Tidak terasa perut Visha kini semakin membesar. Meskipun dirinya semakin merasa kesulitan untuk tidur dan bergerak. Namun, Visha tetap bekerja dengan keras. Dia tahu bahwa setelah kelahiran anaknya ini, biaya kebutuhan pasti akan semakin bertambah. Itu sebabnya Visha tetap giat bekerja.
Peluh keringat membanjiri wajahnya, namun dengan telaten Visha tetap mencuci piring di dapur kafe Dion. Hari ini, kafe begitu sangat ramai pengunjung sehingga cucian piring dan gelas tidak berhenti sejak pagi. Sementara itu, di balik pintu, Dion menatap Visha penuh rasa kagum. Dion merasa hatinya seolah tersentuh akan kerja keras yang ada pada diri Visha, meski fisiknya tak sempurna, tetapi dia salut dengan kekuatan dan ketabahannya menghadapi kehamilan ini sendirian. Dion tidak bisa memahami bagaimana pria itu tega meninggalkan Visha yang tengah hamil. Dia berjanji dalam hati akan selalu ada untuk Visha dan anak yang akan lahir nanti. “Visha, beristirahatlah sejenak. Kamu belum makan sejak tadi siang kan?” ucap Dion tulus. “Eum, Pak Dion,” sapa Visha dengan lemah. “Saya belum lapar, nanti saja tidak apa-apa,” lanjut Visha sambil menggosok piring di depannya. “Jangan seperti itu, kamu harus ingat bahwa janin kamu harus segera diberi makan. Kasihan, nanti dia kelaparan.” Dion menghampiri Visha dan membantunya untuk membuka celemek di tubuh wanita itu serta mendorong tubuhnya pelan untuk duduk di pantry. Visha tersenyum tipis, mengangguk patuh. Dalam hatinya, dia sangat merasa bersyukur mendapatkan bos yang super baik seperti Pak Dion. Dion tak bisa menghilangkan rasa kagumnya pada wanita cantik nan tangguh di hadapannya. “Suatu hari nanti, aku ingin menjadikan kamu istriku,” gumam Dion, berharap mungkin takdir bisa mempertemukan mereka dalam ikatan suci. “Apa, Pak?” tanya Visha, matanya membesar karena mendengar sesuatu yang tak terduga. “Ah, tidak ... bukan apa-apa,” elak Dion dengan gugup, merasa tertangkap basah oleh tatapan tajam Visha. Hatinya berdebar, dan untuk menyembunyikan perasaannya, ia memilih meninggalkan Visha yang kini tenggelam dalam lamunan. Setelah Dion pergi, Visha meringis ketika merasakan perutnya mulai terasa sakit. Dirinya segera mengelus pelan perutnya sambil bergumam supaya sang bayi kembali tenang karena setelah ini dia masih harus kembali bekerja. “Ahh, kenapa sakit sekali,” rengek Visha sambil berusaha menarik napas dalam-dalam untuk meredakan rasa sakit tersebut. Sayangnya perutnya justru malah semakin terasa kencang dan sakit. Visha mengaduh tertahan. Dia segera bangkit dari tempat duduk dan mengambil tongkatnya untuk melangkah. Baru satu langkah, Visha merasa kakinya tidak kuat lagi untuk melangkah. Sehingga dirinya kemudian terjatuh. “To ...Tolong ...,” rintih Visha kesakitan. Beruntung Dion mendengar rintihan Visha dan bergegas berlari menghampirinya. Dion terbelalak kaget mendapati Visha yang sudah tersungkur di lantai sambil memegang perutnya. Cairan bening menetes di kaki Visha. Melihat hal itu, Dion sengan segera menopang tubuh Visha dan meminta pegawainya yang lain untuk memanggil ambulance. “Bertahanlah Visha, sebentar lagi kamu akan ditangani oleh dokter di rumah sakit.” Visha hanya dapat mengangguk pelan mendengar ucapan Dion. Dalam hati Visha berharap janin yang ada di perutnya akan baik-baik saja. Beberapa saat kemudian, ambulance datang dan dengan sigap menggotong tubuh Visha. Dan sesampainya di rumah sakit, Visha segera ditangani oleh dokter kandungan. “Apakah Anda suaminya?” Dion terkejut mendapati pertanyaan dari sang dokter. Dirinya tidak tahu harus menjawab apa. Tanpa menunggu jawaban Dion, dokter kembali berujar, “Istri Anda akan segera melahirkan. Namun, perlu dilakukan operasi caesar. Mohon tunggu proses persalinannya.” Setelah mengatakan itu, Visha dibawa ke ruang operasi. Hati Dion berdebar tak karuan, perasaan khawatir dan cemas bercampur menjadi satu. Setelah menjalani proses yang panjang dan melelahkan, akhirnya Visha melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Dokter yang tadi menangani Visha menyerahkan bayi mungil itu kepada Dion untuk digendong. Wajah kecil itu tampak begitu sempurna di antara gemuruh tangis pertamanya di dunia. Dion memandangi wajah bayi itu, matanya berkaca-kaca saat menyadari ada sesuatu yang familiar mengenai wajah anak yang baru saja mereka lahirkan. Terasa bagai déjàvu, seolah pernah mengenal sosok wajah ini sebelumnya. “Dia terlihat tampan sekali,” ucap Dion lembut, seraya menyerahkan bayi mungil yang tampan pada Visha. Mata Visha berkaca-kaca, tangan gemetar saat menggenggam bayi itu. Terdiam sejenak, kemudian dia menangis terharu sambil menatap wajah anaknya. “Apa seperti ini, wajah Ayah kandungmu, Nak?” gumam Visha dengan bibir bergetar, terisak pilu. Dia mengecup bayi tampan itu yang memiliki kulit putih, mata kecil dan alis tebal. Merasa jatuh cinta untuk pertama kalinya pada bayi ini. “Visha?” panggil Dion lirih, matanya hangat penuh pengertian. “Oh, maaf. Pak Dion, terima kasih sudah membantu Visha selama ini,” ucap Visha tersipu, mengendalikan tangisnya. “Bapak lagi, panggil aku Mas Dion aja,” ujarnya sambil tersenyum ramah. Visha memandang Dion, tersenyum tulus. “Terima kasih, Mas. Visha merasa sangat beruntung bertemu dengan pria baik hati seperti Mas Dion.” Dion terkekeh, “Jangan Cuma berterima kasih, nanti kamu harus membayarnya.” Mata Visha melebar. “Baiklah, Mas, aku janji akan bekerja dengan giat lagi untuk membayarnya.” Dion tertawa geli, “Bukan begitu maksudku. Aku tidak suruh kamu membayarnya dengan uang. Nanti suatu hari aku akan menagih janji lain padamu, ya.” Visha mengangguk penuh penasaran, dia berjanji akan membalas kebaikan Dion dengan penuh ikhlas dan tulus. Hatinya dipenuhi oleh rasa terima kasih yang tak terhingga. “Baiklah Mas, semoga aku bisa mengabulkan permintaan kamu,” ucapnya lembut. ** Sementara di kantor, Calvin memejamkan mata sejenak. Hatinya sejak pagi diliputi perasaan tidak enak, jantungnya berdebar tak karuan. Calvin tidak mengerti mengapa dia merasa seperti ini. Padahal pekerjaannya berjalan dengan sangat baik. ‘Aneh sekali, apa ada hal buruk yang terjadi?’ gumam Calvin sambil memijat pelipisnya yang terasa pusing. Beberapa bulan ini dirinya juga mudah sakit, padahal Calvin begitu rajin berolahraga dan hanya akan memakan makanan sehat. Namun, belakangan dirinya sering sekali merasa mual dan cukup sensitif dengan bau makanan. “Kenapa wajah kamu terlihat pucat begitu?” Mirra yang mendadak masuk ke dalam ruangan Calvin, membuyarkan lamunan pria itu. Mirra nampak khawatir melihat keadaan putranya yang belakangan tampak lelah. “Belakangan ini kamu juga sering muntah. Aneh sekali, kamu tampak seperti seorang suami yang sedang ikut merasa mual karena istrinya sedang mengandung!” lanjut Mirra sambil tertawa membayangkannya. Calvin terdiam sejenak. ‘Apa jangan-jangan hal ini ada kaitannya dengan wanita itu?’ Dirinya kemudian berdeham dan berusaha mengenyahkan pikiran itu “Tidak apa-apa, sepertinya hanya kelelahan,” ujar Calvin. “Kamu ini jangan seperti Papa mu yang gila kerja. Beristirahatlah sejenak, Mama juga berharap kamu bisa segera menikah,” lanjutnya. Calvin menghembuskan nafasnya. Dirinya bahkan belum terpikirkan untuk menikah, namun kedua orang tuanya justru selalu mendesaknya untuk melakukan hal itu. “Calvin, bagaimana dengan Greta? Greta wanita baik, apalagi dia dari keluarga terpandang. Dan tentunya, Mama juga sudah lama kenal sama Greta. Mama berharap kamu bisa segera balikan dengannya. Mama dan Papa sudah menginginkan cucu dari kamu,” kata Mirra. Calvin tersenyum tipis. Dirinya memang tidak pernah bercerita soal perilaku Greta yang telah berselingkuh pada kedua orang tuanya. Meskipun sempat sakit hati, namun dia masih memikirkan hubungan baik di antara kedua orang tua mereka, sehingga Calvin hanya mengatakan keduanya putus karena sudah tidak cocok. Namun, tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran Calvin untuk kembali balikan dengan Greta. Kalaupun dia harus menikah, maka akan lebih baik jika dirinya menikah dengan wanita yang pernah ia tiduri saat itu.Tahun demi tahun telah berganti, anak tampan Visha kini telah berusia tiga tahun dan tumbuh sebagai seorang anak yang cerdas dan tampan. “Bunda, Kai mau Ayah?” pintanya dengan polos yang membuat hati Visha bergetar. Visha mencoba tersenyum. “Kai Maddeva, anak Bunda yang paling baik.” “No! Paling Tampan!” potongnya. Visha mencubit hidung Kai dengan gemas. “Baiklah. Anak Bunda yang paling tampan, Bunda akan mencarikan Ayah untuk kamu, Kai mau Ayah yang seperti apa?” “Seperti Superman,” jawab Kai dengan polos, membuat Visha tak bisa menahan tawanya, meski ada luka yang terpendam. “Bunda, ada Nenek!” seru Kai sembari berlari pada Neneknya yang baru saja tiba. “Assalamualaikum, cucu tampan Nenek. Bagaimana kabarmu, Nak?” sapa sang Nenek dengan penuh kasih sayang. “Wa’alaikumussalam, Nenek!” seru Kai, girang karena melihat Neneknya yang dicintainya. Asih membawa beberapa mainan yang baru dibelinya lalu memberikannya pada Kai. “Oh ya Bu, boleh gak Visha menitipkan
"Kai jangan bicara seperti itu, yah. Maafkan kelakuan cucu Bibi, ya, Den!" kata Asih tak enak hati. ‘Apa anak ini tidak memiliki seorang Ayah?’ Calvin menatap Kai yang kini tertunduk takut setelah ditegur oleh neneknya. “Tidak masalah, kamu bebas panggil dengan sebutan apa saja.” Mendengar jawaban Calvin, Kai memberanikan diri untuk kembali menatap wajahnya dan tersenyum kecil. Sedangkan Asih bukan saja merasa terkejut karena ucapan cucunya yang meminta anak majikannya untuk menjadi ayahnya. Namun, dirinya juga terkejut dengan kemiripan wajah Kai dan Calvin. Pantas saja selama ini Asih selalu merasa wajah Kai mirip seseorang. Asih merasa itu sebuah kebetulan yang aneh. Namun, tentu saja dia tidak berani untuk membayangkan kemungkinan itu. Bagaimanapun status Calvin begitu jauh dengan status anaknya, Tavisha. Sehingga rasanya tidak mungkin bahwa Calvin pernah datang ke desa tempat tinggalnya dahulu. "Ayok cucu Nenek! Kita ke kamar?" ajak Asih, tidak ingin kehadiran Kai
"Ada apa? Kenapa wajah kamu pucat?" tanya Dion khawatir. "A-anu Mas, Visha kebelet. Permisi Mas," ujarnya sembari pergi. "Aneh," gumam Dion melihat kepergian Visha. Dirinya merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Visha. Namun, Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju meeting room untuk bertemu dengan kedua sahabatnya yang telah lama tak ia temui. "Hai, Bro apa kabar?" sapa Dion dengan suara bersemangat. Suasana serius di antara Calvin dan Tama menjadi lebih cair dengan kehadiran Dion. Keduanya menghentikan sejenak pembahasan bisnis mereka. "Gue baik!" sahut Calvin. Tama pun mengangguk, "Gue juga baik, Bro. Gimana dengan kabar elo?" "Kalian berdua ini, benar-benar sudah melupakan gue," keluh Dion sambil duduk di kursi yang tersedia. "Kalian sibuk kerja, sementara gue... lagi berusaha mendapatkan hati seorang wanita," ungkap Dion, matanya berbinar-binar. Calvin dan Tama yang mendengar, kembali terkekeh, saling pandang satu sama lain. "Apa elo nggak takut di
“Tidak mungkin ... kenapa pria itu bisa ada di sini?” Visha menangis sesenggukan, ketakutan, dan cemas. Terutama ketika Visha melihat pria itu keluar dari meeting room. Visha begitu takut mereka akan berpapasan, sehingga dirinya segera bersembunyi di pantry. Visha mengira dirinya hanya salah melihat orang saja, namun begitu melihat lebih jelas. Pria itu memang benar pria yang telah menodainya pada malam kelam saat itu. Pria yang merupakan ayah kandung dari Kai, anaknya. Kai tampak begitu serupa dengan pria yang baru saja dia temui. “Tavisha, kamu sedang apa?” Dion memanggil namanya dengan lembut. Visha terperanjat, wajahnya masih basah oleh air mata dan terlihat pucat. Namun, ia segera menghapus air mata agar tidak membuat Dion merasa curiga. “Ya, Mas,” jawab Visha sambil mendekati Dion dan tersenyum mencoba menyembunyikan kegundahan hatinya. “Kamu sakit?” Dion bertanya dengan wajah penuh kekhawatiran, tangannya menempel lembut di kening Visha. “Enggak, Mas. Sepert
Visha melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih pada Dion yang telah mengantarkannya pulang. Dan kemudian melangkahkan kaki memasuki rumah kontrakannya yang sederhana. Rasa lelahnya terasa hilang begitu mendapati Kai yang menyambutnya. "Anak Bunda, apa kabar kamu Sayang?” “Kai baik, Bunda," jawab Kai dengan wajah cemberut. “Kok cemberut? Ada apa, Sayang? Sini cerita sama Bunda." “Bunda, Kai pengen punya Papah seperti teman-teman. Kai punya Papah kan? Di mana Papah Kai?" Visha mencoba menarik napas, ada saja ucapan yang terlontar dari bibir anak geniusnya itu. ‘Masya Allah Nak, kenapa kamu pintar sekali, apa kamu mewariskan kepintaran dari Papahmu?’ tanya Visha dalam hatinya. Air mata haru mengalir tanpa bisa dibendung lagi, mengetahui betapa besar keinginan anaknya untuk bisa memiliki ayah yang sebenarnya belum tahu keberadaan mereka. Asih, menatap penuh iba kepada cucu dan anaknya itu. "Visha, apa kamu benar-benar tidak tahu siapa pria yang telah menodai kamu pada ma
Malam itu, Visha tak bisa memejamkan matanya dia takut akan segala resiko jika sampai pria yang terkenal dingin dan kaya itu mengambil Kai secara paksa jika tahu kalau Kai adalah benih darinya. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Visha cemas. "Aku harus mencari cara agar pria itu tidak pernah bertemu dengan Kai," lanjutnya. Hingga malam hari dia hanya memandangi foto Calvin ada getar rasa yang sulit ia jelaskan saat menatap foto Calvin. "Terima kasih telah memberikan anak pintar dan tampan seper Kai, dia adalah penyemangat hidupku, aku berharap kamu tidak datang dan mengusik kebahagiaanku bersama Kai, hidupmu terlalu bahagia maka berbahagialah tanpa anak kandungmu," gumam Visha seraya terisak. ** Esok paginya, Kai bangun dan langsung mencari keberadaan Visha, saat menemui Visha yang sedang memasak tangan kecilnya memeluk pinggang ibunya. "Bunda," ucapnya perlahan. Visha terkejut dan ia langsung berjongkok menatap wajah tampan Kai saat bangun tidur. "Jagoan Bunda suda
Pagi ini, Kai diajak kembali oleh Visha untuk ikut dirinya bekerja di kafe setelah mendapat ijin dari Dion. "Bunda sini, Om Superman ada di televisi," Kai tiba-tiba berteriak begitu melihat siaran ulang wawancara Calvin di televisi. "Ya sayang, tunggu sebentar Bunda lagi cuci piring," sahut Visha. Namun, Kai kembali berseru dengan girang saat melihat Calvin sedang diwawancarai. "Oom Superman tampan," gumam Kai sembari bertepuk tangan, dia memanggil kembali Visha dengan berteriak membuat salah satu karyawan Dion, Rani yang tak sengaja melewat menatap tajam pada Kai. "Hei anak wanita cacat dasar anak haram! Bisa diam nggak!" Kai langsung menunduk penuh ketakutan, tetapi dia ingat apa kata Asih, neneknya. 'Jadi Superman itu harus kuat, jika Kai tidak bersalah maka tatap wajah musuh Kai yang ada di depan.' "Hei monster jahat!" teriak Kai. Visha yang sedang mencuci piring tak sengaja mendengar teriakan Kai, dia pun segera meraih satu tongkatnya dan berjalan mendekati Kai.
"Saya permisi dulu, Pak!" pamit Visha dengan segera. Dia melangkah dengan kaki gemetar, saat bertatap muka kembali. Sedangkan Calvin terus menatap dirinya. Visha berusaha membuang tatapan wajahnya enggan menatap pria yang telah menghancurkan seluruh kehidupannya. "Dion, wanita yang tadi akan elo ajak juga saat pesta perusahaan?" tanya Calvin. "Maksud elo, Visha?" Dion berbalik tanya. "Ya, Visha," ucapnya, seolah nama itu telah bersemi dalam hatinya. "Ya, Visha pasti ikut. Tenang, elo nggak usah khawatir, Visha rajin orangnya dan masalah cacat kakinya, dia bisa tetap bekerja," jelas Dion. Selesai berbincang, Calvin pamit pergi. Namun, matanya tertuju pada Visha yang sedang berjalan menuju ruangan peristirahatannya. Calvin berdeham, saat ia bertatap muka dengan Visha, jantungnya kembali berdegup kencang. Visha tampak gugup, matanya justru mencari keberadaan Kai yang entah pergi ke mana. "Ya Tuhan... aku mohon jangan pertemukan Kai dengan pria ini, aku tak sanggup jika ini