Beranda / Lainnya / Wanita Hamil di Restoran Suamiku / Bab 2 - Gelagat Mencurigakan Wanita Hamil itu

Share

Bab 2 - Gelagat Mencurigakan Wanita Hamil itu

Penulis: Azzgha Fatih
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-05 11:43:13

Kuperhatikan terus wanita hamil berpakaian ketat itu dari kejauhan. Dari gelagatnya, wanita itu seperti sudah terbiasa berada di sini. Pasalnya, para koki dan pramusaji di sini tidak ada yang berani menjawabnya.

"Ma, laper," rengek Allisya. Gegas kuminta ia untuk diam sebentar, dengan cara menempelkan jari telunjuk di bibir.

"Mama kenapa, sih?" tanya gadis kecilku sedikit berbisik.

"Ya, sudah. Kita ke sana aja, yuk. Tapi dipakai maskernya," ajakku, ketika melihat wanita hamil itu seperti hendak menuju ke arahku. Aku bergegas menarik tangan Allisya agar segera duduk di kursi pengunjung.

Sayangnya, sudah tidak ada meja yang kosong. "Permisi, saya gabung, ya. Soalnya penuh semua," ucapku pada seorang Ibu dengan anaknya yang kebetulan sebaya dengan Allisya.

"Oh, silakan, Bu. Kami juga tidak sedang menunggu siapa-siapa." Ibu itu menyambut dengan sangat ramah.

Kulirikkan mata ke arah wanita hamil yang kian mendekat. Ia berhenti di samping kasir, berdiri seraya memerhatikan sekeliling restoran ini.

Siapa dia? Mengapa gayanya seperti bos saja? batinku bertanya-tanya. Rasanya aku tak tahan ingin menghampirinya dan bertanya tentang statusnya di restoran ini.

Enggak! Aku gak boleh asal bertindak, agar tidak ada yang bersiap membohongiku. Sebaiknya, kuselidiki sendiri.

"Mbak! Lihat meja itu. Berantakan banget. Cepat bersihkan!" suruhnya dengan penuh penekanan, meski suaranya sudah ia tekan agar tidak terlalu keras.

Perlahan aku melirik ke arah meja yang tunjuk. Ya ampun! Padahal, pengunjungnya baru saja berdiri hendak keluar. Kalau begini, bisa kesal pengunjungnya, karena merasa diusir.

"Mama, aku laper," ucap Allisya, menghentakkan kakinya ke lantai. Aku sampai lupa dengan tujuanku datang ke sini.

"Iya, Sayang." Aku merayunya, gegas memanggil pramusaji yang kebetulan sedang menaruh makanan ke meja lain.

"Silakan, Bu, ini menunya. Bisa dipilih dulu, lalu langsung disetorkan ke kasir. Terima kasih," ucap sang pramusaji dengan ramah.

"Terima kasih, Mbak." Kuambil buku menu, dan segera memesankan makanan untuk Allisya.

"Mama ke kasir dulu, ya." Aku berdiri, berjalan mendekat ke arah wanita yang saat ini sedang berdiri di samping kasir. Dengan ramah, ia menunduk ke arahku seraya melengkungkan senyuman. Meski penasaran, aku membalasnya tak kalah ramah.

Sambil menunggu penghitungan, aku sesekali melemparkan pandang ke arah wanita setengah baya di samping wanita hamil itu. Terlihat wanita setengah baya itu berbisik, dengan tatapan mata tertuju ke arahku. Gegas kupalingkan wajah, demi menyembunyikan statusku di sini.

"Lho, Bu?" Agaknya penjaga kasir mengenaliku. Kukedipkan mata ke arahnya, agar tidak banyak bicara.

"Terima kasih," ucapku setelah menerima kembali kartu debitku, dan segera melenggang ke arah meja kami.

Entah mengapa, aku merasa kedua wanita asing itu sedang memerhatikanku. Duh, memangnya siapa yang asing di restoran ini. Mengapa jadi aku yang mereka perhatikan.

Demi menutupi penyamaran ini, aku bersikap layaknya pengunjung. Menunggu dengan ponsel di tangan, berselancar di laman media sosial. Namun, mata ini tetap kuarahkan pada dua wanita asing itu yang agaknya sudah tidak lagi berada di tempat yang sama.

"Mama nyari siapa, sih? 'Kan Papa gak ada di sini," tanya Allisya. Bocah cantik ini memang memiliki rasa penasaran yang besar, meski dirinya sudah terlibat obrolan dengan anak yang semeja dengan kami.

"Gak nyari siapa-siapa," ucapku gugup. Memang aku baru saja mengitari restoran ini, mencari keberadaan dua wanita beda usia tadi.

"Makan, Sayang." Kuberikan makanan yang baru saja diantar pramusaji, sementara sepasang ibu dan anak di samping kami sudah makan lebih dulu.

Allisya kegirangan, segera membuka masker dan meraih sendok miliknya.

"Lho, Neng Allisya? Ibu?" tanya pramusaji, mengenali Allisya usai membuka maskernya.

"Sst!" Kuulangi hal yang sama seperti pada penjaga kasir tadi. Takutnya, dua wanita itu masih berada di sini.

"Emm ... anu, Bu__"

"Kembali ke dalam," ucapku setengah berbisik. Dan beruntungnya, dia mengerti dan segera meninggalkan meja kami.

"Ibu kenal dengan pelayannya?" tanya ibu yang duduk bersama kami.

"Ah. I-iya, Bu. Kebetulan kami tetanggaan," jawabku sedikit kaku. Tidak mungkin bukan, harus kukatakan bahwa aku adalah pemilik restoran ini. Bisa gagal penyamaranku untuk menyelidiki dua wanita asing itu.

Menunggu Allisya makan, rasanya sangat lama sekali. Beberapa kali aku menoleh ke sekeliling, namun wanita itu tetap tak kutemukan. Di mana mereka berada? tanyaku di dalam hati.

Kumainkan ponsel kembali. Mencoba membuka beberapa chat yang belum sempat kubaca. Tadinya, aku juga ingin mengirim pesan pada Mas Irwan, sekadar untuk mengingatkannya makan siang, sekaligus mendalami isi chat yang tadi suamiku kirim saat kami masih di mobil.

[Pesan telah dihapus.]

Chat terakhir dari Mas Irwan telah ia hapus. Apa dia lupa, jika chat itu sudah bercentang dua warna biru.

[Mas, sudah makan?] Kirim. Aku sengaja berbasa-basi, tidak boleh kelihatan mencurigai isi chatnya pagi tadi.

[Sudah, Mama sayang. Kamu dan Al sudah makan?] balasnya.

[Sudah, Mas.] Kemudian kukirim foto Allisya yang sedang makan di restoran ini. Biar saja, aku ingin lihat bagaimana reaksinya.

Tidak berapa lama, Mas Irwan menelepon.

"Hallo, Mas."

"Kamu di resto? Katanya gak jadi," tanya lelaki yang sudah delapan tahun ini menjadi pelindungku.

"Allisya yang maksa. Dia kangen makan enak di sini, juga sama eskrim terkenal di sini," jelasku. 

"Oh, begitu. Tapi ... emm."

"Apa, Mas?"

"Oh, gak ada apa-apa. Ya, sudah. Kalian lanjut makan, ya. Aku masih banyak yang harus dicek," pamitnya.

Mas Irwan menutup panggilan sebelum kami saling mengucap salam. Dari suaranya, jelas aku mendengar sebuah kegugupan. Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apa yang kau sembunyikan dariku? Batinku terus bertanya-tanya.

"Mbak! Eskrim sekarang, ya," ucapku pada pramusaji, karena memang sudah kubayar serta eskrim itu, hanya memintanya mengantar nanti saja.

Eskrim kesukaan Allisya pun tiba. Gadis kecilku semakin kegirangan, meski makan siangnya belum habis. Aku tersenyum bahagia. Di luar sana, banyak sekali anak yang tidak bisa merasakan makanan enak setiap saat. Aku beruntung, anakku lahir dari keluarga beruntung seperti kami.

"Mama, kenapa gak makan?" tanyanya, menatapku.

"Bu, kami permisi duluan, ya."

Belum sempat kujawab pertanyaan Allisya, ibu dan anaknya yang duduk di meja yang sama, pamit pulang duluan.

"Oh, iya, Bu silakan." Dengan ramah kujawab.

Bertepatan dengan itu, ekor mataku menangkap dua wanita beda usia itu keluar dari dalam ruang khusus pemilik resto. Mereka terlihat tergesah-gesah hendak keluar dari restoran ini. Aku sampai ngilu, melihat perut buncitnya dibawa jalan cepat.

Gegas kutundukkan tubuh ini, pura-pura mengambil sumpit yang sengaja kujatuhkan, ketika mereka hampir melewatiku. Entah mengapa, meski aku tak tahu mereka mengenalku atau tidak, tetap saja aku merasa mereka sedang ketakutan padaku. Hal itu dapat kulihat dari cara mereka saat melintasi mejaku.

"Sayang, kamu makan eskrim sendiri, gak pa-pa?"

"Mama mau ke mana?"

"Mau ke toilet, sebentar. Sudah kebelet," ucapku berpura-pura. Kulirik makananku yang sejak tadi hanya kuaduk-aduk. Tak selera rasanya untuk makan, di saat hati ini tengah diburu rasa aneh.

"Ya udah. Jangan lama-lama, ya, Ma. Al takut sendirian. Nanti ada yang menculik Al, gimana?" Bawelku terus saja merengutkan wajahnya, padahal, hanya akan ditinggal sebentar saja.

"Mbak, sudah agak sepi?" Aku memanggil seorang pramusaji yang tengah mengelap meja.

"Eh, Ibu. Udah agak lengang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"

"Temani Allisya sebentar, ya."

Aku segera bangun dari duduk, setelah mendapat persetujuan dari pramusaji itu. Langkahku melebar menuju dapur, akan ada banyak orang yang kutanya tentang wanita tadi.

"Dennis! Siapa wanita yang tadi berani memarahimu?" tanyaku pada salah satu koki yang kebetulan sedang istirahat.

"A-anu, Bu." Pria muda yang baru satu tahun ini menjadi koki di restoran ini, terlihat sangat gugup.

Bersambung ...

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Puti S Keumalasari
Bagus… ga pernah ngerti cara beli koinnya
goodnovel comment avatar
Putri Sari
lanjut seru perselingkuhan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 3 - Oleh-oleh

    "Siapa wanita hamil yang tadi memarahi kalian?" ulangku dengan nada sedikit meningkat.Tak hanya Dennis, tetapi hampir seluruh karywan restoran ini pura-pura menyibukkan diri, sepertinya enggan menjawab pertanyaanku."Hey, aku ini pemilik restoran ini dan mengapa kalian tak ada yang mau menjawab, satu pun?" tegasku. Kesal juga rasanya, diabaikan seperti ini.Waktuku tidak banyak, karena Allisya sudah pasti mencariku jika terlalu lama menunggu.Aku melangkah, mendekati salah satu koki baru yang sepertinya tidak sedang memasak. Tetapi, dia seperti sibuk sekali membereskan sayuran yang tadi sudah selesai digunakannya."Katakan pada saya, siapa wanita tadi?"Pria yang usianya di atasku itu, hanya diam menunduk. "Oke, saya pecat kalian jika tidak ada yang mau bicara!" ancamku."Jangan, Bu. Maafkan kami," ucap beberapa pramusaji wanita."Cepatlah. Saya tidak akan katakan pada siapa pun, apa yang kalian katakan padaku.""Tapi, Bu. Kami sudah berjanji tidak akan bicara pada Ibu," ujar Nining,

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 4 - Penyamaran

    Pikiranku mulai bercabang ke arah yang berbeda-beda. Apa maksud dari oleh-oleh yang suamiku bawa malam ini.Aku tidak akan menanyakannya. Aku ingin melihat reaksinya saat melihat oleh-oleh ini sudah tersaji di meja.Aku mendekati Allisya yang sepertinya sudah sangat mengantuk. Gadis kecilku itu masih saja asik menonton video di ponselnya. Gegas kuambil ponsel itu, lalu memintanya untuk segera ke kamar."Sudah malam, Sayang." "Ah, Mama ... masih seru," rengeknya."Besok lagi. Kalau ngeyel, hapenya Mama sita selama sebulan. Mau?""Iya, deh, iya. Tapi Al belum nyicip bolu susunya," alasannya lagi. Aku tahu, gadis cantikku ini sebetulnya merasa berat melepaskan ponsel di tanganku."Kayak belum pernah aja. Papa mandi?" tanyaku setelah mengejeknya sejenak."Iya, Ma.""Ya, udah. Allisya yang cantik, bobo aja dulu. Udah jam sembilan lebih. Besok sekolah," rayuku, menundukkan wajah ke arahnya yang masuh betah duduk bersila di atas sofa."Nunggu Papa, boleh, ya. Al mau disuapin makan bolu susu

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 5 - Didera Dilema

    Apa yang sedang dia lakukan? Di mana Mas Irwan? tanyaku.Kuambil ponsel di dalam tas, mengetik pesan yang akan kukirim pada Nining.[Di mana Bapak?]Lama pesanku tak terbaca oleh Nining. Aku semakin gusar, karena waktu semakin berjalan. Allisya harus segera dijemput kurang dari satu jam lagi. Sementara aku belum bertindak apa-apa. Yang ada, semua mata seolah ingin menelisik penampilanku yang menarik perhatian. His, salah kostum, batinku.Ponsel dalam genggaman bergetar, segera kubuka pola kuncinya.[Bapak ke Tangerang, Bu. Memangnya tidak bilang?] balas Nining. Aku tersenyum kecut. Mas Irwan pergi ke Tangerang tanpa meminta ijin padaku, yang jelas-jelas adalah istri sahnya. Siapa yang sudah mendapat permintaan ijinmu sekarang, Mas? bantinku terasa pilu.Di Tangerang sana, memang ada cabang pertama restoran ini. Tak heran jika ia sibuk bolak-balik Jakarta-Tangerang. Hanya saja, biasanya ia akan mengirim pesan padaku sebelum berangkat.[Tidak.] Aku membalas singkat pesan balasan dari Ni

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 6 - Gadis Kecil Teman Anakku

    Gadis Kecil Teman AnakkuApa? Gak mungkin! Semua berkas kepemilikan tanah dan bangunan masih atas namaku, serta surat-surat penting lain yang digunakan untuk bahan persyaratan izin usaha restoran masih atas nama Mas Irwan sebagai Direktur utamanya.Jadi ... apa yang wanita itu maskud dengan, "Saya pemilik restoran ini?"Atau jangan-jangan, benar wanita itu adalah istri kedua Mas Irwan yang merasa sudah menjadi bos di restoku? Aarrgh! Kepalaku serasa mau pecah, memikirkan ini semua.Mulanya, aku sempat berpikir jika usaha kami sudah berpindah tangan ke tangan wanita itu. Jujur, aku masih berharap usahaku saja yang berpindah tangan, bukan hati suamiku.Jika begini buktinya, apa yang harus kuperbuat. Kukira, Mas Irwan telah menjualnya pada orang lain, sehingga ia lebih sibuk di resto cabang yang memang tidak memiliki bangunan atas nama sendiri, meliankan sewa.Apa benar, suamiku telah berkhianat dan memberikan restoran itu pada wanita hamil itu, sebagai hadiah mungkin?Masalah satu belum

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16
  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 7 - Siapa Gadis Kecil Itu Sebenarnya?

    Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada."Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua."No. 28?" tanyaku untuk memastikan."Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya."Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan."Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut."Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu se

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16
  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 8 - Akting

    AktingEnggak! Aku tidak terima. Usia Khiara dua tahun di atas anakku. Tidak mungkin Mas Irwan menikahiku setelah menikah dengan wanita itu. Jika benar, artinya aku si pe_la_kor itu? Enggak! Enggak mungkin!"Gak mungkin!" ucapku sedikit lirih, seraya menjambak rambutku yang memang kubiarkan tanpa penutup. Jika di dalam rumah, aku selalu menanggalkan hijabku."Mama kenapa?" tanya Allisya bagai udara yang menguap begitu saja.Bayangan bahagia di hari pernikahan kami kini berputar kembali bagai film yang tersiar di televisi.Mas Irwan bukan berasal dari keluarga berada. Tetapi, dia memang memiliki kemampuan yang sangat baik di bidang tata boga. Kabarnya, Mas Irwan memang sangat ingin menjadi seorang koki. Hal itu terlaksana ketika ia menikahiku. Papa membiayai kuliahnya ke jurusan tata boga, hingga pada akhirnya Mas Irwan menjadi koki terkenal di Ibukota ini.Dua tahun pernikahan kami, saat usia Allisya baru satu tahun, ada seorang teman yang mengajaknya membuka usaha kuliner. Tapi sayan

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16
  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 9 - Sedikit Hukuman

    Sedikit Hukuman"Kok, menjauh?" selidiknya."Aku masih haid!" tukasku."Iya, tau. 'Kan cuma mau peluk," lirihnya."Gak usah. Nanti ujung-ujungnya minta juga. Aku malas debat," ucapku, menarik bed cover dan membawanya ke sofa di kamar kami."Lho, mau ke mana?""Sini. Mas tidur di sini, biar aku di kasur," panggilku setelah menyiapkan bed cover ke atas sofa."Kenapa? Aku gak minta, janji!" Dia mengangkat dua jari ke udara dan aku hanya tersenyum sinis."Gak tau. Bawaannya aku malas tidur seranjang, Mas. Udah, sini. Atau aku tidur di kamar Al?""Oke. Ya, udah, kamu tidur di sini biar Mas di sofa." Pria itu akhirnya beringsut pindah ke sofa dan aku segera pindah ke ranjang kami yang besar.Tatapannya terus saja memindai ke arahku, sepertinya bingung dengan sikapku."Mas kayaknya besok masih harus ke Tangerang, ya. Yang di sini, biar sama Badrun," ucapnya yang sudah mulai memejamkan mata. Aku menoleh bak busur panah yang siap menancap. Mana ada Badrun bunting, Mas! batinku ingin marah."Ok

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16
  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 10 - Semua Aman di Tangan Nadia

    Semua Aman di Tangan Nadia"Jangan-jangan, kamu sudah mengganti kodenya?" tudingku.Mas Irwan menoleh, bibirnya memaksakan senyuman seraya menggaruk tengkuk."Emm ... iya, Sayang. Bosan aja pake kode lama. Jadi, Mas ganti dengan kode baru," cicitnya masih menggaruk tengkuknya."Bosan, kamu bilang? Itu tanggal pernikahan kita, Mas! Kamu bosan dengan pernikahan kita? Atau jangan-jangan, kamu ganti kode brankas kita dengan tanggal pernikahan keduamu? Iya?" tudingku lagi, tak kuasa menahan gemuruh di dadaku."Sayang ... kamu ngomong apa, sih? Sudah, ah, gak usah dibesar-besarkan. Malu, dilihat Allisya. Lagi pula, kodenya pake tanggal lahir Allisya, kok," desisnya dengan nada nyaris tak terdengar.Apa? Tanggal lahir Allisya? Mengapa kemarin aku tidak terpikir ke sana. Apa aku hanya terlalu mencurigainya saja?Aku tak menjawab lagi. Gegas menyusul Allisya yang sudah duduk menunggu di dalam mobil. Aku bahkan malas mengucap pamit lagi padanya.**Sesampainya di resto, aku tak melihat kehadira

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-16

Bab terbaru

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 120 - SELESAI

    Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 119 - Panti Jompo?

    Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 118 - Liburan di Jepang

    Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 117 - Hukuman Dareen dan Papanya

    "Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 116 - Kepergian Khiara

    Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 115 - Menyambut Makan Malam

    "Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 114 - Jalani Semua Takir-NYA

    Allisya kemudian melirik seperangkat perhiasan emas yang dikenakannya. "Kamu memang pekerja keras dan pantang dibantu, Mas. Hanya kerjaan dariku yang kamu ambil, saking kamu nggak mau berleha-leha dengan fasilitas yang sudah aku punya," ucap Allisya pelan.Perempuan cantik yang telah melepas masa gadisnya itu pun bergegas masuk ke dalam, hendak bersiap-siap pergi ke restorannya karena ada rapat besar. Di restoran nanti, mereka akan bersikap seperti biasa, layaknya atasan dengan pekerja. Azka yang meminta. Azka bahkan sudah menolak sebagian saham yang diberikan oleh Allisya.***"Bagaimana, Pak, laporan keuangan resto cabang no 2?" tanya Allisya kepada salah seorang manager di restoran cabang di Bogor. Pria bertubuh sedang dengan perut sedikit maju itu mengeluarkan laporan, lalu meminta Allisya untuk mengeceknya kembali. Beberapa penjelasan juga sudah dia sampaikan.Allisya memeriksanya, lalu segera beralih pada manager cabang-cabang lain. Setelah semua ia cek, barulah ia mengecek res

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 113 - Ikhlas

    Seluruh keluarga berkumpul di tanah pemakaman, menyaksikan sekaligus mendoakan kepergian Bu Aniyah yang terbilang mendadak. Hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, lalu meninggal ketika kondisinya mulai membaik.Azka dan Allisya sudah berusaha semaksimal mungkin, tentunya. Namun ternyata, inilah suratan yang harus mereka jalani. Keinginan Bu Aniyah untuk menjadikan Allisya sebagai menantu, sekaligus ibu bagi cucu satu-satunya telah terpenuhi. Beliau pergi dengan tenang, seolah bebannya telah terlepas.Perempuan berkerudung putih senada dengan gamis yang dikenakannya, terus saja berdiri menggamit tangan suaminya, juga memegangi tangan gadis kecil di sisi lainnya. Perempuan itu sesekali melepaskan tangan untuk mengusap air mata. Ia mendongak, menatap wajah sang suami yang terlihat begitu tenang seolah-olah tidak ada hal buruk yang menimpa."Mas ... kamu hebat. Kamu kuat," kata sang wanita, memandangi penuh kagum suami yang dicintainya. Dialah Allisya, sang ibu sambung bagi Ziya."Be

  • Wanita Hamil di Restoran Suamiku   Bab 112 - Mencoba Ikhlas

    Ketika suaminya terpukul setelah kehilangan ibunya, Allisya duduk di sebelahnya. Dengan lembut memandangnya, dengan hati penuh kasih. Dia bisa merasakan betapa sedihnya yang dirasakan suaminya. Meski tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu, dia tahu dia harus ada di samping suaminya, memberikan kekuatan lewat keberadaannya.Dia menggenggam tangan suaminya dengan erat, memberikan ketenangan dalam diam. Wajah suami yang biasanya tegar kini dipenuhi kepedihan, dan dia merasa cemas melihat keprihatinan di depan matanya.Sambil memeluk, tangannya terus mengusap punggung sang suami. Membiarkan suaminya menangis, mengeluarkan nestapa yang membelenggu jiwanya."Nenek! Ziya mau ke nenek! Ziya mau lihat nenek, Tante ... tolong Ziya ...!" Jeritan Ziya di luar sana, terdengar begitu menyayat hati. Gadis kecil itu sangat dekat dengan neneknya, sejak ia bayi. Terutama setelah bundanya pergi untuk selama-lamanya.Mendengar itu, Azka dan Allisya menjadi gusar. Saling menatap, merasakan

DMCA.com Protection Status