***"Ada apa, Mas?"Hazel menghela napas panjang. "Adinda," jawabnya jengah. "Dia mengirim pesan?"Helena menerima ponsel dari tangan Hazel. Benar saja, sebuah pesan datang dari nomor tidak dikenal. "Sepertinya memang Adinda," sahut Helena tenang. "Pesan-pesan teror seperti ini tidak mempan buatku, Mas. Apa yang kamu pikirkan?""Aku bukan perempuan kemarin sore, Mas," kata Helena lagi. "Sekalipun jika yang Adinda katakan itu benar, itu juga bukan urusanku. Itu adalah bagian masa lalu kalian. Sama seperti kamu yang tidak mempermasalahkan masa laluku dengan Mas Andra.""Kamu bukan bekas, Len.""Aku tau, Mas," sahut Helena lembut. "Aku tau kalau kamu tidak akan menganggapku seperti itu, Mas. Tenanglah!"Hazel mengembuskan napas lega. Mama Nela tersenyum melihat kedewasaan pada diri Helena dan Hazel."Kalau ada masalah apapun itu, kamu harus terbuka pada Hazel, Len. Begitupun sebaliknya," kata Mama Nela menasehati. "Membangun rumah tangga itu artinya kalian berdua siap berbagi suka dan du
***Rahang Adinda mengetat. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal kuat dan tiba-tiba salah satu tangannya sudah mencengkeram rahang Helena membuat calon istri Hazel itu kesulitan berbicara. "Kau benar-benar murahan!" desis Adinda geram. "Kau tau dengan baik siapa aku dan siapa Hazel. Pernikahan kami hampir berlangsung kalau saja ...."Helena menghempaskan tangan Adinda kasar. "Kalau saja kamu tidak ketahuan sedang hamil. Benar kan?""Aku hamil anak Hazel!" teriaknya. "Tau apa kamu tentang panasnya hubungan kami, hah?"Helena tertawa lagi. Dia bersedekap dada sembari memindai tubuh Adinda dari bawah hingga atas. Seketika senyum sinisnya terlempar di depan Adinda. "Apa ketika menyebutku murahan, kamu seperti sedang melihat dirimu sendiri, Din? Kamu sedang berkaca?""Apa maksudmu?""Ah, tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya mencoba mengingatkan padamu, Din. Kamu tidak lupa kan pertemuan kita d Restoran kapan hari? Dengan siapa kamu datang, seperti apa pria yang bersamamu dan ....""Hentik
***"Ha ... ha ... ha ...." Adinda tergelak. "Dibalik sikapnya yang sok angkuh, aku terkejut mendengar ini. Dia ... calon istrimu yang janda itu termakan sama ucapanku, iya?" Adinda lagi-lagi tertawa lebar membuat deru napas Hazel memburu. Perempuan di depannya adalah perempuan berbeda dengan yang ia kenal dulu. Sangat berbeda. Atau mungkin memang inilah sebenarnya wajah Adinda sementara selama bersama Hazel dulu hanyalah topeng semata. "Dia tidak menyadari kalau dirinya adalah bekas? Bahkan Andra sudah menikmatinya selama keduanya menjadi suami istri. Dia merajuk mengira kamu dan aku ... berbagi ranjang? Janda tidak tau diri!""Itu dua hal yang berbeda," sahut Hazel berusaha tenang. "Helena terikat pernikahan yang mengharuskannya mendapat nafkah lahir dan batin sementara kita ... Ayolah, Din, aku bahkan belum pernah menciummu. Hentikan omong kosongmu!"Brak ...!!!Adinda menggebrak meja di hadapannya. Beberapa pengunjung Cafe terlihat melirik sejenak kemudian kembali tak acuh. "Kamu
***"Ayo, masuk!" Hazel menuntun tubuh Helena memasuki rumah. Perlahan, bahu wanitanya mulai berguncang hebat diiringi sesenggukan yang menyesakkan."Bik, buatkan teh hangat ya," pinta Hazel pada Bik Asih. "Satu saja buat Helena."Bik Asih menatap iba pada sosok majikan mudanya yang tengah berada dalam dekapan Hazel. Wanita paruh baya itu mengangguk dan menyahut, "Baik, Pak."Setengah berlari, Bik Asih menuju dapur dan mengerjakan apa perintah Tuannya. Segelas teh hangat beraroma melati berada di atas nampan. Dengan hati-hati Bik Asih meletakkan gelas untuk Helena di atas meja."Minum dulu, Len." Hazel mengangsurkan gelas mungil itu tepat ke hadapan Helen. "Minumlah sedikit agar lebih tenang.""Terima kasih," ucap Helena pada Hazel. "Terima kasih, Bik."Bik Asih mengangguk sendu. Sudah lama sekali perempuan paruh baya itu tidak melihat kesedihan di wajah Helena namun hari ini ... wajah muram itu kembali hadir."Kalau aku jual rumah ini bagaimana ....""Tidak akan ada yang dijual, Len,
***"Nit, jangan bilang kalau ...."Anita mengangguk seraya tersenyum licik. "Ya, Mas Andra yang akan melakukan itu untuk kita.""An-- Andra ... kamu yakin?""Yakin sekali, Ma. Aku tidak perduli kalau dia adalah ayah dari bayiku. Mas Andra pasti mau melakukan perintah kita karena aku tahu kalau dia berusaha kembali dengan Helena. Argh, benar-benar lelaki buaya!" Anita menggerutu. "Tapi aku tidak perduli, asalkan kekayaan Helena nanti jatuh ke tangan kita, itulah saatnya aku membuang Mas Andra. Pria miskin tidak tau diri itu."Mama Fiona manggut-manggut. Membayangkan hidupnya akan kembali berjaya membuatnya tersenyum puas. "Kamu memang selalu berani, Nit, persis seperti Mama ketika muda," puji Mama Fiona. "Ya, kita harus menyingkirkan orang-orang yang ada di sekitar Helena. Kita buat dia menjadi perempuan paling menyedihkan tanpa satu pun orang yang peduli padanya. Helena akan hancur, Mama yakin sekali dia akan hancur nanti. Ha ... ha ... ha ...."Anita dan Mama Fiona tertawa bersama.
***"Rencanamu gila!"Andra mengedikkan bahu, "Ya, terserah apa katamu yang jelas ... aku menawarkan sesuatu yang berharga untuk kehidupan kamu ke depannya. Bagaimana?"Adinda menyandarkan punggungnya di kursi Cafe. Ditatapnya wajah Andra menelisik, takut jika ternyata pria di depannya sedang merencanakan sesuatu untuk menjebaknya. "Bagaimana aku tahu kalau kamu tidak sedang ingin menjebakku?" cecar Adinda sinis. "Kau mantan suami Helena ... pasti kamu akan melindungi mantan istrimu bagaimanapun caranya.""Oh ya? Apa aku terlihat ingin melindungi Helena?"Adinda menatap Andra tajam. "Menurutku begitu, karena ... ya, karena memang begitulah seharusnya ketika seseorang begitu mencintai pujaan hatinya.""Sayang sekali, tebakan kamu salah, Din," sahut Andra sinis. "Yang aku cintai hanyalah hartanya, bukan Helena ...."Adinda mencondongkan tubuhnya ke depan. Sungguh, pengakuan mengejutkan keluar dari bibir Andra. "Bisa aku percaya semua ucapan kamu?""Tentu," jawab Andra cepat. "Dia meng
***"Pak Hazel ... kecelakaan, Bu. Sekarang sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit."Telinga Bu Nela seketika berdengung. Tubuhnya yang semula berdiri di samping Pak Prabu hampir saja luruh jika tangan Sang Suami tidak sigap menahan beban tubuh yang hampir limbung itu.Bu Nela menatap Helena dari pantulan kaca. Calon menantunya itu tidak terisak, namun air mata seakan sedang berlomba-lomba meluncur di pipinya. "Len ...." Panggil Bu Nela parau. Helena mengangguk samar. "Aku sudah tau, Ma," sahutnya setengah berbisik. "Ternyata ini jawaban dari kegelisahan hati yang kurasakan sejak tadi."Bu Nela tergugu dalam pelukan Pak Prabu. Semua yang terjadi seperti mimpi. Akad nikah yang seharusnya dilangsungkan hari ini ternyata memiliki kendala yang tidak mudah."Halo, Pak ...." Suara Danil terdengar memanggil-manggil dari panggilan telepon. Pak Prabu kembali mengambil ponselnya dari genggaman tangan Bu Nela. Benda berbentuk pipih itu kembali ia letakkan tepat di depan telinga. "Kami seg
***Helena merasakan dadanya kembali sesak. Kedua tangannya tetiba saja mengepal kuat. Bagaimana bisa Adinda ada di tempat berlangsungnya acara?Bukankah dia dan Hazel sudah mengecualikan orang-orang dari masa lalu?"Kenapa bisa kamu ada disini?" Pertanyaan Helena terdengar menohok. "Siapa yang mengundangmu datang ke acara penting kami, hah?" Helena berteriak tanpa peduli tatapan mata orang-orang yang menuju ke arahnya. "Atau jangan-jangan ...."Wajah Adinda memucat seiring dengan perkataan Helena yang mengambang di udara. Bu Nela dan Pak Prabu berulang kali mengusap bahu calon menantunya itu dengan perasaan tak kalah hancur."Katakan padaku, Din ... kau yang sudah merencanakan ini, benar kan?" tanya Helena lirih. "Kamu sengaja mencelakai Mas Hazel agar pernikahan kami gagal. Ngaku!""K-- kau gila!" hardik Adinda gugup. "Untuk apa aku melakukan itu, Len? Aku ... aku datang kesini karena ingin menyaksikan hari bahagia dari pria yang pernah mengisi hatiku. Ta-- tapi kamu ... kamu menud