Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.
“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.
Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncak
Beberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon.
"Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas.
"Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian dengan Matthias! Kau tahu aku tidak nyaman dengannya!"
“Aduh maaf aku lupa” Hiriety menghela napas panjang, suaranya terdengar santai.
“Lupa katamu? Ayolah Rie, sudah berapa kali kau memberikan alasan itu sejak kakakmu datang kesini?!” Selena berdecak sedangkan kekehan ringan Hiriety terdengar “Jangan tertawa! Pulang sekarang!” titah Selena
Tawa Hiriety semakin keras “Maaf Sel, aku nggak bisa pulang sekarang" jawab Hiriety santai, suara tawanya masih tersisa. "Aku sudah janji bantu temanku mengerjakan sesuatu malam ini. Lagi pula, kak Matthias tak akan macam-macam. Apa yang perlu dikhawatirkan?”
"Apa yang perlu dikhawatirkan?" Selena hampir berteriak. "Hiri, dia pria dewasa, manipulatif, dan—" Selena berhenti, mencoba memilih kata-kata yang tepat. "Dan kau tahu aku tidak pernah nyaman berada di dekatnya terlalu lama!"
"Kakakku tak akan melakukan apa-apa" Hiriety menjawab dengan nada enteng. "Aku tidak paham kenapa kau begitu khawatir, Selena" tambah Hiriety dengan nada mulai terdengar tidak sabar. "Dia tidak akan melukaimu. Percayalah padaku."
Selena mendengus, berhenti mondar-mandir dan menatap keluar jendela. "Ini bukan soal melukai atau tidak, ini soal bagaimana dia memperlakukan orang lain, Hiri. Dia tidak peduli dengan privasi atau batasan siapa pun. Bahkan aku bisa merasakan bahwa dia sedang memainkan sesuatu."
"Aku akan kembali besok pagi" Hiriety memotong. "Nikmati saja malam ini, Selena. Sampai jumpa besok” Putus Hiriety
“Hiri! Rie! Akh sialan” Hiriety memutus sepihak panggilan mereka
Selena mendesah keras, memandang layar ponselnya dengan frustrasi. Hiriety benar-benar meninggalkannya dalam situasi yang paling tidak nyaman. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan berjalan menuju lemari, meraih tas kecil yang biasa dia gunakan.
Dia mengisinya dengan beberapa barang penting—dompet, ponsel, dan kunci cadangan—lalu berjalan keluar dari kamar dengan langkah tegas. Saat mencapai ruang tamu, matanya menangkap sosok Matthias yang sedang duduk di sofa dan nampak sibuk dengan tabletnya.
Tanpa memedulikannya, Selena melangkah menuju pintu depan dengan niat untuk keluar. Namun, saat dia memutar menekan tombol dan menarik pintu, pintu itu tak bergeming. Dia mencoba lagi, lebih keras kali ini, tetapi hasilnya tetap sama, pintu itu tak terbuka
Alis Selena berkerut, dia menoleh ke arah Matthias yang masih duduk santai di sofa. "Kenapa pintunya tidak bisa dibuka?" tanyanya dengan nada curiga.
Matthias menatap Selena sambil meletakkan tablet di meja. Senyum tipis tercipta dibibirnya "Aku memasang password" katanya dengan nada santai, seolah-olah itu hal yang biasa dilakukan.
Selena menatapnya dengan marah "Kau apa? Kau tidak punya hak mengunci pintu apartemenku seperti ini!" Selena berjalan mendekat dengan langkah penuh amarah
Matthias hanya mengangkat bahu, tidak terganggu oleh kemarahan Selena. "Kau terlalu gegabah. Aku hanya memastikan kau tidak melakukan sesuatu yang bodoh, seperti keluar di tengah malam dengan emosi tidak terkendali."
"Emosi tidak terkendali?" Selena hampir berteriak. "Matthias, aku bukan anak kecil! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini. Bukalah pintu sekarang juga!"
Matthias berdiri perlahan, tinggi tubuhnya yang menjulang membuat Selena merasa semakin terintimidasi. "Aku bisa membuka pintu itu kapan saja" katanya dengan tenang, melangkah mendekati Selena. "Tapi aku tidak akan melakukannya malam ini. Kau butuh istirahat, bukan pelarian."
"Pelarian?" Selena menatapnya dengan mata membelalak, merasa kata-kata Matthias semakin menyulut amarahnya. "Aku hanya ingin menjauh dari pria manipulatif tak jelas yang terus-menerus mencampuri hidupku!"
Matthias menyeringai tipis, lalu menundukkan kepala sedikit hingga tatapan mereka sejajar. "Kalau begitu, berhenti melarikan diri, Princess. Kau tidak bisa kabur dariku."
Selena menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk berteriak. Dia tahu Matthias tidak akan mengubah keputusannya dengan mudah, tetapi dia tidak akan menyerah begitu saja. "Listen Ashole! Kau tidak bisa mengontrol hidupku”" katanya dengan suara penuh tekad.
“I can. I locked you up here, tonight Princess” Potong Matthias tertawa kecil, suara rendahnya terdengar dingin di telinga Selena.
"Kau tidak punya hak untuk mengurungku, Matthias!" Selena menggeram. “Dan berhenti memanggilku begitu!”
Matthias mengabaikan protesnya, menatap dengan tenang. "Kembali ke kamarmu dan istirahat dengan tenang" jawabnya, nada suaranya yang rendah itu seolah menggema dalam ruangan.
Selena mendengus kesal, memutar tubuh dengan kasar, dan berjalan cepat menuju kamarnya. Saat melewati Matthias, dia dengan sengaja menyenggol bahunya, cukup keras hingga pria itu menoleh. Matthias tidak bereaksi, hanya menatap punggung Selena dengan senyum kecil yang entah apa artinya.
Sesampainya di kamar, Selena membanting pintu dengan keras, lalu bersandar disana untuk beberapa detik. Napasnya terengah-engah, dadanya terasa sesak dengan amarah yang bercampur frustrasi. Dia merogoh ponselnya, menekan nomor kekasihnya, dengan harapan suara pria itu bisa membuatnya merasa lebih baik.
Dering pertama hingga kedua berlalu, dan akhirnya panggilan terhubung. Namun, alih-alih suara Mark yang menyapa, suara seorang wanita yang asing terdengar.
"Halo?" tanya suara itu, lembut namun penuh percaya diri.
Selena langsung menegang. "Siapa ini?" tanyanya tajam, alisnya berkerut.
"Oh" wanita itu terdengar ragu sebelum menjawab, "Ini sepupu Mark. Ada yang bisa ku bantu?"
"Sepupu?" Selena mengulang dengan nada penuh kecurigaan. "Di mana Mark? Kenapa kau yang menjawab teleponnya?"
“Oh itu, Mark sedang keluar sebentar" jawab perempuan itu santai "Aku akan bilang padanya kau menelepon. Selamat malam." Sambungnya terdengar sedikit tergesa-gesa.
Klik. Sambungan terputus.
Selena menatap layar ponselnya yang kini gelap dengan ekspresi campuran antara marah dan bingung. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres, tetapi memutuskan untuk menyingkirkannya sementara. Dengan kesal, dia melempar ponselnya ke kasur, membiarkannya terhempas di antara bantal dan selimut.
Dia mendesah panjang, lalu berjalan ke pintu kamarnya. Tangannya memutar kunci hingga berbunyi klik. Selena memastikan pintu terkunci rapat, memutar gagangnya beberapa kali untuk memastikan tidak ada yang bisa membukanya dari luar.
Dia menatap pintu itu selama beberapa detik, lalu dengan tenaga yang agak terburu-buru, dia mulai mendorong meja rias kecilnya ke depan pintu. Bunyi derit kaki meja di atas lantai kayu memenuhi ruangan, namun Selena tidak peduli.
Setelah meja itu terpasang dengan kokoh di depan pintu, dia berhenti sejenak, tangannya bertumpu pada pinggang, napasnya sedikit memburu. Dia memeriksa lagi pintu yang kini tertutup rapat dan terganjal meja
“Dia tak akan bisa masuk” gumamnya pelan, seolah meyakinkan dirinya sendiri. Bayangan masa kecilnya muncul di pikirannya, seperti mimpi buruk yang tak pernah benar-benar pergi.
Matthias menekan tombol bel untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dengan kesabaran yang mulai terkikis, ia mengeluarkan ponselnya. Menghubungi adik perempuannya yang sejak tadi tak kunjung membukakan pintu“Buka pintunya" Ucap Matthias tanpa basa basi dengan nada datarnya begitu panggilan terhubung“Oh, kau sudah sampai, kak?”“Cepat buka pintunya sebelum aku marah padamu, Hiri" Matthias menjawab sambil melirik pintu yang tetap tertutup rapat di depannya“Emm ini, aku sedang di luar. Ada urusan mendadak. Masuk saja, password pintunya 1007#. Aku lupa bilang pada Selena kalau kau datang dan sepertinya dijam segini dia ada di ruang olahraga” Hiriety menambahkan dengan nada santai.“Selena?”“Iya kau pasti akan senang bertemu dengannya, aku tutup telponnya ya kak, kita bicara dirumah saja”Matthias menghela napas, dia hendak bertanya lebih lanjut tapi adik kandungnya itu sudah memutuskan panggilan sebelum ia mendapat jawaban.Akhirnya, Matthias memasukkan kode yang diberik
Brak!!Selena bersandar di pintu kamarnya, menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar di kepalanya. Tubuhnya menempel pada pintu kayu yang dingin, tetapi jantungnya berdegup begitu cepat, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu.“Sialan! Matthias Walton sialan! Kenapa dia muncul dengan panampilan begitu!!! Astaga!! dia terlalu tampan untuk seseorang makhluk fana” gumam Selena lirih.Di pukul pelan pipinya dengan kedua tangan hingga wajahnya yang memerah semakin terasa panas. “Tarik napas, Selena. Kau bukan remaja belasan tahun lagi. Kau perempuan dewasa, usiamu sudah 22 tahun Selena, sadarlah!! Pria tampan bukan hanya Matthias saja. Ingat kekasihmu!!” doktrinnyaSelena menggelengkan kepalanya keras-keras, seolah mencoba mengusir bayangan Matthias yang terus menghantui pikirannya. Ia berjalan ke meja rias dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya me
“Kakak tinggal disini saja”DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli“H
“Selena Sayang”“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
“Selena Sayang”“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia
“Kakak tinggal disini saja”DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli“H
Brak!!Selena bersandar di pintu kamarnya, menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar di kepalanya. Tubuhnya menempel pada pintu kayu yang dingin, tetapi jantungnya berdegup begitu cepat, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu.“Sialan! Matthias Walton sialan! Kenapa dia muncul dengan panampilan begitu!!! Astaga!! dia terlalu tampan untuk seseorang makhluk fana” gumam Selena lirih.Di pukul pelan pipinya dengan kedua tangan hingga wajahnya yang memerah semakin terasa panas. “Tarik napas, Selena. Kau bukan remaja belasan tahun lagi. Kau perempuan dewasa, usiamu sudah 22 tahun Selena, sadarlah!! Pria tampan bukan hanya Matthias saja. Ingat kekasihmu!!” doktrinnyaSelena menggelengkan kepalanya keras-keras, seolah mencoba mengusir bayangan Matthias yang terus menghantui pikirannya. Ia berjalan ke meja rias dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya me
Matthias menekan tombol bel untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dengan kesabaran yang mulai terkikis, ia mengeluarkan ponselnya. Menghubungi adik perempuannya yang sejak tadi tak kunjung membukakan pintu“Buka pintunya" Ucap Matthias tanpa basa basi dengan nada datarnya begitu panggilan terhubung“Oh, kau sudah sampai, kak?”“Cepat buka pintunya sebelum aku marah padamu, Hiri" Matthias menjawab sambil melirik pintu yang tetap tertutup rapat di depannya“Emm ini, aku sedang di luar. Ada urusan mendadak. Masuk saja, password pintunya 1007#. Aku lupa bilang pada Selena kalau kau datang dan sepertinya dijam segini dia ada di ruang olahraga” Hiriety menambahkan dengan nada santai.“Selena?”“Iya kau pasti akan senang bertemu dengannya, aku tutup telponnya ya kak, kita bicara dirumah saja”Matthias menghela napas, dia hendak bertanya lebih lanjut tapi adik kandungnya itu sudah memutuskan panggilan sebelum ia mendapat jawaban.Akhirnya, Matthias memasukkan kode yang diberik