“Hoek!” Visha memuntahkan semua isi perutnya. Sudah beberapa minggu ini, dirinya tidak pernah bisa makan dengan normal. Perutnya selalu terasa mual dan hidungnya juga begitu sensitif dengan bau.
“Nak, kamu muntah lagi?” ujar Asih dengan raut wajah khawatir. Dalam benaknya terbesit pikiran buruk, namun ia segera mengenyahkannya Asih memegang kedua bahu Tavisha dengan tatapan tajamnya. “Visha, bulan ini Ibu tidak pernah melihat kamu datang bulan? Katakan pada Ibu, kamu tidak pernah berbuat macam-macam, kan Nak?” Tavisha terisak menatap wajah ibunya, dia sendiri merasakan ketakutan. “Ibu ....” “Jawab Ibu! Kamu tidak hamil, kan?” bentaknya. “Bu, Visha tidak tahu,” katanya dengan berat. “Tidak tahu?” Ulang Asih, dia kembali menatap wajah Tavisha. Berharap semua ini tidak terjadi pada anak satu-satunya. Tavisha hanya menggeleng pasrah dan berucap, “Maafin, Visha, Bu.” Asih mengguncang tubuh Tavisha. “Siapa pria yang tidur dengan kamu? Katakan sama Ibu!” Visha menggeleng perlahan. “Visha nggak tahu, Bu. Dia sepertinya bukan dari kampung ini. Visha dipaksa dan dijebak.” “Astaghfirullah, Tavisha!” teriak Asih kesal. Berharap apa yang mereka takutkan tidak terjadi. Asih segera menghubungi sahabatnya yang juga seorang bidan untuk memeriksa kondisi Visha. Dan dugaan Asih benar, anaknya telah mengandung. Tavisha yang melihat keadaan ibunya terpuruk mendekatinya perlahan, mendekap erat tubuhnya. “Maafkan Visha, Bu. Visha benar-benar minta maaf.” Asih terisak memeluk erat Tavisha, meski sangat kecewa dia tetap berusaha untuk melindungi Visha. Sebab itu, Asih memohon pada sahabatnya untuk menyembunyikan rahasia kehamilan ini. 'Brak! Brak! Brak!' Terdengar suara pintu rumah dipukul dengan kasar dan kencang. Membuat Visha dan Asih tersentak kaget begitu mendengarnya. "Keluar!!" “Cepat keluar kamu Tavisha! Aku tahu kamu ada di dalam. Dasar wanita tidak benar.” Suara penuh kemarahan itu membuat Visha dan ibunya menjadi heran. Asih memberikan tongkat pada Visha dan membantunya untuk berjalan menuju pintu. Visha dan Asih terkejut ketika mendapati Dewi, istri dari Rama yang ada di depan mereka ketika pintu dibuka. Wajah Dewi terlihat sangat murka dan suara teriakannya mengundang perhatian para warga yang kini mulai ikut berkumpul di depan rumah Visha. “Ada apa? Kenapa Mbak Dewi mencari saya?” tanya Visha berusaha tenang. “Tavisha! Jangan berlagak suci kamu! Jujur saja pada kami, kamu telah melakukan perbuatan mesum!” ujar Dewi. Dewi kemudian tertawa mengejek setelah mengintip ke dalam rumah dan mendapati ada bidan di rumah Visha. “Hei, semuanya ... Kalian harus tahu, Tavisha, dia sedang hamil, wanita itu akan membawa sial pada desa kita!” ungkap Dewi setengah berteriak. Asih dan Tavisha terkejut, bahkan bisik-bisik para warga, umpatan serta hinaan memenuhi halaman rumah Tavisha. "Dewi jangan asal menuduh Tavisha! Kamu benar-benar keterlaluan!” bentak Asih yang tidak terima putrinya dihina seperti itu. “Aku punya bukti perbuatan mesum wanita sok suci itu! Kalian juga bisa buktikan langsung pada bidan yang ada di dalam rumah mereka,” kata Dewi sembari memperlihatkan cuplikan rekaman Visha saat sedang disetubuhi oleh pria asing. Visha tidak bisa lagi menahan bulir air matanya karena kembali teringat akan kenangan pahit yang ingin ia lupakan itu. Dalam hati, ia tidak menyangka bahwa ada yang tega merekamnya diam-diam bukannya justru menolongnya. “Hei bidan, kamu tidak boleh berbohong atau profesi kamu patut dicurigai. Cepat jujur dan katakan, bahwa Visha saat ini benar sedang mengandung, 'kan?” Mendengar ucapan Dewi dan melihat tatapan mengintimidasi dari para warga, bidan tersebut akhirnya mengakui kebenaran kehamilan Visha. “Usir mereka dari sini! Kami tidak mau desa kita jadi sial!” teriak warga. “Hei, jalang! Siapa Ayah dari bayimu ini? Jangan mencari pembenaran!” hardik Dewi. Keributan itu terdengar hingga di telinga Rama yang juga menjabat sebagai ketua desa. Rama segera menghampiri rumah Visha untuk berusaha mencari kebenarannya. “Tavisha, apa itu benar?” tanya Rama seolah masih tak percaya. Namun, Visha tidak menjawab apa pun. Dirinya hanya bisa menangis terisak. Ia merasa begitu terhina dan bersalah karena ibunya kini harus ikut mengalami penghinaan ini. “Usir mereka dari sini!” teriak para warga lagi. Mereka bahkan mulai bersikap kasar pada Visha. Dengan sengaja ada yang menarik tongkat penopang Visha, sehingga dirinya kemudian jatuh tersungkur di lantai. Asih yang berusaha untuk menolong, bahkan ikut didorong dan dilempari oleh kerikil. “Pak Rama, sebaiknya Anda usir kedua wanita ini dari desa kami. Kami tidak mau ketiban sial,” kata salah satu warga. Para warga terus mendesak Rama untuk membuat keputusan. “Kalian berdua, segera pergi dari desa ini” ucap Rama dengan berat. Sejujurnya Rama tidak ingin mengusir Visha, karena dalam hatinya ia masih mencintai gadis yang pernah menjadi bagian hidupnya itu. Kalau saja bukan karena paksaan orang tuanya, Rama tidak mungkin mau menikah dengan Dewi. “Baik kalau begitu, kami akan bersiap dan pergi sekarang juga.” Asih memegang lengan Visha dan menopangnya agar dapat berdiri kembali. Sedangkan Dewi tersenyum penuh kemenangan, karena rencananya telah berhasil untuk mengusir Tavisha dari desa dan menjauhkannya dari Rama.“Maafkan Visha, ya, Bu. Kita jadi seperti ini karena kesalahan Visha.” Visha terisak sambil memeluk Asih erat. Keduanya berada di sebuah kontrakan kecil setelah nekat menuju Jakarta dengan uang seadanya. Bersyukurnya kerabat Asih, bersedia untuk membantu mereka mencarikan tempat tinggal bahkan pekerjaan untuk Asih sebagai asisten rumah tangga di sebuah perumahan mewah. Setidaknya itu dapat membantu mereka dalam menunjang kebutuhan sehari-hari. Visha juga tidak menyerah untuk melamar pekerjaan. Dan meskipun mengalami banyak penolakan, pada akhirnya usahanya membuahkan hasil. Dirinya diterima bekerja sebagai pegawai cafe. Dirinya begitu menikmati pekerjaannya hingga tanpa terasa sudah tiga bulan ia bekerja di sini. Visha begitu mengaggumi sosok sang pemilik cafe, Dion yang tidak hanya tampan dan memiliki senyum manis tapi juga sangat baik terhadapnya. Dion mengerti kondisi Visha yang cacat dan sedang hamil, sehingga Visha tidak pernah diminta mengerjakan pekerjaan yang berat. Bah
Tidak terasa perut Visha kini semakin membesar. Meskipun dirinya semakin merasa kesulitan untuk tidur dan bergerak. Namun, Visha tetap bekerja dengan keras. Dia tahu bahwa setelah kelahiran anaknya ini, biaya kebutuhan pasti akan semakin bertambah. Itu sebabnya Visha tetap giat bekerja. Peluh keringat membanjiri wajahnya, namun dengan telaten Visha tetap mencuci piring di dapur kafe Dion. Hari ini, kafe begitu sangat ramai pengunjung sehingga cucian piring dan gelas tidak berhenti sejak pagi. Sementara itu, di balik pintu, Dion menatap Visha penuh rasa kagum. Dion merasa hatinya seolah tersentuh akan kerja keras yang ada pada diri Visha, meski fisiknya tak sempurna, tetapi dia salut dengan kekuatan dan ketabahannya menghadapi kehamilan ini sendirian. Dion tidak bisa memahami bagaimana pria itu tega meninggalkan Visha yang tengah hamil. Dia berjanji dalam hati akan selalu ada untuk Visha dan anak yang akan lahir nanti. “Visha, beristirahatlah sejenak. Kamu belum makan sejak tad
Tahun demi tahun telah berganti, anak tampan Visha kini telah berusia tiga tahun dan tumbuh sebagai seorang anak yang cerdas dan tampan. “Bunda, Kai mau Ayah?” pintanya dengan polos yang membuat hati Visha bergetar. Visha mencoba tersenyum. “Kai Maddeva, anak Bunda yang paling baik.” “No! Paling Tampan!” potongnya. Visha mencubit hidung Kai dengan gemas. “Baiklah. Anak Bunda yang paling tampan, Bunda akan mencarikan Ayah untuk kamu, Kai mau Ayah yang seperti apa?” “Seperti Superman,” jawab Kai dengan polos, membuat Visha tak bisa menahan tawanya, meski ada luka yang terpendam. “Bunda, ada Nenek!” seru Kai sembari berlari pada Neneknya yang baru saja tiba. “Assalamualaikum, cucu tampan Nenek. Bagaimana kabarmu, Nak?” sapa sang Nenek dengan penuh kasih sayang. “Wa’alaikumussalam, Nenek!” seru Kai, girang karena melihat Neneknya yang dicintainya. Asih membawa beberapa mainan yang baru dibelinya lalu memberikannya pada Kai. “Oh ya Bu, boleh gak Visha menitipkan
"Kai jangan bicara seperti itu, yah. Maafkan kelakuan cucu Bibi, ya, Den!" kata Asih tak enak hati. ‘Apa anak ini tidak memiliki seorang Ayah?’ Calvin menatap Kai yang kini tertunduk takut setelah ditegur oleh neneknya. “Tidak masalah, kamu bebas panggil dengan sebutan apa saja.” Mendengar jawaban Calvin, Kai memberanikan diri untuk kembali menatap wajahnya dan tersenyum kecil. Sedangkan Asih bukan saja merasa terkejut karena ucapan cucunya yang meminta anak majikannya untuk menjadi ayahnya. Namun, dirinya juga terkejut dengan kemiripan wajah Kai dan Calvin. Pantas saja selama ini Asih selalu merasa wajah Kai mirip seseorang. Asih merasa itu sebuah kebetulan yang aneh. Namun, tentu saja dia tidak berani untuk membayangkan kemungkinan itu. Bagaimanapun status Calvin begitu jauh dengan status anaknya, Tavisha. Sehingga rasanya tidak mungkin bahwa Calvin pernah datang ke desa tempat tinggalnya dahulu. "Ayok cucu Nenek! Kita ke kamar?" ajak Asih, tidak ingin kehadiran Kai
"Ada apa? Kenapa wajah kamu pucat?" tanya Dion khawatir. "A-anu Mas, Visha kebelet. Permisi Mas," ujarnya sembari pergi. "Aneh," gumam Dion melihat kepergian Visha. Dirinya merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Visha. Namun, Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju meeting room untuk bertemu dengan kedua sahabatnya yang telah lama tak ia temui. "Hai, Bro apa kabar?" sapa Dion dengan suara bersemangat. Suasana serius di antara Calvin dan Tama menjadi lebih cair dengan kehadiran Dion. Keduanya menghentikan sejenak pembahasan bisnis mereka. "Gue baik!" sahut Calvin. Tama pun mengangguk, "Gue juga baik, Bro. Gimana dengan kabar elo?" "Kalian berdua ini, benar-benar sudah melupakan gue," keluh Dion sambil duduk di kursi yang tersedia. "Kalian sibuk kerja, sementara gue... lagi berusaha mendapatkan hati seorang wanita," ungkap Dion, matanya berbinar-binar. Calvin dan Tama yang mendengar, kembali terkekeh, saling pandang satu sama lain. "Apa elo nggak takut di
“Tidak mungkin ... kenapa pria itu bisa ada di sini?” Visha menangis sesenggukan, ketakutan, dan cemas. Terutama ketika Visha melihat pria itu keluar dari meeting room. Visha begitu takut mereka akan berpapasan, sehingga dirinya segera bersembunyi di pantry. Visha mengira dirinya hanya salah melihat orang saja, namun begitu melihat lebih jelas. Pria itu memang benar pria yang telah menodainya pada malam kelam saat itu. Pria yang merupakan ayah kandung dari Kai, anaknya. Kai tampak begitu serupa dengan pria yang baru saja dia temui. “Tavisha, kamu sedang apa?” Dion memanggil namanya dengan lembut. Visha terperanjat, wajahnya masih basah oleh air mata dan terlihat pucat. Namun, ia segera menghapus air mata agar tidak membuat Dion merasa curiga. “Ya, Mas,” jawab Visha sambil mendekati Dion dan tersenyum mencoba menyembunyikan kegundahan hatinya. “Kamu sakit?” Dion bertanya dengan wajah penuh kekhawatiran, tangannya menempel lembut di kening Visha. “Enggak, Mas. Sepert
Visha melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih pada Dion yang telah mengantarkannya pulang. Dan kemudian melangkahkan kaki memasuki rumah kontrakannya yang sederhana. Rasa lelahnya terasa hilang begitu mendapati Kai yang menyambutnya. "Anak Bunda, apa kabar kamu Sayang?” “Kai baik, Bunda," jawab Kai dengan wajah cemberut. “Kok cemberut? Ada apa, Sayang? Sini cerita sama Bunda." “Bunda, Kai pengen punya Papah seperti teman-teman. Kai punya Papah kan? Di mana Papah Kai?" Visha mencoba menarik napas, ada saja ucapan yang terlontar dari bibir anak geniusnya itu. ‘Masya Allah Nak, kenapa kamu pintar sekali, apa kamu mewariskan kepintaran dari Papahmu?’ tanya Visha dalam hatinya. Air mata haru mengalir tanpa bisa dibendung lagi, mengetahui betapa besar keinginan anaknya untuk bisa memiliki ayah yang sebenarnya belum tahu keberadaan mereka. Asih, menatap penuh iba kepada cucu dan anaknya itu. "Visha, apa kamu benar-benar tidak tahu siapa pria yang telah menodai kamu pada ma
Malam itu, Visha tak bisa memejamkan matanya dia takut akan segala resiko jika sampai pria yang terkenal dingin dan kaya itu mengambil Kai secara paksa jika tahu kalau Kai adalah benih darinya. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Visha cemas. "Aku harus mencari cara agar pria itu tidak pernah bertemu dengan Kai," lanjutnya. Hingga malam hari dia hanya memandangi foto Calvin ada getar rasa yang sulit ia jelaskan saat menatap foto Calvin. "Terima kasih telah memberikan anak pintar dan tampan seper Kai, dia adalah penyemangat hidupku, aku berharap kamu tidak datang dan mengusik kebahagiaanku bersama Kai, hidupmu terlalu bahagia maka berbahagialah tanpa anak kandungmu," gumam Visha seraya terisak. ** Esok paginya, Kai bangun dan langsung mencari keberadaan Visha, saat menemui Visha yang sedang memasak tangan kecilnya memeluk pinggang ibunya. "Bunda," ucapnya perlahan. Visha terkejut dan ia langsung berjongkok menatap wajah tampan Kai saat bangun tidur. "Jagoan Bunda suda
Calvin memejamkan mata perlahan, air mata luruh membasahi pipinya. Rasa sesal dan penyesalan begitu dalam mencengkeram hatinya. “Mas tahu hatimu masih cinta sama Mas, Sha. Maafin Mas, jika mengecewakan kamu.”“Mas,” ucap Visha akhirnya, suaranya bergetar menahan tangis.“Yah sayang,” jawab Calvin, suaranya terdengar parau.“Berjuanglah, luluhkan dan ...” Visha terdiam, kalimatnya terhenti di tengah jalan. Dia tidak tega untuk melanjutkan kalimatnya. Dia tahu, apa yang dia harapkan dari Calvin sangatlah sulit.“Mas akan berusaha,” jawab Calvin, suaranya terdengar lemah. Dia tahu, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali hati Visha. Namun, dia juga tahu, jalan yang harus dia tempuh tidaklah mudah.“Mas, aku percaya kamu bisa,” ucap Visha, tangannya menggenggam erat ponsel. Dia memberikan dukungan penuh kepada Calvin, meskipun hatinya terluka.“Terima kasih sayang,” ucap Calvin, dengan lega. Dia bersyukur memiliki Visha, wanita yang selalu ada di sisinya, mendukungnya dalam s
Calvin terkejut dengan suara Asih, ibu mertuanya yang meninggi. “Turun!” perintah Asih. “B-baik, Bu.” Calvin menjawab, dia pun membuka pintu dan menghampiri Asih. “Bu, Visha ...” “Mulai sekarang, jangan kamu temui lagi Visha dan Kai. Mereka bahagia meski tanpa kamu, pria pengecut yang selalu termakan hasutan mantan kekasihmu.” Calvin lagi-lagi terkejut dengan ucapan Asih. “Bu ... tapi Visha dan Kai, bagian dari keluarga Calvin.” “Bagian dari keluarga kamu? Lalu ke mana saja saat anakku tadi menangis, bahkan dengan tega kamu mengusirnya?” “Bu, Calvin benar-benar minta maaf! Calvin janji tidak akan mengulangi hal ini lagi.” Calvin berusaha meminta maaf pada Asih, tetapi Asih tak luluh begitu saja. “Cukup! Tinggalkan anak saya sekarang juga!” “Bu,” panggil Visha, dia berdiri dengan tegak, bibirnya gemetar. “Sha, ayok pulang? Maaf, jika Mas tadi ...” “Mas, pulanglah!” Visha menunduk, air matanya menetes. Calvin terdiam, hatinya terasa sesak. Dia mencintai Visha dan
Greta tersenyum licik. Dia pun menambahkan kata-kata lagi untuk meracuni pikiran Calvin. “Oh, jangan-jangan kamu sengaja menggoda Pak Cokro?”Visha tersentak. “Tutup mulutmu!” teriaknya. “Calvin ... Calvin, kamu mau saja ditipu oleh wanita ini! Padahal aku sudah mengantarkan Visha ke depan ruanganmu, tetapi kenapa dia malah pergi ke ruangan Pak Cokro!”“Hentikan ucapanmu, Mbak Greta!” Visha kesal. “Aku bahkan tidak mengenal pria itu!”“Owh yah?” Greta mencemooh. “Aku tidak yakin. Jangan-jangan kamu ...” “Greta, sebaiknya kamu pergi ke ruanganmu!” perintah Calvin, suaranya dingin.Calvin meleraikan pelukannya. Dia berjalan selangkah, hatinya cemburu dan terhasut oleh ucapan Greta. Pandangannya tertuju pada Visha yang berdiri terdiam, wajahnya memerah menahan amarah.“Visha, sebaiknya kamu pulang. Biar Bara yang antar kamu,” ucap Calvin, suaranya terdengar dingin.“Mas, aku ke sini hanya untuk bertemu dengan kamu. Aku bawain ...” Visha mencoba menjelaskan, tetapi Calvin langs
Tanpa merasa curiga, Visha masuk ke dalam ruangan itu. Dia duduk di sofa, sesekali menatap satu per satu ruangan yang tampak mewah. "Jadi ini ruangan kerja Mas Calvin," ucapnya bangga.Visha berjalan menuju jendela, menatap indahnya pemandangan dari atas gedung bertingkat lima. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawanya pada lamunan tentang masa depan bersama Calvin."Semoga saja dengan kedatanganku kemari, Mas Calvin akan sangat bahagia," gumam Visha, matanya berkaca-kaca.Pada saat Visha sedang melamun, pintu ruangan terbuka dengan suara berderit. Seorang pria gendut berwajah garang terkejut dengan pemandangan wanita yang berbaju merah berdiri dengan anggunnya di dekat jendela."Wow, bukannya aku baru beberapa menit memesan wanita cantik? Rupanya Carles cepat sekali mendapatkan wanita cantik!" katanya sembari melangkah mendekati Visha.Visha yang sedang melamun tak menyadari gerakan langkah kaki yang mendekat. Dia tersentak kaget saat merasakan tangan kekar itu melingka
Visha berjongkok di depan Kai, puteranya yang polos. Tangannya menggenggam erat tangan mungil Kai, mencoba menenangkan. "Sayang, Jangan berbicara seperti itu yah, Nak. Papah Calvin—""Stop Bunda, Om Superman bukan Papah Kai!" teriak Kai, suaranya bergetar menahan tangis."Nak!" Visha terkesiap, hatinya tersayat mendengar kata-kata putranya.Kai menghempaskan tangannya, dia berbalik mendekati Asih, neneknya. "Nek, Kai mau tinggal di sini sama Nenek, Kai tidak mau bertemu dengan Om jahat."Asih memeluk erat Kai, tangannya mengusap perlahan rambut Kai. "Sayang, ayok sekarang Kai cuci kaki dan kita berangkat sekolah. Nanti Nenek yang antar kamu ke sekolah."Kai mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia pun bergegas pergi meninggalkan Visha yang berdiri terpaku, air matanya menetes perlahan."Bu?" panggil Visha, suaranya terengah-engah. "Kamu harus bersabar, Kai masih trauma pada Ayahnya, biarkan dia tenang dulu!" kata Asih, lembut.Visha hanya bisa mengangguk, hatinya pedih meliha
Visha berdecak kesal, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Calvin. Jari-jarinya menekan tombol Power, mematikan layar yang menampilkan pesan yang membuatnya geram.“Menyebalkan, apa kamu pikir aku butuh uangmu!” gerutu Visha, suaranya meninggi. Dia melempar ponselnya ke atas ranjang, kepalanya tertunduk lesu.Visha enggan untuk menelepon kembali Calvin, apalagi menjelaskannya. Perasaannya campur, antara kesal, kecewa, dan sedikit takut.“Huhh! Kenapa jadi seperti ini?” gumam Visha, lelah. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Asih kembali mendekati Visha. “Bagaimana, apa suami kamu mengizinkannya?” tanyanya, matanya penuh harap.Visha menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. “Iyah Bu, Mas Calvin sudah mengizinkan Visha untuk menginap di rumah Ibu,” jawabnya berbohong.“Ya sudah, ayok bantu Ibu membereskannya rumah ini?” Asih tersenyum, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Visha.Keduanya seharian membereskan ruma
Visha mengecup pipi Kai yang Chubby, meski hatinya terasa resah akan kelangsungan pernikahannya dengan Calvin. “Kenapa ini bisa terjadi di saat bulan madu kami?” gumam Visha tak mengerti.Di perusahaan Calvin, sang ayah, Pak Mahessa, memutuskan untuk memantau perkembangan para klien di rumah mereka. “Kita harus selalu memantau saham perusahaan, Calvin. Situasi perusahaan sedang tidak baik,” ujar Pak Mahessa. Calvin, Bara, bahkan Greta pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di sana, Kai berlari saat melihat Calvin. “Papah, sudah pulang? Adik bayinya mana?” tanya Kai, “Papah, ayok kita bermain?” ajak Kai dengan riang. Calvin yang sedang emosi langsung membentak Kai. “Kai, diam! Jangan ganggu Papah!”“Mas!” teriak Visha, “Kenapa kamu marahin Kai? Dia tidak tahu apa-apa Mas!”Calvin menatap wajah Visha kesal, “Harusnya kamu jaga anakmu. Sudah tahu Mas sedang pusing memikirkan perusahaan!”“Anakku? Oh, kamu benar, dia anakku.” Visha terdiam, matanya berkaca-kaca.“Astagh
Selesai bersih-bersih, saat Calvin akan mencium bibir Visha, ponselnya berdering.“Mas, angkat dulu teleponnya, siapa tahu penting!” ucap Visha.“Huhh! Mengganggu saja, harusnya tadi Mas matikan dulu teleponnya!” keluhnya kesal, tangannya masih terulur hendak meraih Visha.Visha terkekeh pelan, menarik hidung Calvin gemas. “Angkat dulu, kita bisa memulainya nanti bukan.”“Hmm, baiklah! Mas angkat telepon dulu yah, kamu tunggu di tempat tidur.” Calvin berusaha menahan gejolak di hatinya, mencoba fokus pada panggilan yang mengusik ketenangannya.Visha mengangguk, Calvin meraih ponselnya yang di simpan di atas meja. Saat nama ‘Bara’ muncul di layar ponsel, dia mendengus kesal.“Ah, sial! Mengganggu saja!” pekiknya kesal, sembari tetap mengangkat panggilan itu.“Hallo, bos?” sapa Bara.“Ya, ada apa? Apa kamu tidak punya kerjaan mengganggu saya?” Nada Calvin terdengar dingin, penuh kekecewaan.“Cal, ini Papah!” ucap Mahessa.“Papah!” Calvin terkejut, jantungnya berdebar kencang.
Calvin tertawa saat melihat wajah Visha yang gugup. "Apa kamu takut?" Visha mengangguk perlahan, meski begitu dia tak mau membuat Calvin kecewa. "Aku siap Mas!" jawab Visha, akhirnya. Calvin tersenyum, dia mengecup kening Visha perlahan. "Hemm, sayangnya Mas tidak akan melakukannya sekaranh. Oh yah, sayang... nanti siang persiapkan barang-barang Mas dan kamu yah, Mas akan ajak kamu pergi bulan madu!" "Bulan madu? Kai bagaimana Mas?" tanya Visha. "Sayang, Kai sementara sama orang tua kita dulu yah!" jawab Calvin, "Jangan khawatir, mereka pasti akan senang menjaga Kai." Visha terdiam sejenak, memikirkan hal itu. Dia tahu bahwa orang tua mereka sangat menyayangi Kai dan akan merawatnya dengan baik. Namun, tetap saja ada sedikit keraguan di hatinya. "Mas, apa kedua orang tua Mas nggak akan keberatan?" tanyanya. "Tentu tidak sayang," jawab Calvin, "Lagipula, kita tidak akan pergi terlalu lama. Hanya beberapa hari saja." Visha mengangguk, lega. "Baiklah Mas, aku persiapkan d