“Kakak tinggal disini saja”
DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.
“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.
Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”
“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”
“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli
“Hiriety!” Selena menggeram. Ia merasa badai menerpa dirinya, ucapan sepihak Hiriety tentu membuat ekspresinya langsung menggelap “Fakta bahwa dia keluarga mu tidak berarti aku harus menerimanya tinggal di sini” Lanjut Selena, melipat tangan di dada, matanya melirik Matthias yang masih duduk santai dengan sikap tidak peduli.
“Kakak mau tinggal disini saja kan?” tanya Hiriety mengabaikan Selena
“Tentu, dengan senang hati” Matthias menjawab dengan senyum lebarnya
Selena terperangah, rasanya seperti menjadi pemeran figuran dari cerita keluarga cemara. Dia menatap Hiriety lekat namun Hiriety hanya tersenyum lebar, tampak tidak sedikit pun terpengaruh dengan kemarahan yang mulai terpantul di wajah Selena.
“Kalau begitu biar aku yang tinggal dihotel” putus Selena
“Tak boleh!” Hiriety menyahut cepat
Matthias terkekeh “Tenanglah, Princess” sela Matthias dengan nada santai, meletakkan cangkir kopinya yang tadi dia buat sendiri “Aku tidak terlalu merepotkan, kau tahu itu.”
“Kau tidak merepotkan?” Selena menatapnya tajam, nadanya penuh sindiran. “Kehadiranmu saja sudah seperti… badai tropis.”
“Oh berlebihan sekali” Sudut bibir Matthias terangkat, jelas dia sangat menikmati emosi yang tersampaikan dengan jelas pada wajah cantik itu
Hiriety memotong sebelum Selena bisa melanjutkan, suaranya memelas “Selena, jangan terlalu keras. Lagi pula, kak Matthias kan bukan orang asing. Matthias kakakku loh lagipula dia hanya akan tinggal seminggu.”
“Bahkan meskipun hanya sehari, kau tetap harus tanya pendapatku dulu” Selena tidak bisa menahan rasa frustrasinya. Ia sudah cukup berjuang dengan kehadiran Matthias sebelumnya, apalagi jika harus menghadapinya setiap hari selama seminggu penuh.
Matthias yang mendengar suara kesal Selena, hanya tertawa ringan, seolah merasa sudah memenangkan permainan kecil ini. “Aku hanya akan sibuk dengan urusanku. Kau bisa terus menghindariku kalau itu yang kau inginkan.”
“Sungguh tak tahu malu” Selena menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan diri untuk tidak membalas dengan kata-kata yang lebih tajam
“Aku hanya tahu apa yang aku inginkan” Matthias menjawab dengan penuh percaya diri, tatapannya tetap tenang, seolah tak terganggu sedikit pun oleh kekesalan Selena.
“Biarkan kakak ku disini ya Selena, aku tak tega jika harus membiarkannya di hotel” Hiriety kembali memelas. Matanya seperti anak anjing yang memohon dengan memelas dan Selena tahu jika tatapan Hiriety itu hanyalah akting belaka
Selama 3 tahun tinggal bersama, Hiriety bahkan tak pernah penasaran dengan aktivitas kakaknya sendiri dan sekarang, Hiriety bilang tak tega kakaknya itu tinggal di hotel?
“Yah Selena ya...? Aku akan menjadi patuh dan tak akan keluar malam lagi jika kau setuju” pinta Hiriety dengan wajah polosnya
Selena mendengus napas panjang. Dia penasaran kenapa Hiriety mendadak jadi pro pada Matthias
“Hanya seminggu” Selena akhirnya membuat keputusan “Kau bisa gunakan kamar tamu” lanjut Selena, mencoba membuat suasana lebih ringan.
Mata Hiriety berbinar “Terima kasih Selena. Tenang saja selama disini kakak ku akan memenuhi semua kebutuhan kita” Dia hampir melompat kegirangan, seolah kemenangan sudah di tangan. Selena hanya bisa menghela napas panjang, merasa seperti terjebak dalam permainan yang tidak ingin ia mainkan.
“Aku menghargai itu meskipun aku tak yakin kenapa aku perlu izinmu untuk tinggal di apartemen adikku” kekeh Matthias ringan
“Kami membeli apartemen ini berdua. Tentu Hiri perlu izinku jika ingin memasukan seorang tamu disini” Jawab Selena mencoba kembali bersikap mahal
Matthias mengangkat alis, menatap Selena dengan senyuman yang sepertinya tidak pernah hilang dari wajahnya. "Ah, jadi kau memang punya kontrol penuh di sini?" katanya dengan nada santai, tetapi ada sedikit godaan yang tersembunyi di balik suaranya. "Kau benar-benar tidak berubah, Princess."
Selena merasakan tubuhnya menegang, mencoba mengendalikan dirinya agar tidak menunjukkan kerentanannya. Ia membuang pandangannya ke arah lain, berusaha mengabaikan tatapan Matthias yang begitu intens
“Kalian bicara saja, aku punya kelas siang ini” pamit Selena tanpa menoleh, berharap dapat menjauh dari ketegangan yang terbangun di ruang tamu. Matthias terus menatap Selena hingga wanita itu menghilang dibalik pintu, sementara Hiriety melambaikan tangan ke arah Selena dengan ceria.
Setelah Selena benar-benar pergi dengan setelan kampusnya, suasana dalam ruang tamu yang diisi oleh kakak beradik itu langsung menjadi berat
“Sudah selesai, kan?” Tanya Hiriety malas sambil menatap kakaknya. Ekspresi ceria yang ia tunjukkan sebelumnya lenyap seperti embun yang menguap. Wajahnya berubah datar, dingin seperti tak pernah ada gadis dengan wajah memelas itu
Matthias menyeringai kecil “Aku tak tahu kalau adikku bisa berakting sebagus itu”
“Jangan bercanda. Aku melakukannya hanya karena kau janji akan memberikan jet pribadimu padaku. Kalau bukan karena itu, tak sudi aku terjebak satu atap denganmu” balas Hiriety sinis, melipat tangan di depan dada.
Matthias tertawa kecil, kini kakinya terangkat menumpu pada meja. “Apa bajingan tengik itu masih jadi kekasih Selena?”
Hiriety menatap kakaknya sekilas “Menurutmu? Kau kan selalu punya mata-mata.”
Matthias tersenyum tipis. “Aku ingin mereka putus.” Ucapnya
“Wah, makin lama kau makin kacau saja kak” Sindirnya sambil menggeleng. Sebuah senyum sarkastis tersungging di bibirnya. “Tapi aku tidak akan membantumu lebih dari ini. Kau lakukan saja sendiri”
Matthias mencondongkan tubuh, tatapannya tajam dan datar “Buat mereka putus, atau aku bekukan semua kartumu.”
“Eh? Pilihan macam apa itu?” Hiriety memprotes keras. “Jika kau benar-benar melakukannya maka aku akan mengadukanmu pada Papa, atau lebih buruk, pada Aunty Lumia tentang kau yang menguntit putrinya seperti stalker gila”
“Coba saja” Matthias tersenyum penuh kemenangan “Dan kita lihat apakah kau masih bisa bebas setelah papa tahu kelakuanmu di club selama ini”
“Ckk dasar pengadu!”
“Kau yang mulai adik sayang”
“Ku doakan Selena tak mau denganmu”
“Tuhan tak mendengar doa orang tak benar”
“Sialan!” Decaknya. Hiriety mendengus kesal, melipat tangannya di depan dada. Wajahnya jelas menunjukkan rasa kesal, tapi Matthias justru tampak menikmati momen itu. Senyum tipis penuh kemenangan masih menghiasi wajahnya, membuat Hiriety semakin jengkel dengan kakaknya itu
“Kau selalu menggunakan cara konyol untuk mendapatkan apa yang kau mau, kenapa tidak katakan langsung pada Selena jika kau mencintainya” gerutu Hiriety sambil melirik kakaknya dengan tajam. “Apa kau tidak pernah merasa lelah dengan semua ini?”
“Aku tak mencintainya” Bantah Matthias
Hiriety memutar bola matanya “Kalau bukan cinta, apa namanya?” Hiriety bertanya, matanya memicing menantang. “Kau mengawasi Selena seperti detektif bayaran. Kau bahkan tahu di mana dia berada setiap saat, kau mengancam dan menghabis semua pria yang dekat dengannya. Jangan bilang ini hanya obsesi kosong?”
Matthias mengangkat alisnya, tetap tenang meskipun pertanyaan adiknya menusuk. “Obsesi kosong? Tentu saja tidak. Aku hanya memastikan dia berada di tempat yang seharusnya.”
“Tempat yang seharusnya?” Hiriety mencibir, lalu menambahkan dengan nada mengejek, “Kau bicara seolah-olah dia milikmu”
Matthias menyeringai kecil, matanya menyala dengan sesuatu yang sulit dijelaskan—bukan cinta, tapi sesuatu yang lebih gelap dan penuh tekad. “Dia akan menjadi milikku, cepat atau lambat. Bukan karena aku mencintainya, tapi karena itu... sudah seharusnya terjadi.”
“Selena Sayang”“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Selena tertidur saat jam mulai menujukan pukul 01.10 dini hari. Meskipun sesekali dia terbangun karena suara-suara samar di luar namun tubuhnya yang kelelahan tidak mampu melawan rasa kantuk yang terus menariknya ke alam mimpi.Cahaya bulan menembus tirai tipis, menerangi kamar yang kini dipenuhi keheningan malam. Sayangnya, keheningan itu tidak bertahan lama.Di luar balkon, bayangan gelap bergerak dengan hati-hati. Matthias, dengan tubuh tegap dan gerakan penuh kehati-hatian, berhasil membuka pintu geser balkon yang ternyata tidak terkunci dengan sempurna.Dia masuk ke kamar Selena tanpa suara, langkahnya begitu tenang hingga hampir seperti bayangan yang meluncur di lantai. Selena lupa satu hal—lokasi kamar tamu dan kamarnya yang bersebelahan, memudahkan Matthias untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa terdeteksi.Matthias berhenti di tengah kamar, matanya mengamati meja rias yang Selena geser untuk mengganjal pintu. Senyum geli terl
“Selena cantik, aku suka” katanya dengan suara yang jernih dan penuh kepolosanSelena, yang masih berusia 7 tahun, langsung merasa pipinya memanas. Wajahnya yang imut memerah seketika, membuatnya terlihat semakin malu dan lucu. Dia sedikit menundukkan kepala, lalu dengan suara pelan tapi penuh kejujuran, dia berkata, “Matthias juga tampan, Selena suka.”Gadis kecil itu masih menatap Matthias dengan pandangan yang jujur, tanpa ada rasa malu yang dipahami sepenuhnya. Bagi Selena, segala hal yang datang dari Matthias adalah sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Matthias, yang tampaknya sedikit terkejut dengan respons tersebut, hanya tertawa ringan.“Selena mau jadi punya aku?”Malu-malu Selena mengangguk“Terima kasih, Selena” jawab Matthias dengan senyum bahagianya. Saat itu Selena tidak sepenuhnya mengerti dampak dari kata-katanya pada bocah lelaki 11 tahun itu.“HAH!&r
Hiriety kembali ke meja makan dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih berantakan akibat percakapan singkat dengan Matthias. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun Selena menatapnya dengan sedikit curiga."Semua baik-baik saja?" tanya Selena, menyendok sisa makanannya sambil tetap memperhatikan Hiriety."Ya, hanya urusan kecil, kakakku bilang dia ketinggalan sesuatu" jawab Hiriety sambil mengibaskan tangan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil segelas air, menyesapnya perlahan, lalu menatap Selena dengan senyum tipis. "Ngomong-ngomong, kita punya kelas yang sama jam satu nanti."Selena mengangkat alis. "Kelas apa?"“Branding strategy" jawab Hiriety, sambil menghela napas kecil. "Kau mungkin lupa karena aku jarang muncul di kelas. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk hadir."Selena menyeringai kecil, tidak benar-benar percaya. "Apa yang membuatmu tiba-tiba rajin?"Hiriety terkekeh. "Kudengar ada dosen p
Ketika kelas selesai, Selena dan Hiriety bergegas berkemas. Namun, sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, seorang pria dengan jaket denim masuk ke dalam kelas“Mark? Kenapa kesini?” Tanya Selena heran namun tak ayal dia senang dengan kedatangan kekasihnya ituMark berdiri di depan Selena dengan senyum tipis. Matanya melirik Hiriety sejenak sebelum kembali ke Selena.“Aku merindukanmu” ucapnya memeluk Selena, mengabaikkan ekspresi muak Hiriety yang sengaja ditunjukan hanya pada MarkSelena tersenyum tipis, membalas pelukan Mark dengan lembut. Namun, dia segera melepaskannya, menyadari tatapan tajam Hiriety yang penuh sindiran.“Hiriety ada di sini” bisik Selena, mencoba mengingatkan Mark agar sedikit menjaga sikap.“Aku tahu” jawab Mark santai, melirik Hiriety dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Hei, Hiriety. Kau tak keberatan, kan?”Hiriety mendengus pelan, melipat
Mark mengantarkan Selena pulang ke apartemennya setelah makan malam. Mobilnya terparkir rapi di basement, suasana parkiran cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang tersusun rapi. Mereka berdua keluar dari mobil, langkah mereka bergema di lantai beton saat mereka menuju lift.Selena menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka dengan bunyi halus. Mereka masuk ke dalam, dan Selena menekan angka lantai unit apartemennya. Perjalanan naik lift berlangsung hening, hanya ditemani suara mesin yang samar. Mark berdiri di samping Selena, satu tangannya menggenggam tangan Selena dan sebelahnya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak sedikit ragu.Ketika pintu lift terbuka di lantai apartemen Selena, ia melangkah keluar lebih dulu, namun berhenti sejenak di depan pintu unitnya. Ia menoleh pada Mark dengan senyuman kecil."Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang" katanya.Mark tersenyum, tetapi tak langsung beranjak pergi. Ia menggaruk tengkuknya, seo
Selena membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, seolah ia baru saja terlelap setelah pertarungan panjang melawan pikirannya sendiri. Cahaya redup dari lampu di sudut ruangan memberikan kesan hangat yang anehnya menenangkan.Detik berikutnya, ia menyadari sesuatu—sesuatu yang membuat napasnya tertahan.Ada lengan kokoh yang melingkar di pinggangnya, menariknya erat dalam kehangatan yang asing tapi familiar.Matthias.Selena menoleh perlahan, jantungnya mulai berdebar tak karuan saat melihat wajah Matthias begitu dekat dengannya. Pria itu tertidur, napasnya teratur, dadanya naik turun dengan ritme yang stabil. Ekspresinya jauh lebih tenang dibandingkan biasanya, tidak ada seringai tajam atau tatapan penuh intensitas yang selalu membuatnya gugup.Pikiran Selena berusaha mengingat bagaimana ia bisa berakhir di sini, di ranjang Matthias, dalam pelukan pria itu. Yang terakhir ia ingat, mereka berbicara tentang perlindungan, tentang a
"Kau tak mendapatkannya?" Suara itu dingin, penuh kemarahan yang tertahan.Pria itu berdiri di dalam ruangan remang-remang, menatap layar besar yang menampilkan siaran langsung dari kekacauan yang terjadi di pesta pertunangan Selena dan Matthias. Tangannya mengepal kuat, kukunya hampir menancap ke telapak tangannya sendiri.Di hadapannya, seseorang berseragam hitam berlutut, kepalanya tertunduk dalam ketakutan. "Maafkan kami, Tuan. Caid Walton sudah mengantisipasi semuanya. Putranya membawa Selena pergi sebelum kami sempat menyentuhnya."Pria itu menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. Namun, matanya yang gelap bersinar penuh obsesi."Matthias Vercent Walton... kau pikir kau bisa memiliki Selena begitu saja?" gumamnya, suaranya bergetar oleh amarah yang mendidih.Dia berbalik, mengambil segelas anggur merah dari meja marmer di dekatnya, menyesapnya perlahan. Kemudian, dia menatap puluhan foto yang terbingkai rapi di atas meja—foto S
DOR!BUM...Selena hampir tidak bisa memproses apa yang baru saja terjadi. Sebuah ledakan dan suara tembakan yang sangat keras, suara tembakan yang seakan-akan mengoyak udara di sekitarnya.Tubuh Selena terlonjak, dan untuk sesaat dunia seakan berputar. Matanya membelalak, menatap Hiriety yang masih menggenggam tangannya dengan cengkeraman yang lebih kuat dari sebelumnya.Wajah Hiriety yang tadinya tampak acuh dan santai kini berubah menjadi ekspresi yang sulit diungkapkan. Ada kegilaan yang tersembunyi di balik senyumnya yang semakin lebar, dan itu adalah sesuatu yang membuat darah Selena terasa membeku.“Selamat datang di dunia kita, Selena...” suara Hiriety terdengar seperti bisikan yang penuh dengan makna yang tidak bisa dijelaskan, suara itu justru semakin menakutkan setelah suara tembakan itu.“Rie”Selena menatapnya, tak tahu harus berkata apa. Dunia yang selama ini ia kenal, dunia yang ia anggap aman, k
Pesta pertunangan Selena tak bisa dikatakan sederhana, Selena sendiri tak yakin bagaimana mereka menyiapkan segalanya dengan cepat.Kurang dari dua hari sejak dia setuju untuk bertunangan dengan Matthias. Pesta mewah ini telah terselenggara dengan sempurna. Gaun putih gading yang membalut tubuhnya terasa begitu pas, seolah memang telah disiapkan khusus untuknya sejak lama. Namun, tidak ada yang terasa nyata bagi Selena—semua ini terjadi terlalu cepat, terlalu tiba-tiba, hingga ia bahkan belum sempat memahami apa yang sebenarnya ia rasakan.Kerumunan tamu berseliweran di aula besar yang dihiasi lampu kristal dan bunga-bunga mahal. Musik klasik mengalun lembut di latar belakang, melengkapi kemewahan malam ini. Semua orang yang hadir tampak bersuka cita, memberikan ucapan selamat seolah ini adalah perayaan yang memang dinantikan.Tapi Selena?Selena merasa seperti burung dalam sangkar emas.Matthias berdiri di sampingnya, tangan kekarnya melingk
Selama ini Matthias selalu bermimpi melakukan banyak hal pada Selena, Dia bahkan sudah segala cara untuk memastikan bahwa wanita itu tetap berada dalam genggamannya.Obsesi yang ia miliki terhadap Selena bukan sekadar keinginan sementara—itu adalah sesuatu yang mengalir dalam darahnya, sesuatu yang ia yakini sebagai bagian dari takdirnya.Dia telah melakukan banyak hal, beberapa di antaranya mungkin tidak bisa Selena terima jika ia tahu semuanya. Matthias selalu mengawasi, memastikan bahwa tidak ada satu pria pun yang bisa mendekati Selena lebih dari yang ia iz inkan. Ia menyingkirkan semua ancaman yang bisa menjauhkan wanita itu darinya—baik dengan cara halus maupun yang lebih… ekstrem.Dan sekarang, ketika Selena berada di pelukannya, nampak tak berdaya dan tak memiliki kuasa untuk menolaknya "Kau tahu sudah berapa lama aku menantikan momen ini, Princess?" Ia mengucapkan nama itu dengan kelembutan yang berbahayaSelena yang bersandar
Hiriety menghembuskan asap rokoknya dengan pelan, membiarkan aroma tembakau memenuhi udara sebelum perlahan menghilang tersapu angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya masih terpaku pada hamparan langit malam yang kelam, hanya diterangi bintang-bintang redup yang berserakan seperti kenangan yang dulu pernah ia tinggalkan di kamar ini.Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu, ia tak pernah menjejakkan kaki di kamar ini lagi. Namun, berkat rencana gila kakaknya, ia kini kembali. Ada perasaan aneh yang menggelayuti hatinya—campuran antara nostalgia, kebingungan, dan ketidaknyamanan.Ia menghela napas, mematikan rokoknya di asbak yang ia ambil dari meja kecil di samping ranjang. Tangannya kemudian mengusap seprai berwarna biru tua yang terasa asing namun akrab di saat yang bersamaan.Di sudut ruangan, sebuah foto lama masih tergantung di dinding. Foto dirinya dan Selena, diambil saat mereka masih kecil, tertawa lepas dengan mata berbinar.
Dylan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan putrinya berdua dengan Matthias. Pintu tertutup dengan suara pelan, tetapi bagi Selena, itu terdengar seperti jeruji besi yang mengunci takdirnya di dalam ruangan ini.Keheningan menyelimuti mereka. Selena tetap duduk di kasurnya, sementara Matthias berdiri di sisi ruangan, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya gelap, intens, namun ada sesuatu di sana yang berbeda kali ini. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar dominasi dan obsesi—sesuatu yang bahkan Selena sendiri tak yakin apakah ia ingin memahami atau justru ingin menjauh darinya.“Aku lelah, Matthias” Selena bersuara pelanMatthias tidak langsung merespons. Ia menatap Selena, matanya menyapu setiap lekuk wajahnya, seakan mencari sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.“Lelah karena apa?” tanyanya akhirnya, suaranya datar, namun di balik nada tenangnya ada ketegangan yang tersembunyi.Selena
“Selena sayang, kau salah paham” Dylan memeluk putrinya. Mungkin sejak awal cara didiknya agak salah karena membiarkan Selena hidup bak seorang putri. Selena selalu dimanja hingga dia tak mengerti bagaimana dunia ini berjalan“Kenapa kalian terus melakukan tindakan tak benar seperti ini? Daddy memiliki perusahaan yang besar, Paman Caid memiliki maskapai penerbangan tapi kenapa tetap melakukan bisnis kotor itu? Apa kalian sangat haus akan harta?” suara Selena bergetar, bukan karena takut, melainkan karena emosinya yang meluap-luap.“Kau tak akan pernah bisa mengerti Selena” Jawab Caid, ditatapnya lekat netra“Tentu aku tak bisa mengerti jika paman dan Daddy tak pernah menjelaskan apapun padaku. Sebenarnya kenapa kalian harus terus melakukan ini?” Tanya Selena dengan suara lirih, matanya berkaca-kaca dengan perasaan yang sulit dikontrolDylan melirik Caid. Disaat seperti ini dia hanya bisa menunggu sang Alpha
Selena terbangun dengan rasa bingung dan kecemasan yang melanda dirinya. Kepalanya terasa berat, seolah seluruh tubuhnya tertarik oleh gravitasi, dan ada sensasi yang aneh merambat di sekujur tubuhnya yang lemas.“Mom?” Gumam Selena bergumam dengan suara serak. Tubuhnya terasa berat, dan ia berusaha mengingat kembali bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Pikiran-pikirannya terasa kabur, seperti diselimuti kabut tebal.“Hai sayang, bagaimana kondisimu?” Lumia tersenyum tipis, diusapnya kepala putri tunggalnya itu penuh sayangDitatapnya wanita cantik yang duduk di sisi ranjang tempatnya berbaring, itu ibunya, Lumia. “A-ku baik, tapi bagaimana-““Maaf ya sayang, Mom terlibat dengan semua ini” kata Lumia dengan nada yang penuh penyesalan, matanya tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang terkandung di dalamnya.Selena mengerutkan kening bingung “Apa maksudnya?” Tanya Selena tak paham.