***"Kalian tidak bisa memenjarakanku! Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kecelakaan yang menimpa Hazel!" teriak Adinda marah. "Lepaskan aku! Hazel, kamu berjanji tidak akan meninggalkanku lagi. Kamu sudah berjanji, Hazel!"Lain Adinda, lain pula Andra. Pria itu nampak begitu tenang meskipun polisi berhasil menemukannya di tempat persembunyian. "Sudahlah, Hazel, percuma sekali kamu menangkapku seperti ini. Paling lama mungkin enam bulan lalu aku akan kembali keluar. Sama seperti hukuman yang sebelumnya," kata Andra percaya diri. "Kamu tahu kan hukum di negara kita seperti apa, hah?""Hiduplah dengan mimpimu!" sahut Hazel geram. "Kali ini aku tidak akan melepaskanmu lagi, Andra. Camkan itu!"Tidak lama, kedua orang tua Adinda datang dengan wajah yang basah. Baik Bapak maupun Ibunya terlihat menangis sambil memeluk putri mereka yang tengah hamil."Kenapa ini, Din, kamu bilang akan pergi ke butik bersama Hazel, tapi kenapa kamu ada di sini? Jelaskan, Adinda!" Ibu Adinda tergugu. "Ibu
***Helena meletakkan kembali ponselnya di atas ranjang. Setelah menarik napas dalam-dalam berulang kali, dia memilih duduk di depan meja rias dan mengusap wajahnya yang mulai kembali terlihat berisi. Berat badannya kembali normal setelah dia hampir mirip seperti mayat hidup. Kurus kering karena terlalu memikirkan masalah yang ada."Kamu tahu bahwa aku tidak akan menerima alasan apapun, Hazel. Apa kamu pikir perasaanku sebercanda itu?" Di depan kaca, Helena berbicara seakan-akan Hazel akan mendengar penuturannya. "Sebelum aku memutuskan menyerah, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana hancurnya aku saat itu. Aku berusaha menerima semuanya meskipun sepertinya mustahil kamu melupakanku. Dan ternyata benar, semua hanyalah kepura-puraan semata."Helena tersenyum sendu sambil menatap matanya yang sedikit bengkak. Tidak mudah menjalani hari-harinya tanpa Hazel setelah apa yang pria itu berikan pada Helena. Perhatian, kasih sayang, waktu, semua Hazel berikan membuat Helena terlanjur nyaman. D
***"Non Lena ...." Bik Asih bergumam disertai dengan jantung yang berdegup kencang. "Aduh, bagaimana ini?"Hazel urung masuk ke dalam rumah. Pria itu berdiri di halaman rumah Bik Asih dengan tatapan mengiba. Berharap Helena mau memaafkan semua kepura-puraan yang selama ini dia lakukan. Berharap Helena mengerti bahwa yang sedang Hazel lakukan adalah demi kebahagiaan mereka ke depannya. Helena terpaku di samping mobil. Tangannya gemetar ketika melihat sosok yang begitu dekat dengannya selama ini tengah berdiri di depan rumah Bik Asih. Dada Helena tiba-tiba sesak. Melihat cairan bening yang menggumpal di kedua mata Hazel membuat hati Helena berdenyut nyeri."Sepertinya Bik Asih ada tamu, lebih baik nanti aku datang lagi ....""Len!" Panggil Hazel membuat ucapan Helena terhenti. "Bisakah kita bicara empat mata?"Helena menggeleng sembari tersenyum seakan-akan hatinya baik-baik saja saat ini. "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Hazel. Aku sudah mengatakan padamu pada malam dimana
***"Bibik takut, Pak ....""Bik Asih tau kan seberapa besar aku mencintai Helena?" tanya Hazel, "Aku melakukan itu semua hanya untuk melindungi dia. Andra bisa melakukan hal yang lebih berbahaya untuk Helena, Bik, itu sebabnya untuk sementara aku berpura-pura tidak mengingatnya. Demi Helena, Bik." Hazel memelas. Memberikan waktu untuk Helena itu artinya dia harus siap jika perempuan itu menghapus namanya untuk selama-lamanya. "Aku tidak bisa melepaskan Helena, Bik. Aku mencintainya, lebih dari mencintai diriku sendiri. Aku tidak bisa hidup tanpa Helena, Bik Asih tau itu. Butuh banyak waktu agar aku dan dia bisa bersatu, kali ini tolong bantu aku, Bik. Aku memang bodoh, tindakanku menyakitinya, tapi ijinkan aku menebus semua rasa bersalah itu. Katakan, dimana Helena tinggal saat ini, Bik Asih. Mohon ...."Bik Asih menatap Hazel ragu. Setelah menghela napas panjang, wanita yang usianya sudah tidak lagi muda itu meminta Hazel masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan mantan calon suami ma
***Helena membungkam mulutnya sepanjang perjalanan pulang. Mamang yang khawatir sesekali melirik Helena dari kaca yang terletak di atas kepalanya. 'Kenapa kamu datang saat aku sudah berusaha sekuat ini merelakanmu, Hazel?' batin Helena. 'Andaipun semua yang kamu lakukan memang hanya kebohongan semata, tidak bisakah kamu lepaskan saja aku? Biarkan aku hidup dengan membawa luka hingga akhirnya cinta untukmu berakhir sudah?'Helena memalingkan wajahnya menatap jalanan melalui kaca mobil. Helaan napas berat berulang kali terdengar di telinga Mamang. Pria tua itu begitu peka dengan segala tindak tanduk Helena. "Kita langsung pulang, Non?" tanya Mamang memastikan. "Atau ada tempat yang mau Non Helena kunjungi sebelum ....""Menurut Mamang, aku harus bagaimana?" Helena menjawab pertanyaan Mamang dengan pertanyaan yang lain. "Haruskah aku memaafkan Hazel, Mang?"Mamang memelankan laju mobil karena paham jika Helena sedang ingin berbincang di jalan. Pria tua itu tersenyum teduh sambil melir
***Mobil yang Helena tumpangi berbelok ke sebuah Restoran sederhana pinggir jalan. Benar saja, mobil Hazel ternyata mengikuti dari belakang seolah-olah mereka memang sedang berjanji untuk bertemu. Setelah memposisikan mobil dengan tempat parkir yang tersedia, Mamang membuka pintu mobil mempersilahkan Helena keluar. Tidak jauh dari tempatnya berdiri saat ini, Hazel juga baru saja keluar dari mobilnya dan menatap sosok Helena dengan pandangan yang meredup. Kemarahan Helena membuat cinta yang semula menyala perlahan kehilangan cahayanya. Helena melirik bersamaan dengan Hazel yang berlari kecil untuk mendekat. "Len, sekali ini saja beri aku kesempatan untuk menjelaskan," rengek Hazel dengan air muka memelas. "Terserah kamu mau memaafkanku atau tidak, tapi tolong dengarkan penjelasanku!""Kamu mengikutiku, Mas?" tanya Helena. Panggilan yang sempat menghilang dari bibirnya kini kembali lagi hingga menuai senyum samar di bibir Hazel. "Penguntit!" Hazel menggaruk tengkuknya yang tidak gat
***"Itu sebabnya kamu berpura-pura tidak mengingatku?" tebak Helena. Selalu saja hatinya merasa perih mendapati kenyataan itu. "Kamu ingin menjebak Adinda dengan iming-iming sebuah pernikahan yang memang Adinda impikan?"Hazel menghela napas panjang. Digenggamnya jemari Helena dengan erat dan berucap, "Aku sungguh tidak punya pilihan lain, Len. Dalam pikiranku hanya ada cara untuk menjebak Adinda. Dia mudah luluh, aku tahu kalau dia masih menginginkanku itu sebabnya aku memilih cara yang lebih cepat. Tapi ternyata aku salah, kamu terluka dengan caraku itu," sesal Hazel. "Maafkan aku, Helena. Aku hanya berusaha melindungi kamu, kalau orang lain bisa mencelakaiku maka tidak menutup kemungkinan dia akan mencelakai kamu, juga kedua orang tuaku. Aku tidak mau itu terjadi, Len."Hazel mengecup punggung tangan Helena dengan lembut. Ada perasaan lega saat melihat air mata Helena yang mulai mengering. "Aku benar-benar minta maaf. Kamu segalanya buatku, Len, jangan pergi!" pintanya memohon. "
***"Ck, mau apa kamu datang kesini?" Adinda bertanya ketus. Dadanya terasa terbakar melihat Helena mengunjunginya pagi ini. Esok adalah hari persidangan dimana masa depan Adinda dan Andra diputuskan. "Mau tertawa karena aku akhirnya mendekam di penjara, hah?"Helena duduk dengan anggun. Tidak ada senyum mengejek atau kekehan mencibir. Wajahnya tanpa ekspresi menatap datar ke arah Adinda yang tengah duduk di depannya. "Kamu hanya sedang beruntung, Helena, jadi jangan besar kepala! Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan Hazel buatmu!"Helena menaikkan kedua alisnya. Cukup terkejut dengan pengakuan yang Adinda lontarkan. Hazel adalah pria baik, pantas saja Adinda akan melakukan segala cara untuk bisa bersama pria itu. "Darimana kamu mengenal Mas Andra?" tanya Helena mengalihkan pembicaraan yang cukup membuat hatinya berdenyut nyeri. "Setahuku kalian tidak saling mengenal."Adinda bersedekap dada. Gambaran perempuan sombong dan pongah ada pada tindak tanduknya saat ini. "Memang kena
***"Saudara Hazel, saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin uang tunai sebesar 2023 dollar, dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Helena Bagaskara binti Bagaskara dengan mas kawin tersebut, tunai!""Sah?""Sah!""Alhamdulillah ...."Gedung tempat terlaksananya acara riuh dengan doa-doa para tamu. Helena mengusap sudut matanya yang berair. Di sudut ruangan, sekelebat terlihat bayangan Papa dan Mamanya tengah tersenyum ke arahnya."Selamat ya, Sayang. Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan," kata Bu Nela haru. "Jangan sedih, Mama dan Papa ada buat kamu."Helena mengangguk. Hatinya membuncah bahagia karena pernikahannya berjalan dengan lancar. Di sebelah Helena, Hazel tak kalah terharu dengan momen sakral yang baru saja ia lakoni. Kini dia menjadi wanita yang memiliki keluarga. Di tempat lain, Kamila dan Mama Desinta duduk berdampingan. Di ujung yang lain terlihat Mama Fiona menangis haru sambil memangku c
***"Kamu baik-baik saja, Mil?"Kamila menangis namun kepalanya mengangguk memberi jawaban. Helena dan Hazel membawa adik Andra itu ke sebuah Rumah Sakit terdekat. Luka di wajah Kamila harus mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Mbak ....""Jangan bicara dulu, bibirmu makin robek," kata Helena mencegah. "Diam saja, kalau sudah mendapat pengobatan di wajahmu, baru berbicara!"Kamila terus menangis. Sesekali tangannya mengusap perut yang terasa perih namun ia enggan menceritakannya itu pada Helena. Kamila tidak mau dianggap sebagai orang yang memanfaatkan kebaikan orang lain, apalagi orang itu adalah Helena. Di kursi kemudi, Hazel tidak berbicara sepatah katapun. Dia terus menatap ke depan seakan-akan Helena dan Kamila di belakang tidak mempengaruhi keadaan hatinya saat ini. Hazel cemburu. Tentu saja. Wanita yang Helena tolong adalah mantan adik iparnya. Ada perasaan nyeri di hati Hazel saat ini. Sesampainya di rumah sakit, Helena dengan sigap meminta bantuan perawat untuk mengobati
***"Maafkan Tante, Len. Sungguh, Tante minta maaf," cicit Mama Fiona. "Kamu sebaik ini pada Tante padahal Tante sudah menyakiti kamu, Helena. Maafkan Tante ...."Helena membuang muka hingga tanpa sadar dia menatap Hazel yang sedang memperhatikannya dengan tatapan lembut. Pria itu mengangguk samar di depan Helena seolah sedang berkata. "Kamu bisa, Sayang!""Aku belum bisa memaafkan semua kesalahan Tante," kata Helena datar. "Mau sebanyak apapun Tante meminta maaf, aku sepertinya tidak bisa memaafkan begitu saja," imbuhnya."Aku tidak perduli apakah nanti berdosa sudah menyimpan dendam, tapi ... sungguh, aku tidak bisa memaafkan semuanya, Tante. Aku melakukan ini karena tidak bisa membiarkan bayi yang tidak bersalah menanggung dosa Ibu dan Neneknya. Tante tau bukan jika aku tidak punya urusan apapun pada bayi itu? Seharusnya aku bisa abai, tapi berulang kali Mama hadir dalam mimpi. Dia terlihat sedang menggendong bayi di depanku ...."Mama Fiona menangis tergugu di depan Helena. Terbay
***"Tidak bisa, kami tidak mau menerima pekerja dengan membawa anak.""Maaf, Ibu. Kami menolak pekerja yang usianya sudah tidak muda lagi.""Lebih baik di rumah saja, Nek, sudah tua masih saja mikirin dunia!""Sudah sana pergi! Gak ada lowongan pekerjaan disini!" Banyak sekali kalimat-kalimat menyakitkan yang Mana Fiona terima hari ini. Rumah yang ia tempati seharusnya sudah jatuh tempo biaya bulanan namun Mama Fiona bahkan tidak memiliki sepeserpun uang. Beruntung susu yang Helena belikan masih ada jadi cucunya bisa menyusu tanpa takut kelaparan. "Permisi ...."Seorang wanita muda berpakaiannya terbuka muncul di ambang pintu. "Jangan minta-minta disini, sana!"Mama Fiona seketika menggeleng. "Mbak, bisa saya melamar bekerja disini?"Wanita dengan belahan dada rendah itu tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk-nepuk pipi Mama Fiona dan menjawab. "Bu, disini itu salon kecantikan. Kalau kamu yang penampilannya kucel dan lusuh seperti ini bekerja di tempatku, bisa kabur semua pelangganku.
***"Ma, gak bisa gitu dong! Aku maunya bebas!" Anita menggebrak meja tanpa peduli apakah bayinya akan terkejut dan menangis atau tidak. Beruntung sebelum berangkat mengunjungi Anita, Mama Fiona sudah memberi susu yang cukup untuk cucunya. "Enak saja Mama mau lepas tangan, ingat ya ... semua ini gara-gara rencana Mama!"Mama Fiona menunduk menatap wajah cucunya yang tertidur sangat pulas. "Mama tau, Nit. Mama mengaku salah, tapi tolong mengertilah ....""Aku tidak bisa mengerti apapun saat ini! Melihat Mama bebas sementara aku terkurung di penjara rasanya hatiku seolah terbakar. Aku marah, tentu saja!""Dengarkan Mama, Anita!" bentak Mama Fiona lantang. "Dengarkan Mama sekali ini saja, setelah itu ... terserah langkah apa yang mau kamu ambil."Anita diam meskipun dadanya naik turun menahan amarah. Bagaimana tidak, otak dari rencana kejahatan ini adalah Mama Fiona namun wanita paruh baya itu justru bebas sementara Anita yang harus mendekam di penjara. "Mama sudah terlanjut mendapatkan
***Helena dan Bu Nela sama-sama menangis. Hazel yang sedang membawa nampan berisi minuman hanya bisa terpaku di balik dinding penyekat antara dapur dan ruang keluarga. "Den, mau Bibi bawakan?" Hazel menggeleng, "Tidak perlu, Bi. Aku sengaja menunggu sampai Mama dan Helena tenang," kata Hazel menolak.Bibi mengangguk pasrah dan kembali ke dapur, sementara Hazel masih terus berdiri dengan telinga yang sedang mencuri dengar perbincangan dua wanita hebat dalam hidupnya. "Aku ingin sekali membenci, Ma, tapi entah kenapa aku justru merasa bersalah sekarang," tutur Helena di tengah isak tangisnya. "Mama Fiona dan Anita sudah menghancurkan hidupku, tapi kenapa aku justru iba pada bayinya? Tidak bisakah aku membenci bayi itu juga, Ma?""Dia tidak bersalah, Sayang ...." Bu Nela menyahuti ucapan calon menantunya dengan sigap. "Mau sebanyak apapun kesalahan dan kejahatan yang Anita dan Ibunya lakukan, bayi itu tidak bersalah, Helena."Helena menatap wajah Bu Nel lamat-lamat. "Aku ingin memban
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,