***Helena merasakan dadanya kembali sesak. Kedua tangannya tetiba saja mengepal kuat. Bagaimana bisa Adinda ada di tempat berlangsungnya acara?Bukankah dia dan Hazel sudah mengecualikan orang-orang dari masa lalu?"Kenapa bisa kamu ada disini?" Pertanyaan Helena terdengar menohok. "Siapa yang mengundangmu datang ke acara penting kami, hah?" Helena berteriak tanpa peduli tatapan mata orang-orang yang menuju ke arahnya. "Atau jangan-jangan ...."Wajah Adinda memucat seiring dengan perkataan Helena yang mengambang di udara. Bu Nela dan Pak Prabu berulang kali mengusap bahu calon menantunya itu dengan perasaan tak kalah hancur."Katakan padaku, Din ... kau yang sudah merencanakan ini, benar kan?" tanya Helena lirih. "Kamu sengaja mencelakai Mas Hazel agar pernikahan kami gagal. Ngaku!""K-- kau gila!" hardik Adinda gugup. "Untuk apa aku melakukan itu, Len? Aku ... aku datang kesini karena ingin menyaksikan hari bahagia dari pria yang pernah mengisi hatiku. Ta-- tapi kamu ... kamu menud
***"A-- aku ....""Tenanglah, Sayang. Tenang!" Pak Prabu merengkuh bahu Helena dan menuntunnya perlahan. "Ayo, jangan lepas tangan Papa. Ayo, Ma!"Bu Nela mengusap sudut matanya dan mengangguk lemah. "Ya, ayo!"Tiga manusia beda usia itu berjalan beriringan. Helena menggenggam lengan Pak Prabu sementara tangannya yang satu menyingkap kebaya panjangnya agar tidak menjuntai."Pak!"Pak Prabu mengangguk ketika Danil memanggilnya. Di depan ruang operasi, Danil dan Mamang duduk bersebelahan menanti pintu ruang operasi terbuka."Dan, ke-- kenapa ada di depan ruang operasi? A-- apa Hazel terluka parah?" tanya Bu Nela gagap. "Katakan, Danil!"Danil bangkit. "Bu, Pak Hazel terluka parah di bagian belakang kepalanya jadi ...."Bruk ....Helena terduduk di lantai. Tidak ada tangis di matanya namun pandangannya terlihat kosong. "Len.""Non!""Helena ...."Pak Prabu dan Bu Nela panik. Keduanya membantu Helena berdiri dan membawanya duduk di kursi kosong yang tersedia di depan ruang operasi."Haz
***Di depan ruang ICU, Helena masih bersandar di bahu Pak Prabu dan menggenggam jemari Bu Nela. Bajunya masih sama sekalipun hari mulai menjelang malam. Tak jarang, beberapa pasang mata menatap aneh ke arahnya. Seorang perempuan berada di rumah sakit dengan mengenakan kebaya pengantin. "Non ...."Suara Bik Asih memanggil dari kejauhan. Helena mengangkat kepala, melihat apakah benar yang barusan ia dengar adalah suara Asisten Rumah Tangganya. "Ya Allah, Non Lena," pekik Bik Asih. "Ganti baju dulu ya, Bibik bantu. Ayo!"Helena hanya menatap Bik Asih tanpa ekspresi. Melihat wajah sendu majikannya, Bik Asih sontak saja mengusap sudut matanya yang keriput. Tidak tega. Helena yang biasanya ceria berubah menjadi tanpa gairah."Non ...." Panggilnya ulang. "Bibik bantu," imbuhnya.Helena menggeleng lemah. Dia kembali merebahkan kepalanya di bahu Pak Prabu seakan-akan kehadiran Bik Asih tidak membawa pengaruh apapun dalam hatinya. "Biarkan saja begini, Bik," kata Bu Nela sambil mengangguk.
***"A-- apa yang kamu katakan, Len? Aku ... aku gak paham sama ....""Jangan bermain-main denganku, Adinda!" bentak Helena lantang. Beberapa pasang mata menatap bingung ke arahnya. "Katakan siapa dalang dibalik kecelakaan Hazel. Jawab!""Bu, tolong jangan bikin keributan di Rumah Sakit," tegur salah satu suster yang sedang berjaga. "Pasien ingin istirahat dengan tenang, jadi jangan mengeraskan suara kecuali jika anda berada di luar Rumah Sakit."Helena terpaku di tempatnya sambil menatap tajam ke arah Adinda. "Maafkan anak saya, Sus," kata Pak Prabu mendekat. "Len, ayo!""Aku yakin sekali dia ada kaitannya dengan kecelakaan Hazel, Pa," tutur Helena menahan marah. "Telingaku masih berfungsi dengan jelas. Dia ... bersekongkol dengan seseorang. Siapa, Din, katakan! Apa Mas Andra?"Adinda menoleh dengan cepat. Wajahnya tiba-tiba pias, namun sedetik kemudian perempuan masa lalu Hazel itu tertawa lirih dan menepuk bahu Helena seolah sedang menegaskan bahwa ia prihatin dengan kondisi Helena
***"Din ...."Tubuh Helena menegang. Persendiannya terasa lemas ketika kedua telinganya menangkap dengar nama "Adinda" dari bibir Hazel.Bu Nela dan Pak Prabu saling pandang. "Hazel, Helena ....""Adinda," ucap Hazel lagi. Suaranya yang lirih membuat hati Helena berdenyut nyeri. Apalagi nama Adinda lagi-lagi keluar dari bibir Hazel, membuat dada Helena semakin sesak. "Din ...."Helena membuang muka. Tangannya mencengkeram erat pinggiran kebaya putih yang sampai detik ini masih ia kenakan.Bik Asih seakan paham dengan kondisi hati Sang Majikan. Wanita paruh baya itu mendekat dan menggenggam jemari Helena erat. Matanya menganak sungai, bibirnya bergetar melihat tatapan penuh luka dari kedua mata Helena."Non, kita pulang?" Ajak Bik Asih ragu. "Setidaknya ganti baju dulu, ayo, Non!"Helena bergeming. Kesadaran Hazel adalah hal yang paling dia tunggu, tapi ... siapa sangka jika calon suaminya justru mengingat nama perempuan lain. Dan Bu Nela serta Pak Prabu bahkan hanya bisa diam tanpa
***"Len, kamu keterlaluan!" desis Adinda berpura-pura marah. "Hazel sedang sakit, bukannya pengertian dan berbesar hati tapi kamu justru mengkambinghitamkan aku disini?"Helena tertawa sumbang. Malas sekali menatap wajah Adinda yang sedang memainkan perannya. Pipinya basah, namun bibirnya terus tertawa sambil menatap Adinda tajam. "Seharusnya, sebagai calon istri yang baik, kamu mendukung Hazel selama dia sakit, Helena. Tidak perduli siapa yang dia ingat saat dia membuka mata, asalkan Hazel masih bernapas sampai detik ini. Aku tidak menyangka, Len, kamu ... egois sekali dengan perasaanmu sendiri." Adinda geleng-geleng sambil terus berbicara seakan-akan dia peduli pada kondisi Hazel saat ini. "Aku memang orang di masa lalu, Hazel. Tapi aku tahu, kamu adalah calon istrinya dan Hazel butuh bantuan dariku karena hanya aku yang dia ingat. Kau pikir aku akan meracuni otaknya agar membencimu, begitu?"Helena semakin muak. Melihat wajah Bu Nela dan Pak Prabu yang mengiba membuatnya semakin
***"Hai, Len. Sudah lama?"Helena menggeleng lemah sembari melempar senyum tipis ke hadapan Danil. "Barusan banget. Duduk, Dan!"Danil menurut. Dia memanggil waiters dan memesan dua minuman dengan beda jenis dan rasa. Helena memilih jus alpukat sementara Danil memesan minuman bersoda."Kamu benar, Len." Kata-kata Danil membuat jantung Helena berdegup kencang. Perempuan itu tahu kemana arah pembicaraan Danil siang ini karena sebelumnya dialah yang meminta Danil memeriksa mobil Hazel yang saat ini masih berada di Kantor Polisi. "Pihak Kepolisian belum menyentuh sama sekali mobil Pak Hazel, Len. Mereka menunggu pihak keluarga memutuskan. Apakah kecelakaan yang menimpa Hazel adalah murni kecelakaan atau ada hal yang ingin diselidiki.""Lalu?" "Pak Prabu belum memutuskan apapun. Sepertinya beliau masih fokus dengan kesembuhan Pak Hazel," sahut Danil pada akhirnya. "Apa rencana kamu?"Helena menyandarkan punggungnya di kursi. Jemarinya yang lentik terlihat mengetuk-ngetuk meja sambil s
***"Hazel." Bu Nela terpaku di ambang pintu ketika melihat Hazel memeluk Adinda begitu erat. Keduanya terlihat sangat intim membuat Bu Nela buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. "Ah, Mama," kata Hazel seraya melepaskan pelukan. Adinda membetulkan anak rambutnya dan tersenyum menatap Bu Nela yang justru mencebik melihatnya. "Bawa baju yang aku minta?" tanya Hazel berusaha mencairkan suasana."Ya. Mama bawa beberapa stel baju," jawab Bu Nela ketus. "Mama tidak mau ada orang asing di ruangan ini saat kamu sendirian. Lain kali jangan memberi ijin orang lain untuk masuk ke sini. Mama tidak mau ada fitnah nantinya."Hazel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia nyengir sambil mengangguk patuh mendapat petuah Bu Nela. Beda Hazel, beda Adinda. Perempuan itu mencebik dan melengos ketika Bu Nela menyebutnya sebagai orang asing."Makan siang dulu, mau Mama suapi?" Hazel menggeleng cepat. "Aku bisa makan sendiri, Ma."Bu Nela terpaksa mengangguk. Wanita paruh baya itu mengeluarkan s
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,