Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."
“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.
“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya.
"Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena
“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemooh
Matthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya
“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matthias "Aku merasa tak perlu menjelaskan apapun padamu, dia kekasihku dan kau tahu itu" jawabnya dengan suara tak kalah datar, meskipun hatinya berdebar ketika Matthias terus maju dan memojokkannya
“Oh ya?” Suara Matthias menggantung, tajam seperti pisau yang mengiris keheningan di antara mereka. Dia berhenti hanya beberapa inci dari Selena, cukup dekat hingga dia bisa merasakan napas hangatnya
Sebelum Selena sempat mengatakan apa pun, Matthias sudah membungkuk, mengangkat tubuhnya dengan mudah.
"Matthias! Apa-apan kau! Keluar dari kamarku, sialan! Woy gila!" Selena meronta, tangannya memukul-mukul bahu pria itu. Namun Matthias tetap diam, wajahnya gelap dengan ekspresi keras yang tidak bisa diganggu gugat
Pria itu memaksanya masuk ke dalam kamar mandi, berjalan ke bawah pancuran dan dengan satu gerakan tajam, menyalakan air dingin. Selena terpekik saat semburan air dingin langsung membasahi tubuhnya, membuat bajunya melekat di kulit.
"Apa kau gila?!" teriak Selena, mencoba meraih keran untuk mematikan air, tapi Matthias menahannya di tempat. Air terus mengalir, membasahi mereka berdua. Matthias sama sekali tidak bergerak, hanya menatap Selena dengan intensitas yang membuatnya semakin gugup.
"Jawab aku" katanya pelan, suaranya nyaris terkubur oleh suara air yang mengalir, tapi penuh ancaman yang tidak bisa diabaikan. "Kau menciumnya?"
Selena menggigil, bukan hanya karena dinginnya air, tetapi juga karena tatapan Matthias yang menusuk. "Apa pentingnya bagimu, Matthias?" jawabnya, suaranya bergetar, meskipun dia mencoba terlihat kuat. "Apa yang aku lakukan bukan urusanmu!"
"Itu urusanku!" bentak Matthias, nadanya kasar, meski tangannya yang menahan Selena tetap lembut, memastikan dia tidak terjatuh
“Aku akan menembakmu jika kau macam-macam Matthias!” Selena berusaha untuk melawan, mengepalkan tangannya dengan keras, siap untuk bertindak. Matanya yang penuh amarah bertemu dengan tatapan Matthias yang tak bergeming, penuh kendali. Namun, Matthias tidak mengindahkan ancamannya..
Pria itu mundur selangkah, membiarkan Selena tetap berada dibawah pancuran air
“Bersihkan dirimu” perintah Matthias dengan suara rendah, namun penuh kuasa. “Aku tidak suka ada aroma lain pada milikku.”
“Apa yang kau maksud dengan itu?” suara Selena mulai terdengar tajam, penuh kekesalan. “Milikmu? Kau pikir aku seperti barang milikmu?”
Matthias memandangnya datar “Kau sudah mulai melupakan tempatmu, Princess?” tanyanya dengan tenang.
Selena menggigit bibirnya, berusaha menahan amarah yang semakin membara “Bajingan” umpatan itu terdengar pelan, mata Selena berair, dia merasa dilecehkan.
“Bersihkan dirimu. Sekarang!” bisiknya dengan nada tajam.
Rasa marah Selena memuncak. “Kau benar-benar keterlaluan!” ujarnya “Keluar sana!” usirnya, meski tidak ada niat untuk benar-benar mengikuti perintah Matthias untuk membersihkan diri
Matthias menatapnya satu detik lagi, matanya menyiratkan ketegasan yang tak terbantahkan, sebelum akhirnya berjalan keluar dari kamar mandi.
“Ck Bastard! Bajingan sialan! Terkutuklah kau Matthias Walton!” Makian itu terlontar dengan ringannya saat Selena berdiri beberapa saat di bawah aliran air. Tubuhnya terasa kaku, pikirannya bergejolak antara amarah dan kebingungannya atas perlakuan Matthias. Pria itu memang berubah, tapi perubahannya justru membuat Selena lebih sengsara dibanding masa kecil mereka “Aku sungguh tak suka dia!”
Setelah beberapa saat, Selena akhirnya menutup kran air dan keluar dari kamar mandi, merasa lelah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Dia membungkus tubuhnya dengan handuk, mengusap tubuh dengan gerakan lambat, seolah mencari ketenangan di tengah kekacauan yang terjadi. Untunglah Matthias sudah tak ada di kamarnya, jadi dia bisa menghela napas lega untuk sejenak.
Selena tak mau keluar dari kamar. Suasana tegang yang dipicu oleh Matthias masih terasa di sekelilingnya, tetapi rasa lapar yang datang tak bisa diabaikan. Akhirnya, dengan langkah ragu, dia membuka pintu kamar dan keluar.
Saat ia melangkah ke dapur, pandangannya langsung tertuju pada Matthias yang sedang sibuk memasak di atas kompor. Sungguh pemandangan langka jika dibandingkan dengan kelakuan pria itu beberapa saat lalu
‘Andai dia memiliki sikap gentle sedikit saja, mungkin aku bisa lupa dengan kejadian dulu’ batin Selena
“Kemarilah” panggil Matthias tanpa menoleh.
Selena tetap diam, tak bergerak atau bahkan bersuara. Ia menatap Matthias yang masih memotong sayuran tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaannya.
Matthias akhirnya mengangkat wajahnya, menangkap pandangan Selena. “Kemari Selena” panggilnya lagi.
“Tidak mau” tolak Selena cepat
Netra abu itu menghunus tajam, menatap Selena yang berdiri di perbatasan antara dapur dan ruang tamu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia melangkah cepat menuju Selena, lalu dalam gerakan yang begitu tiba-tiba, Matthias mengangkat tubuh Selena dengan mudah dan menempatkannya di meja pantry yang ada di dapur.
"Hey!" Selena terkejut dan mencoba melawan, tangannya mendorong dada Matthias, namun tidak banyak berarti. "Bisa tidak berikan aba-aba sebelum mengangkatku!"
“Kau lebih baik duduk dan tenang. Aku akan menyelesaikan ini” katanya, suaranya rendah namun penuh kekuasaan.
Selena mengernyitkan dahi, mencoba meronta, tapi semakin melawan, semakin kuat cengkeraman Matthias. Dia duduk dengan paksa di meja pantry, tepat disamping Matthias yang memasak
“Kau memang keterlaluan” ujarnya dengan nada kesal, meskipun dia tahu Matthias tidak akan peduli "Kau tahu, kau tidak perlu bersikap seperti ini."
Matthias menoleh sekilas ke arahnya, ekspresinya tetap datar, tapi ada tatapan tajam yang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Aku melakukan ini karena kau mulai melupakan tempatmu, Selena. Jangan buat aku mengulangnya" katanya dengan suara serak, penuh ancaman yang samar namun terasa nyata.
Selena mengernyitkan dahi, mencoba menenangkan diri. Suasana di dapur semakin terasa panas, seolah-olah setiap detik yang berlalu semakin menambah ketegangan yang mengikat dirinya dan Matthias.
“Buka mulutmu” titahnya
Selena menghela napas, menahan dorongan untuk melontarkan komentar tajam dan membuka mulut saat Matthias menyendokan Risotto padanya
Selena merasa risotto yang masuk ke mulutnya memiliki rasa yang luar biasa, meskipun situasi saat ini membuatnya sulit untuk menikmatinya sepenuhnya. Dia mengunyah perlahan, mencoba mengalihkan perhatian dari tatapan Matthias yang masih mengawasinya dengan intensitas yang membuatnya tak nyaman.
“Enak, kan?” tanya Matthias, suaranya sedikit lebih lembut, tapi tetap dengan nada yang membuat Selena merasa seperti sedang diuji.
Selena mengangguk tipis, meski enggan mengakui. “Lumayan” jawabnya singkat, sambil meneguk air untuk menyembunyikan wajahnya.
Matthias tertawa kecil, namun nada tawanya mengandung kepuasan. “Syukurlah, tak sia-sia aku mempelajari resep ini, Aunty Lumia bilang kau paling suka Risotto”
Selena tak tahu harus merespon seperti apa, perubahan pria itu terlalu mendadak "Emm.. Hiri belum pulang?" Selena bertanya, berusaha mengalihkan pembicaraan agar dirinya tidak terlalu terpancing emosi. Suaranya terdengar lebih ringan dari sebelumnya, meskipun hati kecilnya berdebar.
"Dia tak pulang malam ini" jawab Matthias sambil melanjutkan memotong jamur untuk ia tumis dengan tangannya yang terampil.
"Huh?" Selena merespon dengan kebingungan. Pikiran di benaknya mulai berputar, mencoba mengonfirmasi apa yang baru saja dia dengar.
"Dia akan kembali besok" Matthias menambahkan dengan santai, seolah-olah itu adalah hal yang biasa saja. Suaranya begitu tenang, tidak ada tanda-tanda bahwa dia menyadari betapa tidak nyamannya Selena saat ini
Seketika, gelombang kekhawatiran menerjang benak Selena.
Tunggu sebentar, apa ini berarti dia hanya akan tinggal berdua dengan Matthias malam ini? Tidak mungkin! Dia tidak ingin terjebak dalam situasi seperti ini, terutama setelah apa yang baru saja terjadi diantara mereka.
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Selena tertidur saat jam mulai menujukan pukul 01.10 dini hari. Meskipun sesekali dia terbangun karena suara-suara samar di luar namun tubuhnya yang kelelahan tidak mampu melawan rasa kantuk yang terus menariknya ke alam mimpi.Cahaya bulan menembus tirai tipis, menerangi kamar yang kini dipenuhi keheningan malam. Sayangnya, keheningan itu tidak bertahan lama.Di luar balkon, bayangan gelap bergerak dengan hati-hati. Matthias, dengan tubuh tegap dan gerakan penuh kehati-hatian, berhasil membuka pintu geser balkon yang ternyata tidak terkunci dengan sempurna.Dia masuk ke kamar Selena tanpa suara, langkahnya begitu tenang hingga hampir seperti bayangan yang meluncur di lantai. Selena lupa satu hal—lokasi kamar tamu dan kamarnya yang bersebelahan, memudahkan Matthias untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa terdeteksi.Matthias berhenti di tengah kamar, matanya mengamati meja rias yang Selena geser untuk mengganjal pintu. Senyum geli terl
“Selena cantik, aku suka” katanya dengan suara yang jernih dan penuh kepolosanSelena, yang masih berusia 7 tahun, langsung merasa pipinya memanas. Wajahnya yang imut memerah seketika, membuatnya terlihat semakin malu dan lucu. Dia sedikit menundukkan kepala, lalu dengan suara pelan tapi penuh kejujuran, dia berkata, “Matthias juga tampan, Selena suka.”Gadis kecil itu masih menatap Matthias dengan pandangan yang jujur, tanpa ada rasa malu yang dipahami sepenuhnya. Bagi Selena, segala hal yang datang dari Matthias adalah sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Matthias, yang tampaknya sedikit terkejut dengan respons tersebut, hanya tertawa ringan.“Selena mau jadi punya aku?”Malu-malu Selena mengangguk“Terima kasih, Selena” jawab Matthias dengan senyum bahagianya. Saat itu Selena tidak sepenuhnya mengerti dampak dari kata-katanya pada bocah lelaki 11 tahun itu.“HAH!&r
Hiriety kembali ke meja makan dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih berantakan akibat percakapan singkat dengan Matthias. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun Selena menatapnya dengan sedikit curiga."Semua baik-baik saja?" tanya Selena, menyendok sisa makanannya sambil tetap memperhatikan Hiriety."Ya, hanya urusan kecil, kakakku bilang dia ketinggalan sesuatu" jawab Hiriety sambil mengibaskan tangan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil segelas air, menyesapnya perlahan, lalu menatap Selena dengan senyum tipis. "Ngomong-ngomong, kita punya kelas yang sama jam satu nanti."Selena mengangkat alis. "Kelas apa?"“Branding strategy" jawab Hiriety, sambil menghela napas kecil. "Kau mungkin lupa karena aku jarang muncul di kelas. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk hadir."Selena menyeringai kecil, tidak benar-benar percaya. "Apa yang membuatmu tiba-tiba rajin?"Hiriety terkekeh. "Kudengar ada dosen p
Ketika kelas selesai, Selena dan Hiriety bergegas berkemas. Namun, sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, seorang pria dengan jaket denim masuk ke dalam kelas“Mark? Kenapa kesini?” Tanya Selena heran namun tak ayal dia senang dengan kedatangan kekasihnya ituMark berdiri di depan Selena dengan senyum tipis. Matanya melirik Hiriety sejenak sebelum kembali ke Selena.“Aku merindukanmu” ucapnya memeluk Selena, mengabaikkan ekspresi muak Hiriety yang sengaja ditunjukan hanya pada MarkSelena tersenyum tipis, membalas pelukan Mark dengan lembut. Namun, dia segera melepaskannya, menyadari tatapan tajam Hiriety yang penuh sindiran.“Hiriety ada di sini” bisik Selena, mencoba mengingatkan Mark agar sedikit menjaga sikap.“Aku tahu” jawab Mark santai, melirik Hiriety dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Hei, Hiriety. Kau tak keberatan, kan?”Hiriety mendengus pelan, melipat
Mark mengantarkan Selena pulang ke apartemennya setelah makan malam. Mobilnya terparkir rapi di basement, suasana parkiran cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang tersusun rapi. Mereka berdua keluar dari mobil, langkah mereka bergema di lantai beton saat mereka menuju lift.Selena menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka dengan bunyi halus. Mereka masuk ke dalam, dan Selena menekan angka lantai unit apartemennya. Perjalanan naik lift berlangsung hening, hanya ditemani suara mesin yang samar. Mark berdiri di samping Selena, satu tangannya menggenggam tangan Selena dan sebelahnya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak sedikit ragu.Ketika pintu lift terbuka di lantai apartemen Selena, ia melangkah keluar lebih dulu, namun berhenti sejenak di depan pintu unitnya. Ia menoleh pada Mark dengan senyuman kecil."Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang" katanya.Mark tersenyum, tetapi tak langsung beranjak pergi. Ia menggaruk tengkuknya, seo
“Selena stop! kau sudah minum cukup banyak" Elsa, salah satu teman satu jurusannya itu memperingatkan dengan cemas.Jika boleh jujur, sebenarnya Elsa agak menyesal mengajak Selena bergabung dengannya. Niat awalnya adalah untuk membuat Selena santai setelah wanita itu datang ke klub sambil memaki namun sekarang, Selena justru nampak semakin depresi“Kau ada masalah dengan Mark?” tanya Giselle mencoba menebak alasan dibalik frustasi Selena"Tidak ada" jawab Selena, mencoba tersenyum meskipun suaranya mulai terdistorsi sedikit.“Masalah dengan Hiriety?” Laura lanjut bertanya“Tak mungkin lah” Jawab Elsa cepatSemua orang di Polietecnico tahu bagaimana dekatnya kedua putri dari keluarga berpengaruh itu“lalu kenapa lagi? Jarang sekali aku lihat Selena seperti ini” Giselle berucap sambil menyesap vodka-nya“ingin cerita Sel?” tanya LauraSelena menggeleng pelan
“Ayo pulang” ulang Matthias dengan nada datar namun penuh otoritas, seolah keputusan itu tidak dapat dibantah.Selena menelan ludah, darahnya berdesir di bawah tatapan Matthias yang seolah menembus dirinya. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya terasa ringan saat Matthias dengan mudah mengangkatnya, seolah-olah ia tidak lebih berat dari boneka kain. Tangan Matthias mencengkram pinggangnya dengan kuat, sementara tangan yang lain dengan santai meraih tasnya yang tergeletak di meja.“Matthias! Apa yang kau lakukan?!” Selena berusaha meronta, tinjunya menghantam dada pria itu tanpa hasil. Matthias bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh, melanjutkan langkahnya dengan tenang menuju pintu keluar.“Bill kalian sudah kubayar” ucap Matthias sambil melirik ke arah teman-teman Selena yang masih duduk tertegun.“A… ah, ya, terima kasih…” sahut Elsa dengan suara lemah, sementara kedua teman lainnya h
“Hanya segini?” Tanya Matthias dengan tatapan tajamnyaAlesio terkekeh “Memangnya kau berharap berapa banyak?”Matthias menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya menyipit menatap dokumen di tangannya. “Aku berharap lebih dari ini, Kingston. Kau tahu berapa banyak jaringan yang sudah kita bongkar.”Alesio mengangkat bahu dengan santai, mengambil gelasnya dan menyesap anggur merahnya sebelum berbicara. “Jangan serakah, Walton. Ini bukan hanya tentang seberapa banyak yang kita temukan, tapi seberapa dalam kita bisa menelusurinya.”Matthias mengetukkan jarinya ke meja, pikirannya jelas bekerja. “Jadi, kau pikir ini masih permukaan?”Alesio menyeringai kecil. “Kita berurusan dengan orang-orang yang lebih licik dari yang kita kira. Jika ini mudah, kau dan aku sudah menyelesaikannya sejak lama.”Matthias mendecakkan lidahnya, lalu menutup dokumen itu. “Baiklah. Aku aka
Alesio Kingston, pria itu sempat menghebohkan media dengan pernikahaanya dengan seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Terlebih saat itu ada rumor yang mengatakan jika Alesio merebut wanita yang sudah memiliki tunangan“Ini istriku, Alana” Alesio mengenalkan sang istri yang sedang hamil besar pada Selena“Hallo” Suara halus itu terdengar dari Alana dan Selena mengerti kenapa sosok seperti Alesio bisa menjatuhkan hati pada perempuan ini“Aku Selena” Selena mengenalkan dirinya dengan sangat ramah“Tunanganku” Matthias menambahkan dengan seringai sombongAlana tersenyum hangat, matanya berbinar saat mendengar perkenalan dari Matthias. "Senang bertemu denganmu, Selena. Aku harap kau bisa menikmati pesta ini."Selena membalas senyuman itu. "Terima kasih, dan selamat atas kehamilanmu. Aku yakin Alesio pasti sangat menjagamu."Alesio tertawa kecil, melingkarkan lengannya di pinggang Alana deng
“Princess” Panggil MatthiasSelena yang sedang duduk dan menonton menatap pria itu lekat “Ada apa?” Tanya Selena“Mau ikut denganku malam ini?” TanyanyaSelena terdiam, mempertimbangkan tawaran Matthias. Sejujurnya, ia tidak ingin sendirian di apartemen ini malam ini. Terlebih dirinya juga tak mau jauh dari Matthias“Kemana kita akan pergi?”Matthias menyeringai kecil, lalu duduk di sampingnya. “Aku ada undangan pesta dari keluarga Kingston. Aku ingin kau ikut denganku.”“Kingston? Alesio Kingston?”“Hmm”Selena mengangkat alisnya, jelas terkejut. "Sejak kapan kau bergaul dengan keluarga Kingston?"Matthias terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di punggung sofa, membuatnya semakin dekat dengan Selena. "Bukan bergaul, Princess. Hanya urusan bisnis. Kau tahu jika mereka juga memiliki maskapai penerbangan kan?”Selena mengangguk
“Shh... hisap yang kuat Princess”Mulut Selena terasa kaku, begitupun dengan tangannya. Nyatanya menghibur Matthias dengan mulut dan tangannya tak juga membuat Matthias puas. Andai bulanan Selena sudah selesai, dia pasti akan lebih memilih melebarkan kakinya daripada mulutnya“Terus Princess..”Benda Matthias didalam mulut Selena terasa membesar dan mengeluarkan cairan yang membuat Selena masih merasa aneh“Hah...” Selena menghela napas panjang, ada hawa panas dari semburan lahar Matthias di mulutnya “Rasanya aneh, tapi lebih baik dari yang sebelumnya” gumum SelenaMatthias terkekeh “Aku belum selesai marah padamu, Princess”“Ckk.. ayolah. Kenapa kau terus mencari kesempatan?” Selena bangkit, memposisikan diri di pelukan Matthias yang terbaring di ranjang sejak tadi“Aku menasehati agar kau—“Suara Matthias perlahan lenyap dipendangaran Se
Matthias marah. Itu jelas.Sejak mereka meninggalkan pulau itu, pria itu bahkan tidak menatapnya. Di kapal, Matthias hanya berdiri di buritan dengan tangan terlipat di dada, matanya terpaku pada lautan seolah-olah dia bisa melampiaskan amarahnya pada ombak.Di dalam mobil, suasana semakin menegangkan. Matthias duduk di sampingnya, tetapi jaraknya seperti sejauh benua. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas pahanya, dan napasnya terdengar berat—tanda-tanda khas kalau dia sedang menahan diri agar tidak meledak.Selena meliriknya sekilas, lalu mendesah pelan."Apa kau akan diam saja sepanjang perjalanan?" tanyanya akhirnya.Tidak ada jawaban. Matthias bahkan tidak bergerak.Selena menggigit bibirnya, mencoba menahan senyum geli meskipun tahu situasinya serius. Matthias yang marah memang berbahaya… tapi Matthias yang merajuk? Itu sesuatu yang jarang terjadi.Dia menggeser tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. "
"Tunanganku sudah datang."Selena terkekeh pelan, dia melangkah mundur, menjaga jarak dari NateNate masih menatapnya dengan rahang mengatup rapat. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini menyiratkan keterkejutan dan… kemarahan.“Kau pikir ini sudah selesai?” suaranya rendah, berbahaya.Selena mengangkat bahu, senyum tipis masih menghiasi bibirnya. “Kuharap begitu” Jawab Selena ringanDi luar, suara ledakan lain mengguncang tanah, membuat bangunan bergetar. Para anak buah Nate berlarian dalam kekacauan, beberapa mengangkat senjata, sementara yang lain berteriak mencari perlindungan.Selena menoleh kembali ke Nate yang kini menggertakkan giginya, tinjunya mengepal erat. Pria itu memang cerdas, licik, dan penuh perhitungan, tapi kali ini—dia kalah langkah.Langkahnya untuk mengambil Selena, wanita yang dicintainya sudah salah.Nate menghela napas berat, tatapannya gelap saat melihat Sele
Matthias menatap Hirerty dengan mata abu tajamnya“Kenapa kau tak mengatakan apa-apa?!” TuntutnyaHiriety terkekeh ringan “Salahmu yang tak bertanya”“Demi Tuhan Hirie!! Kau dan Selana merancakan hal seperti berbahaya seperti ini tanpa memberitahuku?!!” suaranya rendah dan penuh kemarahan yang ditahanMatthias menggeram, mengepalkan tinjunya dengan erat. Napasnya masih memburu setelah serangan mendadak yang baru saja terjadi."Kau tahu seberapa bahayanya ini, tapi kau malah membiarkan Selena pergi begitu saja?!"Hiriety menyandarkan dirinya ke dinding dengan santai, ekspresi wajahnya menunjukkan seolah ini bukan masalah besar. "Aku tidak membiarkan dia pergi begitu saja, Matthias" ujarnya, menyilangkan tangan di dada. "Selena dan aku sudah merencanakannya sejak awal."Matthias mengusap wajahnya kasar "Jelaskan semuanya. Sekarang."Hiriety terkekeh “ternyata akting Selena hebat juga samp
"Selamat datang di rumahku" pria itu berkata dengan nada tenang namun berwibawa.Selena tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Rumah? Ini lebih mirip markas tersembunyi bagi orang-orang seperti mereka—sebuah bangunan besar dengan arsitektur megah namun memiliki aura kelam dan dingin.Stevan mendorong punggung Selena dengan lembut, membuatnya berjalan mengikuti pria itu masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu besar yang dijaga ketat oleh pria-pria bersenjata, Selena semakin merasa tidak nyaman.Interior rumah itu dipenuhi marmer hitam dengan lampu gantung yang memberikan cahaya remang. Ada aroma khas—sesuatu yang mahal, bercampur dengan bau samar cerutu.Pria yang dipanggil 'Boss' itu melangkah santai menuju sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap ke laut. Dia berbalik, menatap Selena dengan senyum tipis."Aku harus mengakui" katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Aku tid
"Bodoh! Bisa-bisanya pengawal seperti kalian kehilangan wanitaku" Matthias menghajar dua pria yang ditugaskannya sebagai pengawal SelenaMatthias tidak menahan amarahnya. Tinju kerasnya menghantam wajah salah satu pengawal, membuat pria itu jatuh tersungkur ke lantai dengan darah mengalir dari sudut bibirnya.Satu pria lagi mencoba berbicara, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, pukulan Matthias yang berikutnya mendarat tepat di rahangnya, membuatnya terhuyung ke belakang."Bodoh!" geram Matthias. Napasnya berat, matanya berkilat dengan kemarahan yang begitu pekat. "Kalian hanya punya satu tugas—mengawasi Selena! Dan kalian bahkan tidak bisa melakukan itu?!"Kedua pria itu tidak berani membela diri. Mereka tahu bahwa kesalahan seperti ini tidak bisa dimaafkan.Halland berdiri di sisi ruangan, tidak ikut campur. Dia tahu jika Matthias sedang seperti ini, lebih baik membiarkannya melampiaskan amarah dulu sebelum berbicara logis.Matt