“Selena Sayang”
“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.
Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”
“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”
Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”
Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.
Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia menarik diri dari ciuman itu, menatapnya dengan senyum tipis, khawatir melukai kekasihnya itu karena penolakannya “Ini masih dikampus” Alasan itulah yang Selena lontarkan pada Mark
Mark menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Selena. “Aku mengerti. Maaf kalau aku membuatmu merasa tidak nyaman.”
Selena tersenyum kecil, mengelus punggung tangan Mark. “Aku hanya ingin kita tetap menghormati satu sama lain, Mark. Itu saja.”
Mark meraih tangan Selena dan mengecupnya “Aku mencintaimu”
“Aku tahu” Balas Selena
Mobil itu bergerak menuju salah satu restoran favorit keduanya. Rutinitas Mark jika dia memiliki waktu untuk menjemput Selena setelah kuliah kekasihnya itu selesai
“Yakin tak mau jalan dulu?” tanya Mark
Di basement parkir yang temaram, Mark mematikan mesin mobil. Selena menghela napas, mengamati suasana sekitar sebelum mengambil tasnya.
“Aku ingin istirahat saja” Tolak Selena. Pandangannya terpaku pada sebuah mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka.
Disana, Matthias bersandar santai pada mobilnya, dengan rokok menyala di tangan. Asapnya melayang perlahan, kontras dengan tatapan tajam pria itu yang terarah langsung ke mereka.
“Hmm ya sudah, beristirahatlah” Mark mengangguk sambil mengusap pipi Selena, lalu keluar dari mobil untuk membukakan pintu bagi Selena.
“Aku antar sampai depan unitmu” Ucap Mark
“Iya” Selena tak membantah. Dia khawatir karena merasakan tatapan Matthias yang mengikutinya, seperti sebuah bayangan yang tak bisa dia abaikan. Matthias tidak mengatakan apa-apa, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang kuat: dia ada disana, dan dia memperhatikan.
“Kau kenal pria itu?” tanya Mark
“Emm dia kakak Hiriety, sepertinya dia menunggu Hiri” Jawab Selena, dia tak mengatakan jika pria itu akan tinggal seminggu di unitnya
“Oh, berarti kau kenal dengannya? Tatapannya seperti membenci kita”
“Entahlah, aku juga tak paham” Selena berbohong, memaksa senyum tipis.
Matthias mengangkat alis, sedikit menyeringai sambil membuang puntung rokoknya ke lantai dan menginjaknya. Gerakannya lambat, hampir seolah-olah dia menikmati situasi itu. Dia tidak bergerak mendekat, tapi tatapan intensnya cukup untuk membuat Selena merasa terpojok.
“Ayo masuk. Aku tidak mau berlama-lama di sini.”
Saat Selena berjalan menuju lift bersama Mark, dia mencoba mengabaikan rasa gelisah yang merayap di dalam dirinya. Namun, di dalam lift, dia tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke arah basement. Matthias sudah tidak terlihat, tapi perasaan terancam itu masih melekat.
Mark, yang tampaknya tidak terlalu memikirkan kejadian tadi, meraih tangan Selena lagi. “Kalau ada apa-apa, bilang padaku, oke?”
Selena tersenyum tipis, meski hatinya masih tak tenang. “Tentu. Terima kasih, Mark.”
Setelah mengantarkan Selena ke apartemennya, Mark kembali memasuki lift dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan ekspresi yang sudah tidak sabar. Ia mengeluarkan ponselnya dan langsung menelpon salah satu simpanannya.
"Hallo" suara lembut wanita itu terdengar dari ujung telepon. "Ada apa, honey?"
“Temui aku di tempat biasa satu jam dari sekarang” Ucap Mark pada wanita selingkuhannya
"Tanpa masalah, Mark. Aku siap" jawab wanita itu dengan nada menggoda
Pria itu menutup teleponnya dengan kasar, wajahnya memperlihatkan campuran frustrasi dan ketidaksabaran. Dia menekan tombol lift untuk turun ke basement, pikirannya penuh dengan amarah yang terpendam. Baginya, Selena terlalu keras kepala, selalu membuatnya merasa ditolak meskipun mereka sudah cukup lama bersama.
Saat lift tiba di basement, Mark melangkah keluar dan menuju mobilnya. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat seseorang di sudut basement yang redup. Pria yang tadi masih berdiri di sana, bersandar pada mobil mewahnya dengan rokok di tangan, memperhatikan Mark dengan tatapan dingin.
Mark mengangkat alis, merasa terganggu oleh keberadaan pria itu. “Kau lagi?” tanyanya dengan nada tidak ramah.
Matthias menghembuskan asap rokoknya perlahan, senyuman kecil muncul di sudut bibirnya. “Kau terganggu dengan kehadiranku” entah itu pertanyaan atau pernyataan, hanya Matthias lah yang tahu arah ucapannya
“Kau kakak Hiriety kan?” Tanya Mark, melangkah ke arah mobilnya. “Kau menjadikan Hiriety alasan untuk menemui Selena?” Cecar Mark menuduh tepat sasaran
“Kau tahu jawabannya” jawab Matthias dengan nada tenang, matanya tetap mengikuti gerak-gerik Mark.
Mark menghentikan langkahnya, ekspresi marah tercipta disana. “Dia kekasihku. Kau tidak berhak padanya” Mark jelas paham arti tatapan Matthias saat dirinya dan Selena tiba tadi. Sebagai sesama pria, Mark tahu jika Matthias tak suka dirinya dekat dengan Selena
“Kau benar, dia pacarmu“ Matthias hanya menyeringai, tatapannya penuh sindiran. “Hanya karena aku mengizinkannya” kekehan ringan yang menyeramkan itu terdengar
Mark menggeram, tangannya mengepal erat. Kalimat Matthias barusan menusuk egonya. “Kau tidak punya hak untuk menentukan siapa yang bersamanya sialan!”
Matthias memiringkan kepala sedikit, tatapannya tetap santai “Oh, I guess you don't know the rules, dude” ucapnya pelan namun berat
Mark mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan. “Dengar! Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dari Selena, tapi dia tidak akan tertarik pada pria sepertimu. Ingat itu”
Matthias mematikan rokoknya, melangkah maju mendekati Mark. Tatapannya begitu dingin hingga membuat Mark sedikit mundur. “Aku memang tak mau menarik perhatiannya.” Matthias menjeda sejenak. Mata abu itu berkilat, menghantarkan kesan gelap yang kuat “Yang kuinginkan adalah dia”
Mark mendengus pelan, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang perlahan merayap dalam dirinya. “Kau gila.”
“Kau sadar juga ternyata” Matthias tersenyum kecil, tapi matanya tetap tajam. Dia mengambil pisau lipat kecil disakunya, menodongkan pisau itu hingga hampir tertancap pada paha Mark “Larilah darinya sebelum kubuat kau lumpuh karenanya”
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Selena tertidur saat jam mulai menujukan pukul 01.10 dini hari. Meskipun sesekali dia terbangun karena suara-suara samar di luar namun tubuhnya yang kelelahan tidak mampu melawan rasa kantuk yang terus menariknya ke alam mimpi.Cahaya bulan menembus tirai tipis, menerangi kamar yang kini dipenuhi keheningan malam. Sayangnya, keheningan itu tidak bertahan lama.Di luar balkon, bayangan gelap bergerak dengan hati-hati. Matthias, dengan tubuh tegap dan gerakan penuh kehati-hatian, berhasil membuka pintu geser balkon yang ternyata tidak terkunci dengan sempurna.Dia masuk ke kamar Selena tanpa suara, langkahnya begitu tenang hingga hampir seperti bayangan yang meluncur di lantai. Selena lupa satu hal—lokasi kamar tamu dan kamarnya yang bersebelahan, memudahkan Matthias untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa terdeteksi.Matthias berhenti di tengah kamar, matanya mengamati meja rias yang Selena geser untuk mengganjal pintu. Senyum geli terl
“Selena cantik, aku suka” katanya dengan suara yang jernih dan penuh kepolosanSelena, yang masih berusia 7 tahun, langsung merasa pipinya memanas. Wajahnya yang imut memerah seketika, membuatnya terlihat semakin malu dan lucu. Dia sedikit menundukkan kepala, lalu dengan suara pelan tapi penuh kejujuran, dia berkata, “Matthias juga tampan, Selena suka.”Gadis kecil itu masih menatap Matthias dengan pandangan yang jujur, tanpa ada rasa malu yang dipahami sepenuhnya. Bagi Selena, segala hal yang datang dari Matthias adalah sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Matthias, yang tampaknya sedikit terkejut dengan respons tersebut, hanya tertawa ringan.“Selena mau jadi punya aku?”Malu-malu Selena mengangguk“Terima kasih, Selena” jawab Matthias dengan senyum bahagianya. Saat itu Selena tidak sepenuhnya mengerti dampak dari kata-katanya pada bocah lelaki 11 tahun itu.“HAH!&r
Hiriety kembali ke meja makan dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih berantakan akibat percakapan singkat dengan Matthias. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun Selena menatapnya dengan sedikit curiga."Semua baik-baik saja?" tanya Selena, menyendok sisa makanannya sambil tetap memperhatikan Hiriety."Ya, hanya urusan kecil, kakakku bilang dia ketinggalan sesuatu" jawab Hiriety sambil mengibaskan tangan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil segelas air, menyesapnya perlahan, lalu menatap Selena dengan senyum tipis. "Ngomong-ngomong, kita punya kelas yang sama jam satu nanti."Selena mengangkat alis. "Kelas apa?"“Branding strategy" jawab Hiriety, sambil menghela napas kecil. "Kau mungkin lupa karena aku jarang muncul di kelas. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk hadir."Selena menyeringai kecil, tidak benar-benar percaya. "Apa yang membuatmu tiba-tiba rajin?"Hiriety terkekeh. "Kudengar ada dosen p
Ketika kelas selesai, Selena dan Hiriety bergegas berkemas. Namun, sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, seorang pria dengan jaket denim masuk ke dalam kelas“Mark? Kenapa kesini?” Tanya Selena heran namun tak ayal dia senang dengan kedatangan kekasihnya ituMark berdiri di depan Selena dengan senyum tipis. Matanya melirik Hiriety sejenak sebelum kembali ke Selena.“Aku merindukanmu” ucapnya memeluk Selena, mengabaikkan ekspresi muak Hiriety yang sengaja ditunjukan hanya pada MarkSelena tersenyum tipis, membalas pelukan Mark dengan lembut. Namun, dia segera melepaskannya, menyadari tatapan tajam Hiriety yang penuh sindiran.“Hiriety ada di sini” bisik Selena, mencoba mengingatkan Mark agar sedikit menjaga sikap.“Aku tahu” jawab Mark santai, melirik Hiriety dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Hei, Hiriety. Kau tak keberatan, kan?”Hiriety mendengus pelan, melipat
Mark mengantarkan Selena pulang ke apartemennya setelah makan malam. Mobilnya terparkir rapi di basement, suasana parkiran cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang tersusun rapi. Mereka berdua keluar dari mobil, langkah mereka bergema di lantai beton saat mereka menuju lift.Selena menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka dengan bunyi halus. Mereka masuk ke dalam, dan Selena menekan angka lantai unit apartemennya. Perjalanan naik lift berlangsung hening, hanya ditemani suara mesin yang samar. Mark berdiri di samping Selena, satu tangannya menggenggam tangan Selena dan sebelahnya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak sedikit ragu.Ketika pintu lift terbuka di lantai apartemen Selena, ia melangkah keluar lebih dulu, namun berhenti sejenak di depan pintu unitnya. Ia menoleh pada Mark dengan senyuman kecil."Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang" katanya.Mark tersenyum, tetapi tak langsung beranjak pergi. Ia menggaruk tengkuknya, seo
“Selena stop! kau sudah minum cukup banyak" Elsa, salah satu teman satu jurusannya itu memperingatkan dengan cemas.Jika boleh jujur, sebenarnya Elsa agak menyesal mengajak Selena bergabung dengannya. Niat awalnya adalah untuk membuat Selena santai setelah wanita itu datang ke klub sambil memaki namun sekarang, Selena justru nampak semakin depresi“Kau ada masalah dengan Mark?” tanya Giselle mencoba menebak alasan dibalik frustasi Selena"Tidak ada" jawab Selena, mencoba tersenyum meskipun suaranya mulai terdistorsi sedikit.“Masalah dengan Hiriety?” Laura lanjut bertanya“Tak mungkin lah” Jawab Elsa cepatSemua orang di Polietecnico tahu bagaimana dekatnya kedua putri dari keluarga berpengaruh itu“lalu kenapa lagi? Jarang sekali aku lihat Selena seperti ini” Giselle berucap sambil menyesap vodka-nya“ingin cerita Sel?” tanya LauraSelena menggeleng pelan
Selena membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, seolah ia baru saja terlelap setelah pertarungan panjang melawan pikirannya sendiri. Cahaya redup dari lampu di sudut ruangan memberikan kesan hangat yang anehnya menenangkan.Detik berikutnya, ia menyadari sesuatu—sesuatu yang membuat napasnya tertahan.Ada lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya, menariknya erat dalam kehangatan yang asing tapi familiar.Matthias.Selena menoleh perlahan, jantungnya mulai berdebar tak karuan saat melihat wajah Matthias begitu dekat dengannya. Pria itu tertidur, napasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang stabil. Ekspresinya jauh lebih tenang dibandingkan biasanya, tidak ada seringai tajam atau tatapan penuh intensitas yang selalu membuatnya gugup.Pikiran Selena berusaha mengingat bagaimana ia bisa berakhir di sini, di ranjang Matthias, dalam pelukan pria itu. Yang terakhir ia ingat, mereka berbicara tentang perlindungan, tentang a
"Kau tak mendapatkannya?" Suara itu dingin, penuh kemarahan yang tertahan.Pria itu berdiri di dalam ruangan remang-remang, menatap layar besar yang menampilkan siaran langsung dari kekacauan yang terjadi di pesta pertunangan Selena dan Matthias. Tangannya mengepal kuat, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri.Di hadapannya, seseorang berseragam hitam berlutut, kepalanya tertunduk dalam ketakutan. "Maafkan kami, Tuan. Caid Walton sudah mengantisipasi semuanya. Putranya membawa Selena pergi sebelum kami sempat menyentuhnya."Pria itu menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. Namun, matanya yang gelap bersinar penuh obsesi."Matthias Vercent Walton... kau pikir kau bisa memiliki Selena begitu saja?" gumamnya, suaranya bergetar oleh amarah yang mendidih.Dia berbalik, mengambil segelas anggur merah dari meja marmer di dekatnya, menyesapnya perlahan. Kemudian, dia menatap puluhan foto yang terbingkai rapi di atas meja—foto S
DOR!BUM...Selena hampir tidak bisa memproses apa yang baru saja terjadi. Sebuah ledakan dan suara tembakan yang sangat keras, suara tembakan yang seakan-akan mengoyak udara di sekitarnya.Tubuh Selena terlonjak, dan untuk sesaat dunia seakan berputar. Matanya membelalak, menatap Hiriety yang masih menggenggam tangannya dengan cengkeraman yang lebih kuat dari sebelumnya.Wajah Hiriety yang tadinya tampak acuh dan santai kini berubah menjadi ekspresi yang sulit diungkapkan. Ada kegilaan yang tersembunyi di balik senyumnya yang semakin lebar, dan itu adalah sesuatu yang membuat darah Selena terasa membeku.“Selamat datang di dunia kita, Selena...” suara Hiriety terdengar seperti bisikan yang penuh dengan makna yang tidak bisa dijelaskan, suara itu justru semakin menakutkan setelah suara tembakan itu.“Rie”Selena menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Dunia yang selama ini ia kenal, dunia yang ia anggap aman, k
Pesta pertunangan Selena tak bisa dikatakan sederhana, Selena sendiri tak yakin bagaimana mereka menyiapkan segalanya dengan cepat.Kurang dari dua hari sejak dia setuju untuk bertunangan dengan Matthias. Pesta mewah ini telah terselenggara dengan sempurna. Gaun putih gading yang membalut tubuhnya terasa begitu pas, seolah memang telah disiapkan khusus untuknya sejak lama. Namun, tidak ada yang terasa nyata bagi Selena—semua ini terjadi terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, hingga ia bahkan belum sempat memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.Kerumunan tamu berseliweran di aula besar yang dihiasi lampu kristal dan bunga-bunga mahal. Musik klasik mengalun lembut di latar belakang, melengkapi kemewahan malam ini. Semua orang yang hadir tampak bersuka cita, memberikan ucapan selamat seolah ini adalah perayaan yang memang dinantikan.Tapi Selena?Selena merasa seperti burung dalam sangkar emas.Matthias berdiri di sampingnya, tangan kekarnya melingk
Selama ini Matthias selalu bermimpi melakukan banyak hal pada Selena, Dia bahkan sudah segala cara untuk memastikan bahwa wanita itu tetap berada dalam genggamannya.Obsesi yang ia miliki terhadap Selena bukan sekadar keinginan sementara—itu adalah sesuatu yang mengalir dalam darahnya, sesuatu yang ia yakini sebagai bagian dari takdirnya.Dia telah melakukan banyak hal, beberapa di antaranya mungkin tidak bisa Selena terima jika ia tahu semuanya. Matthias selalu mengawasi, memastikan bahwa tidak ada satu pria pun yang bisa mendekati Selena lebih dari yang ia iz inkan. Ia menyingkirkan semua ancaman yang bisa menjauhkan wanita itu darinya—baik dengan cara halus maupun yang lebih… ekstrem.Dan sekarang, ketika Selena berada di pelukannya, nampak tak berdaya dan tak memiliki kuasa untuk menolaknya "Kau tahu sudah berapa lama aku menantikan momen ini, Princess?" Ia mengucapkan nama itu dengan kelembutan yang berbahayaSelena yang bersandar
Hiriety menghembuskan asap rokoknya dengan pelan, membiarkan aroma tembakau memenuhi udara sebelum perlahan menghilang tersapu angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya masih terpaku pada hamparan langit malam yang kelam, hanya diterangi bintang-bintang redup yang berserakan seperti kenangan yang dulu pernah ia tinggalkan di kamar ini.Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu, ia tak pernah menjejakkan kaki di kamar ini lagi. Namun, berkat rencana gila kakaknya, ia kini kembali. Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya—campuran antara nostalgia, kebingungan, dan ketidaknyamanan.Ia menghela napas, mematikan rokoknya di asbak yang ia ambil dari meja kecil di samping ranjang. Tangannya kemudian mengusap seprai berwarna biru tua yang terasa asing namun akrab di saat yang bersamaan.Di sudut ruangan, sebuah foto lama masih tergantung di dinding. Foto dirinya dan Selena, diambil saat mereka masih kecil, tertawa lepas dengan mata berbinar.
Dylan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan putrinya berdua dengan Matthias. Pintu tertutup dengan suara pelan, tetapi bagi Selena, itu terdengar seperti jeruji besi yang mengunci takdirnya di dalam ruangan ini.Keheningan menyelimuti mereka. Selena tetap duduk di kasurnya, sementara Matthias berdiri di sisi ruangan, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya gelap, intens, namun ada sesuatu di sana yang berbeda kali ini. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dominasi dan obsesi—sesuatu yang bahkan Selena sendiri tak yakin apakah ia ingin memahami atau justru ingin menjauh darinya.“Aku lelah, Matthias” Selena bersuara pelanMatthias tidak langsung merespons. Ia menatap Selena, matanya menyapu setiap lekuk wajahnya, seakan mencari sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.“Lelah karena apa?” tanyanya akhirnya, suaranya datar, namun di balik nada tenangnya ada ketegangan yang tersembunyi.Selena
“Selena sayang, kau salah paham” Dylan memeluk putrinya. Mungkin sejak awal cara didiknya agak salah karena membiarkan Selena hidup bak seorang putri. Selena selalu dimanja hingga dia tak mengerti bagaimana dunia ini berjalan“Kenapa kalian terus melakukan tindakan tak benar seperti ini? Daddy memiliki perusahaan yang besar, Paman Caid memiliki maskapai penerbangan tapi kenapa tetap melakukan bisnis kotor itu? Apa kalian sangat haus akan harta?” suara Selena bergetar, bukan karena takut, melainkan karena emosinya yang meluap-luap.“Kau tak akan pernah bisa mengerti Selena” Jawab Caid, ditatapnya lekat netra“Tentu aku tak bisa mengerti jika paman dan Daddy tak pernah menjelaskan apapun padaku. Sebenarnya kenapa kalian harus terus melakukan ini?” Tanya Selena dengan suara lirih, matanya berkaca-kaca dengan perasaan yang sulit dikontrolDylan melirik Caid. Disaat seperti ini dia hanya bisa menunggu sang Alpha
Selena terbangun dengan rasa bingung dan kecemasan yang melanda dirinya. Kepalanya terasa berat, seolah seluruh tubuhnya tertarik oleh gravitasi, dan ada sensasi yang aneh merambat di sekujur tubuhnya yang lemas.“Mom?” Gumam Selena bergumam dengan suara serak. Tubuhnya terasa berat, dan ia berusaha mengingat kembali bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Pikiran-pikirannya terasa kabur, seperti diselimuti kabut tebal.“Hai sayang, bagaimana kondisimu?” Lumia tersenyum tipis, diusapnya kepala putri tunggalnya itu penuh sayangDitatapnya wanita cantik yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring, itu ibunya, Lumia. “A-ku baik, tapi bagaimana-““Maaf ya sayang, Mom terlibat dengan semua ini” kata Lumia dengan nada yang penuh penyesalan, matanya tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang terkandung di dalamnya.Selena mengerutkan kening bingung “Apa maksudnya?” Tanya Selena tak paham.