“Selena cantik, aku suka” katanya dengan suara yang jernih dan penuh kepolosan
Selena, yang masih berusia 7 tahun, langsung merasa pipinya memanas. Wajahnya yang imut memerah seketika, membuatnya terlihat semakin malu dan lucu. Dia sedikit menundukkan kepala, lalu dengan suara pelan tapi penuh kejujuran, dia berkata, “Matthias juga tampan, Selena suka.”
Gadis kecil itu masih menatap Matthias dengan pandangan yang jujur, tanpa ada rasa malu yang dipahami sepenuhnya. Bagi Selena, segala hal yang datang dari Matthias adalah sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Matthias, yang tampaknya sedikit terkejut dengan respons tersebut, hanya tertawa ringan.
“Selena mau jadi punya aku?”
Malu-malu Selena mengangguk
“Terima kasih, Selena” jawab Matthias dengan senyum bahagianya. Saat itu Selena tidak sepenuhnya mengerti dampak dari kata-katanya pada bocah lelaki 11 tahun itu.
“HAH!&r
Hiriety kembali ke meja makan dengan langkah santai, meskipun pikirannya masih berantakan akibat percakapan singkat dengan Matthias. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun Selena menatapnya dengan sedikit curiga."Semua baik-baik saja?" tanya Selena, menyendok sisa makanannya sambil tetap memperhatikan Hiriety."Ya, hanya urusan kecil, kakakku bilang dia ketinggalan sesuatu" jawab Hiriety sambil mengibaskan tangan, mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia mengambil segelas air, menyesapnya perlahan, lalu menatap Selena dengan senyum tipis. "Ngomong-ngomong, kita punya kelas yang sama jam satu nanti."Selena mengangkat alis. "Kelas apa?"“Branding strategy" jawab Hiriety, sambil menghela napas kecil. "Kau mungkin lupa karena aku jarang muncul di kelas. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk hadir."Selena menyeringai kecil, tidak benar-benar percaya. "Apa yang membuatmu tiba-tiba rajin?"Hiriety terkekeh. "Kudengar ada dosen p
Ketika kelas selesai, Selena dan Hiriety bergegas berkemas. Namun, sebelum mereka sempat keluar dari ruangan, seorang pria dengan jaket denim masuk ke dalam kelas“Mark? Kenapa kesini?” Tanya Selena heran namun tak ayal dia senang dengan kedatangan kekasihnya ituMark berdiri di depan Selena dengan senyum tipis. Matanya melirik Hiriety sejenak sebelum kembali ke Selena.“Aku merindukanmu” ucapnya memeluk Selena, mengabaikkan ekspresi muak Hiriety yang sengaja ditunjukan hanya pada MarkSelena tersenyum tipis, membalas pelukan Mark dengan lembut. Namun, dia segera melepaskannya, menyadari tatapan tajam Hiriety yang penuh sindiran.“Hiriety ada di sini” bisik Selena, mencoba mengingatkan Mark agar sedikit menjaga sikap.“Aku tahu” jawab Mark santai, melirik Hiriety dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. “Hei, Hiriety. Kau tak keberatan, kan?”Hiriety mendengus pelan, melipat
Mark mengantarkan Selena pulang ke apartemennya setelah makan malam. Mobilnya terparkir rapi di basement, suasana parkiran cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang tersusun rapi. Mereka berdua keluar dari mobil, langkah mereka bergema di lantai beton saat mereka menuju lift.Selena menekan tombol lift, dan pintu logam itu terbuka dengan bunyi halus. Mereka masuk ke dalam, dan Selena menekan angka lantai unit apartemennya. Perjalanan naik lift berlangsung hening, hanya ditemani suara mesin yang samar. Mark berdiri di samping Selena, satu tangannya menggenggam tangan Selena dan sebelahnya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak sedikit ragu.Ketika pintu lift terbuka di lantai apartemen Selena, ia melangkah keluar lebih dulu, namun berhenti sejenak di depan pintu unitnya. Ia menoleh pada Mark dengan senyuman kecil."Terima kasih sudah mengantarkan aku pulang" katanya.Mark tersenyum, tetapi tak langsung beranjak pergi. Ia menggaruk tengkuknya, seo
“Selena stop! kau sudah minum cukup banyak" Elsa, salah satu teman satu jurusannya itu memperingatkan dengan cemas.Jika boleh jujur, sebenarnya Elsa agak menyesal mengajak Selena bergabung dengannya. Niat awalnya adalah untuk membuat Selena santai setelah wanita itu datang ke klub sambil memaki namun sekarang, Selena justru nampak semakin depresi“Kau ada masalah dengan Mark?” tanya Giselle mencoba menebak alasan dibalik frustasi Selena"Tidak ada" jawab Selena, mencoba tersenyum meskipun suaranya mulai terdistorsi sedikit.“Masalah dengan Hiriety?” Laura lanjut bertanya“Tak mungkin lah” Jawab Elsa cepatSemua orang di Polietecnico tahu bagaimana dekatnya kedua putri dari keluarga berpengaruh itu“lalu kenapa lagi? Jarang sekali aku lihat Selena seperti ini” Giselle berucap sambil menyesap vodka-nya“ingin cerita Sel?” tanya LauraSelena menggeleng pelan
“Ayo pulang” ulang Matthias dengan nada datar namun penuh otoritas, seolah keputusan itu tidak dapat dibantah.Selena menelan ludah, darahnya berdesir di bawah tatapan Matthias yang seolah menembus dirinya. Ia mencoba melawan, tetapi tubuhnya terasa ringan saat Matthias dengan mudah mengangkatnya, seolah-olah ia tidak lebih berat dari boneka kain. Tangan Matthias mencengkram pinggangnya dengan kuat, sementara tangan yang lain dengan santai meraih tasnya yang tergeletak di meja.“Matthias! Apa yang kau lakukan?!” Selena berusaha meronta, tinjunya menghantam dada pria itu tanpa hasil. Matthias bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh, melanjutkan langkahnya dengan tenang menuju pintu keluar.“Bill kalian sudah kubayar” ucap Matthias sambil melirik ke arah teman-teman Selena yang masih duduk tertegun.“A… ah, ya, terima kasih…” sahut Elsa dengan suara lemah, sementara kedua teman lainnya h
Panas, memabukkan dan menggairahkan.Ini bukan pertama kalinya Selena berciuman namun ini pertama kalinya Selena mendapat perasaan mendamba seperti iniSelena tak tahu jika ciuman akan bisa memberikan sensasi seperti ini.“Ennh.. Matthias...”Matthias tidak memberi ruang bagi Selena untuk menyelesaikan kata-katanya. Ciumannya semakin dalam, lebih menuntut, seolah ingin memastikan bahwa setiap serat dalam tubuh Selena mengingatnya. Tangan Matthias yang semula berada di dinding kini berpindah ke pinggang Selena, menarik tubuhnya lebih dekat hingga tak ada ruang tersisa di antara mereka bahkan didalam lift yang sempit ituSelena merasakan dadanya berdebar keras, napasnya menjadi berat seiring dengan intensitas ciuman itu. Tangannya, yang awalnya ingin mendorong Matthias, kini tanpa sadar mencengkeram bahu pria itu, mencoba mencari pegangan di tengah pusaran emosi yang melingkupinya.“Matthias…” gumam Selena di sel
Pagi datang dengan sinar matahari yang menembus tirai tipis di jendela apartemen. Selena terbangun dengan kepala yang sedikit berat akibat sisa alkohol dari malam sebelumnya. Dia mengusap wajahnya dengan malas, tetapi tiba-tiba sebuah ingatan menyergapnya—ingatan tentang Matthias, ciuman mereka, dan bagaimana itu berlangsung.Wajah Selena langsung memanas. “Astaga” gumamnya, duduk tegak di tempat tidur. Dia memegang kedua pipinya yang terasa panas. “Apa yang kau pikirkan, Selena?!” ujarnya pelan, namun penuh tekanan pada dirinya sendiri.Tidak puas dengan rasa bersalah yang menyergapnya, Selena berdiri dan berjalan ke depan cermin. Dia menatap bayangannya, matanya yang masih sedikit sayu, rambutnya berantakan, dan wajah yang jelas memancarkan rasa malu. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tangan dan menampar pipinya sendiri dengan lembut—cukup untuk menyadarkan dirinya.“Sadarlah, Selena. Itu cuma ciuman! Itu bukan apa-a
“Dari mana?” Tanya Matthias begitu Selena masuk ke dalam apartemenSelena tersenyum tipis, mengangkat kantung belanjaan yang dibawanya. “Membeli ini” jawabnya sambil berjalan menuju dapur.Matthias memperhatikan Selena dengan mata penuh minat. Dia mengikuti Selena kedapur, sekedar untuk membuat kopi“Mau?” TawarnyaSelena menggeleng. “Lambungku tak kuat minum kopi hitam” jawabnya tanpa menoleh, sibuk mengeluarkan bahan-bahan dari kantung belanjaannya.“Begitu sehat” gumam Matthias, suaranya terdengar menggoda, tetapi Selena tidak menggubrisnya.Matthias bersandar di meja dapur, menyeruput kopinya sambil mengamati Selena yang tampak sibuk. “Kau mau masak apa?” tanyanya akhirnya.“Sup daging dan sayuran” jawab Selena sambil meliriknya sekilas.“Kenapa tiba-tiba ingin masak sup?”Selena menghela napas, memotong bawang dengan teliti sebelum menjawab. “Sepertinya tadi malam Hiriety mabuk. Bau alkoholnya begitu kuat saat dia pulang. Sup ini bagus untuk membantunya pulih.”“Kakak ipar yang ba
“Hanya segini?” Tanya Matthias dengan tatapan tajamnyaAlesio terkekeh “Memangnya kau berharap berapa banyak?”Matthias menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya menyipit menatap dokumen di tangannya. “Aku berharap lebih dari ini, Kingston. Kau tahu berapa banyak jaringan yang sudah kita bongkar.”Alesio mengangkat bahu dengan santai, mengambil gelasnya dan menyesap anggur merahnya sebelum berbicara. “Jangan serakah, Walton. Ini bukan hanya tentang seberapa banyak yang kita temukan, tapi seberapa dalam kita bisa menelusurinya.”Matthias mengetukkan jarinya ke meja, pikirannya jelas bekerja. “Jadi, kau pikir ini masih permukaan?”Alesio menyeringai kecil. “Kita berurusan dengan orang-orang yang lebih licik dari yang kita kira. Jika ini mudah, kau dan aku sudah menyelesaikannya sejak lama.”Matthias mendecakkan lidahnya, lalu menutup dokumen itu. “Baiklah. Aku aka
Alesio Kingston, pria itu sempat menghebohkan media dengan pernikahaanya dengan seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Terlebih saat itu ada rumor yang mengatakan jika Alesio merebut wanita yang sudah memiliki tunangan“Ini istriku, Alana” Alesio mengenalkan sang istri yang sedang hamil besar pada Selena“Hallo” Suara halus itu terdengar dari Alana dan Selena mengerti kenapa sosok seperti Alesio bisa menjatuhkan hati pada perempuan ini“Aku Selena” Selena mengenalkan dirinya dengan sangat ramah“Tunanganku” Matthias menambahkan dengan seringai sombongAlana tersenyum hangat, matanya berbinar saat mendengar perkenalan dari Matthias. "Senang bertemu denganmu, Selena. Aku harap kau bisa menikmati pesta ini."Selena membalas senyuman itu. "Terima kasih, dan selamat atas kehamilanmu. Aku yakin Alesio pasti sangat menjagamu."Alesio tertawa kecil, melingkarkan lengannya di pinggang Alana deng
“Princess” Panggil MatthiasSelena yang sedang duduk dan menonton menatap pria itu lekat “Ada apa?” Tanya Selena“Mau ikut denganku malam ini?” TanyanyaSelena terdiam, mempertimbangkan tawaran Matthias. Sejujurnya, ia tidak ingin sendirian di apartemen ini malam ini. Terlebih dirinya juga tak mau jauh dari Matthias“Kemana kita akan pergi?”Matthias menyeringai kecil, lalu duduk di sampingnya. “Aku ada undangan pesta dari keluarga Kingston. Aku ingin kau ikut denganku.”“Kingston? Alesio Kingston?”“Hmm”Selena mengangkat alisnya, jelas terkejut. "Sejak kapan kau bergaul dengan keluarga Kingston?"Matthias terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di punggung sofa, membuatnya semakin dekat dengan Selena. "Bukan bergaul, Princess. Hanya urusan bisnis. Kau tahu jika mereka juga memiliki maskapai penerbangan kan?”Selena mengangguk
“Shh... hisap yang kuat Princess”Mulut Selena terasa kaku, begitupun dengan tangannya. Nyatanya menghibur Matthias dengan mulut dan tangannya tak juga membuat Matthias puas. Andai bulanan Selena sudah selesai, dia pasti akan lebih memilih melebarkan kakinya daripada mulutnya“Terus Princess..”Benda Matthias didalam mulut Selena terasa membesar dan mengeluarkan cairan yang membuat Selena masih merasa aneh“Hah...” Selena menghela napas panjang, ada hawa panas dari semburan lahar Matthias di mulutnya “Rasanya aneh, tapi lebih baik dari yang sebelumnya” gumum SelenaMatthias terkekeh “Aku belum selesai marah padamu, Princess”“Ckk.. ayolah. Kenapa kau terus mencari kesempatan?” Selena bangkit, memposisikan diri di pelukan Matthias yang terbaring di ranjang sejak tadi“Aku menasehati agar kau—“Suara Matthias perlahan lenyap dipendangaran Se
Matthias marah. Itu jelas.Sejak mereka meninggalkan pulau itu, pria itu bahkan tidak menatapnya. Di kapal, Matthias hanya berdiri di buritan dengan tangan terlipat di dada, matanya terpaku pada lautan seolah-olah dia bisa melampiaskan amarahnya pada ombak.Di dalam mobil, suasana semakin menegangkan. Matthias duduk di sampingnya, tetapi jaraknya seperti sejauh benua. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas pahanya, dan napasnya terdengar berat—tanda-tanda khas kalau dia sedang menahan diri agar tidak meledak.Selena meliriknya sekilas, lalu mendesah pelan."Apa kau akan diam saja sepanjang perjalanan?" tanyanya akhirnya.Tidak ada jawaban. Matthias bahkan tidak bergerak.Selena menggigit bibirnya, mencoba menahan senyum geli meskipun tahu situasinya serius. Matthias yang marah memang berbahaya… tapi Matthias yang merajuk? Itu sesuatu yang jarang terjadi.Dia menggeser tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. "
"Tunanganku sudah datang."Selena terkekeh pelan, dia melangkah mundur, menjaga jarak dari NateNate masih menatapnya dengan rahang mengatup rapat. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini menyiratkan keterkejutan dan… kemarahan.“Kau pikir ini sudah selesai?” suaranya rendah, berbahaya.Selena mengangkat bahu, senyum tipis masih menghiasi bibirnya. “Kuharap begitu” Jawab Selena ringanDi luar, suara ledakan lain mengguncang tanah, membuat bangunan bergetar. Para anak buah Nate berlarian dalam kekacauan, beberapa mengangkat senjata, sementara yang lain berteriak mencari perlindungan.Selena menoleh kembali ke Nate yang kini menggertakkan giginya, tinjunya mengepal erat. Pria itu memang cerdas, licik, dan penuh perhitungan, tapi kali ini—dia kalah langkah.Langkahnya untuk mengambil Selena, wanita yang dicintainya sudah salah.Nate menghela napas berat, tatapannya gelap saat melihat Sele
Matthias menatap Hirerty dengan mata abu tajamnya“Kenapa kau tak mengatakan apa-apa?!” TuntutnyaHiriety terkekeh ringan “Salahmu yang tak bertanya”“Demi Tuhan Hirie!! Kau dan Selana merancakan hal seperti berbahaya seperti ini tanpa memberitahuku?!!” suaranya rendah dan penuh kemarahan yang ditahanMatthias menggeram, mengepalkan tinjunya dengan erat. Napasnya masih memburu setelah serangan mendadak yang baru saja terjadi."Kau tahu seberapa bahayanya ini, tapi kau malah membiarkan Selena pergi begitu saja?!"Hiriety menyandarkan dirinya ke dinding dengan santai, ekspresi wajahnya menunjukkan seolah ini bukan masalah besar. "Aku tidak membiarkan dia pergi begitu saja, Matthias" ujarnya, menyilangkan tangan di dada. "Selena dan aku sudah merencanakannya sejak awal."Matthias mengusap wajahnya kasar "Jelaskan semuanya. Sekarang."Hiriety terkekeh “ternyata akting Selena hebat juga samp
"Selamat datang di rumahku" pria itu berkata dengan nada tenang namun berwibawa.Selena tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Rumah? Ini lebih mirip markas tersembunyi bagi orang-orang seperti mereka—sebuah bangunan besar dengan arsitektur megah namun memiliki aura kelam dan dingin.Stevan mendorong punggung Selena dengan lembut, membuatnya berjalan mengikuti pria itu masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu besar yang dijaga ketat oleh pria-pria bersenjata, Selena semakin merasa tidak nyaman.Interior rumah itu dipenuhi marmer hitam dengan lampu gantung yang memberikan cahaya remang. Ada aroma khas—sesuatu yang mahal, bercampur dengan bau samar cerutu.Pria yang dipanggil 'Boss' itu melangkah santai menuju sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap ke laut. Dia berbalik, menatap Selena dengan senyum tipis."Aku harus mengakui" katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Aku tid
"Bodoh! Bisa-bisanya pengawal seperti kalian kehilangan wanitaku" Matthias menghajar dua pria yang ditugaskannya sebagai pengawal SelenaMatthias tidak menahan amarahnya. Tinju kerasnya menghantam wajah salah satu pengawal, membuat pria itu jatuh tersungkur ke lantai dengan darah mengalir dari sudut bibirnya.Satu pria lagi mencoba berbicara, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, pukulan Matthias yang berikutnya mendarat tepat di rahangnya, membuatnya terhuyung ke belakang."Bodoh!" geram Matthias. Napasnya berat, matanya berkilat dengan kemarahan yang begitu pekat. "Kalian hanya punya satu tugas—mengawasi Selena! Dan kalian bahkan tidak bisa melakukan itu?!"Kedua pria itu tidak berani membela diri. Mereka tahu bahwa kesalahan seperti ini tidak bisa dimaafkan.Halland berdiri di sisi ruangan, tidak ikut campur. Dia tahu jika Matthias sedang seperti ini, lebih baik membiarkannya melampiaskan amarah dulu sebelum berbicara logis.Matt