***Helena sudah berkemas bahkan dari satu minggu yang lalu beberapa barang sudah dia pindahkan ke rumah baru. Perabotan lain seperti sofa dan sebagainya mulai ditutup kain putih agar tidak berdebu. Bik Asih menyeka ujung matanya ketika melihat Helena sedang mengusap-usap sebuah guci berwarna biru. Guci milik mendiang mamanya yang sampai saat ini masih terawat dengan baik."Itu gak sekalian dibawa, Non?" tanya Mamang memastikan. "Sayang kalau ditinggalkan di rumah kosong, takut tidak terawat."Helena menggeleng. Matanya menatap sendu pada sekeliling rumah yang selama ini sudah menjadi saksi bisu pahit getirnya kehidupan. "Tidak perlu, Mang. Semua barang milik Papa dan Mama biarkan saja pada tempatnya. Aku tidak mau membuat kenangan tentang mereka berubah," jawab Helena sedih. "Kita bawa yang benar-benar diperlukan saja, nanti untuk perabotan lainnya aku beli yang baru."Mamang mengangguk paham. Pria yang memilih mengabdikan hidupnya untuk Helena itu kembali mengawasi beberapa orang y
***Sepuluh hari terlalu berlalu. Hazel pun sudah keluar dari Rumah Sakit sejak dua hari yang lalu. Kini, pria berkemeja putih itu mengendarai mobilnya bersama Adinda hendak menuju butik tempat mereka melakukan fitting baju.Senyum bahagia terukir di bibir Adinda. Sejak Helena tidak lagi menampakkan batang hidungnya, perempuan yang tengah menyembunyikan kandungannya itu merasa bisa bernapas lega. Satu-satunya masalah dalam hubungannya dengan Hazel menghilang sudah. Adinda bernyanyi mengikuti irama lagu yang diputar Hazel sejak mobil mereka melaju membelah jalanan. Sambil sesekali tangan Adinda meliuk menari ringan saking bahagianya. Hazel hanya melirik sambil melempar senyum tipis. Merasa lucu dengan tingkah calon istrinya yang semakin hari Lian menggemaskan."Lucu sekali," gumam Hazel sambil mencubit pipi Adinda. "Kamu bahagia?"Adinda mengangguk. Dia menggamit lengan Hazel dan merebahkan kepalanya disana. Tenang. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Bahagia sekali,
***"Hazel, katakan padaku apa maksud ucapan Andra tadi!" teriak Adinda panik. "Menjebakku, kamu menjebakku, hah?"Hazel bungkam. Wajahnya yang beberapa hari terlihat lembut kini sudah kembali seperti Hazel yang sebelumnya. Tegas, tanpa ampun. "Sayang, kita hari ini mau ke butik. Jangan membuatku pusing dengan sikapmu yang tiba-tiba berubah ini," kata Adinda seperti berbisik. "Aku tahu siapa pelaku itu tapi ... tapi sungguh aku tidak ikut andil dalam kejahatan itu, Hazel. Kamu percaya padaku kan?""Hazel, bicaralah! Aku mohon!" Adinda merengek sambil menutup wajahnya menggunakan dua tangan. Hazel hanya melirik, sesekali tangannya mencengkeram kemudi melihat akting yang Adinda tunjukkan. "Kamu marah padaku, iya? Kamu kecewa karena aku menutupi kelakuan Andra?""Kau sebut itu cinta, Din?" sahut Hazel membuka suara. "Kamu tau aku begitu khawatir padamu tapi lihat, kamu justru menutupi kejahatan yang Andra lakukan. Untuk apa? Kamu mencintainya?"Adinda menoleh dan menggeleng cepat. "Tid
***"Kalian tidak bisa memenjarakanku! Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kecelakaan yang menimpa Hazel!" teriak Adinda marah. "Lepaskan aku! Hazel, kamu berjanji tidak akan meninggalkanku lagi. Kamu sudah berjanji, Hazel!"Lain Adinda, lain pula Andra. Pria itu nampak begitu tenang meskipun polisi berhasil menemukannya di tempat persembunyian. "Sudahlah, Hazel, percuma sekali kamu menangkapku seperti ini. Paling lama mungkin enam bulan lalu aku akan kembali keluar. Sama seperti hukuman yang sebelumnya," kata Andra percaya diri. "Kamu tahu kan hukum di negara kita seperti apa, hah?""Hiduplah dengan mimpimu!" sahut Hazel geram. "Kali ini aku tidak akan melepaskanmu lagi, Andra. Camkan itu!"Tidak lama, kedua orang tua Adinda datang dengan wajah yang basah. Baik Bapak maupun Ibunya terlihat menangis sambil memeluk putri mereka yang tengah hamil."Kenapa ini, Din, kamu bilang akan pergi ke butik bersama Hazel, tapi kenapa kamu ada di sini? Jelaskan, Adinda!" Ibu Adinda tergugu. "Ibu
***Helena meletakkan kembali ponselnya di atas ranjang. Setelah menarik napas dalam-dalam berulang kali, dia memilih duduk di depan meja rias dan mengusap wajahnya yang mulai kembali terlihat berisi. Berat badannya kembali normal setelah dia hampir mirip seperti mayat hidup. Kurus kering karena terlalu memikirkan masalah yang ada."Kamu tahu bahwa aku tidak akan menerima alasan apapun, Hazel. Apa kamu pikir perasaanku sebercanda itu?" Di depan kaca, Helena berbicara seakan-akan Hazel akan mendengar penuturannya. "Sebelum aku memutuskan menyerah, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana hancurnya aku saat itu. Aku berusaha menerima semuanya meskipun sepertinya mustahil kamu melupakanku. Dan ternyata benar, semua hanyalah kepura-puraan semata."Helena tersenyum sendu sambil menatap matanya yang sedikit bengkak. Tidak mudah menjalani hari-harinya tanpa Hazel setelah apa yang pria itu berikan pada Helena. Perhatian, kasih sayang, waktu, semua Hazel berikan membuat Helena terlanjur nyaman. D
***"Non Lena ...." Bik Asih bergumam disertai dengan jantung yang berdegup kencang. "Aduh, bagaimana ini?"Hazel urung masuk ke dalam rumah. Pria itu berdiri di halaman rumah Bik Asih dengan tatapan mengiba. Berharap Helena mau memaafkan semua kepura-puraan yang selama ini dia lakukan. Berharap Helena mengerti bahwa yang sedang Hazel lakukan adalah demi kebahagiaan mereka ke depannya. Helena terpaku di samping mobil. Tangannya gemetar ketika melihat sosok yang begitu dekat dengannya selama ini tengah berdiri di depan rumah Bik Asih. Dada Helena tiba-tiba sesak. Melihat cairan bening yang menggumpal di kedua mata Hazel membuat hati Helena berdenyut nyeri."Sepertinya Bik Asih ada tamu, lebih baik nanti aku datang lagi ....""Len!" Panggil Hazel membuat ucapan Helena terhenti. "Bisakah kita bicara empat mata?"Helena menggeleng sembari tersenyum seakan-akan hatinya baik-baik saja saat ini. "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Hazel. Aku sudah mengatakan padamu pada malam dimana
***"Bibik takut, Pak ....""Bik Asih tau kan seberapa besar aku mencintai Helena?" tanya Hazel, "Aku melakukan itu semua hanya untuk melindungi dia. Andra bisa melakukan hal yang lebih berbahaya untuk Helena, Bik, itu sebabnya untuk sementara aku berpura-pura tidak mengingatnya. Demi Helena, Bik." Hazel memelas. Memberikan waktu untuk Helena itu artinya dia harus siap jika perempuan itu menghapus namanya untuk selama-lamanya. "Aku tidak bisa melepaskan Helena, Bik. Aku mencintainya, lebih dari mencintai diriku sendiri. Aku tidak bisa hidup tanpa Helena, Bik Asih tau itu. Butuh banyak waktu agar aku dan dia bisa bersatu, kali ini tolong bantu aku, Bik. Aku memang bodoh, tindakanku menyakitinya, tapi ijinkan aku menebus semua rasa bersalah itu. Katakan, dimana Helena tinggal saat ini, Bik Asih. Mohon ...."Bik Asih menatap Hazel ragu. Setelah menghela napas panjang, wanita yang usianya sudah tidak lagi muda itu meminta Hazel masuk ke dalam rumah dan mempersilahkan mantan calon suami ma
***Helena membungkam mulutnya sepanjang perjalanan pulang. Mamang yang khawatir sesekali melirik Helena dari kaca yang terletak di atas kepalanya. 'Kenapa kamu datang saat aku sudah berusaha sekuat ini merelakanmu, Hazel?' batin Helena. 'Andaipun semua yang kamu lakukan memang hanya kebohongan semata, tidak bisakah kamu lepaskan saja aku? Biarkan aku hidup dengan membawa luka hingga akhirnya cinta untukmu berakhir sudah?'Helena memalingkan wajahnya menatap jalanan melalui kaca mobil. Helaan napas berat berulang kali terdengar di telinga Mamang. Pria tua itu begitu peka dengan segala tindak tanduk Helena. "Kita langsung pulang, Non?" tanya Mamang memastikan. "Atau ada tempat yang mau Non Helena kunjungi sebelum ....""Menurut Mamang, aku harus bagaimana?" Helena menjawab pertanyaan Mamang dengan pertanyaan yang lain. "Haruskah aku memaafkan Hazel, Mang?"Mamang memelankan laju mobil karena paham jika Helena sedang ingin berbincang di jalan. Pria tua itu tersenyum teduh sambil melir