Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.
“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.
Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncak
Beberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon.
"Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas.
"Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian dengan Matthias! Kau tahu aku tidak nyaman dengannya!"
“Aduh maaf aku lupa” Hiriety menghela napas panjang, suaranya terdengar santai.
“Lupa katamu? Ayolah Rie, sudah berapa kali kau memberikan alasan itu sejak kakakmu datang kesini?!” Selena berdecak sedangkan kekehan ringan Hiriety terdengar “Jangan tertawa! Pulang sekarang!” titah Selena
Tawa Hiriety semakin keras “Maaf Sel, aku nggak bisa pulang sekarang" jawab Hiriety santai, suara tawanya masih tersisa. "Aku sudah janji bantu temanku mengerjakan sesuatu malam ini. Lagi pula, kak Matthias tak akan macam-macam. Apa yang perlu dikhawatirkan?”
"Apa yang perlu dikhawatirkan?" Selena hampir berteriak. "Hiri, dia pria dewasa, manipulatif, dan—" Selena berhenti, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Dan kau tahu aku tidak pernah nyaman berada di dekatnya terlalu lama!"
"Kakakku tak akan melakukan apa-apa" Hiriety menjawab dengan nada enteng. "Aku tidak paham kenapa kau begitu khawatir, Selena" tambah Hiriety dengan nada mulai terdengar tidak sabar. "Dia tidak akan melukaimu. Percayalah padaku."
Selena mendengus, berhenti mondar-mandir dan menatap keluar jendela. "Ini bukan soal melukai atau tidak, ini soal bagaimana dia memperlakukan orang lain, Hiri. Dia tidak peduli dengan privasi atau batasan siapa pun. Bahkan aku bisa merasakan bahwa dia sedang memainkan sesuatu."
"Aku akan kembali besok pagi" Hiriety memotong. "Nikmati saja malam ini, Selena. Sampai jumpa besok” Putus Hiriety
“Hiri! Rie! Akh sialan” Hiriety memutus sepihak panggilan mereka
Selena mendesah keras, memandang layar ponselnya dengan frustrasi. Hiriety benar-benar meninggalkannya dalam situasi yang paling tidak nyaman. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan berjalan menuju lemari, meraih tas kecil yang biasa dia gunakan.
Dia mengisinya dengan beberapa barang penting—dompet, ponsel, dan kunci cadangan—lalu berjalan keluar dari kamar dengan langkah tegas. Saat mencapai ruang tamu, matanya menangkap sosok Matthias yang sedang duduk di sofa dan nampak sibuk dengan tabletnya.
Tanpa memedulikannya, Selena melangkah menuju pintu depan dengan niat untuk keluar. Namun, saat dia memutar menekan tombol dan menarik pintu, pintu itu tak bergeming. Dia mencoba lagi, lebih keras kali ini, tetapi hasilnya tetap sama, pintu itu tak terbuka
Alis Selena berkerut, dia menoleh ke arah Matthias yang masih duduk santai di sofa. "Kenapa pintunya tidak bisa dibuka?" tanyanya dengan nada curiga.
Matthias menatap Selena sambil meletakkan tablet di meja. Senyum tipis tercipta dibibirnya "Aku memasang password" katanya dengan nada santai, seolah-olah itu hal yang biasa dilakukan.
Selena menatapnya dengan marah "Kau apa? Kau tidak punya hak mengunci pintu apartemenku seperti ini!" Selena berjalan mendekat dengan langkah penuh amarah
Matthias hanya mengangkat bahu, tidak terganggu oleh kemarahan Selena. "Kau terlalu gegabah. Aku hanya memastikan kau tidak melakukan sesuatu yang bodoh, seperti keluar di tengah malam dengan emosi tidak terkendali."
"Emosi tidak terkendali?" Selena hampir berteriak. "Matthias, aku bukan anak kecil! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini. Bukalah pintu sekarang juga!"
Matthias berdiri perlahan, tinggi tubuhnya yang menjulang membuat Selena merasa semakin terintimidasi. "Aku bisa membuka pintu itu kapan saja" katanya dengan tenang, melangkah mendekati Selena. "Tapi aku tidak akan melakukannya malam ini. Kau butuh istirahat, bukan pelarian."
"Pelarian?" Selena menatapnya dengan mata membelalak, merasa kata-kata Matthias semakin menyulut amarahnya. "Aku hanya ingin menjauh dari pria manipulatif tak jelas yang terus-menerus mencampuri hidupku!"
Matthias menyeringai tipis, lalu menundukkan kepala sedikit hingga tatapan mereka sejajar. "Kalau begitu, berhenti melarikan diri, Princess. Kau tidak bisa kabur dariku."
Selena menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk berteriak. Dia tahu Matthias tidak akan mengubah keputusannya dengan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja. "Listen Ashole! Kau tidak bisa mengontrol hidupku”" katanya dengan suara penuh tekad.
“I can. I locked you up here, tonight Princess” Potong Matthias tertawa kecil, suara rendahnya terdengar dingin di telinga Selena.
"Kau tidak punya hak untuk mengurungku, Matthias!" Selena menggeram. “Dan berhenti memanggilku begitu!”
Matthias mengabaikan protesnya, menatap dengan tenang. "Kembali ke kamarmu dan istirahat dengan tenang" jawabnya, nada suaranya yang rendah itu seolah menggema dalam ruangan.
Selena mendengus kesal, memutar tubuh dengan kasar, dan berjalan cepat menuju kamarnya. Saat melewati Matthias, dia dengan sengaja menyenggol bahunya, cukup keras hingga pria itu menoleh. Matthias tidak bereaksi, hanya menatap punggung Selena dengan senyum kecil yang entah apa artinya.
Sesampainya di kamar, Selena membanting pintu dengan keras, lalu bersandar disana untuk beberapa detik. Napasnya terengah-engah, dadanya terasa sesak dengan amarah yang bercampur frustrasi. Dia merogoh ponselnya, menekan nomor kekasihnya, dengan harapan suara pria itu bisa membuatnya merasa lebih baik.
Dering pertama hingga kedua berlalu, dan akhirnya panggilan terhubung. Namun, alih-alih suara Mark yang menyapa, suara seorang wanita yang asing terdengar.
"Halo?" tanya suara itu, lembut namun penuh percaya diri.
Selena langsung menegang. "Siapa ini?" tanyanya tajam, alisnya berkerut.
"Oh" wanita itu terdengar ragu sebelum menjawab, "Ini sepupu Mark. Ada yang bisa ku bantu?"
"Sepupu?" Selena mengulang dengan nada penuh kecurigaan. "Di mana Mark? Kenapa kau yang menjawab teleponnya?"
“Oh itu, Mark sedang keluar sebentar" jawab perempuan itu santai "Aku akan bilang padanya kau menelepon. Selamat malam." Sambungnya terdengar sedikit tergesa-gesa.
Klik. Sambungan terputus.
Selena menatap layar ponselnya yang kini gelap dengan ekspresi campuran antara marah dan bingung. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres, tetapi memutuskan untuk menyingkirkannya sementara. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke kasur, membiarkannya terhempas di antara bantal dan selimut.
Dia mendesah panjang, lalu berjalan ke pintu kamarnya. Tangannya memutar kunci hingga berbunyi klik. Selena memastikan pintu terkunci rapat, memutar gagangnya beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang bisa membukanya dari luar.
Dia menatap pintu itu selama beberapa detik, lalu dengan tenaga yang agak terburu-buru, dia mulai mendorong meja rias kecilnya ke depan pintu. Bunyi derit kaki meja di atas lantai kayu memenuhi ruangan, namun Selena tidak peduli.
Setelah meja itu terpasang dengan kokoh di depan pintu, dia berhenti sejenak, tangannya bertumpu pada pinggang, napasnya sedikit memburu. Dia memeriksa lagi pintu yang kini tertutup rapat dan terganjal meja
“Dia tak akan bisa masuk” gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Bayangan masa kecilnya muncul di pikirannya, seperti mimpi buruk yang tak pernah benar-benar pergi.
Selena tertidur saat jam mulai menujukan pukul 01.10 dini hari. Meskipun sesekali dia terbangun karena suara-suara samar di luar namun tubuhnya yang kelelahan tidak mampu melawan rasa kantuk yang terus menariknya ke alam mimpi.Cahaya bulan menembus tirai tipis, menerangi kamar yang kini dipenuhi keheningan malam. Sayangnya, keheningan itu tidak bertahan lama.Di luar balkon, bayangan gelap bergerak dengan hati-hati. Matthias, dengan tubuh tegap dan gerakan penuh kehati-hatian, berhasil membuka pintu geser balkon yang ternyata tidak terkunci dengan sempurna.Dia masuk ke kamar Selena tanpa suara, langkahnya begitu tenang hingga hampir seperti bayangan yang meluncur di lantai. Selena lupa satu hal—lokasi kamar tamu dan kamarnya yang bersebelahan, memudahkan Matthias untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa terdeteksi.Matthias berhenti di tengah kamar, matanya mengamati meja rias yang Selena geser untuk mengganjal pintu. Senyum geli terl
“Selena cantik, aku suka” katanya dengan suara yang jernih dan penuh kepolosanSelena, yang masih berusia 7 tahun, langsung merasa pipinya memanas. Wajahnya yang imut memerah seketika, membuatnya terlihat semakin malu dan lucu. Dia sedikit menundukkan kepala, lalu dengan suara pelan tapi penuh kejujuran, dia berkata, “Matthias juga tampan, Selena suka.”Gadis kecil itu masih menatap Matthias dengan pandangan yang jujur, tanpa ada rasa malu yang dipahami sepenuhnya. Bagi Selena, segala hal yang datang dari Matthias adalah sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Matthias, yang tampaknya sedikit terkejut dengan respons tersebut, hanya tertawa ringan.“Selena mau jadi punya aku?”Malu-malu Selena mengangguk“Terima kasih, Selena” jawab Matthias dengan senyum bahagianya. Saat itu Selena tidak sepenuhnya mengerti dampak dari kata-katanya pada bocah lelaki 11 tahun itu.“HAH!&r
Hiriety kembali ke meja makan dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih berantakan akibat percakapan singkat dengan Matthias. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun Selena menatapnya dengan sedikit curiga."Semua baik-baik saja?" tanya Selena, menyendok sisa makanannya sambil tetap memperhatikan Hiriety."Ya, hanya urusan kecil, kakakku bilang dia ketinggalan sesuatu" jawab Hiriety sambil mengibaskan tangan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil segelas air, menyesapnya perlahan, lalu menatap Selena dengan senyum tipis. "Ngomong-ngomong, kita punya kelas yang sama jam satu nanti."Selena mengangkat alis. "Kelas apa?"“Branding strategy" jawab Hiriety, sambil menghela napas kecil. "Kau mungkin lupa karena aku jarang muncul di kelas. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk hadir."Selena menyeringai kecil, tidak benar-benar percaya. "Apa yang membuatmu tiba-tiba rajin?"Hiriety terkekeh. "Kudengar ada dosen p
Ketika kelas selesai, Selena dan Hiriety bergegas berkemas. Namun, sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, seorang pria dengan jaket denim masuk ke dalam kelas“Mark? Kenapa kesini?” Tanya Selena heran namun tak ayal dia senang dengan kedatangan kekasihnya ituMark berdiri di depan Selena dengan senyum tipis. Matanya melirik Hiriety sejenak sebelum kembali ke Selena.“Aku merindukanmu” ucapnya memeluk Selena, mengabaikkan ekspresi muak Hiriety yang sengaja ditunjukan hanya pada MarkSelena tersenyum tipis, membalas pelukan Mark dengan lembut. Namun, dia segera melepaskannya, menyadari tatapan tajam Hiriety yang penuh sindiran.“Hiriety ada di sini” bisik Selena, mencoba mengingatkan Mark agar sedikit menjaga sikap.“Aku tahu” jawab Mark santai, melirik Hiriety dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Hei, Hiriety. Kau tak keberatan, kan?”Hiriety mendengus pelan, melipat
Mark mengantarkan Selena pulang ke apartemennya setelah makan malam. Mobilnya terparkir rapi di basement, suasana parkiran cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang tersusun rapi. Mereka berdua keluar dari mobil, langkah mereka bergema di lantai beton saat mereka menuju lift.Selena menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka dengan bunyi halus. Mereka masuk ke dalam, dan Selena menekan angka lantai unit apartemennya. Perjalanan naik lift berlangsung hening, hanya ditemani suara mesin yang samar. Mark berdiri di samping Selena, satu tangannya menggenggam tangan Selena dan sebelahnya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak sedikit ragu.Ketika pintu lift terbuka di lantai apartemen Selena, ia melangkah keluar lebih dulu, namun berhenti sejenak di depan pintu unitnya. Ia menoleh pada Mark dengan senyuman kecil."Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang" katanya.Mark tersenyum, tetapi tak langsung beranjak pergi. Ia menggaruk tengkuknya, seo
“Selena stop! kau sudah minum cukup banyak" Elsa, salah satu teman satu jurusannya itu memperingatkan dengan cemas.Jika boleh jujur, sebenarnya Elsa agak menyesal mengajak Selena bergabung dengannya. Niat awalnya adalah untuk membuat Selena santai setelah wanita itu datang ke klub sambil memaki namun sekarang, Selena justru nampak semakin depresi“Kau ada masalah dengan Mark?” tanya Giselle mencoba menebak alasan dibalik frustasi Selena"Tidak ada" jawab Selena, mencoba tersenyum meskipun suaranya mulai terdistorsi sedikit.“Masalah dengan Hiriety?” Laura lanjut bertanya“Tak mungkin lah” Jawab Elsa cepatSemua orang di Polietecnico tahu bagaimana dekatnya kedua putri dari keluarga berpengaruh itu“lalu kenapa lagi? Jarang sekali aku lihat Selena seperti ini” Giselle berucap sambil menyesap vodka-nya“ingin cerita Sel?” tanya LauraSelena menggeleng pelan
“Ayo pulang” ulang Matthias dengan nada datar namun penuh otoritas, seolah keputusan itu tidak dapat dibantah.Selena menelan ludah, darahnya berdesir di bawah tatapan Matthias yang seolah menembus dirinya. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya terasa ringan saat Matthias dengan mudah mengangkatnya, seolah-olah ia tidak lebih berat dari boneka kain. Tangan Matthias mencengkram pinggangnya dengan kuat, sementara tangan yang lain dengan santai meraih tasnya yang tergeletak di meja.“Matthias! Apa yang kau lakukan?!” Selena berusaha meronta, tinjunya menghantam dada pria itu tanpa hasil. Matthias bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh, melanjutkan langkahnya dengan tenang menuju pintu keluar.“Bill kalian sudah kubayar” ucap Matthias sambil melirik ke arah teman-teman Selena yang masih duduk tertegun.“A… ah, ya, terima kasih…” sahut Elsa dengan suara lemah, sementara kedua teman lainnya h
Panas, memabukkan dan menggairahkan.Ini bukan pertama kalinya Selena berciuman namun ini pertama kalinya Selena mendapat perasaan mendamba seperti iniSelena tak tahu jika ciuman akan bisa memberikan sensasi seperti ini.“Ennh.. Matthias...”Matthias tidak memberi ruang bagi Selena untuk menyelesaikan kata-katanya. Ciumannya semakin dalam, lebih menuntut, seolah ingin memastikan bahwa setiap serat dalam tubuh Selena mengingatnya. Tangan Matthias yang semula berada di dinding kini berpindah ke pinggang Selena, menarik tubuhnya lebih dekat hingga tak ada ruang tersisa di antara mereka bahkan didalam lift yang sempit ituSelena merasakan dadanya berdebar keras, napasnya menjadi berat seiring dengan intensitas ciuman itu. Tangannya, yang awalnya ingin mendorong Matthias, kini tanpa sadar mencengkeram bahu pria itu, mencoba mencari pegangan di tengah pusaran emosi yang melingkupinya.“Matthias…” gumam Selena di sel
Selena membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, seolah ia baru saja terlelap setelah pertarungan panjang melawan pikirannya sendiri. Cahaya redup dari lampu di sudut ruangan memberikan kesan hangat yang anehnya menenangkan.Detik berikutnya, ia menyadari sesuatu—sesuatu yang membuat napasnya tertahan.Ada lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya, menariknya erat dalam kehangatan yang asing tapi familiar.Matthias.Selena menoleh perlahan, jantungnya mulai berdebar tak karuan saat melihat wajah Matthias begitu dekat dengannya. Pria itu tertidur, napasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang stabil. Ekspresinya jauh lebih tenang dibandingkan biasanya, tidak ada seringai tajam atau tatapan penuh intensitas yang selalu membuatnya gugup.Pikiran Selena berusaha mengingat bagaimana ia bisa berakhir di sini, di ranjang Matthias, dalam pelukan pria itu. Yang terakhir ia ingat, mereka berbicara tentang perlindungan, tentang a
"Kau tak mendapatkannya?" Suara itu dingin, penuh kemarahan yang tertahan.Pria itu berdiri di dalam ruangan remang-remang, menatap layar besar yang menampilkan siaran langsung dari kekacauan yang terjadi di pesta pertunangan Selena dan Matthias. Tangannya mengepal kuat, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri.Di hadapannya, seseorang berseragam hitam berlutut, kepalanya tertunduk dalam ketakutan. "Maafkan kami, Tuan. Caid Walton sudah mengantisipasi semuanya. Putranya membawa Selena pergi sebelum kami sempat menyentuhnya."Pria itu menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. Namun, matanya yang gelap bersinar penuh obsesi."Matthias Vercent Walton... kau pikir kau bisa memiliki Selena begitu saja?" gumamnya, suaranya bergetar oleh amarah yang mendidih.Dia berbalik, mengambil segelas anggur merah dari meja marmer di dekatnya, menyesapnya perlahan. Kemudian, dia menatap puluhan foto yang terbingkai rapi di atas meja—foto S
DOR!BUM...Selena hampir tidak bisa memproses apa yang baru saja terjadi. Sebuah ledakan dan suara tembakan yang sangat keras, suara tembakan yang seakan-akan mengoyak udara di sekitarnya.Tubuh Selena terlonjak, dan untuk sesaat dunia seakan berputar. Matanya membelalak, menatap Hiriety yang masih menggenggam tangannya dengan cengkeraman yang lebih kuat dari sebelumnya.Wajah Hiriety yang tadinya tampak acuh dan santai kini berubah menjadi ekspresi yang sulit diungkapkan. Ada kegilaan yang tersembunyi di balik senyumnya yang semakin lebar, dan itu adalah sesuatu yang membuat darah Selena terasa membeku.“Selamat datang di dunia kita, Selena...” suara Hiriety terdengar seperti bisikan yang penuh dengan makna yang tidak bisa dijelaskan, suara itu justru semakin menakutkan setelah suara tembakan itu.“Rie”Selena menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Dunia yang selama ini ia kenal, dunia yang ia anggap aman, k
Pesta pertunangan Selena tak bisa dikatakan sederhana, Selena sendiri tak yakin bagaimana mereka menyiapkan segalanya dengan cepat.Kurang dari dua hari sejak dia setuju untuk bertunangan dengan Matthias. Pesta mewah ini telah terselenggara dengan sempurna. Gaun putih gading yang membalut tubuhnya terasa begitu pas, seolah memang telah disiapkan khusus untuknya sejak lama. Namun, tidak ada yang terasa nyata bagi Selena—semua ini terjadi terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, hingga ia bahkan belum sempat memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.Kerumunan tamu berseliweran di aula besar yang dihiasi lampu kristal dan bunga-bunga mahal. Musik klasik mengalun lembut di latar belakang, melengkapi kemewahan malam ini. Semua orang yang hadir tampak bersuka cita, memberikan ucapan selamat seolah ini adalah perayaan yang memang dinantikan.Tapi Selena?Selena merasa seperti burung dalam sangkar emas.Matthias berdiri di sampingnya, tangan kekarnya melingk
Selama ini Matthias selalu bermimpi melakukan banyak hal pada Selena, Dia bahkan sudah segala cara untuk memastikan bahwa wanita itu tetap berada dalam genggamannya.Obsesi yang ia miliki terhadap Selena bukan sekadar keinginan sementara—itu adalah sesuatu yang mengalir dalam darahnya, sesuatu yang ia yakini sebagai bagian dari takdirnya.Dia telah melakukan banyak hal, beberapa di antaranya mungkin tidak bisa Selena terima jika ia tahu semuanya. Matthias selalu mengawasi, memastikan bahwa tidak ada satu pria pun yang bisa mendekati Selena lebih dari yang ia iz inkan. Ia menyingkirkan semua ancaman yang bisa menjauhkan wanita itu darinya—baik dengan cara halus maupun yang lebih… ekstrem.Dan sekarang, ketika Selena berada di pelukannya, nampak tak berdaya dan tak memiliki kuasa untuk menolaknya "Kau tahu sudah berapa lama aku menantikan momen ini, Princess?" Ia mengucapkan nama itu dengan kelembutan yang berbahayaSelena yang bersandar
Hiriety menghembuskan asap rokoknya dengan pelan, membiarkan aroma tembakau memenuhi udara sebelum perlahan menghilang tersapu angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya masih terpaku pada hamparan langit malam yang kelam, hanya diterangi bintang-bintang redup yang berserakan seperti kenangan yang dulu pernah ia tinggalkan di kamar ini.Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu, ia tak pernah menjejakkan kaki di kamar ini lagi. Namun, berkat rencana gila kakaknya, ia kini kembali. Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya—campuran antara nostalgia, kebingungan, dan ketidaknyamanan.Ia menghela napas, mematikan rokoknya di asbak yang ia ambil dari meja kecil di samping ranjang. Tangannya kemudian mengusap seprai berwarna biru tua yang terasa asing namun akrab di saat yang bersamaan.Di sudut ruangan, sebuah foto lama masih tergantung di dinding. Foto dirinya dan Selena, diambil saat mereka masih kecil, tertawa lepas dengan mata berbinar.
Dylan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan putrinya berdua dengan Matthias. Pintu tertutup dengan suara pelan, tetapi bagi Selena, itu terdengar seperti jeruji besi yang mengunci takdirnya di dalam ruangan ini.Keheningan menyelimuti mereka. Selena tetap duduk di kasurnya, sementara Matthias berdiri di sisi ruangan, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya gelap, intens, namun ada sesuatu di sana yang berbeda kali ini. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dominasi dan obsesi—sesuatu yang bahkan Selena sendiri tak yakin apakah ia ingin memahami atau justru ingin menjauh darinya.“Aku lelah, Matthias” Selena bersuara pelanMatthias tidak langsung merespons. Ia menatap Selena, matanya menyapu setiap lekuk wajahnya, seakan mencari sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.“Lelah karena apa?” tanyanya akhirnya, suaranya datar, namun di balik nada tenangnya ada ketegangan yang tersembunyi.Selena
“Selena sayang, kau salah paham” Dylan memeluk putrinya. Mungkin sejak awal cara didiknya agak salah karena membiarkan Selena hidup bak seorang putri. Selena selalu dimanja hingga dia tak mengerti bagaimana dunia ini berjalan“Kenapa kalian terus melakukan tindakan tak benar seperti ini? Daddy memiliki perusahaan yang besar, Paman Caid memiliki maskapai penerbangan tapi kenapa tetap melakukan bisnis kotor itu? Apa kalian sangat haus akan harta?” suara Selena bergetar, bukan karena takut, melainkan karena emosinya yang meluap-luap.“Kau tak akan pernah bisa mengerti Selena” Jawab Caid, ditatapnya lekat netra“Tentu aku tak bisa mengerti jika paman dan Daddy tak pernah menjelaskan apapun padaku. Sebenarnya kenapa kalian harus terus melakukan ini?” Tanya Selena dengan suara lirih, matanya berkaca-kaca dengan perasaan yang sulit dikontrolDylan melirik Caid. Disaat seperti ini dia hanya bisa menunggu sang Alpha
Selena terbangun dengan rasa bingung dan kecemasan yang melanda dirinya. Kepalanya terasa berat, seolah seluruh tubuhnya tertarik oleh gravitasi, dan ada sensasi yang aneh merambat di sekujur tubuhnya yang lemas.“Mom?” Gumam Selena bergumam dengan suara serak. Tubuhnya terasa berat, dan ia berusaha mengingat kembali bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Pikiran-pikirannya terasa kabur, seperti diselimuti kabut tebal.“Hai sayang, bagaimana kondisimu?” Lumia tersenyum tipis, diusapnya kepala putri tunggalnya itu penuh sayangDitatapnya wanita cantik yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring, itu ibunya, Lumia. “A-ku baik, tapi bagaimana-““Maaf ya sayang, Mom terlibat dengan semua ini” kata Lumia dengan nada yang penuh penyesalan, matanya tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang terkandung di dalamnya.Selena mengerutkan kening bingung “Apa maksudnya?” Tanya Selena tak paham.