Share

Wajah yang serupa

Tahun demi tahun telah berganti, anak tampan Visha kini telah berusia tiga tahun dan tumbuh sebagai seorang anak yang cerdas dan tampan.

“Bunda, Kai mau Ayah?” pintanya dengan polos yang membuat hati Visha bergetar.

Visha mencoba tersenyum. “Kai Maddeva, anak Bunda yang paling baik.”

“No! Paling Tampan!” potongnya.

Visha mencubit hidung Kai dengan gemas. “Baiklah. Anak Bunda yang paling tampan, Bunda akan mencarikan Ayah untuk kamu, Kai mau Ayah yang seperti apa?”

“Seperti Superman,” jawab Kai dengan polos, membuat Visha tak bisa menahan tawanya, meski ada luka yang terpendam.

“Bunda, ada Nenek!” seru Kai sembari berlari pada Neneknya yang baru saja tiba.

“Assalamualaikum, cucu tampan Nenek. Bagaimana kabarmu, Nak?” sapa sang Nenek dengan penuh kasih sayang.

“Wa’alaikumussalam, Nenek!” seru Kai, girang karena melihat Neneknya yang dicintainya.

Asih membawa beberapa mainan yang baru dibelinya lalu memberikannya pada Kai.

“Oh ya Bu, boleh gak Visha menitipkan Kai seminggu ini? Kafe Pak Dion sedang ramai pengunjung, Visha tidak mungkin membawa Kai ke sana,” ujarnya dengan wajah yang khawatir.

“Ya sudah, tidak apa-apa. Ibu akan meminta ijin pada Nyonya Mirra,” sahut ibunya dengan penuh pengertian.

“Terima kasih ya, Bu.” Visha menghela napas lega, kemudian beralih pada sang anak, “Sayang, Kai tinggal bersama Nenek dulu, ya? Bunda akan kembali menjemputmu setelah semua pekerjaan Bunda selesai.”

“Ok, Bunda,” jawab Kai polos, dengan nada yang manis.

“Ingat pesan Bunda, ya. Kai tidak boleh apa?”

“Nakal,” jawabnya polos.

“Anak pintar!”

*

Sore itu, Asih membawa Kai menuju rumah bosnya.

“Kai, diam di kamar sana ya? Nenek mau minta izin dulu sama bos Nenek agar kamu bisa tinggal di sini sementara waktu,” kata sang Nenek lembut.

“Ok, Nenek,” jawab Kai polos, seakan-akan mengerti apa yang akan dilakukan Nenek.

Asih tidak bisa menahan kegembiraan dan kegemasannya. Dia pun mencubit hidung mancung cucunya itu, lalu mengelus kepalanya sayang. Setelah yakin bahwa Kai telah aman di kamar, Asih keluar untuk menemui bosnya guna meminta izin agar cucunya bisa tinggal sementara waktu bersama keluarga besar mereka di sini.

Namun, Kai yang penasaran berjalan keluar, menatap rumah yang megah di depannya.

Langkah kecilnya mengelilingi rumah sebesar itu, penasaran dengan apa yang ada di sana. Dia tersenyum, berjingkrak menatap wajah tampannya di lantai yang seperti cermin, bahkan rupanya yang tampan seolah lenyap dengan bajunya yang lusuh.

“Nenek,” panggilnya, ia berlarian hingga tak sengaja menabrak Calvin yang sedang berada di dapur.

“Hei, kamu siapa?” tanya Calvin dengan ekspresi bingung, mencari keberadaan anak kecil yang buru-buru bersembunyi di balik tirai sambil berusaha menutupi wajah mungilnya.

Calvin berusaha untuk mendekati anak itu dan terkejut ketika menatap wajah anak kecil di depannya yang terlihat mirip dengannya saat masih kecil.

“Hah! Anak itu, ... kenapa sangat mirip denganku?” gumam Calvin heran.

Di dalam ruangan tamu, Asih telah mendapatkan izin dari Mirra untuk sementara waktu cucunya tinggal di sini. Dia mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada kebaikan Mirra yang telah membantunya selama ini.

Namun, saat Asih masuk ke dalam kamarnya yang berada di belakang, dia terkejut tak mendapatkan Kai di kamarnya.

“Astaghfirullah, anak itu!” seru Asih sembari tersenyum, dia melupakan siapa cucunya yang Jenius dan super aktif itu.

Di dapur sana, belum sempat Calvin mendekati Kai yang penasaran akan kemiripannya, Asih datang dan menghampiri cucunya.

“Kai!” panggilnya. “Maaf Den, Kai pasti mengganggu yah,” ucap Asih dengan nada gugup.

“Dia siapa, Bi?” tanya Calvin.

“Dia cucu Bibi, Den. Maaf ya, Den, jika cucu Bibi Nakal.”

Calvin hanya mengangguk datar menanggapi jawaban asisten rumah tangganya itu.

“Kai, ayok sini Nak? Salam sama Pak Calvin,” kata sang Nenek dengan lembut, memanggil Kai yang bersembunyi di balik tirai.

Kai segera berjalan menghampiri nenek dan Calvin dengan langkah kecil. Sambil menarik napas dalam, dia menatap wajah Calvin dengan tatapan polos yang tak tertahankan.

"Halo, siapa nama Om Superman?" Kai memperlihatkan senyum gemas yang tak bisa menutupi kegembiraan pada pertemuan mereka.

“Kai, kamu tidak boleh memanggil sembarangan seperti itu. Den, maaf yah,” ucap Asih sambil memasang wajah bersalah.

Calvin segera berjongkok dan menatap mata polos Kai. “Tak apa, kamu boleh memanggilku sebagai Om Superman"

“Om Superman, mau nggak jadi Ayahnya Kai?” tanya Kai, dengan suara yang penuh harapan dan seulas keberanian yang sulit dicari di usianya.

“Hah?” Calvin tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status