***"Len, kamu keterlaluan!" desis Adinda berpura-pura marah. "Hazel sedang sakit, bukannya pengertian dan berbesar hati tapi kamu justru mengkambinghitamkan aku disini?"Helena tertawa sumbang. Malas sekali menatap wajah Adinda yang sedang memainkan perannya. Pipinya basah, namun bibirnya terus tertawa sambil menatap Adinda tajam. "Seharusnya, sebagai calon istri yang baik, kamu mendukung Hazel selama dia sakit, Helena. Tidak perduli siapa yang dia ingat saat dia membuka mata, asalkan Hazel masih bernapas sampai detik ini. Aku tidak menyangka, Len, kamu ... egois sekali dengan perasaanmu sendiri." Adinda geleng-geleng sambil terus berbicara seakan-akan dia peduli pada kondisi Hazel saat ini. "Aku memang orang di masa lalu, Hazel. Tapi aku tahu, kamu adalah calon istrinya dan Hazel butuh bantuan dariku karena hanya aku yang dia ingat. Kau pikir aku akan meracuni otaknya agar membencimu, begitu?"Helena semakin muak. Melihat wajah Bu Nela dan Pak Prabu yang mengiba membuatnya semakin
***"Hai, Len. Sudah lama?"Helena menggeleng lemah sembari melempar senyum tipis ke hadapan Danil. "Barusan banget. Duduk, Dan!"Danil menurut. Dia memanggil waiters dan memesan dua minuman dengan beda jenis dan rasa. Helena memilih jus alpukat sementara Danil memesan minuman bersoda."Kamu benar, Len." Kata-kata Danil membuat jantung Helena berdegup kencang. Perempuan itu tahu kemana arah pembicaraan Danil siang ini karena sebelumnya dialah yang meminta Danil memeriksa mobil Hazel yang saat ini masih berada di Kantor Polisi. "Pihak Kepolisian belum menyentuh sama sekali mobil Pak Hazel, Len. Mereka menunggu pihak keluarga memutuskan. Apakah kecelakaan yang menimpa Hazel adalah murni kecelakaan atau ada hal yang ingin diselidiki.""Lalu?" "Pak Prabu belum memutuskan apapun. Sepertinya beliau masih fokus dengan kesembuhan Pak Hazel," sahut Danil pada akhirnya. "Apa rencana kamu?"Helena menyandarkan punggungnya di kursi. Jemarinya yang lentik terlihat mengetuk-ngetuk meja sambil s
***"Hazel." Bu Nela terpaku di ambang pintu ketika melihat Hazel memeluk Adinda begitu erat. Keduanya terlihat sangat intim membuat Bu Nela buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. "Ah, Mama," kata Hazel seraya melepaskan pelukan. Adinda membetulkan anak rambutnya dan tersenyum menatap Bu Nela yang justru mencebik melihatnya. "Bawa baju yang aku minta?" tanya Hazel berusaha mencairkan suasana."Ya. Mama bawa beberapa stel baju," jawab Bu Nela ketus. "Mama tidak mau ada orang asing di ruangan ini saat kamu sendirian. Lain kali jangan memberi ijin orang lain untuk masuk ke sini. Mama tidak mau ada fitnah nantinya."Hazel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia nyengir sambil mengangguk patuh mendapat petuah Bu Nela. Beda Hazel, beda Adinda. Perempuan itu mencebik dan melengos ketika Bu Nela menyebutnya sebagai orang asing."Makan siang dulu, mau Mama suapi?" Hazel menggeleng cepat. "Aku bisa makan sendiri, Ma."Bu Nela terpaksa mengangguk. Wanita paruh baya itu mengeluarkan s
***"Selamat siang ...." Helena memasuki kamar Hazel setelah mengetuk pintu dan mendengar suara Bu Nela mempersilahkan dia masuk. "Apa kabar, Hazel?" tanya Helena lirih. Bibirnya terus tersenyum namun hatinya menangis melihat Hazel hanya memberikan respon datar ke arahnya."Apa kabar, Len?" Bu Nela menyambut Helena dengan hangat. "Mama rindu sekali, Sayang."Helena mengulas senyum. Mustahil jika dirinya tidak merindukan kebersamaan yang sempat tercipta antara dirinya dan keluarga Hazel. Namun melihat sorot mata Hazel yang tanpa ekspresi membuat nyali Helena tetiba menciut. Senyumnya terlihat kecut. "Aku baik, Ma," jawab Helena sendu. "Oh ya, aku bawakan buah buat ... Hazel." Suara Helena hampir tidak terdengar ketika di atas nakas matanya melihat keranjang buah yang bahkan belum terbuka. "Kenapa kamu repot-repot sekali, Len. Kamu datang kesini saja Mama sudah senang.""Aku ingin istirahat, Ma." Kata-kata Hazel bagai petir di telinga Helena. "Tolong jangan temu kangen disini, aku ing
***Helena segera berbalik dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban dari Hazel atau Bu Nela. Hatinya tidak sanggup lagi. Cukup sudah dia merasakan perih dari semua masalah yang menimpanya. Kini Helena menyerah. Bukankah ia terbiasa sendiri? Menikmati hidup seorang diri setelah kedua orang tuanya meninggal dan Andra berpaling? Bukankah seharusnya tidak susah bagi Helena untuk menjalani hari-harinya lagi sebagai janda tanpa anak? Di depan pintu, air muka Helena terlihat kaku ketika mendapati sosok Adinda berdiri sambil bersedekap dada. Tak lupa pula senyum sinis Adinda layangkan di depan Helena seakan-akan senyuman itu adalah senyuman mengejek yang pantas Helena terima siang ini."Kasihan," bisik Adinda lirih. Sangat lirih bahkan bisikan itu terdengar seperti ia sedang bergumam. "Pergilah, Len, yang jauh!" imbuhnya sambil menarik ujung bibirnya sinis.Helena membuang muka. Dia menutup kembali pintu kamar Hazel, kemudian berjalan tanpa memperdulikan Adinda yang sepertinya mengejar la
***"Non Lena tidak menerima tamu," kata Mamang tegas. "Tidak ada gunanya membuat keributan disini, Mas. Di dalam ada banyak penjaga yang siaga menjaga Non Helena."Rahang Andra mengeras. Tubuhnya mematung di depan pagar sambil sesekali melirik ke atas balkon kamar Helena. Kamar yang dulu ia tempati bersama Helena ketika masih menjadi suami dan istri. Mata Andra memicing. Kamar Helena terlihat gelap. Kelambunya tertutup rapat dan tidak ada cahaya sedikitpun di lantai atas."Katakan pada Helena, aku hanya ingin berbicara baik-baik," kekeuh Andra. "Aku tau, dia sedang butuh teman malam ini. Cepat katakan padanya!"Mamang membuang muka. Malas sekali berurusan dengan pria seperti Andra. Pria mokondo yang tidak tau diri. Suka memaksakan kehendak. "Tidak bisa, Mas ....""Panggil aku Pak Andra," sela Andra marah. "Aku mantan suami Helena, lancang sekali kamu memanggilku Mas. Kau pikir aku Mas penjual cendol?"Mamang menaikkan kedua alisnya. Bingung. Bukankah jika mantan seharusnya sudah ti
***Helena sudah berkemas bahkan dari satu minggu yang lalu beberapa barang sudah dia pindahkan ke rumah baru. Perabotan lain seperti sofa dan sebagainya mulai ditutup kain putih agar tidak berdebu. Bik Asih menyeka ujung matanya ketika melihat Helena sedang mengusap-usap sebuah guci berwarna biru. Guci milik mendiang mamanya yang sampai saat ini masih terawat dengan baik."Itu gak sekalian dibawa, Non?" tanya Mamang memastikan. "Sayang kalau ditinggalkan di rumah kosong, takut tidak terawat."Helena menggeleng. Matanya menatap sendu pada sekeliling rumah yang selama ini sudah menjadi saksi bisu pahit getirnya kehidupan. "Tidak perlu, Mang. Semua barang milik Papa dan Mama biarkan saja pada tempatnya. Aku tidak mau membuat kenangan tentang mereka berubah," jawab Helena sedih. "Kita bawa yang benar-benar diperlukan saja, nanti untuk perabotan lainnya aku beli yang baru."Mamang mengangguk paham. Pria yang memilih mengabdikan hidupnya untuk Helena itu kembali mengawasi beberapa orang y
***Sepuluh hari terlalu berlalu. Hazel pun sudah keluar dari Rumah Sakit sejak dua hari yang lalu. Kini, pria berkemeja putih itu mengendarai mobilnya bersama Adinda hendak menuju butik tempat mereka melakukan fitting baju.Senyum bahagia terukir di bibir Adinda. Sejak Helena tidak lagi menampakkan batang hidungnya, perempuan yang tengah menyembunyikan kandungannya itu merasa bisa bernapas lega. Satu-satunya masalah dalam hubungannya dengan Hazel menghilang sudah. Adinda bernyanyi mengikuti irama lagu yang diputar Hazel sejak mobil mereka melaju membelah jalanan. Sambil sesekali tangan Adinda meliuk menari ringan saking bahagianya. Hazel hanya melirik sambil melempar senyum tipis. Merasa lucu dengan tingkah calon istrinya yang semakin hari Lian menggemaskan."Lucu sekali," gumam Hazel sambil mencubit pipi Adinda. "Kamu bahagia?"Adinda mengangguk. Dia menggamit lengan Hazel dan merebahkan kepalanya disana. Tenang. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Bahagia sekali,
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,