Brak!!
Selena bersandar di pintu kamarnya, menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar di kepalanya. Tubuhnya menempel pada pintu kayu yang dingin, tetapi jantungnya berdegup begitu cepat, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu.
“Sialan! Matthias Walton sialan! Kenapa dia muncul dengan panampilan begitu!!! Astaga!! dia terlalu tampan untuk seseorang makhluk fana” gumam Selena lirih.
Di pukul pelan pipinya dengan kedua tangan hingga wajahnya yang memerah semakin terasa panas. “Tarik napas, Selena. Kau bukan remaja belasan tahun lagi. Kau perempuan dewasa, usiamu sudah 22 tahun Selena, sadarlah!! Pria tampan bukan hanya Matthias saja. Ingat kekasihmu!!” doktrinnya
Selena menggelengkan kepalanya keras-keras, seolah mencoba mengusir bayangan Matthias yang terus menghantui pikirannya. Ia berjalan ke meja rias dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya memerah, pipinya terasa hangat, dan matanya bersinar penuh emosi.
“Kenapa harus dia?” bisiknya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam ruangan yang sunyi. “Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?” Selena mengambil satu napas panjang. Tapi tetap saja, pikirannya terus memutar ulang senyum miring Matthias, tatapan matanya yang tajam, dan caranya berbicara dengan nada santai yang selalu membuat Selena merasa kalah sebelum pertempuran dimulai.
Selena mengambil ponselnya dari meja. Ia membuka layar, menatap kontak seseorang yang dinamainya “Babe" dengan penuh keraguan. Jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya meletakan ponsel itu kembali
Otak cantiknya itu terus memutar ulang kejadian tadi, cara Matthias menatapnya dengan mata abu pekat yang penuh intensitas, senyumnya yang sedikit meledek, dan suara beratnya yang terkesan santai tapi memiliki daya tarik tersendiri.
“Kau gila Selena!”
Bagian kecil di hatinya menolak kata-katanya sendiri. Matthias Walton bukan pria biasa. Selena tahu itu. Ingatannya kembali ke masa kecil mereka, sebuah fragmen yang samar namun hangat. Mereka pernah bermain bersama saat Matthias masih sering berkunjung sebelum Selena merengek untuk pindah ke London dan menghindari pria itu
Sialnya, sekarang Selena tak bisa menghindar lagi, Matthias yang sekarang berbeda. Ia telah tumbuh menjadi pria dewasa yang bisa membuat siapa pun merasa tidak aman dengan satu tatapan saja.
“Sial Selena! Sejak kapan perasaanmu jadi murahan begini!!” Selena menggelengkan kepalanya dengan frustrasi, mencoba mengusir pikiran-pikiran aneh yang terus menghantui. Ia menyisir rambutnya dengan jari, melirik sekali lagi ke cermin.
Rasanya dia seperti remaja puber saja, ketakutan, kebimbingan dan adrenalinnya menjadi satu
“Selena?” Ketokan pintu dan suara Hiriety yang memanggilnya membuat Selena menghela napas lega. Ia segera bangkit, melangkah cepat untuk membuka pintu.
Wajah cantik yang memiliki kesan lembut itu terpampang didepannya, ada sedikit raut cemas diwajahnya “Maaf aku lupa bilang jika kakakku akan datang”
Selena menatap Hiriety dengan ekspresi datar, meskipun dalam hatinya, ia masih merasa kesal. "Lupa? Kau meninggalkan aku sendirian di sini dengan seorang pria yang baru pertama kali kulihat setelah sekian tahun lamanya, dan kau hanya bilang lupa? Tak mungkin pria itu datang tanpa persiapan sebelumnya kan?"
Hiriety tersenyum meminta maaf, tetapi jelas dia tidak merasa terlalu bersalah. "Yah, dia bukan orang asing, kan? Kau pernah bertemu Matthias sebelumnya. Lagipula, aku pikir kau bisa mengatasinya"
Selena mendesah panjang, mencoba menahan dirinya untuk tidak meledak. "Ya, aku pernah bertemu dia. Saat dia masih anak kecil dan kau sendiri tahu betapa gilanya kakakmu itu!"
Hiriety tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. "Oh ayolah, Selena. Kau tahu dia hanya bercanda. Matthias selalu seperti itu, dia memang suka mengoda tapi kau tahu sendiri jika dia tak pernah tertarik. Kau hanya perlu terbiasa."
Selena memutar bola matanya. Alasan kenapa dia takut dengan Matthias adalah karena masa kecil mereka. Matthias itu selalu mengejarnya, menyentuhnya bahkan menganggu setiap waktunya. Dia bahkan tak segan memukul anak lelaki lain yang berbicara dengannya. Matthias memperlakukannya seperti mainan yang hanya boleh Matthias mainkan.
"Dia selalu memandangku seperti aku bagian dari menu makan siangnya. Itu tidak lucu, Rie."
Hiriety berusaha menahan tawanya, tetapi gagal. "Kau terlalu sensitif. Matthias memang seperti itu Dia tertarik padamu."
Selena langsung menegang. "Tertarik? Tidak. Jangan mulai dengan asumsi konyol itu."
“Padahal dulu jelas sadar jika kakakku suka padamu tapi kau malah pergi" kata Hiriety santai.
Selena mendengus, berusaha menyembunyikan emosinya. "Suka?” Gumamnya pelan “Itu lebih mirip obsesi. Dia memperlakukanku seperti aku ini boneka yang bisa dia miliki. Selalu memonopoli waktu dan perhatianku. Aku bahkan ingat dia pernah mengurungku di ruang belajarnya"
Hiriety tertawa lebih keras kali ini. "Dan kau, tentu saja, tetap diam-diam menikmati perhatian itu."
"Aku? Menikmati? Tidak, terima kasih!" Selena menyilangkan tangan di dadanya, tetapi suara protesnya terdengar kurang meyakinkan, bahkan di telinganya sendiri.
Hiriety menyipitkan mata, seolah mencoba membaca pikiran Selena. "Yah, mungkin kau tidak menikmatinya saat itu, tapi coba lihat sekarang. Dia tumbuh menjadi pria tampan yang, kau tahu, sedikit melunak."
Selena memutar bola matanya lagi. "Kau terlalu banyak menonton drama romantis. Tolong, kembali ke dunia nyata."
“Salahkan saja ibumu yang selalu merekomendasikan drama romantis padaku” kekehnya ringan
Selena menggelengkan kepalanya, tetapi senyumnya tidak hilang. Hiriety memang memiliki kepribadian yang menyenangkan—mudah tertawa, penuh optimisme, dan kadang-kadang terlalu polos untuk kebaikannya sendiri. Itulah mungkin alasan Lumia, ibunya sangat menyukai Hiriety.
"Ya, ya. Aku tahu ibuku sangat memanjakanmu" kata Selena dengan nada sedikit menggoda. "Kalau kau butuh drama baru, aku bisa merekomendasikan sesuatu yang lebih realistis. Yang tidak membuat orang berpikir hidup itu semanis di layar kaca."
Hiriety tertawa kecil dan menjulurkan lidahnya. "Tidak, terima kasih. Aku akan tetap setia pada cerita-cerita yang membuatku percaya cinta sejati itu nyata."
Sebelum Selena bisa membalas, suara Matthias terdengar dari ruang tamu. "Kalian masih menggosip di sana? Hiri, kau tahu aku tidak punya banyak waktu, kan?"
Selena langsung mendengus, senyumnya lenyap begitu saja. "See? Selalu harus membuat segalanya tentang dirinya" gumamnya sambil melirik Hiriety.
Hiriety menahan tawa dan menarik tangan Selena. "Ayo, sebelum dia mulai mengeluh lebih banyak. Kau tahu dia tidak akan berhenti kalau tidak diberi perhatian."
Mereka melangkah keluar kamar, dan Selena langsung merasakan atmosfer berbeda begitu berada di ruang tamu. Matthias berdiri di dekat jendela kaca dengan cahaya matahari pagi menyinari siluet tubuhnya. Dia memegang ponselnya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya dimasukkan ke dalam saku celana. Pandangannya beralih pada Selena begitu dia masuk, dan senyuman jahil itu kembali menghiasi wajahnya.
“Hai lagi Selena” Sapanya yang membuat Selena merasa akan diterpa badai
“Kakak tinggal disini saja”DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli“H
“Selena Sayang”“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Matthias menekan tombol bel untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dengan kesabaran yang mulai terkikis, ia mengeluarkan ponselnya. Menghubungi adik perempuannya yang sejak tadi tak kunjung membukakan pintu“Buka pintunya" Ucap Matthias tanpa basa basi dengan nada datarnya begitu panggilan terhubung“Oh, kau sudah sampai, kak?”“Cepat buka pintunya sebelum aku marah padamu, Hiri" Matthias menjawab sambil melirik pintu yang tetap tertutup rapat di depannya“Emm ini, aku sedang di luar. Ada urusan mendadak. Masuk saja, password pintunya 1007#. Aku lupa bilang pada Selena kalau kau datang dan sepertinya dijam segini dia ada di ruang olahraga” Hiriety menambahkan dengan nada santai.“Selena?”“Iya kau pasti akan senang bertemu dengannya, aku tutup telponnya ya kak, kita bicara dirumah saja”Matthias menghela napas, dia hendak bertanya lebih lanjut tapi adik kandungnya itu sudah memutuskan panggilan sebelum ia mendapat jawaban.Akhirnya, Matthias memasukkan kode yang diberik
Selena berjalan mondar-mandir di kamar, kepalanya dipenuhi oleh berbagai pikiran yang saling bertubrukan. Ponselnya tergenggam erat di tangan, dan dia menekan nomor Hiriety dengan gerakan cepat. Dering pertama hingga ketiga tidak diangkat, membuat Selena semakin frustrasi.“Ayo, Hiriety! Angkat teleponmu!” gerutunya sambil terus berjalan di atas lantai keramik yang dingin, sementara pikirannya sibuk memikirkan solusi.Matanya melirik pintu kamar, seolah takut Matthias akan tiba-tiba masuk. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredakan kekesalan yang semakin memuncakBeberapa dering berlalu, dan untuk sesaat, dia berpikir Hiriety tidak akan menjawab. Namun, suara mengantuk Hiriety akhirnya terdengar di ujung telepon."Halo? Ada apa, Selena?" tanya Hiriety dengan nada malas."Kau serius, Hiri?" Selena langsung meledak tanpa basa-basi. "Kenapa kau tidak memberitahuku kalau kau menginap di rumah temanmu? Kau meninggalkanku sendirian
Selena baru selesai berganti pakaian saat mendengar ketukan keras di pintu kamarnya "APA?!" Selena berteriak, melepaskan amarahnya ketika pintu terbuka dan menampilkan sosok Matthias "Kau bilang tak akan mengganggu selama tinggal di sini."“Kau menciumnya?” katanya dengan suara rendah dan mengancam.“Hah? Apa?” Selena menatapnya bingung, dia berusaha menjaga jarak saat Matthias mendekat. Namun Matthias tetap melangkah maju mendekatinya “Kau ini kenapa? Bisakah bertingkah seperti kita orang asing saja" suara Selena terdengar lelah, hampir bosan dengan sikap Matthias yang terus mengganggunya."Kau mencium bajingan itu?" tanyanya, suaranya tegas, penuh tuntutan, mengabaikan respon Selena“Kau membicarakan dirimu sendiri?” Balas Selena dengan mencemoohMatthias berhenti sejenak, matanya menyipit, menatap Selena dengan tajam. “Jangan bermain-main denganku, Selena" ucapnya, suara rendah penuh ancaman. “Pria itu, kau menciumnya?” Sambungnya“Mark maksudmu?” Selena berdiri tegak, menatap Matt
“Selena Sayang”“Mark!” Ekspresi Selena langsung berbinar saat melihat Mark menunggu di dekat mobilnya. Ia berlari kecil menghampiri pria itu, senyumnya tak pernah semanis ini setelah hari yang melelahkan.Mark membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit, menggodanya. “Hari yang panjang, ya?”“Seperti biasa” jawab Selena, masuk ke dalam mobil dan meletakkan tasnya di kursi belakang. “Tapi kau pasti tahu cara membuat hariku lebih baik kan?”Mark tersenyum, duduk di kursi kemudi. “Kalau begitu, izinkan aku melakukannya.”Tanpa berkata apa-apa, Mark mendekat dan mengecup bibir Selena. Awalnya lembut, penuh kasih. Selena membalas, menikmati momen itu. Namun, ciuman itu perlahan berubah lebih intens, dan tangan Mark mulai menyusuri tubuh Selena, turun ke pinggangnya.Selena tertegun, menahan tangan Mark dengan lembut namun tegas. Ia
“Kakak tinggal disini saja”DUAR!! Pernyataan sepihak yang dilontarkan Hiriety jelas memicu lonjakan emosi dalam diri Selena. Matanya membelalak, sementara Matthias yang duduk di sofa seberangnya menaikkan alis, senyuman samar terlukis di wajahnya, menikmati situasi yang jelas akan meledak.“Rie, kau tidak serius, kan?” tanya Selena, nadanya tegang tapi mencoba tetap tenang.Hiriety memiringkan kepala, ekspresinya polos seperti anak kecil yang baru saja meminta permen. “Kenapa tidak? Kak Matthias kan tidak punya tempat tinggal sementara di Milan. Lagipula, apartemen ini besar sekali, Selena. Ada kamar tamu yang kosong. Rasanya aneh kalau tidak dimanfaatkan.”“Itu bukan masalah tempat, Rie” Selena berusaha menahan diri, meski suaranya mulai meninggi. “Ini soal kenyamanan. Dan aku tidak nyaman berbagi ruang dengan… dia.”“Aku tidak mau kak Matthias tinggal di hotel ataupun tempat lain disaat adiknya berada di apartemen mewah yang cukup luas untuk ditinggali” Lanjut Hiriety tak peduli“H
Brak!!Selena bersandar di pintu kamarnya, menghembuskan napas panjang sambil memejamkan mata. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan pikiran yang berputar di kepalanya. Tubuhnya menempel pada pintu kayu yang dingin, tetapi jantungnya berdegup begitu cepat, seolah-olah sedang berlomba dengan waktu.“Sialan! Matthias Walton sialan! Kenapa dia muncul dengan panampilan begitu!!! Astaga!! dia terlalu tampan untuk seseorang makhluk fana” gumam Selena lirih.Di pukul pelan pipinya dengan kedua tangan hingga wajahnya yang memerah semakin terasa panas. “Tarik napas, Selena. Kau bukan remaja belasan tahun lagi. Kau perempuan dewasa, usiamu sudah 22 tahun Selena, sadarlah!! Pria tampan bukan hanya Matthias saja. Ingat kekasihmu!!” doktrinnyaSelena menggelengkan kepalanya keras-keras, seolah mencoba mengusir bayangan Matthias yang terus menghantui pikirannya. Ia berjalan ke meja rias dan menatap bayangannya di cermin. Wajahnya me
Matthias menekan tombol bel untuk ketiga kalinya, tetapi tetap tidak ada jawaban. Dengan kesabaran yang mulai terkikis, ia mengeluarkan ponselnya. Menghubungi adik perempuannya yang sejak tadi tak kunjung membukakan pintu“Buka pintunya" Ucap Matthias tanpa basa basi dengan nada datarnya begitu panggilan terhubung“Oh, kau sudah sampai, kak?”“Cepat buka pintunya sebelum aku marah padamu, Hiri" Matthias menjawab sambil melirik pintu yang tetap tertutup rapat di depannya“Emm ini, aku sedang di luar. Ada urusan mendadak. Masuk saja, password pintunya 1007#. Aku lupa bilang pada Selena kalau kau datang dan sepertinya dijam segini dia ada di ruang olahraga” Hiriety menambahkan dengan nada santai.“Selena?”“Iya kau pasti akan senang bertemu dengannya, aku tutup telponnya ya kak, kita bicara dirumah saja”Matthias menghela napas, dia hendak bertanya lebih lanjut tapi adik kandungnya itu sudah memutuskan panggilan sebelum ia mendapat jawaban.Akhirnya, Matthias memasukkan kode yang diberik