“Kakak tinggal disini saja”
DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.
“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.
Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”
“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”
“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli
“Hiriety!” Selena menggeram. Ia merasa badai menerpa dirinya, ucapan sepihak Hiriety tentu membuat ekspresinya langsung menggelap “Fakta bahwa dia keluarga mu tidak berarti aku harus menerimanya tinggal di sini” Lanjut Selena, melipat tangan di dada, matanya melirik Matthias yang masih duduk santai dengan sikap tidak peduli.
“Kakak mau tinggal disini saja kan?” tanya Hiriety mengabaikan Selena
“Tentu, dengan senang hati” Matthias menjawab dengan senyum lebarnya
Selena terperangah, rasanya seperti menjadi pemeran figuran dari cerita keluarga cemara. Dia menatap Hiriety lekat namun Hiriety hanya tersenyum lebar, tampak tidak sedikit pun terpengaruh dengan kemarahan yang mulai terpantul di wajah Selena.
“Kalau begitu biar aku yang tinggal dihotel” putus Selena
“Tak boleh!” Hiriety menyahut cepat
Matthias terkekeh “Tenanglah, Princess” sela Matthias dengan nada santai, meletakkan cangkir kopinya yang tadi dia buat sendiri “Aku tidak terlalu merepotkan, kau tahu itu.”
“Kau tidak merepotkan?” Selena menatapnya tajam, nadanya penuh sindiran. “Kehadiranmu saja sudah seperti… badai tropis.”
“Oh berlebihan sekali” Sudut bibir Matthias terangkat, jelas dia sangat menikmati emosi yang tersampaikan dengan jelas pada wajah cantik itu
Hiriety memotong sebelum Selena bisa melanjutkan, suaranya memelas “Selena, jangan terlalu keras. Lagi pula, kak Matthias kan bukan orang asing. Matthias kakakku loh lagipula dia hanya akan tinggal seminggu.”
“Bahkan meskipun hanya sehari, kau tetap harus tanya pendapatku dulu” Selena tidak bisa menahan rasa frustrasinya. Ia sudah cukup berjuang dengan kehadiran Matthias sebelumnya, apalagi jika harus menghadapinya setiap hari selama seminggu penuh.
Matthias yang mendengar suara kesal Selena, hanya tertawa ringan, seolah merasa sudah memenangkan permainan kecil ini. “Aku hanya akan sibuk dengan urusanku. Kau bisa terus menghindariku kalau itu yang kau inginkan.”
“Sungguh tak tahu malu” Selena menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan diri untuk tidak membalas dengan kata-kata yang lebih tajam
“Aku hanya tahu apa yang aku inginkan” Matthias menjawab dengan penuh percaya diri, tatapannya tetap tenang, seolah tak terganggu sedikit pun oleh kekesalan Selena.
“Biarkan kakak ku disini ya Selena, aku tak tega jika harus membiarkannya di hotel” Hiriety kembali memelas. Matanya seperti anak anjing yang memohon dengan memelas dan Selena tahu jika tatapan Hiriety itu hanyalah akting belaka
Selama 3 tahun tinggal bersama, Hiriety bahkan tak pernah penasaran dengan aktivitas kakaknya sendiri dan sekarang, Hiriety bilang tak tega kakaknya itu tinggal di hotel?
“Yah Selena ya...? Aku akan menjadi patuh dan tak akan keluar malam lagi jika kau setuju” pinta Hiriety dengan wajah polosnya
Selena mendengus napas panjang. Dia penasaran kenapa Hiriety mendadak jadi pro pada Matthias
“Hanya seminggu” Selena akhirnya membuat keputusan “Kau bisa gunakan kamar tamu” lanjut Selena, mencoba membuat suasana lebih ringan.
Mata Hiriety berbinar “Terima kasih Selena. Tenang saja selama disini kakak ku akan memenuhi semua kebutuhan kita” Dia hampir melompat kegirangan, seolah kemenangan sudah di tangan. Selena hanya bisa menghela napas panjang, merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak ingin ia mainkan.
“Aku menghargai itu meskipun aku tak yakin kenapa aku perlu izinmu untuk tinggal di apartemen adikku” kekeh Matthias ringan
“Kami membeli apartemen ini berdua. Tentu Hiri perlu izinku jika ingin memasukan seorang tamu disini” Jawab Selena mencoba kembali bersikap mahal
Matthias mengangkat alis, menatap Selena dengan senyuman yang sepertinya tidak pernah hilang dari wajahnya. "Ah, jadi kau memang punya kontrol penuh di sini?" katanya dengan nada santai, tetapi ada sedikit godaan yang tersembunyi di balik suaranya. "Kau benar-benar tidak berubah, Princess."
Selena merasakan tubuhnya menegang, mencoba mengendalikan dirinya agar tidak menunjukkan kerentanannya. Ia membuang pandangannya ke arah lain, berusaha mengabaikan tatapan Matthias yang begitu intens
“Kalian bicara saja, aku punya kelas siang ini” pamit Selena tanpa menoleh, berharap dapat menjauh dari ketegangan yang terbangun di ruang tamu. Matthias terus menatap Selena hingga wanita itu menghilang dibalik pintu, sementara Hiriety melambaikan tangan ke arah Selena dengan ceria.
Setelah Selena benar-benar pergi dengan setelan kampusnya, suasana dalam ruang tamu yang diisi oleh kakak beradik itu langsung menjadi berat
“Sudah selesai, kan?” Tanya Hiriety malas sambil menatap kakaknya. Ekspresi ceria yang ia tunjukkan sebelumnya lenyap seperti embun yang menguap. Wajahnya berubah datar, dingin seperti tak pernah ada gadis dengan wajah memelas itu
Matthias menyeringai kecil “Aku tak tahu kalau adikku bisa berakting sebagus itu”
“Jangan bercanda. Aku melakukannya hanya karena kau janji akan memberikan jet pribadimu padaku. Kalau bukan karena itu, tak sudi aku terjebak satu atap denganmu” balas Hiriety sinis, melipat tangan di depan dada.
Matthias tertawa kecil, kini kakinya terangkat menumpu pada meja. “Apa bajingan tengik itu masih jadi kekasih Selena?”
Hiriety menatap kakaknya sekilas “Menurutmu? Kau kan selalu punya mata-mata.”
Matthias tersenyum tipis. “Aku ingin mereka putus.” Ucapnya
“Wah, makin lama kau makin kacau saja kak” Sindirnya sambil menggeleng. Sebuah senyum sarkastis tersungging di bibirnya. “Tapi aku tidak akan membantumu lebih dari ini. Kau lakukan saja sendiri”
Matthias mencondongkan tubuh, tatapannya tajam dan datar “Buat mereka putus, atau aku bekukan semua kartumu.”
“Eh? Pilihan macam apa itu?” Hiriety memprotes keras. “Jika kau benar-benar melakukannya maka aku akan mengadukanmu pada Papa, atau lebih buruk, pada Aunty Lumia tentang kau yang menguntit putrinya seperti stalker gila”
“Coba saja” Matthias tersenyum penuh kemenangan “Dan kita lihat apakah kau masih bisa bebas setelah papa tahu kelakuanmu di club selama ini”
“Ckk dasar pengadu!”
“Kau yang mulai adik sayang”
“Ku doakan Selena tak mau denganmu”
“Tuhan tak mendengar doa orang tak benar”
“Sialan!” Decaknya. Hiriety mendengus kesal, melipat tangannya di depan dada. Wajahnya jelas menunjukkan rasa kesal, tapi Matthias justru tampak menikmati momen itu. Senyum tipis penuh kemenangan masih menghiasi wajahnya, membuat Hiriety semakin jengkel dengan kakaknya itu
“Kau selalu menggunakan cara konyol untuk mendapatkan apa yang kau mau, kenapa tidak katakan langsung pada Selena jika kau mencintainya” gerutu Hiriety sambil melirik kakaknya dengan tajam. “Apa kau tidak pernah merasa lelah dengan semua ini?”
“Aku tak mencintainya” Bantah Matthias
Hiriety memutar bola matanya “Kalau bukan cinta, apa namanya?” Hiriety bertanya, matanya memicing menantang. “Kau mengawasi Selena seperti detektif bayaran. Kau bahkan tahu di mana dia berada setiap saat, kau mengancam dan menghabis semua pria yang dekat dengannya. Jangan bilang ini hanya obsesi kosong?”
Matthias mengangkat alisnya, tetap tenang meskipun pertanyaan adiknya menusuk. “Obsesi kosong? Tentu saja tidak. Aku hanya memastikan dia berada di tempat yang seharusnya.”
“Tempat yang seharusnya?” Hiriety mencibir, lalu menambahkan dengan nada mengejek, “Kau bicara seolah-olah dia milikmu”
Matthias menyeringai kecil, matanya menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan—bukan cinta, tapi sesuatu yang lebih gelap dan penuh tekad. “Dia akan menjadi milikku, cepat atau lambat. Bukan karena aku mencintainya, tapi karena itu... sudah seharusnya terjadi.”
“Selena Sayang”“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Selena tertidur saat jam mulai menujukan pukul 01.10 dini hari. Meskipun sesekali dia terbangun karena suara-suara samar di luar namun tubuhnya yang kelelahan tidak mampu melawan rasa kantuk yang terus menariknya ke alam mimpi.Cahaya bulan menembus tirai tipis, menerangi kamar yang kini dipenuhi keheningan malam. Sayangnya, keheningan itu tidak bertahan lama.Di luar balkon, bayangan gelap bergerak dengan hati-hati. Matthias, dengan tubuh tegap dan gerakan penuh kehati-hatian, berhasil membuka pintu geser balkon yang ternyata tidak terkunci dengan sempurna.Dia masuk ke kamar Selena tanpa suara, langkahnya begitu tenang hingga hampir seperti bayangan yang meluncur di lantai. Selena lupa satu hal—lokasi kamar tamu dan kamarnya yang bersebelahan, memudahkan Matthias untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa terdeteksi.Matthias berhenti di tengah kamar, matanya mengamati meja rias yang Selena geser untuk mengganjal pintu. Senyum geli terl
“Selena cantik, aku suka” katanya dengan suara yang jernih dan penuh kepolosanSelena, yang masih berusia 7 tahun, langsung merasa pipinya memanas. Wajahnya yang imut memerah seketika, membuatnya terlihat semakin malu dan lucu. Dia sedikit menundukkan kepala, lalu dengan suara pelan tapi penuh kejujuran, dia berkata, “Matthias juga tampan, Selena suka.”Gadis kecil itu masih menatap Matthias dengan pandangan yang jujur, tanpa ada rasa malu yang dipahami sepenuhnya. Bagi Selena, segala hal yang datang dari Matthias adalah sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Matthias, yang tampaknya sedikit terkejut dengan respons tersebut, hanya tertawa ringan.“Selena mau jadi punya aku?”Malu-malu Selena mengangguk“Terima kasih, Selena” jawab Matthias dengan senyum bahagianya. Saat itu Selena tidak sepenuhnya mengerti dampak dari kata-katanya pada bocah lelaki 11 tahun itu.“HAH!&r
Hiriety kembali ke meja makan dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih berantakan akibat percakapan singkat dengan Matthias. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun Selena menatapnya dengan sedikit curiga."Semua baik-baik saja?" tanya Selena, menyendok sisa makanannya sambil tetap memperhatikan Hiriety."Ya, hanya urusan kecil, kakakku bilang dia ketinggalan sesuatu" jawab Hiriety sambil mengibaskan tangan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil segelas air, menyesapnya perlahan, lalu menatap Selena dengan senyum tipis. "Ngomong-ngomong, kita punya kelas yang sama jam satu nanti."Selena mengangkat alis. "Kelas apa?"“Branding strategy" jawab Hiriety, sambil menghela napas kecil. "Kau mungkin lupa karena aku jarang muncul di kelas. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk hadir."Selena menyeringai kecil, tidak benar-benar percaya. "Apa yang membuatmu tiba-tiba rajin?"Hiriety terkekeh. "Kudengar ada dosen p
Ketika kelas selesai, Selena dan Hiriety bergegas berkemas. Namun, sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, seorang pria dengan jaket denim masuk ke dalam kelas“Mark? Kenapa kesini?” Tanya Selena heran namun tak ayal dia senang dengan kedatangan kekasihnya ituMark berdiri di depan Selena dengan senyum tipis. Matanya melirik Hiriety sejenak sebelum kembali ke Selena.“Aku merindukanmu” ucapnya memeluk Selena, mengabaikkan ekspresi muak Hiriety yang sengaja ditunjukan hanya pada MarkSelena tersenyum tipis, membalas pelukan Mark dengan lembut. Namun, dia segera melepaskannya, menyadari tatapan tajam Hiriety yang penuh sindiran.“Hiriety ada di sini” bisik Selena, mencoba mengingatkan Mark agar sedikit menjaga sikap.“Aku tahu” jawab Mark santai, melirik Hiriety dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Hei, Hiriety. Kau tak keberatan, kan?”Hiriety mendengus pelan, melipat
Mark mengantarkan Selena pulang ke apartemennya setelah makan malam. Mobilnya terparkir rapi di basement, suasana parkiran cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang tersusun rapi. Mereka berdua keluar dari mobil, langkah mereka bergema di lantai beton saat mereka menuju lift.Selena menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka dengan bunyi halus. Mereka masuk ke dalam, dan Selena menekan angka lantai unit apartemennya. Perjalanan naik lift berlangsung hening, hanya ditemani suara mesin yang samar. Mark berdiri di samping Selena, satu tangannya menggenggam tangan Selena dan sebelahnya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak sedikit ragu.Ketika pintu lift terbuka di lantai apartemen Selena, ia melangkah keluar lebih dulu, namun berhenti sejenak di depan pintu unitnya. Ia menoleh pada Mark dengan senyuman kecil."Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang" katanya.Mark tersenyum, tetapi tak langsung beranjak pergi. Ia menggaruk tengkuknya, seo
“Hanya segini?” Tanya Matthias dengan tatapan tajamnyaAlesio terkekeh “Memangnya kau berharap berapa banyak?”Matthias menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya menyipit menatap dokumen di tangannya. “Aku berharap lebih dari ini, Kingston. Kau tahu berapa banyak jaringan yang sudah kita bongkar.”Alesio mengangkat bahu dengan santai, mengambil gelasnya dan menyesap anggur merahnya sebelum berbicara. “Jangan serakah, Walton. Ini bukan hanya tentang seberapa banyak yang kita temukan, tapi seberapa dalam kita bisa menelusurinya.”Matthias mengetukkan jarinya ke meja, pikirannya jelas bekerja. “Jadi, kau pikir ini masih permukaan?”Alesio menyeringai kecil. “Kita berurusan dengan orang-orang yang lebih licik dari yang kita kira. Jika ini mudah, kau dan aku sudah menyelesaikannya sejak lama.”Matthias mendecakkan lidahnya, lalu menutup dokumen itu. “Baiklah. Aku aka
Alesio Kingston, pria itu sempat menghebohkan media dengan pernikahaanya dengan seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Terlebih saat itu ada rumor yang mengatakan jika Alesio merebut wanita yang sudah memiliki tunangan“Ini istriku, Alana” Alesio mengenalkan sang istri yang sedang hamil besar pada Selena“Hallo” Suara halus itu terdengar dari Alana dan Selena mengerti kenapa sosok seperti Alesio bisa menjatuhkan hati pada perempuan ini“Aku Selena” Selena mengenalkan dirinya dengan sangat ramah“Tunanganku” Matthias menambahkan dengan seringai sombongAlana tersenyum hangat, matanya berbinar saat mendengar perkenalan dari Matthias. "Senang bertemu denganmu, Selena. Aku harap kau bisa menikmati pesta ini."Selena membalas senyuman itu. "Terima kasih, dan selamat atas kehamilanmu. Aku yakin Alesio pasti sangat menjagamu."Alesio tertawa kecil, melingkarkan lengannya di pinggang Alana deng
“Princess” Panggil MatthiasSelena yang sedang duduk dan menonton menatap pria itu lekat “Ada apa?” Tanya Selena“Mau ikut denganku malam ini?” TanyanyaSelena terdiam, mempertimbangkan tawaran Matthias. Sejujurnya, ia tidak ingin sendirian di apartemen ini malam ini. Terlebih dirinya juga tak mau jauh dari Matthias“Kemana kita akan pergi?”Matthias menyeringai kecil, lalu duduk di sampingnya. “Aku ada undangan pesta dari keluarga Kingston. Aku ingin kau ikut denganku.”“Kingston? Alesio Kingston?”“Hmm”Selena mengangkat alisnya, jelas terkejut. "Sejak kapan kau bergaul dengan keluarga Kingston?"Matthias terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di punggung sofa, membuatnya semakin dekat dengan Selena. "Bukan bergaul, Princess. Hanya urusan bisnis. Kau tahu jika mereka juga memiliki maskapai penerbangan kan?”Selena mengangguk
“Shh... hisap yang kuat Princess”Mulut Selena terasa kaku, begitupun dengan tangannya. Nyatanya menghibur Matthias dengan mulut dan tangannya tak juga membuat Matthias puas. Andai bulanan Selena sudah selesai, dia pasti akan lebih memilih melebarkan kakinya daripada mulutnya“Terus Princess..”Benda Matthias didalam mulut Selena terasa membesar dan mengeluarkan cairan yang membuat Selena masih merasa aneh“Hah...” Selena menghela napas panjang, ada hawa panas dari semburan lahar Matthias di mulutnya “Rasanya aneh, tapi lebih baik dari yang sebelumnya” gumum SelenaMatthias terkekeh “Aku belum selesai marah padamu, Princess”“Ckk.. ayolah. Kenapa kau terus mencari kesempatan?” Selena bangkit, memposisikan diri di pelukan Matthias yang terbaring di ranjang sejak tadi“Aku menasehati agar kau—“Suara Matthias perlahan lenyap dipendangaran Se
Matthias marah. Itu jelas.Sejak mereka meninggalkan pulau itu, pria itu bahkan tidak menatapnya. Di kapal, Matthias hanya berdiri di buritan dengan tangan terlipat di dada, matanya terpaku pada lautan seolah-olah dia bisa melampiaskan amarahnya pada ombak.Di dalam mobil, suasana semakin menegangkan. Matthias duduk di sampingnya, tetapi jaraknya seperti sejauh benua. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas pahanya, dan napasnya terdengar berat—tanda-tanda khas kalau dia sedang menahan diri agar tidak meledak.Selena meliriknya sekilas, lalu mendesah pelan."Apa kau akan diam saja sepanjang perjalanan?" tanyanya akhirnya.Tidak ada jawaban. Matthias bahkan tidak bergerak.Selena menggigit bibirnya, mencoba menahan senyum geli meskipun tahu situasinya serius. Matthias yang marah memang berbahaya… tapi Matthias yang merajuk? Itu sesuatu yang jarang terjadi.Dia menggeser tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. "
"Tunanganku sudah datang."Selena terkekeh pelan, dia melangkah mundur, menjaga jarak dari NateNate masih menatapnya dengan rahang mengatup rapat. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini menyiratkan keterkejutan dan… kemarahan.“Kau pikir ini sudah selesai?” suaranya rendah, berbahaya.Selena mengangkat bahu, senyum tipis masih menghiasi bibirnya. “Kuharap begitu” Jawab Selena ringanDi luar, suara ledakan lain mengguncang tanah, membuat bangunan bergetar. Para anak buah Nate berlarian dalam kekacauan, beberapa mengangkat senjata, sementara yang lain berteriak mencari perlindungan.Selena menoleh kembali ke Nate yang kini menggertakkan giginya, tinjunya mengepal erat. Pria itu memang cerdas, licik, dan penuh perhitungan, tapi kali ini—dia kalah langkah.Langkahnya untuk mengambil Selena, wanita yang dicintainya sudah salah.Nate menghela napas berat, tatapannya gelap saat melihat Sele
Matthias menatap Hirerty dengan mata abu tajamnya“Kenapa kau tak mengatakan apa-apa?!” TuntutnyaHiriety terkekeh ringan “Salahmu yang tak bertanya”“Demi Tuhan Hirie!! Kau dan Selana merancakan hal seperti berbahaya seperti ini tanpa memberitahuku?!!” suaranya rendah dan penuh kemarahan yang ditahanMatthias menggeram, mengepalkan tinjunya dengan erat. Napasnya masih memburu setelah serangan mendadak yang baru saja terjadi."Kau tahu seberapa bahayanya ini, tapi kau malah membiarkan Selena pergi begitu saja?!"Hiriety menyandarkan dirinya ke dinding dengan santai, ekspresi wajahnya menunjukkan seolah ini bukan masalah besar. "Aku tidak membiarkan dia pergi begitu saja, Matthias" ujarnya, menyilangkan tangan di dada. "Selena dan aku sudah merencanakannya sejak awal."Matthias mengusap wajahnya kasar "Jelaskan semuanya. Sekarang."Hiriety terkekeh “ternyata akting Selena hebat juga samp
"Selamat datang di rumahku" pria itu berkata dengan nada tenang namun berwibawa.Selena tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Rumah? Ini lebih mirip markas tersembunyi bagi orang-orang seperti mereka—sebuah bangunan besar dengan arsitektur megah namun memiliki aura kelam dan dingin.Stevan mendorong punggung Selena dengan lembut, membuatnya berjalan mengikuti pria itu masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu besar yang dijaga ketat oleh pria-pria bersenjata, Selena semakin merasa tidak nyaman.Interior rumah itu dipenuhi marmer hitam dengan lampu gantung yang memberikan cahaya remang. Ada aroma khas—sesuatu yang mahal, bercampur dengan bau samar cerutu.Pria yang dipanggil 'Boss' itu melangkah santai menuju sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap ke laut. Dia berbalik, menatap Selena dengan senyum tipis."Aku harus mengakui" katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Aku tid
"Bodoh! Bisa-bisanya pengawal seperti kalian kehilangan wanitaku" Matthias menghajar dua pria yang ditugaskannya sebagai pengawal SelenaMatthias tidak menahan amarahnya. Tinju kerasnya menghantam wajah salah satu pengawal, membuat pria itu jatuh tersungkur ke lantai dengan darah mengalir dari sudut bibirnya.Satu pria lagi mencoba berbicara, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, pukulan Matthias yang berikutnya mendarat tepat di rahangnya, membuatnya terhuyung ke belakang."Bodoh!" geram Matthias. Napasnya berat, matanya berkilat dengan kemarahan yang begitu pekat. "Kalian hanya punya satu tugas—mengawasi Selena! Dan kalian bahkan tidak bisa melakukan itu?!"Kedua pria itu tidak berani membela diri. Mereka tahu bahwa kesalahan seperti ini tidak bisa dimaafkan.Halland berdiri di sisi ruangan, tidak ikut campur. Dia tahu jika Matthias sedang seperti ini, lebih baik membiarkannya melampiaskan amarah dulu sebelum berbicara logis.Matt