?"Hazel sedikit mundur. Tangannya bersedekap dada dan berkata, "Bukan aku, mungkin saja calon istriku yang memanggilnya. Dia tidak mau aku terluka apalagi minggu depan kita menikah. Tidak lucu bukan kalau ada berita yang mengatakan 'Hazel dihajar oleh mantan suami Helena yang gagal move on'. Tidak tau diri.""Brengsek!"Keamanan Perusahaan segera mengepung Andra dan mengunci pergerakan mantan suami Helena. "Lepaskan aku!" Andra berteriak marah. "Akan aku hajar pria brengsek itu, minggir kalian semua!"Melihat Andra tidak bisa berkutik, Helena keluar dari dalam mobil dan langsung berlari mendekati Hazel. Tanpa sadar, perempuan itu meraba wajah Hazel dengan panik. Helena menghela napas lega ketika melihat wajah calon suaminya baik-baik saja. "Kamu baik-baik saja?" tanya Helena lemah. Kepalanya dia rebahkan pada dada Hazel yang sempat bergemuruh menahan emosi karena menghadapi
***"Len, melepaskan Andra bukan keputusan yang tepat," kata Hazel setengah dongkol. "Kalau kita biarkan dia bebas, yang ada dia akan selalu mengusik kamu. Mengganggu kita!""Mas ...." Helena memanggil. "Kalau kita lanjutkan laporan ini, Mas yakin kalau Andra akan mendekam di penjara sesuai dengan hukumannya, hah? Hukuman atas kasus kedua orang tuaku saja dengan mudah dia beli apalagi yang hanya kasus seperti ini." Helena berbicara benar. Jika hukuman untuk perbuatan yang paling fatal saja bisa Andra lewati, lalu bagaimana dengan hukuman untuk perbuatan yang hanya mengganggu ketenangan hidup orang lain? "Kita hanya akan membuang-buang waktu, Mas. Pernikahan kita kurang satu minggu lagi, akan sangat melelahkan kalau kita fokus sama Andra."Hazel nampak berpikir. Keduanya sedang dalam perjalanan pulang setelah fitting gaun pengantin pada seorang designer kenalan Mama Nela. "Bagaimana kalau dia menggangu lagi?" tanya Hazel cemas. "Bagaimana kalau dia nekat mengganggu kamu sementara aku
***"Ada apa, Mas?"Hazel menghela napas panjang. "Adinda," jawabnya jengah. "Dia mengirim pesan?"Helena menerima ponsel dari tangan Hazel. Benar saja, sebuah pesan datang dari nomor tidak dikenal. "Sepertinya memang Adinda," sahut Helena tenang. "Pesan-pesan teror seperti ini tidak mempan buatku, Mas. Apa yang kamu pikirkan?""Aku bukan perempuan kemarin sore, Mas," kata Helena lagi. "Sekalipun jika yang Adinda katakan itu benar, itu juga bukan urusanku. Itu adalah bagian masa lalu kalian. Sama seperti kamu yang tidak mempermasalahkan masa laluku dengan Mas Andra.""Kamu bukan bekas, Len.""Aku tau, Mas," sahut Helena lembut. "Aku tau kalau kamu tidak akan menganggapku seperti itu, Mas. Tenanglah!"Hazel mengembuskan napas lega. Mama Nela tersenyum melihat kedewasaan pada diri Helena dan Hazel."Kalau ada masalah apapun itu, kamu harus terbuka pada Hazel, Len. Begitupun sebaliknya," kata Mama Nela menasehati. "Membangun rumah tangga itu artinya kalian berdua siap berbagi suka dan du
***Rahang Adinda mengetat. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal kuat dan tiba-tiba salah satu tangannya sudah mencengkeram rahang Helena membuat calon istri Hazel itu kesulitan berbicara. "Kau benar-benar murahan!" desis Adinda geram. "Kau tau dengan baik siapa aku dan siapa Hazel. Pernikahan kami hampir berlangsung kalau saja ...."Helena menghempaskan tangan Adinda kasar. "Kalau saja kamu tidak ketahuan sedang hamil. Benar kan?""Aku hamil anak Hazel!" teriaknya. "Tau apa kamu tentang panasnya hubungan kami, hah?"Helena tertawa lagi. Dia bersedekap dada sembari memindai tubuh Adinda dari bawah hingga atas. Seketika senyum sinisnya terlempar di depan Adinda. "Apa ketika menyebutku murahan, kamu seperti sedang melihat dirimu sendiri, Din? Kamu sedang berkaca?""Apa maksudmu?""Ah, tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya mencoba mengingatkan padamu, Din. Kamu tidak lupa kan pertemuan kita d Restoran kapan hari? Dengan siapa kamu datang, seperti apa pria yang bersamamu dan ....""Hentik
***"Ha ... ha ... ha ...." Adinda tergelak. "Dibalik sikapnya yang sok angkuh, aku terkejut mendengar ini. Dia ... calon istrimu yang janda itu termakan sama ucapanku, iya?" Adinda lagi-lagi tertawa lebar membuat deru napas Hazel memburu. Perempuan di depannya adalah perempuan berbeda dengan yang ia kenal dulu. Sangat berbeda. Atau mungkin memang inilah sebenarnya wajah Adinda sementara selama bersama Hazel dulu hanyalah topeng semata. "Dia tidak menyadari kalau dirinya adalah bekas? Bahkan Andra sudah menikmatinya selama keduanya menjadi suami istri. Dia merajuk mengira kamu dan aku ... berbagi ranjang? Janda tidak tau diri!""Itu dua hal yang berbeda," sahut Hazel berusaha tenang. "Helena terikat pernikahan yang mengharuskannya mendapat nafkah lahir dan batin sementara kita ... Ayolah, Din, aku bahkan belum pernah menciummu. Hentikan omong kosongmu!"Brak ...!!!Adinda menggebrak meja di hadapannya. Beberapa pengunjung Cafe terlihat melirik sejenak kemudian kembali tak acuh. "Kamu
***"Ayo, masuk!" Hazel menuntun tubuh Helena memasuki rumah. Perlahan, bahu wanitanya mulai berguncang hebat diiringi sesenggukan yang menyesakkan."Bik, buatkan teh hangat ya," pinta Hazel pada Bik Asih. "Satu saja buat Helena."Bik Asih menatap iba pada sosok majikan mudanya yang tengah berada dalam dekapan Hazel. Wanita paruh baya itu mengangguk dan menyahut, "Baik, Pak."Setengah berlari, Bik Asih menuju dapur dan mengerjakan apa perintah Tuannya. Segelas teh hangat beraroma melati berada di atas nampan. Dengan hati-hati Bik Asih meletakkan gelas untuk Helena di atas meja."Minum dulu, Len." Hazel mengangsurkan gelas mungil itu tepat ke hadapan Helen. "Minumlah sedikit agar lebih tenang.""Terima kasih," ucap Helena pada Hazel. "Terima kasih, Bik."Bik Asih mengangguk sendu. Sudah lama sekali perempuan paruh baya itu tidak melihat kesedihan di wajah Helena namun hari ini ... wajah muram itu kembali hadir."Kalau aku jual rumah ini bagaimana ....""Tidak akan ada yang dijual, Len,