“Maafkan Visha, ya, Bu. Kita jadi seperti ini karena kesalahan Visha.” Visha terisak sambil memeluk Asih erat.
Keduanya berada di sebuah kontrakan kecil setelah nekat menuju Jakarta dengan uang seadanya. Bersyukurnya kerabat Asih, bersedia untuk membantu mereka mencarikan tempat tinggal bahkan pekerjaan untuk Asih sebagai asisten rumah tangga di sebuah perumahan mewah. Setidaknya itu dapat membantu mereka dalam menunjang kebutuhan sehari-hari. Visha juga tidak menyerah untuk melamar pekerjaan. Dan meskipun mengalami banyak penolakan, pada akhirnya usahanya membuahkan hasil. Dirinya diterima bekerja sebagai pegawai cafe. Dirinya begitu menikmati pekerjaannya hingga tanpa terasa sudah tiga bulan ia bekerja di sini. Visha begitu mengaggumi sosok sang pemilik cafe, Dion yang tidak hanya tampan dan memiliki senyum manis tapi juga sangat baik terhadapnya. Dion mengerti kondisi Visha yang cacat dan sedang hamil, sehingga Visha tidak pernah diminta mengerjakan pekerjaan yang berat. Bahkan sesekali Dion suka memberikan makanan cafe gratis pada Visha untuk dibawa pulang. Visha merasa bersyukur karena dirinya tidak menyangka setelah kepindahannya ke Jakarta justru ada banyak hal baik yang terjadi padanya. “Aww!?” Visha merintih pelan. “Ada apa Visha?” Dion dengan raut khawatir segera menoleh kepada Visha. “Tidak apa-apa Pak, hanya sepertinya bayi saya mulai menendang.” Visha tersenyum kecil sambil mengelus pelan perutnya. ‘Jadilah anak yang baik ya Nak, kita pasti bisa melewati ini bersama’ batin Visha. Meskipun awalnya sulit menerima kehadiran janin yang ada di perutnya, namun kini Visha justru merasa bahwa bayi ini merupakan harapan baru dalam hidupnya untuk terus berjuang dan tidak menyerah. “Sepertinya kamu akan melahirkan bayi yang sehat dan pintar." Dion terkekeh kecil, ikut merasa senang melihat keadaan Visha yang terlihat jauh lebih baik dibandingkan saat pertama dirinya bertemu dengan Visha. Dion kembali teringat di mana dirinya melihat Visha yang berjalan sambil tertatih dengan dibantu tongkat penopang. Wajah Visha penuh dengan peluh keringat, namun tidak dapat mengurangi kecantikannya. Visha kemudian menghampiri Dion dan menyerahkan amplop coklat untuk melamar bekerja. Karena rasa iba, akhirnya Dion menerima Visha. Dan Dion tidak menyesalinya, karena Visha begitu bekerja keras dan sangat rajin. Dion sangat mengagumi sosok Visha yang tidak mudah menyerah meskipun memiliki kekurangan fisik. * Di sisi lain, Calvin duduk dengan raut wajah serius menatap data penting yang ada di komputernya. Meskipun begitu pikiran Calvin tidak benar-benar fokus pada pekerjaannya. Otaknya belum benar-benar melupakan kejadian di desa waktu itu. Semenjak resmi menjabat sebagai CEO menggantikan sang ayah, kesibukannya semakin terasa. Belum lagi belakangan ini, ia sulit untuk tidur nyenyak. “Mengapa aku selalu mendengar suara bayi dalam tidurku? Apakah ini sebuah pertanda?” gumam Calvin, matanya terpejam sejenak. Dia begitu penasaran untuk menemukan wanita itu. Belum lagi ia khawatir bagaimana jika ternyata wanita itu hamil anaknya? Karena Calvin ingat bahwa ia tidak menggunakan pengaman saat itu. Kesibukannya membuat Calvin terlambat untuk mencari keberadaan sang wanita yang ia tiduri. Ketika ia meminta orang untuk mencarinya, mereka mengatakan bahwa wanita itu telah pergi meninggalkan desa entah ke mana. Tanpa Calvin sadari, Dewi adalah orang yang menjebaknya dengan obat perangsang. Setelah tahu akan identitas asli Calvin yang adalah pewaris perusahaan, dirinya panik dan terkejut. Ia segera mengatakan pada orang suruhan Calvin bahwa Visha pergi tanpa kabar. Dalam hati, Dewi berharap agar Visha tidak bertemu dengan Calvin lagi. “Vin, jadi gimana? Mulai hari ini kita balikan lagi, kan?” Suara genit Greta membuyarkan lamunan Calvin. Dirinya berusaha tidak acuh pada mantan kekasihnya yang belakangan ini terus kembali menggodanya. “Hubungan kita berakhir sejak kamu berselingkuh Greta! Dan sekarang cepat pergi, aku sedang sibuk mengurus hal lain.” Calvin bersikap dingin, sehingga membuat Greta mendengus kesal dan pergi begitu saja. Greta menyesal dulu telah ketahuan berselingkuh dengan pria lain sehingga dirinya dan Calvin berakhir putus. Padahal Greta masih mencintai pria itu dan menyadari tidak ada pria yang lebih sempurna dari Calvin. Namun Greta tidak mau menyerah, ia pasti akan terus berusaha untuk mendekati Calvin lagi hingga akhirnya mereka bisa kembali bersama.Tidak terasa perut Visha kini semakin membesar. Meskipun dirinya semakin merasa kesulitan untuk tidur dan bergerak. Namun, Visha tetap bekerja dengan keras. Dia tahu bahwa setelah kelahiran anaknya ini, biaya kebutuhan pasti akan semakin bertambah. Itu sebabnya Visha tetap giat bekerja. Peluh keringat membanjiri wajahnya, namun dengan telaten Visha tetap mencuci piring di dapur kafe Dion. Hari ini, kafe begitu sangat ramai pengunjung sehingga cucian piring dan gelas tidak berhenti sejak pagi. Sementara itu, di balik pintu, Dion menatap Visha penuh rasa kagum. Dion merasa hatinya seolah tersentuh akan kerja keras yang ada pada diri Visha, meski fisiknya tak sempurna, tetapi dia salut dengan kekuatan dan ketabahannya menghadapi kehamilan ini sendirian. Dion tidak bisa memahami bagaimana pria itu tega meninggalkan Visha yang tengah hamil. Dia berjanji dalam hati akan selalu ada untuk Visha dan anak yang akan lahir nanti. “Visha, beristirahatlah sejenak. Kamu belum makan sejak tad
Tahun demi tahun telah berganti, anak tampan Visha kini telah berusia tiga tahun dan tumbuh sebagai seorang anak yang cerdas dan tampan. “Bunda, Kai mau Ayah?” pintanya dengan polos yang membuat hati Visha bergetar. Visha mencoba tersenyum. “Kai Maddeva, anak Bunda yang paling baik.” “No! Paling Tampan!” potongnya. Visha mencubit hidung Kai dengan gemas. “Baiklah. Anak Bunda yang paling tampan, Bunda akan mencarikan Ayah untuk kamu, Kai mau Ayah yang seperti apa?” “Seperti Superman,” jawab Kai dengan polos, membuat Visha tak bisa menahan tawanya, meski ada luka yang terpendam. “Bunda, ada Nenek!” seru Kai sembari berlari pada Neneknya yang baru saja tiba. “Assalamualaikum, cucu tampan Nenek. Bagaimana kabarmu, Nak?” sapa sang Nenek dengan penuh kasih sayang. “Wa’alaikumussalam, Nenek!” seru Kai, girang karena melihat Neneknya yang dicintainya. Asih membawa beberapa mainan yang baru dibelinya lalu memberikannya pada Kai. “Oh ya Bu, boleh gak Visha menitipkan
"Kai jangan bicara seperti itu, yah. Maafkan kelakuan cucu Bibi, ya, Den!" kata Asih tak enak hati. ‘Apa anak ini tidak memiliki seorang Ayah?’ Calvin menatap Kai yang kini tertunduk takut setelah ditegur oleh neneknya. “Tidak masalah, kamu bebas panggil dengan sebutan apa saja.” Mendengar jawaban Calvin, Kai memberanikan diri untuk kembali menatap wajahnya dan tersenyum kecil. Sedangkan Asih bukan saja merasa terkejut karena ucapan cucunya yang meminta anak majikannya untuk menjadi ayahnya. Namun, dirinya juga terkejut dengan kemiripan wajah Kai dan Calvin. Pantas saja selama ini Asih selalu merasa wajah Kai mirip seseorang. Asih merasa itu sebuah kebetulan yang aneh. Namun, tentu saja dia tidak berani untuk membayangkan kemungkinan itu. Bagaimanapun status Calvin begitu jauh dengan status anaknya, Tavisha. Sehingga rasanya tidak mungkin bahwa Calvin pernah datang ke desa tempat tinggalnya dahulu. "Ayok cucu Nenek! Kita ke kamar?" ajak Asih, tidak ingin kehadiran Kai
"Ada apa? Kenapa wajah kamu pucat?" tanya Dion khawatir. "A-anu Mas, Visha kebelet. Permisi Mas," ujarnya sembari pergi. "Aneh," gumam Dion melihat kepergian Visha. Dirinya merasa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Visha. Namun, Dion kembali melanjutkan langkahnya menuju meeting room untuk bertemu dengan kedua sahabatnya yang telah lama tak ia temui. "Hai, Bro apa kabar?" sapa Dion dengan suara bersemangat. Suasana serius di antara Calvin dan Tama menjadi lebih cair dengan kehadiran Dion. Keduanya menghentikan sejenak pembahasan bisnis mereka. "Gue baik!" sahut Calvin. Tama pun mengangguk, "Gue juga baik, Bro. Gimana dengan kabar elo?" "Kalian berdua ini, benar-benar sudah melupakan gue," keluh Dion sambil duduk di kursi yang tersedia. "Kalian sibuk kerja, sementara gue... lagi berusaha mendapatkan hati seorang wanita," ungkap Dion, matanya berbinar-binar. Calvin dan Tama yang mendengar, kembali terkekeh, saling pandang satu sama lain. "Apa elo nggak takut di
“Tidak mungkin ... kenapa pria itu bisa ada di sini?” Visha menangis sesenggukan, ketakutan, dan cemas. Terutama ketika Visha melihat pria itu keluar dari meeting room. Visha begitu takut mereka akan berpapasan, sehingga dirinya segera bersembunyi di pantry. Visha mengira dirinya hanya salah melihat orang saja, namun begitu melihat lebih jelas. Pria itu memang benar pria yang telah menodainya pada malam kelam saat itu. Pria yang merupakan ayah kandung dari Kai, anaknya. Kai tampak begitu serupa dengan pria yang baru saja dia temui. “Tavisha, kamu sedang apa?” Dion memanggil namanya dengan lembut. Visha terperanjat, wajahnya masih basah oleh air mata dan terlihat pucat. Namun, ia segera menghapus air mata agar tidak membuat Dion merasa curiga. “Ya, Mas,” jawab Visha sambil mendekati Dion dan tersenyum mencoba menyembunyikan kegundahan hatinya. “Kamu sakit?” Dion bertanya dengan wajah penuh kekhawatiran, tangannya menempel lembut di kening Visha. “Enggak, Mas. Sepert
Visha melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih pada Dion yang telah mengantarkannya pulang. Dan kemudian melangkahkan kaki memasuki rumah kontrakannya yang sederhana. Rasa lelahnya terasa hilang begitu mendapati Kai yang menyambutnya. "Anak Bunda, apa kabar kamu Sayang?” “Kai baik, Bunda," jawab Kai dengan wajah cemberut. “Kok cemberut? Ada apa, Sayang? Sini cerita sama Bunda." “Bunda, Kai pengen punya Papah seperti teman-teman. Kai punya Papah kan? Di mana Papah Kai?" Visha mencoba menarik napas, ada saja ucapan yang terlontar dari bibir anak geniusnya itu. ‘Masya Allah Nak, kenapa kamu pintar sekali, apa kamu mewariskan kepintaran dari Papahmu?’ tanya Visha dalam hatinya. Air mata haru mengalir tanpa bisa dibendung lagi, mengetahui betapa besar keinginan anaknya untuk bisa memiliki ayah yang sebenarnya belum tahu keberadaan mereka. Asih, menatap penuh iba kepada cucu dan anaknya itu. "Visha, apa kamu benar-benar tidak tahu siapa pria yang telah menodai kamu pada ma
Malam itu, Visha tak bisa memejamkan matanya dia takut akan segala resiko jika sampai pria yang terkenal dingin dan kaya itu mengambil Kai secara paksa jika tahu kalau Kai adalah benih darinya. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Visha cemas. "Aku harus mencari cara agar pria itu tidak pernah bertemu dengan Kai," lanjutnya. Hingga malam hari dia hanya memandangi foto Calvin ada getar rasa yang sulit ia jelaskan saat menatap foto Calvin. "Terima kasih telah memberikan anak pintar dan tampan seper Kai, dia adalah penyemangat hidupku, aku berharap kamu tidak datang dan mengusik kebahagiaanku bersama Kai, hidupmu terlalu bahagia maka berbahagialah tanpa anak kandungmu," gumam Visha seraya terisak. ** Esok paginya, Kai bangun dan langsung mencari keberadaan Visha, saat menemui Visha yang sedang memasak tangan kecilnya memeluk pinggang ibunya. "Bunda," ucapnya perlahan. Visha terkejut dan ia langsung berjongkok menatap wajah tampan Kai saat bangun tidur. "Jagoan Bunda suda
Pagi ini, Kai diajak kembali oleh Visha untuk ikut dirinya bekerja di kafe setelah mendapat ijin dari Dion. "Bunda sini, Om Superman ada di televisi," Kai tiba-tiba berteriak begitu melihat siaran ulang wawancara Calvin di televisi. "Ya sayang, tunggu sebentar Bunda lagi cuci piring," sahut Visha. Namun, Kai kembali berseru dengan girang saat melihat Calvin sedang diwawancarai. "Oom Superman tampan," gumam Kai sembari bertepuk tangan, dia memanggil kembali Visha dengan berteriak membuat salah satu karyawan Dion, Rani yang tak sengaja melewat menatap tajam pada Kai. "Hei anak wanita cacat dasar anak haram! Bisa diam nggak!" Kai langsung menunduk penuh ketakutan, tetapi dia ingat apa kata Asih, neneknya. 'Jadi Superman itu harus kuat, jika Kai tidak bersalah maka tatap wajah musuh Kai yang ada di depan.' "Hei monster jahat!" teriak Kai. Visha yang sedang mencuci piring tak sengaja mendengar teriakan Kai, dia pun segera meraih satu tongkatnya dan berjalan mendekati Kai.