"Mas, hari ini biar aku saja yang ngecek resto yang di sini. Mas ada jadwal memantau resto yang di Bandung, 'kan?" tanyaku, masih tak ingin melepaskan tubuhnya.Sejak dua tahun lalu, Mas Irwan--suamiku--membuka cabang restorannya di beberapa kota besar. Salah satunya di Bandung.Jarang Jakarta-Bandung tidak terlalu jauh, itu sebabnya, suamiku tak perlu menginap di sana. Berangkat setelah subuh pun bisa, dan akan kembali ke rumah tengah malam."Gak usah, biarkan saja si Badrun yang urus. Kamu di rumah saja, istirahat," ucapnya, mencium dahiku sejenak, lalu kembali fokus pada dasi yang melingkar di lehernya."Aku setiap hari di rumah. Ngurus rumah, Allisya dan cek aplikasi pesan antar. Sesekali aku mau juga berada di tengah-tengah kesibukkan para koki dan pramusaji, Mas."Suamiku terdiam sesaat, seperti berpikir sesuatu yang aku sendiri tidak tahu."Baiklah. Tapi ingat, tugas utamamu hanya mengurus Allisya," tukasnya. Aku melihat raut jawahnya sedikit kurang bersahabat. Apa mungkin, Mas
Kuperhatikan terus wanita hamil berpakaian ketat itu dari kejauhan. Dari gelagatnya, wanita itu seperti sudah terbiasa berada di sini. Pasalnya, para koki dan pramusaji di sini tidak ada yang berani menjawabnya."Ma, laper," rengek Allisya. Gegas kuminta ia untuk diam sebentar, dengan cara menempelkan jari telunjuk di bibir."Mama kenapa, sih?" tanya gadis kecilku sedikit berbisik."Ya, sudah. Kita ke sana aja, yuk. Tapi dipakai maskernya," ajakku, ketika melihat wanita hamil itu seperti hendak menuju ke arahku. Aku bergegas menarik tangan Allisya agar segera duduk di kursi pengunjung.Sayangnya, sudah tidak ada meja yang kosong. "Permisi, saya gabung, ya. Soalnya penuh semua," ucapku pada seorang Ibu dengan anaknya yang kebetulan sebaya dengan Allisya."Oh, silakan, Bu. Kami juga tidak sedang menunggu siapa-siapa." Ibu itu menyambut dengan sangat ramah.Kulirikkan mata ke arah wanita hamil yang kian mendekat. Ia berhenti di samping kasir, berdiri seraya memerhatikan sekeliling restor
"Siapa wanita hamil yang tadi memarahi kalian?" ulangku dengan nada sedikit meningkat.Tak hanya Dennis, tetapi hampir seluruh karywan restoran ini pura-pura menyibukkan diri, sepertinya enggan menjawab pertanyaanku."Hey, aku ini pemilik restoran ini dan mengapa kalian tak ada yang mau menjawab, satu pun?" tegasku. Kesal juga rasanya, diabaikan seperti ini.Waktuku tidak banyak, karena Allisya sudah pasti mencariku jika terlalu lama menunggu.Aku melangkah, mendekati salah satu koki baru yang sepertinya tidak sedang memasak. Tetapi, dia seperti sibuk sekali membereskan sayuran yang tadi sudah selesai digunakannya."Katakan pada saya, siapa wanita tadi?"Pria yang usianya di atasku itu, hanya diam menunduk. "Oke, saya pecat kalian jika tidak ada yang mau bicara!" ancamku."Jangan, Bu. Maafkan kami," ucap beberapa pramusaji wanita."Cepatlah. Saya tidak akan katakan pada siapa pun, apa yang kalian katakan padaku.""Tapi, Bu. Kami sudah berjanji tidak akan bicara pada Ibu," ujar Nining,
Pikiranku mulai bercabang ke arah yang berbeda-beda. Apa maksud dari oleh-oleh yang suamiku bawa malam ini.Aku tidak akan menanyakannya. Aku ingin melihat reaksinya saat melihat oleh-oleh ini sudah tersaji di meja.Aku mendekati Allisya yang sepertinya sudah sangat mengantuk. Gadis kecilku itu masih saja asik menonton video di ponselnya. Gegas kuambil ponsel itu, lalu memintanya untuk segera ke kamar."Sudah malam, Sayang." "Ah, Mama ... masih seru," rengeknya."Besok lagi. Kalau ngeyel, hapenya Mama sita selama sebulan. Mau?""Iya, deh, iya. Tapi Al belum nyicip bolu susunya," alasannya lagi. Aku tahu, gadis cantikku ini sebetulnya merasa berat melepaskan ponsel di tanganku."Kayak belum pernah aja. Papa mandi?" tanyaku setelah mengejeknya sejenak."Iya, Ma.""Ya, udah. Allisya yang cantik, bobo aja dulu. Udah jam sembilan lebih. Besok sekolah," rayuku, menundukkan wajah ke arahnya yang masuh betah duduk bersila di atas sofa."Nunggu Papa, boleh, ya. Al mau disuapin makan bolu susu
Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.Kuambil ponsel di dalam tas, mengetik pesan yang akan kukirim pada Nining.[Di mana Bapak?]Lama pesanku tak terbaca oleh Nining. Aku semakin gusar, karena waktu semakin berjalan. Allisya harus segera dijemput kurang dari satu jam lagi. Sementara aku belum bertindak apa-apa. Yang ada, semua mata seolah ingin menelisik penampilanku yang menarik perhatian. His, salah kostum, batinku.Ponsel dalam genggaman bergetar, segera kubuka pola kuncinya.[Bapak ke Tangerang, Bu. Memangnya tidak bilang?] balas Nining. Aku tersenyum kecut. Mas Irwan pergi ke Tangerang tanpa meminta ijin padaku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya. Siapa yang sudah mendapat permintaan ijinmu sekarang, Mas? bantinku terasa pilu.Di Tangerang sana, memang ada cabang pertama restoran ini. Tak heran jika ia sibuk bolak-balik Jakarta-Tangerang. Hanya saja, biasanya ia akan mengirim pesan padaku sebelum berangkat.[Tidak.] Aku membalas singkat pesan balasan dari Ni
Gadis Kecil Teman AnakkuApa? Gak mungkin! Semua berkas kepemilikan tanah dan bangunan masih atas namaku, serta surat-surat penting lain yang digunakan untuk bahan persyaratan izin usaha restoran masih atas nama Mas Irwan sebagai Direktur utamanya.Jadi ... apa yang wanita itu maskud dengan, "Saya pemilik restoran ini?"Atau jangan-jangan, benar wanita itu adalah istri kedua Mas Irwan yang merasa sudah menjadi bos di restoku? Aarrgh! Kepalaku serasa mau pecah, memikirkan ini semua.Mulanya, aku sempat berpikir jika usaha kami sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu. Jujur, aku masih berharap usahaku saja yang berpindah tangan, bukan hati suamiku.Jika begini buktinya, apa yang harus kuperbuat. Kukira, Mas Irwan telah menjualnya pada orang lain, sehingga ia lebih sibuk di resto cabang yang memang tidak memiliki bangunan atas nama sendiri, meliankan sewa.Apa benar, suamiku telah berkhianat dan memberikan restoran itu pada wanita hamil itu, sebagai hadiah mungkin?Masalah satu belum
Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada."Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua."No. 28?" tanyaku untuk memastikan."Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya."Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan."Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut."Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu se
AktingEnggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku."Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayan
Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama
Allisya kemudian melirik seperangkat perhiasan emas yang dikenakannya. "Kamu memang pekerja keras dan pantang dibantu, Mas. Hanya kerjaan dariku yang kamu ambil, saking kamu nggak mau berleha-leha dengan fasilitas yang sudah aku punya," ucap Allisya pelan.Perempuan cantik yang telah melepas masa gadisnya itu pun bergegas masuk ke dalam, hendak bersiap-siap pergi ke restorannya karena ada rapat besar. Di restoran nanti, mereka akan bersikap seperti biasa, layaknya atasan dengan pekerja. Azka yang meminta. Azka bahkan sudah menolak sebagian saham yang diberikan oleh Allisya.***"Bagaimana, Pak, laporan keuangan resto cabang no 2?" tanya Allisya kepada salah seorang manager di restoran cabang di Bogor. Pria bertubuh sedang dengan perut sedikit maju itu mengeluarkan laporan, lalu meminta Allisya untuk mengeceknya kembali. Beberapa penjelasan juga sudah dia sampaikan.Allisya memeriksanya, lalu segera beralih pada manager cabang-cabang lain. Setelah semua ia cek, barulah ia mengecek res
Seluruh keluarga berkumpul di tanah pemakaman, menyaksikan sekaligus mendoakan kepergian Bu Aniyah yang terbilang mendadak. Hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, lalu meninggal ketika kondisinya mulai membaik.Azka dan Allisya sudah berusaha semaksimal mungkin, tentunya. Namun ternyata, inilah suratan yang harus mereka jalani. Keinginan Bu Aniyah untuk menjadikan Allisya sebagai menantu, sekaligus ibu bagi cucu satu-satunya telah terpenuhi. Beliau pergi dengan tenang, seolah bebannya telah terlepas.Perempuan berkerudung putih senada dengan gamis yang dikenakannya, terus saja berdiri menggamit tangan suaminya, juga memegangi tangan gadis kecil di sisi lainnya. Perempuan itu sesekali melepaskan tangan untuk mengusap air mata. Ia mendongak, menatap wajah sang suami yang terlihat begitu tenang seolah-olah tidak ada hal buruk yang menimpa."Mas ... kamu hebat. Kamu kuat," kata sang wanita, memandangi penuh kagum suami yang dicintainya. Dialah Allisya, sang ibu sambung bagi Ziya."Be
Ketika suaminya terpukul setelah kehilangan ibunya, Allisya duduk di sebelahnya. Dengan lembut memandangnya, dengan hati penuh kasih. Dia bisa merasakan betapa sedihnya yang dirasakan suaminya. Meski tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu, dia tahu dia harus ada di samping suaminya, memberikan kekuatan lewat keberadaannya.Dia menggenggam tangan suaminya dengan erat, memberikan ketenangan dalam diam. Wajah suami yang biasanya tegar kini dipenuhi kepedihan, dan dia merasa cemas melihat keprihatinan di depan matanya.Sambil memeluk, tangannya terus mengusap punggung sang suami. Membiarkan suaminya menangis, mengeluarkan nestapa yang membelenggu jiwanya."Nenek! Ziya mau ke nenek! Ziya mau lihat nenek, Tante ... tolong Ziya ...!" Jeritan Ziya di luar sana, terdengar begitu menyayat hati. Gadis kecil itu sangat dekat dengan neneknya, sejak ia bayi. Terutama setelah bundanya pergi untuk selama-lamanya.Mendengar itu, Azka dan Allisya menjadi gusar. Saling menatap, merasakan