***"Selamat siang ...." Helena memasuki kamar Hazel setelah mengetuk pintu dan mendengar suara Bu Nela mempersilahkan dia masuk. "Apa kabar, Hazel?" tanya Helena lirih. Bibirnya terus tersenyum namun hatinya menangis melihat Hazel hanya memberikan respon datar ke arahnya."Apa kabar, Len?" Bu Nela menyambut Helena dengan hangat. "Mama rindu sekali, Sayang."Helena mengulas senyum. Mustahil jika dirinya tidak merindukan kebersamaan yang sempat tercipta antara dirinya dan keluarga Hazel. Namun melihat sorot mata Hazel yang tanpa ekspresi membuat nyali Helena tetiba menciut. Senyumnya terlihat kecut. "Aku baik, Ma," jawab Helena sendu. "Oh ya, aku bawakan buah buat ... Hazel." Suara Helena hampir tidak terdengar ketika di atas nakas matanya melihat keranjang buah yang bahkan belum terbuka. "Kenapa kamu repot-repot sekali, Len. Kamu datang kesini saja Mama sudah senang.""Aku ingin istirahat, Ma." Kata-kata Hazel bagai petir di telinga Helena. "Tolong jangan temu kangen disini, aku ing
***Helena segera berbalik dan melangkah keluar tanpa menunggu jawaban dari Hazel atau Bu Nela. Hatinya tidak sanggup lagi. Cukup sudah dia merasakan perih dari semua masalah yang menimpanya. Kini Helena menyerah. Bukankah ia terbiasa sendiri? Menikmati hidup seorang diri setelah kedua orang tuanya meninggal dan Andra berpaling? Bukankah seharusnya tidak susah bagi Helena untuk menjalani hari-harinya lagi sebagai janda tanpa anak? Di depan pintu, air muka Helena terlihat kaku ketika mendapati sosok Adinda berdiri sambil bersedekap dada. Tak lupa pula senyum sinis Adinda layangkan di depan Helena seakan-akan senyuman itu adalah senyuman mengejek yang pantas Helena terima siang ini."Kasihan," bisik Adinda lirih. Sangat lirih bahkan bisikan itu terdengar seperti ia sedang bergumam. "Pergilah, Len, yang jauh!" imbuhnya sambil menarik ujung bibirnya sinis.Helena membuang muka. Dia menutup kembali pintu kamar Hazel, kemudian berjalan tanpa memperdulikan Adinda yang sepertinya mengejar la
***"Non Lena tidak menerima tamu," kata Mamang tegas. "Tidak ada gunanya membuat keributan disini, Mas. Di dalam ada banyak penjaga yang siaga menjaga Non Helena."Rahang Andra mengeras. Tubuhnya mematung di depan pagar sambil sesekali melirik ke atas balkon kamar Helena. Kamar yang dulu ia tempati bersama Helena ketika masih menjadi suami dan istri. Mata Andra memicing. Kamar Helena terlihat gelap. Kelambunya tertutup rapat dan tidak ada cahaya sedikitpun di lantai atas."Katakan pada Helena, aku hanya ingin berbicara baik-baik," kekeuh Andra. "Aku tau, dia sedang butuh teman malam ini. Cepat katakan padanya!"Mamang membuang muka. Malas sekali berurusan dengan pria seperti Andra. Pria mokondo yang tidak tau diri. Suka memaksakan kehendak. "Tidak bisa, Mas ....""Panggil aku Pak Andra," sela Andra marah. "Aku mantan suami Helena, lancang sekali kamu memanggilku Mas. Kau pikir aku Mas penjual cendol?"Mamang menaikkan kedua alisnya. Bingung. Bukankah jika mantan seharusnya sudah ti
***Helena sudah berkemas bahkan dari satu minggu yang lalu beberapa barang sudah dia pindahkan ke rumah baru. Perabotan lain seperti sofa dan sebagainya mulai ditutup kain putih agar tidak berdebu. Bik Asih menyeka ujung matanya ketika melihat Helena sedang mengusap-usap sebuah guci berwarna biru. Guci milik mendiang mamanya yang sampai saat ini masih terawat dengan baik."Itu gak sekalian dibawa, Non?" tanya Mamang memastikan. "Sayang kalau ditinggalkan di rumah kosong, takut tidak terawat."Helena menggeleng. Matanya menatap sendu pada sekeliling rumah yang selama ini sudah menjadi saksi bisu pahit getirnya kehidupan. "Tidak perlu, Mang. Semua barang milik Papa dan Mama biarkan saja pada tempatnya. Aku tidak mau membuat kenangan tentang mereka berubah," jawab Helena sedih. "Kita bawa yang benar-benar diperlukan saja, nanti untuk perabotan lainnya aku beli yang baru."Mamang mengangguk paham. Pria yang memilih mengabdikan hidupnya untuk Helena itu kembali mengawasi beberapa orang y
***Sepuluh hari terlalu berlalu. Hazel pun sudah keluar dari Rumah Sakit sejak dua hari yang lalu. Kini, pria berkemeja putih itu mengendarai mobilnya bersama Adinda hendak menuju butik tempat mereka melakukan fitting baju.Senyum bahagia terukir di bibir Adinda. Sejak Helena tidak lagi menampakkan batang hidungnya, perempuan yang tengah menyembunyikan kandungannya itu merasa bisa bernapas lega. Satu-satunya masalah dalam hubungannya dengan Hazel menghilang sudah. Adinda bernyanyi mengikuti irama lagu yang diputar Hazel sejak mobil mereka melaju membelah jalanan. Sambil sesekali tangan Adinda meliuk menari ringan saking bahagianya. Hazel hanya melirik sambil melempar senyum tipis. Merasa lucu dengan tingkah calon istrinya yang semakin hari Lian menggemaskan."Lucu sekali," gumam Hazel sambil mencubit pipi Adinda. "Kamu bahagia?"Adinda mengangguk. Dia menggamit lengan Hazel dan merebahkan kepalanya disana. Tenang. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Bahagia sekali,
***"Hazel, katakan padaku apa maksud ucapan Andra tadi!" teriak Adinda panik. "Menjebakku, kamu menjebakku, hah?"Hazel bungkam. Wajahnya yang beberapa hari terlihat lembut kini sudah kembali seperti Hazel yang sebelumnya. Tegas, tanpa ampun. "Sayang, kita hari ini mau ke butik. Jangan membuatku pusing dengan sikapmu yang tiba-tiba berubah ini," kata Adinda seperti berbisik. "Aku tahu siapa pelaku itu tapi ... tapi sungguh aku tidak ikut andil dalam kejahatan itu, Hazel. Kamu percaya padaku kan?""Hazel, bicaralah! Aku mohon!" Adinda merengek sambil menutup wajahnya menggunakan dua tangan. Hazel hanya melirik, sesekali tangannya mencengkeram kemudi melihat akting yang Adinda tunjukkan. "Kamu marah padaku, iya? Kamu kecewa karena aku menutupi kelakuan Andra?""Kau sebut itu cinta, Din?" sahut Hazel membuka suara. "Kamu tau aku begitu khawatir padamu tapi lihat, kamu justru menutupi kejahatan yang Andra lakukan. Untuk apa? Kamu mencintainya?"Adinda menoleh dan menggeleng cepat. "Tid
***"Kalian tidak bisa memenjarakanku! Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kecelakaan yang menimpa Hazel!" teriak Adinda marah. "Lepaskan aku! Hazel, kamu berjanji tidak akan meninggalkanku lagi. Kamu sudah berjanji, Hazel!"Lain Adinda, lain pula Andra. Pria itu nampak begitu tenang meskipun polisi berhasil menemukannya di tempat persembunyian. "Sudahlah, Hazel, percuma sekali kamu menangkapku seperti ini. Paling lama mungkin enam bulan lalu aku akan kembali keluar. Sama seperti hukuman yang sebelumnya," kata Andra percaya diri. "Kamu tahu kan hukum di negara kita seperti apa, hah?""Hiduplah dengan mimpimu!" sahut Hazel geram. "Kali ini aku tidak akan melepaskanmu lagi, Andra. Camkan itu!"Tidak lama, kedua orang tua Adinda datang dengan wajah yang basah. Baik Bapak maupun Ibunya terlihat menangis sambil memeluk putri mereka yang tengah hamil."Kenapa ini, Din, kamu bilang akan pergi ke butik bersama Hazel, tapi kenapa kamu ada di sini? Jelaskan, Adinda!" Ibu Adinda tergugu. "Ibu
***Helena meletakkan kembali ponselnya di atas ranjang. Setelah menarik napas dalam-dalam berulang kali, dia memilih duduk di depan meja rias dan mengusap wajahnya yang mulai kembali terlihat berisi. Berat badannya kembali normal setelah dia hampir mirip seperti mayat hidup. Kurus kering karena terlalu memikirkan masalah yang ada."Kamu tahu bahwa aku tidak akan menerima alasan apapun, Hazel. Apa kamu pikir perasaanku sebercanda itu?" Di depan kaca, Helena berbicara seakan-akan Hazel akan mendengar penuturannya. "Sebelum aku memutuskan menyerah, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana hancurnya aku saat itu. Aku berusaha menerima semuanya meskipun sepertinya mustahil kamu melupakanku. Dan ternyata benar, semua hanyalah kepura-puraan semata."Helena tersenyum sendu sambil menatap matanya yang sedikit bengkak. Tidak mudah menjalani hari-harinya tanpa Hazel setelah apa yang pria itu berikan pada Helena. Perhatian, kasih sayang, waktu, semua Hazel berikan membuat Helena terlanjur nyaman. D