***"Itu sebabnya kamu berpura-pura tidak mengingatku?" tebak Helena. Selalu saja hatinya merasa perih mendapati kenyataan itu. "Kamu ingin menjebak Adinda dengan iming-iming sebuah pernikahan yang memang Adinda impikan?"Hazel menghela napas panjang. Digenggamnya jemari Helena dengan erat dan berucap, "Aku sungguh tidak punya pilihan lain, Len. Dalam pikiranku hanya ada cara untuk menjebak Adinda. Dia mudah luluh, aku tahu kalau dia masih menginginkanku itu sebabnya aku memilih cara yang lebih cepat. Tapi ternyata aku salah, kamu terluka dengan caraku itu," sesal Hazel. "Maafkan aku, Helena. Aku hanya berusaha melindungi kamu, kalau orang lain bisa mencelakaiku maka tidak menutup kemungkinan dia akan mencelakai kamu, juga kedua orang tuaku. Aku tidak mau itu terjadi, Len."Hazel mengecup punggung tangan Helena dengan lembut. Ada perasaan lega saat melihat air mata Helena yang mulai mengering. "Aku benar-benar minta maaf. Kamu segalanya buatku, Len, jangan pergi!" pintanya memohon. "
***"Ck, mau apa kamu datang kesini?" Adinda bertanya ketus. Dadanya terasa terbakar melihat Helena mengunjunginya pagi ini. Esok adalah hari persidangan dimana masa depan Adinda dan Andra diputuskan. "Mau tertawa karena aku akhirnya mendekam di penjara, hah?"Helena duduk dengan anggun. Tidak ada senyum mengejek atau kekehan mencibir. Wajahnya tanpa ekspresi menatap datar ke arah Adinda yang tengah duduk di depannya. "Kamu hanya sedang beruntung, Helena, jadi jangan besar kepala! Sampai kapanpun aku tidak akan melepaskan Hazel buatmu!"Helena menaikkan kedua alisnya. Cukup terkejut dengan pengakuan yang Adinda lontarkan. Hazel adalah pria baik, pantas saja Adinda akan melakukan segala cara untuk bisa bersama pria itu. "Darimana kamu mengenal Mas Andra?" tanya Helena mengalihkan pembicaraan yang cukup membuat hatinya berdenyut nyeri. "Setahuku kalian tidak saling mengenal."Adinda bersedekap dada. Gambaran perempuan sombong dan pongah ada pada tindak tanduknya saat ini. "Memang kena
***"Kita ke kantor dulu ya, Mang."Mamang mengangguk sambil mengacungkan jari jempolnya. "Siap, Non!"Sepanjang perjalanan Helena bernyanyi lirih seraya menggoyangkan kepala kecil. Headset yang memperdengarkan lagu-lagu barat membuatnya sejenak melupakan masalah yang baru-baru ini menimpanya. Mamang tersenyum samar melihat Helena dari kaca depan. Untuk pertama kalinya wajah Helena terlihat begitu tenang, seolah sebuah beban berat sudah berhasil dihempas. Sesampainya di depan kantor, Mamang membuka pintu untuk Helena dan mempersilahkan wanita cantik itu turun. "Mamang tunggu disini saja ya, Non," kata Mamang sungkan. "Kalau lama nanti Mamang tunggu di pos security.""Gak masuk aja?" tanya Helena memastikan. "Takut aku lama nanti, Mang.""Tidak masalah, Non. Gak perlu buru-buru, Mamang tunggu di sini.""Baiklah." Helena melangkah masuk meninggalkan Mamang di ruang security. Biasanya Mamang akan disuruh pulang oleh Helena, namun hari ini Helena hanya datang sebentar untuk memastikan
***Helena hampir tertawa mendengar hardikan Ibu Adinda. Jika saja dia melupakan unggah-ungguh kepada orang yang lebih tua, sudah pasti melayang jari telunjuk Helena di depan wajah kedua tamunya."Sayang sekali, seorang Ibu begitu pandai menilai orang lain namun memilih menutup mata pada keadaan putrinya sendiri," sindir Helena menohok. "Jika saya wanita jahat, lantas anak Ibu apa? Ah, ya ... pembunuh, begitu kah?"Wajah Ibu Adinda memerah. Matanya menatap sekeliling berharap tidak ada yang mendengar ucapan Helena barusan. Tapi sayang, beberapa staf yang memang kebetulan hendak makan siang justru melayangkan tatapan sinis padanya dan Sang Suami."Adinda hampir membunuh orang. Memang hampir, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa Hazel akan mati kala itu. Dia sudah melakukan tindak pidana, nyawa Hazel hampir direnggut hanya karena keserakahan yang Adinda punya, lalu Ibu datang kemari dan memaki-maki saya mengatakan saya jahat, tidak berhati? Lalu bagaimana dengan Adinda, Bu?" tutur Helen
***"Bu, ada tamu di lobby bawah."Helena menerima telepon dari sekretaris pribadinya. "Siapa?""Ehm ... Bu Fiona ...."Helena menghela napas panjang. "Baiklah, saya turun."Helena meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Setelah memeriksa semua data yang ada di laptopnya, dia lantas menyambar ponsel dan tas kecilnya di atas meja. Sepertinya Helena harus mulai tegas. Adu mulut saja tidak akan menyelesaikan masalah yang ada. Helena yakin, setelah hari ini maka Mama Fiona akan datang di hari-hari yang lain. "Mel, setelah makan siang saya langsung pulang, kalau ada hal penting dan mendesak, telepon saja, oke?""Baik, Bu!"Helena melenggang meninggalkan ruangan dengan perasaan lelah. Dua hari lagi pernikahannya dengan Hazel kembali digelar, tapi orang-orang tidak tau malu itu masih saja mengejar-ngejar Helena. Usai kedatangan Bapak dan Ibu Adinda, kini Mama Fiona yang mendatanginya, semoga saja Mama Desinta dan Kamila sudah benar-benar berubah dan tidak merecoki hidup Helena lagi.Dari
***"Masih punya muka menemui Helena, Tante?" Hazel langsung memberi pertanyaan menohok setelah makanan di depannya tandas tak bersisa. "Sepertinya muka Tante Fiona tebal sekali ya, Sayang?" tanya Hazel kepada Helena seraya terkekeh mencibir. "Putrinya hampir membunuhku, kini dia datang menemui calon istriku, mau apa, Tante?"Mama Fiona terus menunduk. Tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong bayi dalam dekapannya sementara jantungnya sejak tadi sudah berdebar hebat. Tidak cukup nyali untuk mengangkat kepala di depan Hazel karena saat ini posisinya sudah kalah telak."Om Bagas dan istrinya meninggal di tangan Tante, sekarang Tante Fiona datang membawa bayi di depan Helena, wah ... paham sekali kalau calon istriku ini wanita baik," tutur Hazel lagi. "Belum lagi, aku yakin kalau otak lain dari rencana kecelakaan yang menimpaku adalah Tante Fiona, mustahil sekali jika Anita merencanakan itu sendirian."Mama Fiona mengangkat wajahnya perlahan. Saat kedua matanya bersirobok dengan mata Hazel,
***"Apa Tante pikir dengan membenci saya maka semua pahit yang aku rasakan musnah sudah?" Helena bertanya parau. "Aku sebenarnya muak membahas tentang masa lalu, Tante. Tapi hari ini aku mau semuanya berakhir. Tante ... Anita, Mas Andra dan keluarganya aku harap tidak lagi menggangguku!"Mama Fiona mengangguk lemah. "Ya, Tante berjanji, Helena."Hazel mengusap punggung tangan Helena seraya melontarkan tatapan lembut pada wanita yang saat ini terlihat begitu kalut itu. "Kita pulang?"Helena mengangguk. Ada perasaan iba pada bayi yang tidak bersalah, namun ada perasaan benci ketika netranya menangkap wajah Mama Fiona. Selalu saja pahit di masa lalu membuatnya tidak mau menaruh rasa kasihan saat ini. "Untuk ke depannya, aku tidak mau tahu bagaimana kabar Tante dan siapapun itu. Mau itu bayi Anita atau bayi-bayi yang lain. Aku tidak perduli!""Tante paham, Helena," sahut Mama Fiona sendu. "Tante sangat paham," imbuhnya. "Untuk yang terakhir kalinya, tolong maafkan Tante.""Aku tidak bis
***"Ah, tidak begitu ... apakah yang aku putuskan ini benar kalau aku membantu biaya hidup bayi itu? Dia ... wajahnya yang damai membuatku selalu merasa bersalah, Hazel."Kedua mata Helena lagi-lagi berkaca-kaca. Tangannya yang semula terlihat jauh lebih tenang kini kembali bergetar. Tampak betapa pergulatan hebat di dalam hatinya dengan berlangsung saat ini."Aku tahu, dulu ... Mama Fiona tidak peduli bagaimana aku akan melanjutkan hidup. Dia tanpa hati menyingkirkan Mama dan Papa, tapi ... saat itu posisiku adalah wanita yang sudah bersuami, Hazel. Jika aku adalah seorang bayi, apakah Mama Fiona akan memberikan rasa kasihannya padaku?" Helena berbicara seorang diri. Ya, lagi-lagi Hazel memberi ruang agar Helena bisa melampiaskan apa yang ia rasa saat ini. "Aku tidak bisa abai pada bayi itu, apakah ini memang rencana Mama Fiona, Hazel? Dia tahu bahwa aku tidak akan sampai hati untuk tidak perduli itu sebabnya dia menemuiku dengan membawa bayi? Begitukah, Hazel?"Hazel masih belum be