Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.
“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.
Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncak
Beberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon.
"Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas.
"Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian dengan Matthias! Kau tahu aku tidak nyaman dengannya!"
“Aduh maaf aku lupa” Hiriety menghela napas panjang, suaranya terdengar santai.
“Lupa katamu? Ayolah Rie, sudah berapa kali kau memberikan alasan itu sejak kakakmu datang kesini?!” Selena berdecak sedangkan kekehan ringan Hiriety terdengar “Jangan tertawa! Pulang sekarang!” titah Selena
Tawa Hiriety semakin keras “Maaf Sel, aku nggak bisa pulang sekarang" jawab Hiriety santai, suara tawanya masih tersisa. "Aku sudah janji bantu temanku mengerjakan sesuatu malam ini. Lagi pula, kak Matthias tak akan macam-macam. Apa yang perlu dikhawatirkan?”
"Apa yang perlu dikhawatirkan?" Selena hampir berteriak. "Hiri, dia pria dewasa, manipulatif, dan—" Selena berhenti, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Dan kau tahu aku tidak pernah nyaman berada di dekatnya terlalu lama!"
"Kakakku tak akan melakukan apa-apa" Hiriety menjawab dengan nada enteng. "Aku tidak paham kenapa kau begitu khawatir, Selena" tambah Hiriety dengan nada mulai terdengar tidak sabar. "Dia tidak akan melukaimu. Percayalah padaku."
Selena mendengus, berhenti mondar-mandir dan menatap keluar jendela. "Ini bukan soal melukai atau tidak, ini soal bagaimana dia memperlakukan orang lain, Hiri. Dia tidak peduli dengan privasi atau batasan siapa pun. Bahkan aku bisa merasakan bahwa dia sedang memainkan sesuatu."
"Aku akan kembali besok pagi" Hiriety memotong. "Nikmati saja malam ini, Selena. Sampai jumpa besok” Putus Hiriety
“Hiri! Rie! Akh sialan” Hiriety memutus sepihak panggilan mereka
Selena mendesah keras, memandang layar ponselnya dengan frustrasi. Hiriety benar-benar meninggalkannya dalam situasi yang paling tidak nyaman. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan berjalan menuju lemari, meraih tas kecil yang biasa dia gunakan.
Dia mengisinya dengan beberapa barang penting—dompet, ponsel, dan kunci cadangan—lalu berjalan keluar dari kamar dengan langkah tegas. Saat mencapai ruang tamu, matanya menangkap sosok Matthias yang sedang duduk di sofa dan nampak sibuk dengan tabletnya.
Tanpa memedulikannya, Selena melangkah menuju pintu depan dengan niat untuk keluar. Namun, saat dia memutar menekan tombol dan menarik pintu, pintu itu tak bergeming. Dia mencoba lagi, lebih keras kali ini, tetapi hasilnya tetap sama, pintu itu tak terbuka
Alis Selena berkerut, dia menoleh ke arah Matthias yang masih duduk santai di sofa. "Kenapa pintunya tidak bisa dibuka?" tanyanya dengan nada curiga.
Matthias menatap Selena sambil meletakkan tablet di meja. Senyum tipis tercipta dibibirnya "Aku memasang password" katanya dengan nada santai, seolah-olah itu hal yang biasa dilakukan.
Selena menatapnya dengan marah "Kau apa? Kau tidak punya hak mengunci pintu apartemenku seperti ini!" Selena berjalan mendekat dengan langkah penuh amarah
Matthias hanya mengangkat bahu, tidak terganggu oleh kemarahan Selena. "Kau terlalu gegabah. Aku hanya memastikan kau tidak melakukan sesuatu yang bodoh, seperti keluar di tengah malam dengan emosi tidak terkendali."
"Emosi tidak terkendali?" Selena hampir berteriak. "Matthias, aku bukan anak kecil! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini. Bukalah pintu sekarang juga!"
Matthias berdiri perlahan, tinggi tubuhnya yang menjulang membuat Selena merasa semakin terintimidasi. "Aku bisa membuka pintu itu kapan saja" katanya dengan tenang, melangkah mendekati Selena. "Tapi aku tidak akan melakukannya malam ini. Kau butuh istirahat, bukan pelarian."
"Pelarian?" Selena menatapnya dengan mata membelalak, merasa kata-kata Matthias semakin menyulut amarahnya. "Aku hanya ingin menjauh dari pria manipulatif tak jelas yang terus-menerus mencampuri hidupku!"
Matthias menyeringai tipis, lalu menundukkan kepala sedikit hingga tatapan mereka sejajar. "Kalau begitu, berhenti melarikan diri, Princess. Kau tidak bisa kabur dariku."
Selena menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk berteriak. Dia tahu Matthias tidak akan mengubah keputusannya dengan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja. "Listen Ashole! Kau tidak bisa mengontrol hidupku”" katanya dengan suara penuh tekad.
“I can. I locked you up here, tonight Princess” Potong Matthias tertawa kecil, suara rendahnya terdengar dingin di telinga Selena.
"Kau tidak punya hak untuk mengurungku, Matthias!" Selena menggeram. “Dan berhenti memanggilku begitu!”
Matthias mengabaikan protesnya, menatap dengan tenang. "Kembali ke kamarmu dan istirahat dengan tenang" jawabnya, nada suaranya yang rendah itu seolah menggema dalam ruangan.
Selena mendengus kesal, memutar tubuh dengan kasar, dan berjalan cepat menuju kamarnya. Saat melewati Matthias, dia dengan sengaja menyenggol bahunya, cukup keras hingga pria itu menoleh. Matthias tidak bereaksi, hanya menatap punggung Selena dengan senyum kecil yang entah apa artinya.
Sesampainya di kamar, Selena membanting pintu dengan keras, lalu bersandar disana untuk beberapa detik. Napasnya terengah-engah, dadanya terasa sesak dengan amarah yang bercampur frustrasi. Dia merogoh ponselnya, menekan nomor kekasihnya, dengan harapan suara pria itu bisa membuatnya merasa lebih baik.
Dering pertama hingga kedua berlalu, dan akhirnya panggilan terhubung. Namun, alih-alih suara Mark yang menyapa, suara seorang wanita yang asing terdengar.
"Halo?" tanya suara itu, lembut namun penuh percaya diri.
Selena langsung menegang. "Siapa ini?" tanyanya tajam, alisnya berkerut.
"Oh" wanita itu terdengar ragu sebelum menjawab, "Ini sepupu Mark. Ada yang bisa ku bantu?"
"Sepupu?" Selena mengulang dengan nada penuh kecurigaan. "Di mana Mark? Kenapa kau yang menjawab teleponnya?"
“Oh itu, Mark sedang keluar sebentar" jawab perempuan itu santai "Aku akan bilang padanya kau menelepon. Selamat malam." Sambungnya terdengar sedikit tergesa-gesa.
Klik. Sambungan terputus.
Selena menatap layar ponselnya yang kini gelap dengan ekspresi campuran antara marah dan bingung. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres, tetapi memutuskan untuk menyingkirkannya sementara. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke kasur, membiarkannya terhempas di antara bantal dan selimut.
Dia mendesah panjang, lalu berjalan ke pintu kamarnya. Tangannya memutar kunci hingga berbunyi klik. Selena memastikan pintu terkunci rapat, memutar gagangnya beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang bisa membukanya dari luar.
Dia menatap pintu itu selama beberapa detik, lalu dengan tenaga yang agak terburu-buru, dia mulai mendorong meja rias kecilnya ke depan pintu. Bunyi derit kaki meja di atas lantai kayu memenuhi ruangan, namun Selena tidak peduli.
Setelah meja itu terpasang dengan kokoh di depan pintu, dia berhenti sejenak, tangannya bertumpu pada pinggang, napasnya sedikit memburu. Dia memeriksa lagi pintu yang kini tertutup rapat dan terganjal meja
“Dia tak akan bisa masuk” gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Bayangan masa kecilnya muncul di pikirannya, seperti mimpi buruk yang tak pernah benar-benar pergi.
Selena tertidur saat jam mulai menujukan pukul 01.10 dini hari. Meskipun sesekali dia terbangun karena suara-suara samar di luar namun tubuhnya yang kelelahan tidak mampu melawan rasa kantuk yang terus menariknya ke alam mimpi.Cahaya bulan menembus tirai tipis, menerangi kamar yang kini dipenuhi keheningan malam. Sayangnya, keheningan itu tidak bertahan lama.Di luar balkon, bayangan gelap bergerak dengan hati-hati. Matthias, dengan tubuh tegap dan gerakan penuh kehati-hatian, berhasil membuka pintu geser balkon yang ternyata tidak terkunci dengan sempurna.Dia masuk ke kamar Selena tanpa suara, langkahnya begitu tenang hingga hampir seperti bayangan yang meluncur di lantai. Selena lupa satu hal—lokasi kamar tamu dan kamarnya yang bersebelahan, memudahkan Matthias untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa terdeteksi.Matthias berhenti di tengah kamar, matanya mengamati meja rias yang Selena geser untuk mengganjal pintu. Senyum geli terl
“Selena cantik, aku suka” katanya dengan suara yang jernih dan penuh kepolosanSelena, yang masih berusia 7 tahun, langsung merasa pipinya memanas. Wajahnya yang imut memerah seketika, membuatnya terlihat semakin malu dan lucu. Dia sedikit menundukkan kepala, lalu dengan suara pelan tapi penuh kejujuran, dia berkata, “Matthias juga tampan, Selena suka.”Gadis kecil itu masih menatap Matthias dengan pandangan yang jujur, tanpa ada rasa malu yang dipahami sepenuhnya. Bagi Selena, segala hal yang datang dari Matthias adalah sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Matthias, yang tampaknya sedikit terkejut dengan respons tersebut, hanya tertawa ringan.“Selena mau jadi punya aku?”Malu-malu Selena mengangguk“Terima kasih, Selena” jawab Matthias dengan senyum bahagianya. Saat itu Selena tidak sepenuhnya mengerti dampak dari kata-katanya pada bocah lelaki 11 tahun itu.“HAH!&r
Hiriety kembali ke meja makan dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih berantakan akibat percakapan singkat dengan Matthias. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun Selena menatapnya dengan sedikit curiga."Semua baik-baik saja?" tanya Selena, menyendok sisa makanannya sambil tetap memperhatikan Hiriety."Ya, hanya urusan kecil, kakakku bilang dia ketinggalan sesuatu" jawab Hiriety sambil mengibaskan tangan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil segelas air, menyesapnya perlahan, lalu menatap Selena dengan senyum tipis. "Ngomong-ngomong, kita punya kelas yang sama jam satu nanti."Selena mengangkat alis. "Kelas apa?"“Branding strategy" jawab Hiriety, sambil menghela napas kecil. "Kau mungkin lupa karena aku jarang muncul di kelas. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk hadir."Selena menyeringai kecil, tidak benar-benar percaya. "Apa yang membuatmu tiba-tiba rajin?"Hiriety terkekeh. "Kudengar ada dosen p
Ketika kelas selesai, Selena dan Hiriety bergegas berkemas. Namun, sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, seorang pria dengan jaket denim masuk ke dalam kelas“Mark? Kenapa kesini?” Tanya Selena heran namun tak ayal dia senang dengan kedatangan kekasihnya ituMark berdiri di depan Selena dengan senyum tipis. Matanya melirik Hiriety sejenak sebelum kembali ke Selena.“Aku merindukanmu” ucapnya memeluk Selena, mengabaikkan ekspresi muak Hiriety yang sengaja ditunjukan hanya pada MarkSelena tersenyum tipis, membalas pelukan Mark dengan lembut. Namun, dia segera melepaskannya, menyadari tatapan tajam Hiriety yang penuh sindiran.“Hiriety ada di sini” bisik Selena, mencoba mengingatkan Mark agar sedikit menjaga sikap.“Aku tahu” jawab Mark santai, melirik Hiriety dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Hei, Hiriety. Kau tak keberatan, kan?”Hiriety mendengus pelan, melipat
Mark mengantarkan Selena pulang ke apartemennya setelah makan malam. Mobilnya terparkir rapi di basement, suasana parkiran cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang tersusun rapi. Mereka berdua keluar dari mobil, langkah mereka bergema di lantai beton saat mereka menuju lift.Selena menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka dengan bunyi halus. Mereka masuk ke dalam, dan Selena menekan angka lantai unit apartemennya. Perjalanan naik lift berlangsung hening, hanya ditemani suara mesin yang samar. Mark berdiri di samping Selena, satu tangannya menggenggam tangan Selena dan sebelahnya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak sedikit ragu.Ketika pintu lift terbuka di lantai apartemen Selena, ia melangkah keluar lebih dulu, namun berhenti sejenak di depan pintu unitnya. Ia menoleh pada Mark dengan senyuman kecil."Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang" katanya.Mark tersenyum, tetapi tak langsung beranjak pergi. Ia menggaruk tengkuknya, seo
“Selena stop! kau sudah minum cukup banyak" Elsa, salah satu teman satu jurusannya itu memperingatkan dengan cemas.Jika boleh jujur, sebenarnya Elsa agak menyesal mengajak Selena bergabung dengannya. Niat awalnya adalah untuk membuat Selena santai setelah wanita itu datang ke klub sambil memaki namun sekarang, Selena justru nampak semakin depresi“Kau ada masalah dengan Mark?” tanya Giselle mencoba menebak alasan dibalik frustasi Selena"Tidak ada" jawab Selena, mencoba tersenyum meskipun suaranya mulai terdistorsi sedikit.“Masalah dengan Hiriety?” Laura lanjut bertanya“Tak mungkin lah” Jawab Elsa cepatSemua orang di Polietecnico tahu bagaimana dekatnya kedua putri dari keluarga berpengaruh itu“lalu kenapa lagi? Jarang sekali aku lihat Selena seperti ini” Giselle berucap sambil menyesap vodka-nya“ingin cerita Sel?” tanya LauraSelena menggeleng pelan
“Ayo pulang” ulang Matthias dengan nada datar namun penuh otoritas, seolah keputusan itu tidak dapat dibantah.Selena menelan ludah, darahnya berdesir di bawah tatapan Matthias yang seolah menembus dirinya. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya terasa ringan saat Matthias dengan mudah mengangkatnya, seolah-olah ia tidak lebih berat dari boneka kain. Tangan Matthias mencengkram pinggangnya dengan kuat, sementara tangan yang lain dengan santai meraih tasnya yang tergeletak di meja.“Matthias! Apa yang kau lakukan?!” Selena berusaha meronta, tinjunya menghantam dada pria itu tanpa hasil. Matthias bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh, melanjutkan langkahnya dengan tenang menuju pintu keluar.“Bill kalian sudah kubayar” ucap Matthias sambil melirik ke arah teman-teman Selena yang masih duduk tertegun.“A… ah, ya, terima kasih…” sahut Elsa dengan suara lemah, sementara kedua teman lainnya h
Panas, memabukkan dan menggairahkan.Ini bukan pertama kalinya Selena berciuman namun ini pertama kalinya Selena mendapat perasaan mendamba seperti iniSelena tak tahu jika ciuman akan bisa memberikan sensasi seperti ini.“Ennh.. Matthias...”Matthias tidak memberi ruang bagi Selena untuk menyelesaikan kata-katanya. Ciumannya semakin dalam, lebih menuntut, seolah ingin memastikan bahwa setiap serat dalam tubuh Selena mengingatnya. Tangan Matthias yang semula berada di dinding kini berpindah ke pinggang Selena, menarik tubuhnya lebih dekat hingga tak ada ruang tersisa di antara mereka bahkan didalam lift yang sempit ituSelena merasakan dadanya berdebar keras, napasnya menjadi berat seiring dengan intensitas ciuman itu. Tangannya, yang awalnya ingin mendorong Matthias, kini tanpa sadar mencengkeram bahu pria itu, mencoba mencari pegangan di tengah pusaran emosi yang melingkupinya.“Matthias…” gumam Selena di sel
“Hanya segini?” Tanya Matthias dengan tatapan tajamnyaAlesio terkekeh “Memangnya kau berharap berapa banyak?”Matthias menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya menyipit menatap dokumen di tangannya. “Aku berharap lebih dari ini, Kingston. Kau tahu berapa banyak jaringan yang sudah kita bongkar.”Alesio mengangkat bahu dengan santai, mengambil gelasnya dan menyesap anggur merahnya sebelum berbicara. “Jangan serakah, Walton. Ini bukan hanya tentang seberapa banyak yang kita temukan, tapi seberapa dalam kita bisa menelusurinya.”Matthias mengetukkan jarinya ke meja, pikirannya jelas bekerja. “Jadi, kau pikir ini masih permukaan?”Alesio menyeringai kecil. “Kita berurusan dengan orang-orang yang lebih licik dari yang kita kira. Jika ini mudah, kau dan aku sudah menyelesaikannya sejak lama.”Matthias mendecakkan lidahnya, lalu menutup dokumen itu. “Baiklah. Aku aka
Alesio Kingston, pria itu sempat menghebohkan media dengan pernikahaanya dengan seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Terlebih saat itu ada rumor yang mengatakan jika Alesio merebut wanita yang sudah memiliki tunangan“Ini istriku, Alana” Alesio mengenalkan sang istri yang sedang hamil besar pada Selena“Hallo” Suara halus itu terdengar dari Alana dan Selena mengerti kenapa sosok seperti Alesio bisa menjatuhkan hati pada perempuan ini“Aku Selena” Selena mengenalkan dirinya dengan sangat ramah“Tunanganku” Matthias menambahkan dengan seringai sombongAlana tersenyum hangat, matanya berbinar saat mendengar perkenalan dari Matthias. "Senang bertemu denganmu, Selena. Aku harap kau bisa menikmati pesta ini."Selena membalas senyuman itu. "Terima kasih, dan selamat atas kehamilanmu. Aku yakin Alesio pasti sangat menjagamu."Alesio tertawa kecil, melingkarkan lengannya di pinggang Alana deng
“Princess” Panggil MatthiasSelena yang sedang duduk dan menonton menatap pria itu lekat “Ada apa?” Tanya Selena“Mau ikut denganku malam ini?” TanyanyaSelena terdiam, mempertimbangkan tawaran Matthias. Sejujurnya, ia tidak ingin sendirian di apartemen ini malam ini. Terlebih dirinya juga tak mau jauh dari Matthias“Kemana kita akan pergi?”Matthias menyeringai kecil, lalu duduk di sampingnya. “Aku ada undangan pesta dari keluarga Kingston. Aku ingin kau ikut denganku.”“Kingston? Alesio Kingston?”“Hmm”Selena mengangkat alisnya, jelas terkejut. "Sejak kapan kau bergaul dengan keluarga Kingston?"Matthias terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di punggung sofa, membuatnya semakin dekat dengan Selena. "Bukan bergaul, Princess. Hanya urusan bisnis. Kau tahu jika mereka juga memiliki maskapai penerbangan kan?”Selena mengangguk
“Shh... hisap yang kuat Princess”Mulut Selena terasa kaku, begitupun dengan tangannya. Nyatanya menghibur Matthias dengan mulut dan tangannya tak juga membuat Matthias puas. Andai bulanan Selena sudah selesai, dia pasti akan lebih memilih melebarkan kakinya daripada mulutnya“Terus Princess..”Benda Matthias didalam mulut Selena terasa membesar dan mengeluarkan cairan yang membuat Selena masih merasa aneh“Hah...” Selena menghela napas panjang, ada hawa panas dari semburan lahar Matthias di mulutnya “Rasanya aneh, tapi lebih baik dari yang sebelumnya” gumum SelenaMatthias terkekeh “Aku belum selesai marah padamu, Princess”“Ckk.. ayolah. Kenapa kau terus mencari kesempatan?” Selena bangkit, memposisikan diri di pelukan Matthias yang terbaring di ranjang sejak tadi“Aku menasehati agar kau—“Suara Matthias perlahan lenyap dipendangaran Se
Matthias marah. Itu jelas.Sejak mereka meninggalkan pulau itu, pria itu bahkan tidak menatapnya. Di kapal, Matthias hanya berdiri di buritan dengan tangan terlipat di dada, matanya terpaku pada lautan seolah-olah dia bisa melampiaskan amarahnya pada ombak.Di dalam mobil, suasana semakin menegangkan. Matthias duduk di sampingnya, tetapi jaraknya seperti sejauh benua. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas pahanya, dan napasnya terdengar berat—tanda-tanda khas kalau dia sedang menahan diri agar tidak meledak.Selena meliriknya sekilas, lalu mendesah pelan."Apa kau akan diam saja sepanjang perjalanan?" tanyanya akhirnya.Tidak ada jawaban. Matthias bahkan tidak bergerak.Selena menggigit bibirnya, mencoba menahan senyum geli meskipun tahu situasinya serius. Matthias yang marah memang berbahaya… tapi Matthias yang merajuk? Itu sesuatu yang jarang terjadi.Dia menggeser tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. "
"Tunanganku sudah datang."Selena terkekeh pelan, dia melangkah mundur, menjaga jarak dari NateNate masih menatapnya dengan rahang mengatup rapat. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini menyiratkan keterkejutan dan… kemarahan.“Kau pikir ini sudah selesai?” suaranya rendah, berbahaya.Selena mengangkat bahu, senyum tipis masih menghiasi bibirnya. “Kuharap begitu” Jawab Selena ringanDi luar, suara ledakan lain mengguncang tanah, membuat bangunan bergetar. Para anak buah Nate berlarian dalam kekacauan, beberapa mengangkat senjata, sementara yang lain berteriak mencari perlindungan.Selena menoleh kembali ke Nate yang kini menggertakkan giginya, tinjunya mengepal erat. Pria itu memang cerdas, licik, dan penuh perhitungan, tapi kali ini—dia kalah langkah.Langkahnya untuk mengambil Selena, wanita yang dicintainya sudah salah.Nate menghela napas berat, tatapannya gelap saat melihat Sele
Matthias menatap Hirerty dengan mata abu tajamnya“Kenapa kau tak mengatakan apa-apa?!” TuntutnyaHiriety terkekeh ringan “Salahmu yang tak bertanya”“Demi Tuhan Hirie!! Kau dan Selana merancakan hal seperti berbahaya seperti ini tanpa memberitahuku?!!” suaranya rendah dan penuh kemarahan yang ditahanMatthias menggeram, mengepalkan tinjunya dengan erat. Napasnya masih memburu setelah serangan mendadak yang baru saja terjadi."Kau tahu seberapa bahayanya ini, tapi kau malah membiarkan Selena pergi begitu saja?!"Hiriety menyandarkan dirinya ke dinding dengan santai, ekspresi wajahnya menunjukkan seolah ini bukan masalah besar. "Aku tidak membiarkan dia pergi begitu saja, Matthias" ujarnya, menyilangkan tangan di dada. "Selena dan aku sudah merencanakannya sejak awal."Matthias mengusap wajahnya kasar "Jelaskan semuanya. Sekarang."Hiriety terkekeh “ternyata akting Selena hebat juga samp
"Selamat datang di rumahku" pria itu berkata dengan nada tenang namun berwibawa.Selena tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Rumah? Ini lebih mirip markas tersembunyi bagi orang-orang seperti mereka—sebuah bangunan besar dengan arsitektur megah namun memiliki aura kelam dan dingin.Stevan mendorong punggung Selena dengan lembut, membuatnya berjalan mengikuti pria itu masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu besar yang dijaga ketat oleh pria-pria bersenjata, Selena semakin merasa tidak nyaman.Interior rumah itu dipenuhi marmer hitam dengan lampu gantung yang memberikan cahaya remang. Ada aroma khas—sesuatu yang mahal, bercampur dengan bau samar cerutu.Pria yang dipanggil 'Boss' itu melangkah santai menuju sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap ke laut. Dia berbalik, menatap Selena dengan senyum tipis."Aku harus mengakui" katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Aku tid
"Bodoh! Bisa-bisanya pengawal seperti kalian kehilangan wanitaku" Matthias menghajar dua pria yang ditugaskannya sebagai pengawal SelenaMatthias tidak menahan amarahnya. Tinju kerasnya menghantam wajah salah satu pengawal, membuat pria itu jatuh tersungkur ke lantai dengan darah mengalir dari sudut bibirnya.Satu pria lagi mencoba berbicara, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, pukulan Matthias yang berikutnya mendarat tepat di rahangnya, membuatnya terhuyung ke belakang."Bodoh!" geram Matthias. Napasnya berat, matanya berkilat dengan kemarahan yang begitu pekat. "Kalian hanya punya satu tugas—mengawasi Selena! Dan kalian bahkan tidak bisa melakukan itu?!"Kedua pria itu tidak berani membela diri. Mereka tahu bahwa kesalahan seperti ini tidak bisa dimaafkan.Halland berdiri di sisi ruangan, tidak ikut campur. Dia tahu jika Matthias sedang seperti ini, lebih baik membiarkannya melampiaskan amarah dulu sebelum berbicara logis.Matt