Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia mengerjap memandang sekeliling lalu tatapannya berubah menjadi waspada saat ia melihat sekeliling ruangan itu berwarna putih, jelas-jelas ini adalah rumah sakit.
Tidak, ternyata dia belum keluar dari neraka ini. Ia melirik pisau buah di samping nakas, Alenta segera mengambilnya lalu ia sembunyikan pisau itu dibalik selimut.
Alenta mendengar derap langkah kaki mendekat ke arah kamar, ia kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur.
Pintu kamar Alenta dibuka, jantungnya berdegup kencang, bagaimanapun caranya ia harus keluar dari tempat ini.
"Kurasa dia akan sadar hari ini,"
"Baguslah kalau begitu,"Suara seorang wanita dan pria. Alenta memegang pisau itu dengan erat. Ia sudah siap.
Alenta bangkit dari tidurnya, ia menarik tubuh sang wanita lalu mengancam lehernya dengan pisau.
"Nona, tenang," ucap si pria mengangkat sebelah tangannya. Si wanita terlihat akan menangis melihat ancaman dari Alenta.
"Jangan mendekat!" Ancam Alenta. Ia semakin mendekatkan pisau itu pada tubuh si wanita.
"Kau Lauren bukan?" tanya Alenta pada si wanita.
"Bukan, aku bukan Lauren."
"Nona, sebentar dengarkan kami dulu, sepertinya kau salah paham," ucap si pria berusaha menenangkan Alenta.
Alenta mendengus mendengar perkataan si pria. Mereka kira ia akan percaya begitu saja pada ucapan mereka.
"Kau bisa memeriksa kartu identitasku di leher, aku bukan Lauren!" Protes si wanita bersikeras.
Alenta menelisik wajah wanita itu kembali dengan lebih seksama, ia kemudian mencoba mengambil kartu identitas di leher wanita itu.
Si pria tidak melewatkan kesempatan, ia menerjang tubuh Alenta untuk merebut pisau itu lalu mengunci tangannya, membuat si wanita akhirnya terbebas dari cengkeraman Alenta.
"Lepas! Kalian membohongiku kan? Lepaskan aku! Akan aku bunuh wanita bernama Lauren itu," pekik Alenta, ia mencoba berontak dari genggaman Alden.
"Aku akan melepaskanmu, tapi kau harus tenang. Dengar, kami bukanlah orang-orang kau sebutkan itu," sahut si pria bersikeras.
Alenta tidak percaya, ia tidak akan tertipu lagi.
"Ya, aku dokter disini dan aku bukan Lauren, kau bisa memeriksa identitasku. Ini ponselku, kau boleh menghubungi polisi jika kami menyakitimu," ucap si wanita lalu mendekatkan ponselnya di samping ranjang.
Melihat si wanita melakukan itu, Alenta menjadi ragu, pandangan matanya berubah menjadi tenang kembali. Si pria melepaskan kunciannya pada tangan Alenta.
"Kalian bukan orang suruhan Richard?" Tanya Alenta memastikan.
Si wanita menghela nafasnya lega melihat Alenta sudah tenang, ia menggelengkan kepalanya, "Bukan, aku dokter Selly, dia temanku Alden, dia yang menemukanmu tergeletak di pinggir pantai," tunjuk Selly pada Alden.
"Ya, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi aku yang membawamu kemari, Selly yang merawatmu," timpal Alden,
Wanita bernama Selly itu menunjukkan kartu identitasnya, "Nah benar bukan? Aku Selly bukan Lauren seperti yang kau kira," jawab Selly dengan tersenyum.
Alenta merasa malu mendengar penuturan mereka karena ternyata ia sudah salah paham, "Maafkan saya," gumamnya pelan.
Selly mengangkat sebelah tangannya, "Tidak apa-apa. Wajar jika kau mencurigai seseorang dalam keadaanmu seperti ini," balas Selly lalu kembali tersenyum.
"Ah, anak saya? Bagaimana keadaan anak saya?" Tanya Alenta tidak sabar,
Selly tidak menjawab, ia memandang Alden dengan tatapan bingung.
Alenta merasakan firasat buruk saat Selly dan Alden saling bertatapan kebingungan.
"Dokter, anak saya baik-baik saja kan?" Tanya Alenta kembali pada Selly,
Selly menatap Alenta dengan tatapan menyesal, "Maafkan aku, tapi saat Alden menemukanmu, kamu sudah mengalami keguguran," lirih Selly iba.
Tatapan Alenta meredup mendengar perkataan itu, bibirnya gemetar menahan ribuan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Ia mengusap perutnya yang terasa kosong. Anaknya, anaknya telah menghilang. Pertahanan diri Alenta runtuh, ia menangis sejadinya sambil mengusap perutnya. Batinnya terasa tersayat karena tidak mampu melindungi darah dagingnya dengan baik.
"Maafin Mama sayang, maafin Mama," lirihnya dengan begitu menyayat.
Selly yang iba melihat Alenta segera menghampirinya lalu memeluk tubuh ringkihnya yang makin gemetar.
Alden menunduk, tidak mampu mengatakan sepatah kata apapun. Ia mengepalkan tangannya, ikut merasa sesak dengan kejadian yang menimpa Alenta. Penjahat macam apa yang tega melenyapkan janin dari tubuh ibunya secara paksa?
****
Setelah beberapa menit, Alenta mulai terlihat tenang, ia menyandarkan tubuhnya ke tumpuan ranjang, hatinya masih terasa nyeri tapi ia tidak bisa terus menerus menangis. Ia sudah membicarakan semua masalahnya pada kedua orang di hadapannya.
Alden kemudian melemparkan beberapa artikel kepada Alenta, Alenta mendongak menatap Alden.
"Bacalah," tukas Alden singkat. Alenta melirik artikel itu lalu mengambil salah satunya.
Matanya terbelalak kaget saat melihat isi berita itu, ia kemudian mengambil artikel yang lain, namun saat ia membacanya isi artikel itu kurang lebih memberitakan hal yang sama.
"Ini, ini tidak benar! Aku.... Aku masih hidup dan aku tidak pernah menyentuh barang terlarang yang disebutkan itu, sungguh, ini semua bohong," tukas Alenta dengan sungguh-sungguh
"Aku tahu dan sepertinya banyak yang menginginkan kematianmu, Alenta," ungkap Alden serius,
Alenta menatap bingung pada artikel di hadapannya, "Lalu aku harus bagaimana? Aku sudah dianggap meninggal oleh semua orang," Alenta tiba-tiba bangkit dari sandarannya, "Tidak, ibuku, ibuku, dia pasti khawatir, oh tidak!" Jerit Alenta panik,
"Ibumu? Dimana ibumu?"
"Alden, bisa aku pinjam ponselmu sebentar?" Pinta Alenta dengan sorot mata memohon.
Alden menggelengkan kepalanya tidak setuju, "Tidak, jangan menelepon Alenta,"
Alenta kemudian menarik jarum yang menusuk infusannya, "Kalau begitu, aku akan menemui ibuku sendiri!" Teriak Alenta keras, tidak ia pedulikan darah miliknya yang kini berceceran di lantai. Dengan susah payah Alenta mencoba bangkit dari ranjang, namun tubuhnya yang masih lemas membuat gerakannya menjadi terbatas.
Alden menahan tubuh Alenta, "Alenta tenang, kau masih belum pulih,"
"Lalu kau mau aku bagaimana? Ibuku, dia menderita sakit jantung jika dia menemukanku tewas, itu bahaya bagi jantungnya!" Teriak Alenta histeris, ia menangis kembali.
Setelah kehilangan bayinya, ia tidak bisa kehilangan ibunya lagi. Hatinya benar-benar hancur. Kenapa ini harus terjadi kepadanya? Seharusnya ia tidak pernah terlibat dengan pria brengsek seperti Rafael. Masa depan dan kehidupannya hancur berantakan.
"Alenta, ku mohon tenang, jika mereka menemukan dirimu lagi aku yakin mereka akan kembali membunuhmu, kau akan tewas sebelum menemukan ibumu," jelas Alden tegas, pria itu masih menahan tubuh Alenta yang terus berontak.
"Aku akan membantumu, aku yang akan menemukan ibumu," sambung Alden lagi dengan yakin.
Selly yang tadi pergi ke toilet datang dan langsung panik saat melihat darah berceceran di lantai.
"Alden, ada apa ini? Kenapa banyak sekali darah?" tanya Selly panik,Melihat fokus Alden teralihkan pada Selly, Alenta mencoba berontak kembali. Alden akhirnya lengah oleh gerakan Alenta yang tiba-tiba dan berhasil lepas dari cengkraman kuat Alden. Namun, saat Alenta hendak lari menjauh dari mereka berdua, pandangannya seketika menjadi gelap. Gadis itu kembali tidak sadarkan diri.
Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia kemudian bangkit saat teringat kembali tentang ibunya. "Jangan dulu bergerak, Alenta! Kau masih belum pulih dan butuh banyak istirahat," teriak Selly saat melihat Alenta akan mencabut infusannya kembali. Selly menghampiri tubuh Alenta dan menahannya agar kembali ke tempat tidur. "Aku, aku harus menemui ibuku," jawab Alenta keras kepala. Selly menghela nafas lalu menyentuh bahu Alenta, "Alden sedang mencarinya, kau jangan khawatir. Dia akan langsung kesini dan mengabari semuanya," "Ibuku, dia...." Alenta tidak sanggup melanjutkan perkataannya, ia hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apapun karena keadaannya yang masih lemah. Selly menarik tubuh Alenta ke pelukannya. Ia menepuk pundak Alenta pelan, membiarkan Alenta menangis tersedu-sedu disana. "Semua akan baik-baik saja, Alenta. Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir. Aku dan Alden akan membantumu," Alenta mengangguk, ia sanga
Alden bergegas menghampiri Alenta lalu menarik tangan gadis itu."Kita harus keluar darisini!"Alenta menatap bingung pada Alden, "Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat panik?" Tanya Alenta dengan alis terangkat. Ia merasa heran melihat raut wajah Alden yang tegang. "Ada banyak pria yang mencari keberadaan kita di rumah sakit, kita harus pergi," jelas Alden pada Alenta. Alenta terkejut mendengar perkataan Alden, ia menatap pusara ibunya ragu lalu berkata pada Alden, "Tunggu sebentar," Alden menganggukkan kepalanya lalu melepaskan pegangan tangannya. Alenta mundur untuk kembali mengusap pusara ibunya, ia menggenggam nisan sang ibu dengan perasaan berkecamuk lalu berkata dengan nada sungguh-sungguh, "Ma, aku pasti akan membalas semua kesakitan yang Mama rasakan, aku janji," Setelah mengatakan itu, Alenta berbalik dari makam Ibunya lalu berjalan ke arah Alden. Mereka terus berjalan hingga meninggalkan area pemakaman. Alenta mengepalkan tangannya kuat
"Kita harus mengubah identitasmu, Alenta," ujar Alden pada Alenta. Selly yang hari ini mengunjungi rumah Alden melebarkan kedua matanya dengan bingung. "Ada apa ini? Apa aku ketinggalan banyak?" Tanya Selly heran karena sepertinya hanya mereka berdua yang mengerti maksud perkataan Alden. "Kalian berdua, tolong jelaskan padaku apa maksudnya?" Tuntut Selly kembali, ia menatap mereka bergantian. Alenta menatap Selly lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku akan membalas semua perbuatan mereka, Selly," ucap Alenta lalu menggemretakkan giginya penuh amarah. Selly terperangah mendengar perkataan Alenta. Selly paham betul maksud Alenta dan kepada siapa panggilan "Mereka" itu tertuju.Ia menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan keputusan Alenta yang gegabah. "Alenta, kau tidak akan menang melawan keluarga Herenson. Mereka punya kekuasaan yang besar di negara ini. Itu hanya akan membahayakan nyawamu," tukas Selly cemas. Kejadian tempo ha
Operasi yang dijalani Alenta berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. Pemulihan setelah operasinya berlangsung selama satu minggu. Selama itu Alden dan Selly bergantian menjaga Alenta. Hari ini perban wajah Alenta akan dilepas. Alenta sudah menunggu-nunggu hari ini. Selama seminggu wajahnya terasa pengap dan besar karena perban yang masih melilit disana. Ada rasa takut dan gugup yang melanda hatinya tiba-tiba. Bagaimana jika wajahnya berubah menjadi buruk karena operasi ini? Alden telah datang ke ruangannya setengah jam yang lalu sedangkan Selly berhalangan hadir karena jadwal praktiknya yang bentrok hari ini. "Kau gugup hari ini?" Tanya Alden pada Alenta. Alenta mengangguk pelan, ia hanya bisa menggerakkan kepalanya sebagai isyarat untuk menjawab lawan bicaranya. "Baiklah perbannya akan saya buka. Nona Alenta, Anda sudah siap?" Tanya Dokter John, Dokter yang bertanggung jawab atas operasi plastik Alenta. Dokter John adalah teman ayah Selly
Alden memasuki hall room tempat pertunangan Rafael dan Barbara dilaksanakan. Alenta mengekori langkah Alden dari belakang. Terlihat dari jauh, Rafael Herenson telah melambaikan tangan pada mereka dengan senyuman lebar. Alden balas tersenyum, ia menarik tangan Alenta yang terlihat gugup di belakang."Jangan gugup Alenta, ingat kau adalah Kimmy Ara."Alenta menghela nafasnya pasrah saat Alden menariknya untuk menghampiri Rafael. Tidak hanya Rafael, disana juga ada Richard."Kau datang juga," ucap Rafael antusias pada Alden.Alenta berdiri dengan canggung di belakang Alden. Jantungnya berdebar dengan keras, ada rasa khawatir yang ia rasakan saat berhadapan langsung dengan Rafael. Mereka telah menjalin hubungan selama setahun lebih. Bagaimana jika Rafael mengenalinya meski ia telah berganti wajah?Alden menggamit tangan Rafael lalu menjabatnya erat, "Tentu saja aku harus datang untuk melihat pertunangan kawan baikku," sahut Alden dengan senyuman lebar.
"Jadi, Rafael sudah mengundangmu kesana?" Alenta menganggukkan kepalanya penuh tekad mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Alden. Hari ini Alenta akan pergi ke kantor perusahaan Number One. Seperti yang ia dan Alden perkirakan, tanpa butuh usaha lebih dengan sendirinya Rafael pasti akan mengundangnya untuk bekerja di perusahaan itu. Terima kasih untuk wajah operasi plastiknya yang sangat membantu. "Aku tidak yakin jika dia menerimamu hanya karena ingin membalas budi padaku," ucap Alden sambil tertawa. Ia teringat ucapan Rafael kemarin malam. Pria itu berkata akan menerima adiknya untuk bekerja disana sebagai ungkapan balas budi karena telah membantu bisnisnya dengan baik. Alenta ikut terkekeh kecil, "Tampaknya kau sudah mengenal Rafael dengan baik," "Dia pria yang mudah tergoda. Kecantikan wajah Kimmy Ara berhasil menjeratnya. Dia tidak sadar bahwa ia sudah tergoda pada malaikat kematiannya," timpal Alden pada Alenta yang masih sibuk merias penam
"Jadi kamu kehilangan materi yang akan kita bahas hari ini?" Alenta mengendap-endap di depan pintu ruangan Rafael hari ini. Terdengar suara Rafael yang tengah mengamuk di depan sekertaris pribadinya, Karina. Sejak pagi wajah Karina terlihat kusut dan panik. Alenta menggigit bibirnya merasa sangat bersalah pada Karina. Meski sejak kedatangannya Karina terlihat tidak pernah ramah padanya di kantor ini, tapi ia merasa tidak enak karena harus mengorbankan Karina demi rencananya berhasil. Alenta jadi teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu, ia berdebat habis-habisan dengan Alden karena tidak setuju dengan rencana ini. "Tidak ada cara lain Alenta. Jika kau ingin rencana kita berhasil maka nalurimu itu harus kita buang." ucap Alden tegas malam itu. Alenta akhirnya menyerah dan memilih menyetujui rencana Alden. Mau tidak mau, Alenta harus menyingkirkan sekertaris pribadi Rafael demi berhasilnya rencana mereka. Alenta menghela nafasnya berat. Da
Alenta bersorak dalam hatinya karena rencananya bersama dengan Alden berhasil. Akhirnya Rafael menerimanya sebagai sekertaris pribadi, hal ini bisa mempermudah jalannya untuk menghancurkan keluarga Herenson. "Besok aku akan mengumumkannya pada tim kita, sebentar lagi jam pulang," Alenta hanya menganggukkan kepalanya paham. "Bagaimana jika aku mengantarmu pulang?" Tawar Rafael tiba-tiba. Mata Alenta kembali mengerjap mendengar perkataan Rafael. Ia berdiri dengan bingung.Apa yang harus ia lakukan sebaiknya? Menerima tawaran ini atau menolaknya? Alenta segera mengangguk kecil dan memilih untuk menerima tawaran Rafael. Tidak akan ada masalah jika Rafael mengetahui rumah Alden, bukan? **** Alden menarik gorden yang menutup jendela kamarnya saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Ia mengernyitkan keningnya saat melihat mobil itu ternyata bukan taksi yang biasa dinaiki Alenta. Matanya menyipit mencoba mengen
Setelah bertemu dengan Kimmy Ara, Rafael segera bergegas menemui Lauren."Aku sudah membawa semua barang yang dibutuhkan."Rafael menaruh helaian rambut Kimmy Ara dan juga sikat gigi milik Alden diatas meja. Lauren terlihat antusias, ia mengambil kedua barang itu lalu berkata dengan penuh semangat, "Hebat sekali, kau mendapatkan semua barang itu hanya dalam satu hari.""Aku harus membongkar kebohongan mereka secepatnya, begitu bukan? Jadi berapa lama prosesnya?" Tanya Rafael tidak sabar.Lauren menyimpan kembali kedua barang itu lalu berkata, "Satu minggu."Rafael terlihat terhenyak, "Apa? Satu minggu? Tapi, itu terlalu lama. Apa tidak bisa dipercepat?""Satu minggu itu merupakan waktu minimal untuk mendapatkan hasil tes DNA. Semua proses itu tidak bisa dipercepat." Jelas Lauren.Rafael memukul tepi kursi di hadapannya dengan kesal, "Sial."Lauren mengangkat alisnya melihat reaksi dari Rafael yang terlihat kesal, "Memangnya kenapa? Apa ada masalah?""Aku akan menggelar pertunangan res
Setelah mengambil apa yang dibutuhkan, Rafael kembali ke tempat dimana Alden berada. Harum aroma kopi mulai menguar, ia tidak menyangka rupanya Alden benar-benar membuatkannya kopi.Alden yang menyadari kedatangan Rafael segera mengangkat cangkir kopi lalu ia berikan ke arah Rafael. Melihat Rafael yang hanya terdiam sambil memandang cangkir kopinya, Alden berdecak, "Meski aku sangat ingin meracunimu, aku tidak membubuhkan apapun disana." komentar Alden kesal.Rafael memberikan senyuman tipis, ia mengangkat cangkirnya lalu menyesap kopi itu perlahan. "Rupanya Kakak iparku cukup pandai membuat kopi," ucap Rafael.Alden hanya memutar matanya jengah mendengar ucapan Rafael, ia memilih terdiam enggan menanggapi apapun."Ngomong-ngomong Kakak ipar, aku sempat heran, kenapa tidak ada foto keluarga di rumah kalian?"Alden tertegun mendengar pertanyaan dari Rafael. Sebenarnya ada banyak foto keluarga yang ia ambil bersama ibunya, namun Alden memilih menyimpannya di kamar. Ia tidak mungkin memb
"Terimakasih karena sudah mengantar saya mencari tempat tinggal, Pak Leon," ucap Alenta dengan senyuman lebar. Akhirnya Alenta dapat dengan mudah mencari apartemen yang cocok untuknya. Berkat bantuan Leonard, ia bisa mendapatkan apartemen yang mewah dan mahal. Masa bodoh dengan harga sewanya, ia tidak perduli jika harga sewa tempat ini akan menguras seluruh dompet Rafael. Leonard menganggukkan kepalanya mendengar perkataan dari Alenta, ia ikut mengulas senyum."Tidak masalah, aku juga senang membantumu.""Berkat saran Anda saya mendapatkan tempat yang sangat bagus sekarang. Anda baik sekali mau meluangkan waktu untuk saya," balas Alenta kembali penuh arti."Kau tidak perlu sungkan dengan bantuanku, Ara,"Alenta sedikit tersentak saat Leonard mendekat ke arahnya. Pria itu menarik tangannya dengan penuh kehati-hatian lalu berkata dengan senyuman penuh, "Jika Rafael meninggalkanmu lagi, aku akan datang untuk menemanimu."Alenta kembali tersenyum, rupanya pria ini merasa sangat puas denga
Alenta mengangkat alisnya dengan aneh melihat sikap Rafael. Padahal sedari tadi Rafael sangat bersemangat untuk memberi kesan baik padanya, tapi sekarang pria itu malah menghindar. Ia menghela nafasnya panjang, sepertinya ia harus mencari tahu soal ini nanti. Sekarang sebaiknya ia mencari tempat tinggal untuknya. Ia tidak mau lagi berada satu tempat dengan manusia brengsek seperti Rafael. Bisa-bisa sepanjang malam Alenta akan merasakan mual yang parah mengocok perutnya.Alenta segera mengambil kopernya lalu memasukkan beberapa barang yang sudah ia keluarkan kemarin. Ia sudah mencari beberapa apartemen dan dengan uang yang diberikan Rafael, ia rasa ia harus mencari apartemen yang mahal dan sangat mewah. Dengan penuh semangat Alenta membawa kopernya lalu turun melalui lift. Tidak ada salahnya menghabiskan uang manusia brengsek itu kali ini, bukan?"Ara?"Langkah Alenta terhenti saat mendengar panggilan dari arah belakangnya. Ia segera membalikkan badan lalu terkejut saat melihat sosok L
Alenta yang tersentak dengan keberadaan Alden segera menjauh. Tangisnya secara otomatis berhenti. Ia melihat Alden dengan sorot mata yang terbelalak lebar, "Kau? Kenapa kau kembali kemari?"Alden terlihat menghela nafas, ia kembali mendekati Alenta lalu menghapus air matanya. Alenta yang terlalu terkejut hanya bisa terdiam pasrah saat Alden melakukan hal itu."Seharusnya aku yang bertanya padamu Alenta, kenapa kau terus berbohong di depanku?"Alenta kehilangan kata-kata. Ia telah ketahuan, ia tidak mungkin mengelak atau menolak perkataan Alden saat ini."Tidak usah hiraukan aku. Aku bisa menghapus air mataku sendiri." balas Alenta mencoba mengalihkan pembicaraan.Dengan cepat Alenta mengambil saputangan yang tengah dipakai Alden lalu mengusap air matanya sendiri. Alden kembali menghela nafas, bahkan saat Alden telah memergokinya menangis, Alenta masih saja menyembunyikan perasaannya. Alden mengambil tangan Alenta membuat Alenta yang tengah mengalihkan pandangannya seketika tersentak.
Alenta tidak menyangka bahwa Alden akan menyusulnya kemari. Raut wajah Alden terlihat begitu marah dengan sorot mata yang menyala-nyala. Alden mencengkram tangannya dengan kuat seolah-olah seluruh perintahnya saat ini adalah ultimatum yang harus Alenta turuti.Hatinya seolah tersayat melihat Alden yang seperti ini. Aldennya yang ceria, sekarang pergi kemana?Lamunannya terhenti saat Rafael tiba-tiba maju ke hadapan mereka, ia memutus tangannya dengan Alden yang tengah terhubung secara paksa. Sejenak, Alenta merasa kehilangan. Sial, kenapa ia bisa lupa bahwa masih ada Rafael di tempat ini?Sorot mata Alden semakin menyala-nyala melihat keberanian Rafael. Alenta menghela nafasnya panjang, pria bodoh ini hanya bisa menambah masalah saja."Minggir, jangan menghalangi!" Gertak Alden.Rafael terlihat menggelengkan kepalanya lalu menggenggam tangannya dengan erat, "Tidak, Ara akan tetap disini. Aku sudah membohongi pihak berwajib dan mereka akan datang kemari." Rafael menolehkan kepalanya ke
Tok... Tok... Tok...Alenta terbangun saat merasakan ada yang mengetuk pintu kamarnya. Ia segera terjaga hendak membuka pintu dengan cepat. Raut wajahnya berubah kecewa saat melihat sosok Rafael yang berdiri disana dengan senyumannya yang cerah. Ah, ia lupa semalam ia sudah pergi dari rumah Alden dan memilih menghubungi pria menyebalkan ini."Bagaimana? Kau sudah baikan sekarang?"Alenta mengangguk dengan lesu meski anggukannya sama sekali berbanding terbalik dengan yang ia rasakan. Sama sekali tidak, ia tidak merasa baik-baik saja setelah meninggalkan Alden tanpa pesan seperti ini."Jadi, apa kau mau sarapan? Aku sudah memesan makanan untukmu tadi.""Aku akan mandi terlebih dulu. Dimana handuknya?""Ah, ada di lemari. Semuanya baru,"Alenta mengangguk lalu beralih mengambil handuk. Ia segera berjalan ke arah kamar mandi, namun seketika tersentak saat Rafael tiba-tiba memeluknya dari belakang. Sial! Perasaan hatinya yang tengah buruk, semakin buruk saja."Rafa, aku harus mandi." ujar
Alden tersentak saat merasakan sebuah guling tergeletak di pelukannya. Ia melempar selimut yang menutupi tubuhnya ke sembarang arah. Firasatnya memburuk saat melihat keadaan kamar itu setengah kosong. Alden segera bangkit dari ranjang namun urung saat melihat tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Dengan cepat, Alden mencari celananya lalu segera memakainya sembarangan. Ia bangkit berdiri memeriksa lemari pakaian Alenta. Kosong. Semuanya kosong. Alden berdecak keras saat mendapati seluruh isi pakaian Alenta telah lenyap tak bersisa.Ia segera berlari mencari jejak Alenta di seluruh area rumah, namun batang hidung gadis itu tidak jua ia temukan. Tubuhnya terasa lemas. Tidak mungkin, Alenta tidak mungkin pergi meninggalkannya setelah percintaan mereka semalam.Ponsel. Ya, ponsel. Alden segera berlari kembali ke arah kamar Alenta. Ia mengacak-acak seluruh pakaiannya yang masih berserakan guna mencari keberadaan ponselnya. Benda elektronik itu akhirnya ia temu
Setelah mencecap habis manisnya bibir Alenta, Alden beralih ke ceruk leher gadis itu. Menyesap aroma memabukkan yang menguar dari dalam diri Alenta. Aroma yang hanya dimiliki oleh Alenta seorang, aroma yang selalu membuatnya candu, yang membuatnya ingin menyesapnya lagi dan lagi. Pakaian yang dikenakan Alenta ia lempar ke sembarang arah dan hanya meninggalkan dua buah benda bulat yang menggantung indah di kedua dada Alenta. Pakaiannya sendiri entah sudah tanggal sejak kapan, Alden tidak perduli kemana pakaian itu telah pergi.Tidak membuang waktu, Alden menangkup buah itu dengan penuh kelembutan. Ia memperlakukannya sangat lembut dan teratur, dengan hati-hati dan penuh kelembutan, Alden meremasnya perlahan. Ia mendongakkan wajahnya menatap Alenta, ia khawatir jika gadis itu merasa tidak nyaman dengan segala sentuhan yang ia beri."Jangan membuat dia merasa tidak nyaman." Lagi. Alden terus mendoktrin dirinya sendiri untuk memberi kenyamanan pada gadis itu.Alenta