"Tolong berhenti!"
Tavisha mencoba melepaskan diri. Mendorong dada bidang pria yang tidak ia kenal dengan tangan mungilnya, meskipun usahanya berakhir sia-sia karena kakinya tidak sanggup untuk berdiri tanpa bantuan tongkat. Pria itu terlalu kuat baginya. Tubuhnya tinggi dan berotot meskipun wajahnya masih terbilang cukup muda. “Tolong lepaskan saya!” pekik Visha memohon. Usaha Visha untuk lepas, justru semakin membuat pria itu membungkam Visha dengan bibirnya. Visha melihat wajah pria itu diliputi dengan kabut gairah yang membara. Tatapan matanya tajam dengan rahang tegas. Dalam sekejap saja, pria itu melempar Visha ke lantai dan kini telah berada di atas tubuh Visha untuk menguncinya rapat-rapat. Butiran air bening mulai mengalir deras melalui ekor matanya. Ia merasa begitu hancur ketika usahanya sia-sia untuk menjaga kesucian yang selama ini ia lindungi. Ketika kesadaran Visha mulai kembali, hatinya diliputi dengan perasaan campur aduk. Ia merasa sedih, marah, dan menyesal. Mata nanarnya memandangi tubuh polos pria yang berbaring di sampingnya tanpa perasaan bersalah. "Awww!" rintih Visha. Kedua kakinya gemetaran, namun ia tetap berusaha mengayunkan langkah kaki untuk mengambil tongkatnya yang semalam terlempar begitu saja. Diambilnya pakaian yang berserakan di lantai dan dengan langkah tertatih Visha beranjak pergi dalam diam, berusaha agar tidak membangunkan pria itu. Sesampainya di rumah, Visha dengan segera membersihkan dirinya di bawah pancuran air dingin. Sambil terus menggosok-gosokan tubuhnya dengan kencang. Ia merasa begitu kotor ketika mengingat adegan panas menyakitkan yang baru saja terjadi. Ingatan Visha sepenuhnya telah kembali, saat dirinya menerima sebuah pesan dari Rama, mantan kekasihnya yang semalam meminta untuk bertemu di balai desa. Namun, siapa sangka bukan bertemu dengan Rama, ia justru ditarik ke dalam ruangan kosong di balai desa oleh pria yang tak dikenal itu. Visha yakin pria itu adalah salah satu dari mahasiswa yang sedang mengadakan KKN di desanya. Namun, ia juga tidak tahu mengapa pria itu bisa ada di balai desa. Visha berharap dia dapat menghapus kenangan pahit itu seiring aliran air yang melewati tubuhnya. Sambil memukuli dadanya yang sesak, Visha merenungi nasibnya yang terus menerus ditimpa kemalangan. Bermula dari pernikahannya dengan Rama yang gagal karena dirinya mengalami kecelakaan hingga kakinya *menjadi pincang* dan keluarga Rama berakhir menjodohkannya dengan wanita lain. Visha bahkan sempat berfikir untuk mengakhiri hidupnya sekarang karena merasa sudah tidak ada lagi hal berharga dalam dirinya. Namun, bayangan wajah ibunya, Asih yang muncul dalam benak kembali membuatnya tersadar. 'Aku tidak boleh menyerah! Aku harus bangkit dan melupakan ini semua. Sekalipun mungkin tidak akan ada lagi pria yang mau menerima perempuan kotor sepertiku.' *** Getaran ponsel membangunkan sang pria yang masih tertidur pulas. Tangannya meraba-raba sementara matanya masih terpejam erat. "Vin, lo kenapa belum ada di bus?" tanya pria di balik telepon. "Ya? Bus apa?" jawabnya dengan suara parau. "Lo masih tidur? Astaga! Ini sudah jam berapa? Kita udah harus segera pulang ke Jakarta. Teman-teman lain udah menunggu sejak tadi." Kesadaran Calvin Abian Mahessa mulai kembali. Dirinya lantas mematikan ponselnya begitu saja setelah mendegar rentetan ucapan Dion, sahabatnya. “Sial! Apa yang terjadi? Pasti ada yang menjebakku” sungutnya kesal ketika menyadari keadaan tubuhnya tanpa sehelai benang. Calvin mencoba mengingat kejadian semalam di mana ia dipanggil oleh seorang warga untuk membantunya di balai desa, kemudian dirinya diberikan sebuah minuman sebagai ucapan terima kasih. Setelah itu, ia merasa tubuhnya panas dan gairahnya memuncak. Ketika ia mendengar langkah kaki seseorang, tanpa bisa berpikir lagi dirinya langsung menarik wanita itu untuk dijadikan pelampiasan. “Siapa wanita yang ku tiduri semalam?” Lirih Calvin . Pikirannya terasa kacau, tidak bisa memikirkan alasan di balik orang yang berusaha menjebaknya untuk melakukan hal ini. Dirinya kemudian bergegas mengenakan kembali pakaiannya dan menghampiri teman-temannya yang telah menunggu di bus sejak tadi. ‘Maafkan aku, suatu hari nanti, aku harap kita bisa bertemu lagi’ batin Calvin putus asa.“Hoek!” Visha memuntahkan semua isi perutnya. Sudah beberapa minggu ini, dirinya tidak pernah bisa makan dengan normal. Perutnya selalu terasa mual dan hidungnya juga begitu sensitif dengan bau. “Nak, kamu muntah lagi?” ujar Asih dengan raut wajah khawatir. Dalam benaknya terbesit pikiran buruk, namun ia segera mengenyahkannya Asih memegang kedua bahu Tavisha dengan tatapan tajamnya. “Visha, bulan ini Ibu tidak pernah melihat kamu datang bulan? Katakan pada Ibu, kamu tidak pernah berbuat macam-macam, kan Nak?” Tavisha terisak menatap wajah ibunya, dia sendiri merasakan ketakutan. “Ibu ....” “Jawab Ibu! Kamu tidak hamil, kan?” bentaknya. “Bu, Visha tidak tahu,” katanya dengan berat. “Tidak tahu?” Ulang Asih, dia kembali menatap wajah Tavisha. Berharap semua ini tidak terjadi pada anak satu-satunya. Tavisha hanya menggeleng pasrah dan berucap, “Maafin, Visha, Bu.” Asih mengguncang tubuh Tavisha. “Siapa pria yang tidur dengan kamu? Katakan sama Ibu!” Visha menggeleng pe
“Maafkan Visha, ya, Bu. Kita jadi seperti ini karena kesalahan Visha.” Visha terisak sambil memeluk Asih erat. Keduanya berada di sebuah kontrakan kecil setelah nekat menuju Jakarta dengan uang seadanya. Bersyukurnya kerabat Asih, bersedia untuk membantu mereka mencarikan tempat tinggal bahkan pekerjaan untuk Asih sebagai asisten rumah tangga di sebuah perumahan mewah. Setidaknya itu dapat membantu mereka dalam menunjang kebutuhan sehari-hari. Visha juga tidak menyerah untuk melamar pekerjaan. Dan meskipun mengalami banyak penolakan, pada akhirnya usahanya membuahkan hasil. Dirinya diterima bekerja sebagai pegawai cafe. Dirinya begitu menikmati pekerjaannya hingga tanpa terasa sudah tiga bulan ia bekerja di sini. Visha begitu mengaggumi sosok sang pemilik cafe, Dion yang tidak hanya tampan dan memiliki senyum manis tapi juga sangat baik terhadapnya. Dion mengerti kondisi Visha yang cacat dan sedang hamil, sehingga Visha tidak pernah diminta mengerjakan pekerjaan yang berat. Bah
Tidak terasa perut Visha kini semakin membesar. Meskipun dirinya semakin merasa kesulitan untuk tidur dan bergerak. Namun, Visha tetap bekerja dengan keras. Dia tahu bahwa setelah kelahiran anaknya ini, biaya kebutuhan pasti akan semakin bertambah. Itu sebabnya Visha tetap giat bekerja. Peluh keringat membanjiri wajahnya, namun dengan telaten Visha tetap mencuci piring di dapur kafe Dion. Hari ini, kafe begitu sangat ramai pengunjung sehingga cucian piring dan gelas tidak berhenti sejak pagi. Sementara itu, di balik pintu, Dion menatap Visha penuh rasa kagum. Dion merasa hatinya seolah tersentuh akan kerja keras yang ada pada diri Visha, meski fisiknya tak sempurna, tetapi dia salut dengan kekuatan dan ketabahannya menghadapi kehamilan ini sendirian. Dion tidak bisa memahami bagaimana pria itu tega meninggalkan Visha yang tengah hamil. Dia berjanji dalam hati akan selalu ada untuk Visha dan anak yang akan lahir nanti. “Visha, beristirahatlah sejenak. Kamu belum makan sejak tad
Tahun demi tahun telah berganti, anak tampan Visha kini telah berusia tiga tahun dan tumbuh sebagai seorang anak yang cerdas dan tampan. “Bunda, Kai mau Ayah?” pintanya dengan polos yang membuat hati Visha bergetar. Visha mencoba tersenyum. “Kai Maddeva, anak Bunda yang paling baik.” “No! Paling Tampan!” potongnya. Visha mencubit hidung Kai dengan gemas. “Baiklah. Anak Bunda yang paling tampan, Bunda akan mencarikan Ayah untuk kamu, Kai mau Ayah yang seperti apa?” “Seperti Superman,” jawab Kai dengan polos, membuat Visha tak bisa menahan tawanya, meski ada luka yang terpendam. “Bunda, ada Nenek!” seru Kai sembari berlari pada Neneknya yang baru saja tiba. “Assalamualaikum, cucu tampan Nenek. Bagaimana kabarmu, Nak?” sapa sang Nenek dengan penuh kasih sayang. “Wa’alaikumussalam, Nenek!” seru Kai, girang karena melihat Neneknya yang dicintainya. Asih membawa beberapa mainan yang baru dibelinya lalu memberikannya pada Kai. “Oh ya Bu, boleh gak Visha menitipkan
"Kai jangan bicara seperti itu, yah. Maafkan kelakuan cucu Bibi, ya, Den!" kata Asih tak enak hati. ‘Apa anak ini tidak memiliki seorang Ayah?’ Calvin menatap Kai yang kini tertunduk takut setelah ditegur oleh neneknya. “Tidak masalah, kamu bebas panggil dengan sebutan apa saja.” Mendengar jawaban Calvin, Kai memberanikan diri untuk kembali menatap wajahnya dan tersenyum kecil. Sedangkan Asih bukan saja merasa terkejut karena ucapan cucunya yang meminta anak majikannya untuk menjadi ayahnya. Namun, dirinya juga terkejut dengan kemiripan wajah Kai dan Calvin. Pantas saja selama ini Asih selalu merasa wajah Kai mirip seseorang. Asih merasa itu sebuah kebetulan yang aneh. Namun, tentu saja dia tidak berani untuk membayangkan kemungkinan itu. Bagaimanapun status Calvin begitu jauh dengan status anaknya, Tavisha. Sehingga rasanya tidak mungkin bahwa Calvin pernah datang ke desa tempat tinggalnya dahulu. "Ayok cucu Nenek! Kita ke kamar?" ajak Asih, tidak ingin kehadiran Kai
"Ada apa? Kenapa wajah kamu pucat?" tanya Dion khawatir. "A-anu Mas, Visha kebelet. Permisi Mas," ujarnya sembari pergi. "Aneh," gumam Dion melihat kepergian Visha. Dirinya merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Visha. Namun, Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju meeting room untuk bertemu dengan kedua sahabatnya yang telah lama tak ia temui. "Hai, Bro apa kabar?" sapa Dion dengan suara bersemangat. Suasana serius di antara Calvin dan Tama menjadi lebih cair dengan kehadiran Dion. Keduanya menghentikan sejenak pembahasan bisnis mereka. "Gue baik!" sahut Calvin. Tama pun mengangguk, "Gue juga baik, Bro. Gimana dengan kabar elo?" "Kalian berdua ini, benar-benar sudah melupakan gue," keluh Dion sambil duduk di kursi yang tersedia. "Kalian sibuk kerja, sementara gue... lagi berusaha mendapatkan hati seorang wanita," ungkap Dion, matanya berbinar-binar. Calvin dan Tama yang mendengar, kembali terkekeh, saling pandang satu sama lain. "Apa elo nggak takut di
“Tidak mungkin ... kenapa pria itu bisa ada di sini?” Visha menangis sesenggukan, ketakutan, dan cemas. Terutama ketika Visha melihat pria itu keluar dari meeting room. Visha begitu takut mereka akan berpapasan, sehingga dirinya segera bersembunyi di pantry. Visha mengira dirinya hanya salah melihat orang saja, namun begitu melihat lebih jelas. Pria itu memang benar pria yang telah menodainya pada malam kelam saat itu. Pria yang merupakan ayah kandung dari Kai, anaknya. Kai tampak begitu serupa dengan pria yang baru saja dia temui. “Tavisha, kamu sedang apa?” Dion memanggil namanya dengan lembut. Visha terperanjat, wajahnya masih basah oleh air mata dan terlihat pucat. Namun, ia segera menghapus air mata agar tidak membuat Dion merasa curiga. “Ya, Mas,” jawab Visha sambil mendekati Dion dan tersenyum mencoba menyembunyikan kegundahan hatinya. “Kamu sakit?” Dion bertanya dengan wajah penuh kekhawatiran, tangannya menempel lembut di kening Visha. “Enggak, Mas. Sepert
Visha melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih pada Dion yang telah mengantarkannya pulang. Dan kemudian melangkahkan kaki memasuki rumah kontrakannya yang sederhana. Rasa lelahnya terasa hilang begitu mendapati Kai yang menyambutnya. "Anak Bunda, apa kabar kamu Sayang?” “Kai baik, Bunda," jawab Kai dengan wajah cemberut. “Kok cemberut? Ada apa, Sayang? Sini cerita sama Bunda." “Bunda, Kai pengen punya Papah seperti teman-teman. Kai punya Papah kan? Di mana Papah Kai?" Visha mencoba menarik napas, ada saja ucapan yang terlontar dari bibir anak geniusnya itu. ‘Masya Allah Nak, kenapa kamu pintar sekali, apa kamu mewariskan kepintaran dari Papahmu?’ tanya Visha dalam hatinya. Air mata haru mengalir tanpa bisa dibendung lagi, mengetahui betapa besar keinginan anaknya untuk bisa memiliki ayah yang sebenarnya belum tahu keberadaan mereka. Asih, menatap penuh iba kepada cucu dan anaknya itu. "Visha, apa kamu benar-benar tidak tahu siapa pria yang telah menodai kamu pada ma