“Selena Sayang”
“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.
Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”
“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”
Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”
Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.
Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia menarik diri dari ciuman itu, menatapnya dengan senyum tipis, khawatir melukai kekasihnya itu karena penolakannya “Ini masih dikampus” Alasan itulah yang Selena lontarkan pada Mark
Mark menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Selena. “Aku mengerti. Maaf kalau aku membuatmu merasa tidak nyaman.”
Selena tersenyum kecil, mengelus punggung tangan Mark. “Aku hanya ingin kita tetap menghormati satu sama lain, Mark. Itu saja.”
Mark meraih tangan Selena dan mengecupnya “Aku mencintaimu”
“Aku tahu” Balas Selena
Mobil itu bergerak menuju salah satu restoran favorit keduanya. Rutinitas Mark jika dia memiliki waktu untuk menjemput Selena setelah kuliah kekasihnya itu selesai
“Yakin tak mau jalan dulu?” tanya Mark
Di basement parkir yang temaram, Mark mematikan mesin mobil. Selena menghela napas, mengamati suasana sekitar sebelum mengambil tasnya.
“Aku ingin istirahat saja” Tolak Selena. Pandangannya terpaku pada sebuah mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka.
Disana, Matthias bersandar santai pada mobilnya, dengan rokok menyala di tangan. Asapnya melayang perlahan, kontras dengan tatapan tajam pria itu yang terarah langsung ke mereka.
“Hmm ya sudah, beristirahatlah” Mark mengangguk sambil mengusap pipi Selena, lalu keluar dari mobil untuk membukakan pintu bagi Selena.
“Aku antar sampai depan unitmu” Ucap Mark
“Iya” Selena tak membantah. Dia khawatir karena merasakan tatapan Matthias yang mengikutinya, seperti sebuah bayangan yang tak bisa dia abaikan. Matthias tidak mengatakan apa-apa, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk menyampaikan pesan yang kuat: dia ada disana, dan dia memperhatikan.
“Kau kenal pria itu?” tanya Mark
“Emm dia kakak Hiriety, sepertinya dia menunggu Hiri” Jawab Selena, dia tak mengatakan jika pria itu akan tinggal seminggu di unitnya
“Oh, berarti kau kenal dengannya? Tatapannya seperti membenci kita”
“Entahlah, aku juga tak paham” Selena berbohong, memaksa senyum tipis.
Matthias mengangkat alis, sedikit menyeringai sambil membuang puntung rokoknya ke lantai dan menginjaknya. Gerakannya lambat, hampir seolah-olah dia menikmati situasi itu. Dia tidak bergerak mendekat, tapi tatapan intensnya cukup untuk membuat Selena merasa terpojok.
“Ayo masuk. Aku tidak mau berlama-lama di sini.”
Saat Selena berjalan menuju lift bersama Mark, dia mencoba mengabaikan rasa gelisah yang merayap di dalam dirinya. Namun, di dalam lift, dia tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke arah basement. Matthias sudah tidak terlihat, tapi perasaan terancam itu masih melekat.
Mark, yang tampaknya tidak terlalu memikirkan kejadian tadi, meraih tangan Selena lagi. “Kalau ada apa-apa, bilang padaku, oke?”
Selena tersenyum tipis, meski hatinya masih tak tenang. “Tentu. Terima kasih, Mark.”
Setelah mengantarkan Selena ke apartemennya, Mark kembali memasuki lift dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan ekspresi yang sudah tidak sabar. Ia mengeluarkan ponselnya dan langsung menelpon salah satu simpanannya.
"Hallo" suara lembut wanita itu terdengar dari ujung telepon. "Ada apa, honey?"
“Temui aku di tempat biasa satu jam dari sekarang” Ucap Mark pada wanita selingkuhannya
"Tanpa masalah, Mark. Aku siap" jawab wanita itu dengan nada menggoda
Pria itu menutup teleponnya dengan kasar, wajahnya memperlihatkan campuran frustrasi dan ketidaksabaran. Dia menekan tombol lift untuk turun ke basement, pikirannya penuh dengan amarah yang terpendam. Baginya, Selena terlalu keras kepala, selalu membuatnya merasa ditolak meskipun mereka sudah cukup lama bersama.
Saat lift tiba di basement, Mark melangkah keluar dan menuju mobilnya. Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat seseorang di sudut basement yang redup. Pria yang tadi masih berdiri di sana, bersandar pada mobil mewahnya dengan rokok di tangan, memperhatikan Mark dengan tatapan dingin.
Mark mengangkat alis, merasa terganggu oleh keberadaan pria itu. “Kau lagi?” tanyanya dengan nada tidak ramah.
Matthias menghembuskan asap rokoknya perlahan, senyuman kecil muncul di sudut bibirnya. “Kau terganggu dengan kehadiranku” entah itu pertanyaan atau pernyataan, hanya Matthias lah yang tahu arah ucapannya
“Kau kakak Hiriety kan?” Tanya Mark, melangkah ke arah mobilnya. “Kau menjadikan Hiriety alasan untuk menemui Selena?” Cecar Mark menuduh tepat sasaran
“Kau tahu jawabannya” jawab Matthias dengan nada tenang, matanya tetap mengikuti gerak-gerik Mark.
Mark menghentikan langkahnya, ekspresi marah tercipta disana. “Dia kekasihku. Kau tidak berhak padanya” Mark jelas paham arti tatapan Matthias saat dirinya dan Selena tiba tadi. Sebagai sesama pria, Mark tahu jika Matthias tak suka dirinya dekat dengan Selena
“Kau benar, dia pacarmu“ Matthias hanya menyeringai, tatapannya penuh sindiran. “Hanya karena aku mengizinkannya” kekehan ringan yang menyeramkan itu terdengar
Mark menggeram, tangannya mengepal erat. Kalimat Matthias barusan menusuk egonya. “Kau tidak punya hak untuk menentukan siapa yang bersamanya sialan!”
Matthias memiringkan kepala sedikit, tatapannya tetap santai “Oh, I guess you don't know the rules, dude” ucapnya pelan namun berat
Mark mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak melayangkan pukulan. “Dengar! Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dari Selena, tapi dia tidak akan tertarik pada pria sepertimu. Ingat itu”
Matthias mematikan rokoknya, melangkah maju mendekati Mark. Tatapannya begitu dingin hingga membuat Mark sedikit mundur. “Aku memang tak mau menarik perhatiannya.” Matthias menjeda sejenak. Mata abu itu berkilat, menghantarkan kesan gelap yang kuat “Yang kuinginkan adalah dia”
Mark mendengus pelan, mencoba menyembunyikan rasa gelisah yang perlahan merayap dalam dirinya. “Kau gila.”
“Kau sadar juga ternyata” Matthias tersenyum kecil, tapi matanya tetap tajam. Dia mengambil pisau lipat kecil disakunya, menodongkan pisau itu hingga hampir tertancap pada paha Mark “Larilah darinya sebelum kubuat kau lumpuh karenanya”
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Matthias menekan tombol bel untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dengan kesabaran yang mulai terkikis, ia mengeluarkan ponselnya. Menghubungi adik perempuannya yang sejak tadi tak kunjung membukakan pintu“Buka pintunya" Ucap Matthias tanpa basa basi dengan nada datarnya begitu panggilan terhubung“Oh, kau sudah sampai, kak?”“Cepat buka pintunya sebelum aku marah padamu, Hiri" Matthias menjawab sambil melirik pintu yang tetap tertutup rapat di depannya“Emm ini, aku sedang di luar. Ada urusan mendadak. Masuk saja, password pintunya 1007#. Aku lupa bilang pada Selena kalau kau datang dan sepertinya dijam segini dia ada di ruang olahraga” Hiriety menambahkan dengan nada santai.“Selena?”“Iya kau pasti akan senang bertemu dengannya, aku tutup telponnya ya kak, kita bicara dirumah saja”Matthias menghela napas, dia hendak bertanya lebih lanjut tapi adik kandungnya itu sudah memutuskan panggilan sebelum ia mendapat jawaban.Akhirnya, Matthias memasukkan kode yang diberik
Brak!!Selena bersandar di pintu kamarnya, menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar di kepalanya. Tubuhnya menempel pada pintu kayu yang dingin, tetapi jantungnya berdegup begitu cepat, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu.“Sialan! Matthias Walton sialan! Kenapa dia muncul dengan panampilan begitu!!! Astaga!! dia terlalu tampan untuk seseorang makhluk fana” gumam Selena lirih.Di pukul pelan pipinya dengan kedua tangan hingga wajahnya yang memerah semakin terasa panas. “Tarik napas, Selena. Kau bukan remaja belasan tahun lagi. Kau perempuan dewasa, usiamu sudah 22 tahun Selena, sadarlah!! Pria tampan bukan hanya Matthias saja. Ingat kekasihmu!!” doktrinnyaSelena menggelengkan kepalanya keras-keras, seolah mencoba mengusir bayangan Matthias yang terus menghantui pikirannya. Ia berjalan ke meja rias dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya me
“Kakak tinggal disini saja”DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli“H
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
“Selena Sayang”“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia
“Kakak tinggal disini saja”DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli“H
Brak!!Selena bersandar di pintu kamarnya, menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar di kepalanya. Tubuhnya menempel pada pintu kayu yang dingin, tetapi jantungnya berdegup begitu cepat, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu.“Sialan! Matthias Walton sialan! Kenapa dia muncul dengan panampilan begitu!!! Astaga!! dia terlalu tampan untuk seseorang makhluk fana” gumam Selena lirih.Di pukul pelan pipinya dengan kedua tangan hingga wajahnya yang memerah semakin terasa panas. “Tarik napas, Selena. Kau bukan remaja belasan tahun lagi. Kau perempuan dewasa, usiamu sudah 22 tahun Selena, sadarlah!! Pria tampan bukan hanya Matthias saja. Ingat kekasihmu!!” doktrinnyaSelena menggelengkan kepalanya keras-keras, seolah mencoba mengusir bayangan Matthias yang terus menghantui pikirannya. Ia berjalan ke meja rias dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya me
Matthias menekan tombol bel untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dengan kesabaran yang mulai terkikis, ia mengeluarkan ponselnya. Menghubungi adik perempuannya yang sejak tadi tak kunjung membukakan pintu“Buka pintunya" Ucap Matthias tanpa basa basi dengan nada datarnya begitu panggilan terhubung“Oh, kau sudah sampai, kak?”“Cepat buka pintunya sebelum aku marah padamu, Hiri" Matthias menjawab sambil melirik pintu yang tetap tertutup rapat di depannya“Emm ini, aku sedang di luar. Ada urusan mendadak. Masuk saja, password pintunya 1007#. Aku lupa bilang pada Selena kalau kau datang dan sepertinya dijam segini dia ada di ruang olahraga” Hiriety menambahkan dengan nada santai.“Selena?”“Iya kau pasti akan senang bertemu dengannya, aku tutup telponnya ya kak, kita bicara dirumah saja”Matthias menghela napas, dia hendak bertanya lebih lanjut tapi adik kandungnya itu sudah memutuskan panggilan sebelum ia mendapat jawaban.Akhirnya, Matthias memasukkan kode yang diberik