Alenta mengerjapkan matanya, ia melihat sekelilingnya yang berwarna putih, kepalanya terasa makin berat. Samar-samar ia melihat Richard berdiri disana.
"Dimana ini Ayah?" Tanya Alenta dengan suara serak.
"Rumah sakit," jawab Richard singkat.
Alenta mengerjapkan matanya, pusing di kepalanya tidak juga membaik, "Kenapa Ayah membawaku ke rumah sakit? Bukankah tadi kita sedang membicarakan pernikahan?" Tanya Alenta, ia mencoba bangkit namun pusing di kepalanya semakin menyerangnya.
"Siapa yang akan menikah? Tidak akan ada pernikahan, bayi itu tidak akan lahir ke dunia ini,"
Alenta terperangah mendengar perkataan Richard. Ia menatap bingung pada Richard. Apa maksudnya? Rumah sakit? Sebentar, sebelum pingsan ia tadi meminum juice bersama dengannya. Mata Alenta membulat saat menyadari sesuatu.
"Anda menjebak saya?" Tanya Alenta saat otaknya mulai memahami kemana arah pembicaraan Richard.
Richard memasang senyuman licik lalu menatap Alenta dengan pandangan meremehkan, "Dasar bodoh, memangnya keluarga kami akan menerima dirimu yang tidak memiliki garis keturunan yang baik? Tentu saja tidak, Rafael tidak pantas bersanding denganmu," tukas Richard menghina.
Darah Alenta berdesir, merasa sangat marah dengan perbuatan Richard. Jadi Richard sengaja bersandiwara agar ia bisa dengan mudah membawanya ke tempat aborsi?
"Anda benar-benar busuk, Anda bukan manusia," umpat Alenta murka.
Richard hanya tersenyum menanggapi umpatan yang dilontarkan Alenta, "Lakukan sekarang, Lauren!" Titahnya pada seseorang berbaju putih di sampingnya.
Alenta mundur, ia mencoba berontak dari cengkeraman beberapa orang di hadapannya, "Lepaskan saya, lepaskan! Anda tidak bisa melakukan ini, saya akan melaporkan semuanya, ini cucu Anda, apa Anda tidak punya hati?"
Alenta meracau dengan berteriak keras, namun Richard tidak bergeming lalu pergi dari kamar itu.
"Richard!! Richard!!"
Alenta memanggil-manggil nama Richard dengan frustasi.
Wanita yang memakai jas putih kemudian maju lalu menyuntik Alenta di bagian lengan. Cengkraman Alenta yang tengah berontak menjadi lemah, pandangannya buram kembali. Dalam sisa kesadarannya Alenta menangis, ia merasa sangat menyesal karena tidak bisa melindungi anaknya lalu ia kembali tidak sadarkan diri.
Samar-samar Alenta mendengar beberapa pembicaraan di sekitarnya.
"Dokter, dia terus mengalami pendarahan Dok, kalau begini terus dia tidak akan bertahan lama, detak jantungnya terus melemah,"
"Sial, urus semuanya dengan cepat, jangan sampai kepala rumah sakit mengetahuinya,"
Setelah itu Alenta kembali pingsan.
****
Seorang pria tengah memandangi hamparan air dihadapannya dengan perasaan kacau.
Ia memejamkan matanya sejenak, seketika pikirannya terlempar ke beberapa tahun yang lalu ketika umurnya masih menginjak usia lima tahun. Ia tengah menggenggam tangan sang ibu disini, namun kemudian ibunya melepaskan genggamannya lalu berjalan seorang diri ke arah laut lepas. Bayangan ibunya makin lama makin mengecil untuk kemudian menghilang seluruhnya.
Bulir airmata mengalir di pipinya, ini sudah bertahun-tahun berlalu, tapi aksi bunuh diri yang dilakukan sang ibu di depan matanya selalu membuat hatinya makin sesak. Alden Sanders tidak menyangka bahwa ia akan kembali ke kota ini, kota kelahirannya yang juga merupakan kota tempat dimana seluruh mimpi buruknya berkumpul.
Disini ia kehilangan sang ibu, satu-satunya keluarga yang dimilikinya mengalami depresi yang berkepanjangan akibat seorang ayah yang tidak bertanggungjawab. Meski ibunya sudah meninggal, ayahnya tidak pernah menjemputnya hingga kemudian ia diadopsi oleh sebuah keluarga lalu keluarga itu memboyongnya ke luar negeri.
Alden kecil mengingat setiap detail kesakitan di masa lalu dan itu meninggalkan bekas yang tidak bisa dihilangkan. Alden mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya, ia akan mencari sang ayah, orang yang bertanggung jawab dalam kematian ibunya.
Lamunannya terhenti saat melihat seseorang tergeletak di sudut pantai. Matanya terbelalak kaget lalu segera berlari menghampiri tubuh yang tersapu air itu. Setelah didekati, ternyata itu seorang wanita. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya wanita ini merupakan pasien dari suatu rumah sakit. Alden memeriksa nafas dan denyut nadinya, wanita ini masih hidup.
"Nona, kau baik-baik saja? Nona?"
Wanita itu hanya bergumam tidak jelas saat Alden mengguncang tubuhnya. Matanya melebar saat melihat bagian bawah celana wanita itu memerah. Darah. Jelas-jelas itu adalah noda darah.
Dengan segera Alden membawa tubuh itu ke mobilnya lalu memacu kendaraan roda empat itu dengan kencang.
****
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Alden pada Selly.
Selly adalah teman dekatnya yang berprofesi sebagai dokter. Karena khawatir kepada Alden, Selly sengaja mengikutinya kemari, ia cemas jika Alden akan berprilaku bodoh di tempat kelahirannya. Dengan predikat yang baik di tempat sebelumnya, Selly bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan disini.
"Buruk, dia mengalami pendarahan hebat dan sepertinya telah mengalami keguguran. Dia memakai baju pasien, tapi kenapa penanganan dari dokter rumah sakit itu sangat buruk?" Komentar Selly heran.
Alden terhenyak mendengar penuturan Selly, "Keguguran? Lalu bagaimana? Apa dia bisa selamat?" Tanya Alden tidak sabar,
Selly menggelengkan kepalanya bingung, "Entahlah, kita harus memantau kondisinya lagi nanti,"
Alden mendesah, ia menatap wanita yang terbaring itu dengan tatapan khawatir. Entah kenapa melihat wajah wanita itu mengingatkannya pada sang ibu. Firasatnya mengatakan bahwa kehidupan wanita itu juga sama buruknya.
"Baiklah, kabari aku lagi nanti,"
Selly menganggukkan kepalanya.
Alden kemudian berlalu dari ruang rawat rumah sakit. Ia akan membeli minuman untuk meredakan kepanikannya karena menemukan wanita itu di tepi pantai.
Namun, langkah kakinya terhenti saat melihat tayangan suatu berita.
Tayangan itu memperlihatkan kematian seorang aktris bernama Alenta Serafine, ia dikabarkan mengalami depresi lalu meninggal karena over dosis obat-obatan terlarang.
Alden terperanjat kaget saat melihat potret dari Alenta Serafine, potretnya mirip sekali dengan wanita yang tadi dia bawa kesini. Ternyata namanya adalah Alenta. Meninggal? Jelas-jelas wanita itu masih hidup saat ia bawa kemari, kenapa media memberitakannya bahwa wanita itu seolah-olah sudah meninggal?
Ada yang tidak beres, kematian wanita itu pasti direkayasa. Ia harus mencari tahu tentang ini semua. Pasti ada rahasia besar dibalik semua yang terjadi pada wanita itu.****
"Syukurlah dia sudah melewati masa kritisnya," jelas Selly,
Alden menghela nafasnya lega mendengar perkataan Selly. Ia kembali menatap wajah pucat wanita itu dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan.
"Kau teringat ibumu?"
Alden mendesah berat lalu mengangguk.
"Aku tadi melihat berita bahwa dia dikabarkan sudah meninggal. Aneh, padahal Alenta Serafine masih hidup sekarang." ucap Alden pada Selly.
"Alden, bagaimana jika kita terlibat masalah karena menyembunyikannya?" Tanya Selly, raut wajahnya menunjukkan kecemasan.
"Biar aku yang bertanggungjawab, kau hanya perlu merawatnya dan jangan sampai seseorang mengetahui hal ini, aku rasa banyak orang yang tengah mengincar nyawanya," ucap Alden serius.
Mata Selly membelalak mendengar perkataan Alden yang tidak main-main. Sepertinya mereka akan menemui banyak masalah karena gadis ini nanti. Ini benar-benar buruk!
Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia mengerjap memandang sekeliling lalu tatapannya berubah menjadi waspada saat ia melihat sekeliling ruangan itu berwarna putih, jelas-jelas ini adalah rumah sakit.Tidak, ternyata dia belum keluar dari neraka ini. Ia melirik pisau buah di samping nakas, Alenta segera mengambilnya lalu ia sembunyikan pisau itu dibalik selimut.Alenta mendengar derap langkah kaki mendekat ke arah kamar, ia kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur.Pintu kamar Alenta dibuka, jantungnya berdegup kencang, bagaimanapun caranya ia harus keluar dari tempat ini."Kurasa dia akan sadar hari ini,""Baguslah kalau begitu,"Suara seorang wanita dan pria. Alenta memegang pisau itu dengan erat. Ia sudah siap.Alenta bangkit dari tidurnya, ia menarik tubuh sang wanita lalu mengancam lehernya dengan pisau."Nona, tenang," ucap si pria mengangkat sebelah tangannya. Si wanita terlihat akan menangis melihat ancaman dari
Alenta membuka matanya dengan susah payah, ia kemudian bangkit saat teringat kembali tentang ibunya. "Jangan dulu bergerak, Alenta! Kau masih belum pulih dan butuh banyak istirahat," teriak Selly saat melihat Alenta akan mencabut infusannya kembali. Selly menghampiri tubuh Alenta dan menahannya agar kembali ke tempat tidur. "Aku, aku harus menemui ibuku," jawab Alenta keras kepala. Selly menghela nafas lalu menyentuh bahu Alenta, "Alden sedang mencarinya, kau jangan khawatir. Dia akan langsung kesini dan mengabari semuanya," "Ibuku, dia...." Alenta tidak sanggup melanjutkan perkataannya, ia hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apapun karena keadaannya yang masih lemah. Selly menarik tubuh Alenta ke pelukannya. Ia menepuk pundak Alenta pelan, membiarkan Alenta menangis tersedu-sedu disana. "Semua akan baik-baik saja, Alenta. Semua akan baik-baik saja, jangan khawatir. Aku dan Alden akan membantumu," Alenta mengangguk, ia sanga
Alden bergegas menghampiri Alenta lalu menarik tangan gadis itu."Kita harus keluar darisini!"Alenta menatap bingung pada Alden, "Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat panik?" Tanya Alenta dengan alis terangkat. Ia merasa heran melihat raut wajah Alden yang tegang. "Ada banyak pria yang mencari keberadaan kita di rumah sakit, kita harus pergi," jelas Alden pada Alenta. Alenta terkejut mendengar perkataan Alden, ia menatap pusara ibunya ragu lalu berkata pada Alden, "Tunggu sebentar," Alden menganggukkan kepalanya lalu melepaskan pegangan tangannya. Alenta mundur untuk kembali mengusap pusara ibunya, ia menggenggam nisan sang ibu dengan perasaan berkecamuk lalu berkata dengan nada sungguh-sungguh, "Ma, aku pasti akan membalas semua kesakitan yang Mama rasakan, aku janji," Setelah mengatakan itu, Alenta berbalik dari makam Ibunya lalu berjalan ke arah Alden. Mereka terus berjalan hingga meninggalkan area pemakaman. Alenta mengepalkan tangannya kuat
"Kita harus mengubah identitasmu, Alenta," ujar Alden pada Alenta. Selly yang hari ini mengunjungi rumah Alden melebarkan kedua matanya dengan bingung. "Ada apa ini? Apa aku ketinggalan banyak?" Tanya Selly heran karena sepertinya hanya mereka berdua yang mengerti maksud perkataan Alden. "Kalian berdua, tolong jelaskan padaku apa maksudnya?" Tuntut Selly kembali, ia menatap mereka bergantian. Alenta menatap Selly lalu berkata dengan sungguh-sungguh, "Aku akan membalas semua perbuatan mereka, Selly," ucap Alenta lalu menggemretakkan giginya penuh amarah. Selly terperangah mendengar perkataan Alenta. Selly paham betul maksud Alenta dan kepada siapa panggilan "Mereka" itu tertuju.Ia menggelengkan kepalanya tidak setuju dengan keputusan Alenta yang gegabah. "Alenta, kau tidak akan menang melawan keluarga Herenson. Mereka punya kekuasaan yang besar di negara ini. Itu hanya akan membahayakan nyawamu," tukas Selly cemas. Kejadian tempo ha
Operasi yang dijalani Alenta berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. Pemulihan setelah operasinya berlangsung selama satu minggu. Selama itu Alden dan Selly bergantian menjaga Alenta. Hari ini perban wajah Alenta akan dilepas. Alenta sudah menunggu-nunggu hari ini. Selama seminggu wajahnya terasa pengap dan besar karena perban yang masih melilit disana. Ada rasa takut dan gugup yang melanda hatinya tiba-tiba. Bagaimana jika wajahnya berubah menjadi buruk karena operasi ini? Alden telah datang ke ruangannya setengah jam yang lalu sedangkan Selly berhalangan hadir karena jadwal praktiknya yang bentrok hari ini. "Kau gugup hari ini?" Tanya Alden pada Alenta. Alenta mengangguk pelan, ia hanya bisa menggerakkan kepalanya sebagai isyarat untuk menjawab lawan bicaranya. "Baiklah perbannya akan saya buka. Nona Alenta, Anda sudah siap?" Tanya Dokter John, Dokter yang bertanggung jawab atas operasi plastik Alenta. Dokter John adalah teman ayah Selly
Alden memasuki hall room tempat pertunangan Rafael dan Barbara dilaksanakan. Alenta mengekori langkah Alden dari belakang. Terlihat dari jauh, Rafael Herenson telah melambaikan tangan pada mereka dengan senyuman lebar. Alden balas tersenyum, ia menarik tangan Alenta yang terlihat gugup di belakang."Jangan gugup Alenta, ingat kau adalah Kimmy Ara."Alenta menghela nafasnya pasrah saat Alden menariknya untuk menghampiri Rafael. Tidak hanya Rafael, disana juga ada Richard."Kau datang juga," ucap Rafael antusias pada Alden.Alenta berdiri dengan canggung di belakang Alden. Jantungnya berdebar dengan keras, ada rasa khawatir yang ia rasakan saat berhadapan langsung dengan Rafael. Mereka telah menjalin hubungan selama setahun lebih. Bagaimana jika Rafael mengenalinya meski ia telah berganti wajah?Alden menggamit tangan Rafael lalu menjabatnya erat, "Tentu saja aku harus datang untuk melihat pertunangan kawan baikku," sahut Alden dengan senyuman lebar.
"Jadi, Rafael sudah mengundangmu kesana?" Alenta menganggukkan kepalanya penuh tekad mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Alden. Hari ini Alenta akan pergi ke kantor perusahaan Number One. Seperti yang ia dan Alden perkirakan, tanpa butuh usaha lebih dengan sendirinya Rafael pasti akan mengundangnya untuk bekerja di perusahaan itu. Terima kasih untuk wajah operasi plastiknya yang sangat membantu. "Aku tidak yakin jika dia menerimamu hanya karena ingin membalas budi padaku," ucap Alden sambil tertawa. Ia teringat ucapan Rafael kemarin malam. Pria itu berkata akan menerima adiknya untuk bekerja disana sebagai ungkapan balas budi karena telah membantu bisnisnya dengan baik. Alenta ikut terkekeh kecil, "Tampaknya kau sudah mengenal Rafael dengan baik," "Dia pria yang mudah tergoda. Kecantikan wajah Kimmy Ara berhasil menjeratnya. Dia tidak sadar bahwa ia sudah tergoda pada malaikat kematiannya," timpal Alden pada Alenta yang masih sibuk merias penam
"Jadi kamu kehilangan materi yang akan kita bahas hari ini?" Alenta mengendap-endap di depan pintu ruangan Rafael hari ini. Terdengar suara Rafael yang tengah mengamuk di depan sekertaris pribadinya, Karina. Sejak pagi wajah Karina terlihat kusut dan panik. Alenta menggigit bibirnya merasa sangat bersalah pada Karina. Meski sejak kedatangannya Karina terlihat tidak pernah ramah padanya di kantor ini, tapi ia merasa tidak enak karena harus mengorbankan Karina demi rencananya berhasil. Alenta jadi teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu, ia berdebat habis-habisan dengan Alden karena tidak setuju dengan rencana ini. "Tidak ada cara lain Alenta. Jika kau ingin rencana kita berhasil maka nalurimu itu harus kita buang." ucap Alden tegas malam itu. Alenta akhirnya menyerah dan memilih menyetujui rencana Alden. Mau tidak mau, Alenta harus menyingkirkan sekertaris pribadi Rafael demi berhasilnya rencana mereka. Alenta menghela nafasnya berat. Da
Setelah bertemu dengan Kimmy Ara, Rafael segera bergegas menemui Lauren."Aku sudah membawa semua barang yang dibutuhkan."Rafael menaruh helaian rambut Kimmy Ara dan juga sikat gigi milik Alden diatas meja. Lauren terlihat antusias, ia mengambil kedua barang itu lalu berkata dengan penuh semangat, "Hebat sekali, kau mendapatkan semua barang itu hanya dalam satu hari.""Aku harus membongkar kebohongan mereka secepatnya, begitu bukan? Jadi berapa lama prosesnya?" Tanya Rafael tidak sabar.Lauren menyimpan kembali kedua barang itu lalu berkata, "Satu minggu."Rafael terlihat terhenyak, "Apa? Satu minggu? Tapi, itu terlalu lama. Apa tidak bisa dipercepat?""Satu minggu itu merupakan waktu minimal untuk mendapatkan hasil tes DNA. Semua proses itu tidak bisa dipercepat." Jelas Lauren.Rafael memukul tepi kursi di hadapannya dengan kesal, "Sial."Lauren mengangkat alisnya melihat reaksi dari Rafael yang terlihat kesal, "Memangnya kenapa? Apa ada masalah?""Aku akan menggelar pertunangan res
Setelah mengambil apa yang dibutuhkan, Rafael kembali ke tempat dimana Alden berada. Harum aroma kopi mulai menguar, ia tidak menyangka rupanya Alden benar-benar membuatkannya kopi.Alden yang menyadari kedatangan Rafael segera mengangkat cangkir kopi lalu ia berikan ke arah Rafael. Melihat Rafael yang hanya terdiam sambil memandang cangkir kopinya, Alden berdecak, "Meski aku sangat ingin meracunimu, aku tidak membubuhkan apapun disana." komentar Alden kesal.Rafael memberikan senyuman tipis, ia mengangkat cangkirnya lalu menyesap kopi itu perlahan. "Rupanya Kakak iparku cukup pandai membuat kopi," ucap Rafael.Alden hanya memutar matanya jengah mendengar ucapan Rafael, ia memilih terdiam enggan menanggapi apapun."Ngomong-ngomong Kakak ipar, aku sempat heran, kenapa tidak ada foto keluarga di rumah kalian?"Alden tertegun mendengar pertanyaan dari Rafael. Sebenarnya ada banyak foto keluarga yang ia ambil bersama ibunya, namun Alden memilih menyimpannya di kamar. Ia tidak mungkin memb
"Terimakasih karena sudah mengantar saya mencari tempat tinggal, Pak Leon," ucap Alenta dengan senyuman lebar. Akhirnya Alenta dapat dengan mudah mencari apartemen yang cocok untuknya. Berkat bantuan Leonard, ia bisa mendapatkan apartemen yang mewah dan mahal. Masa bodoh dengan harga sewanya, ia tidak perduli jika harga sewa tempat ini akan menguras seluruh dompet Rafael. Leonard menganggukkan kepalanya mendengar perkataan dari Alenta, ia ikut mengulas senyum."Tidak masalah, aku juga senang membantumu.""Berkat saran Anda saya mendapatkan tempat yang sangat bagus sekarang. Anda baik sekali mau meluangkan waktu untuk saya," balas Alenta kembali penuh arti."Kau tidak perlu sungkan dengan bantuanku, Ara,"Alenta sedikit tersentak saat Leonard mendekat ke arahnya. Pria itu menarik tangannya dengan penuh kehati-hatian lalu berkata dengan senyuman penuh, "Jika Rafael meninggalkanmu lagi, aku akan datang untuk menemanimu."Alenta kembali tersenyum, rupanya pria ini merasa sangat puas denga
Alenta mengangkat alisnya dengan aneh melihat sikap Rafael. Padahal sedari tadi Rafael sangat bersemangat untuk memberi kesan baik padanya, tapi sekarang pria itu malah menghindar. Ia menghela nafasnya panjang, sepertinya ia harus mencari tahu soal ini nanti. Sekarang sebaiknya ia mencari tempat tinggal untuknya. Ia tidak mau lagi berada satu tempat dengan manusia brengsek seperti Rafael. Bisa-bisa sepanjang malam Alenta akan merasakan mual yang parah mengocok perutnya.Alenta segera mengambil kopernya lalu memasukkan beberapa barang yang sudah ia keluarkan kemarin. Ia sudah mencari beberapa apartemen dan dengan uang yang diberikan Rafael, ia rasa ia harus mencari apartemen yang mahal dan sangat mewah. Dengan penuh semangat Alenta membawa kopernya lalu turun melalui lift. Tidak ada salahnya menghabiskan uang manusia brengsek itu kali ini, bukan?"Ara?"Langkah Alenta terhenti saat mendengar panggilan dari arah belakangnya. Ia segera membalikkan badan lalu terkejut saat melihat sosok L
Alenta yang tersentak dengan keberadaan Alden segera menjauh. Tangisnya secara otomatis berhenti. Ia melihat Alden dengan sorot mata yang terbelalak lebar, "Kau? Kenapa kau kembali kemari?"Alden terlihat menghela nafas, ia kembali mendekati Alenta lalu menghapus air matanya. Alenta yang terlalu terkejut hanya bisa terdiam pasrah saat Alden melakukan hal itu."Seharusnya aku yang bertanya padamu Alenta, kenapa kau terus berbohong di depanku?"Alenta kehilangan kata-kata. Ia telah ketahuan, ia tidak mungkin mengelak atau menolak perkataan Alden saat ini."Tidak usah hiraukan aku. Aku bisa menghapus air mataku sendiri." balas Alenta mencoba mengalihkan pembicaraan.Dengan cepat Alenta mengambil saputangan yang tengah dipakai Alden lalu mengusap air matanya sendiri. Alden kembali menghela nafas, bahkan saat Alden telah memergokinya menangis, Alenta masih saja menyembunyikan perasaannya. Alden mengambil tangan Alenta membuat Alenta yang tengah mengalihkan pandangannya seketika tersentak.
Alenta tidak menyangka bahwa Alden akan menyusulnya kemari. Raut wajah Alden terlihat begitu marah dengan sorot mata yang menyala-nyala. Alden mencengkram tangannya dengan kuat seolah-olah seluruh perintahnya saat ini adalah ultimatum yang harus Alenta turuti.Hatinya seolah tersayat melihat Alden yang seperti ini. Aldennya yang ceria, sekarang pergi kemana?Lamunannya terhenti saat Rafael tiba-tiba maju ke hadapan mereka, ia memutus tangannya dengan Alden yang tengah terhubung secara paksa. Sejenak, Alenta merasa kehilangan. Sial, kenapa ia bisa lupa bahwa masih ada Rafael di tempat ini?Sorot mata Alden semakin menyala-nyala melihat keberanian Rafael. Alenta menghela nafasnya panjang, pria bodoh ini hanya bisa menambah masalah saja."Minggir, jangan menghalangi!" Gertak Alden.Rafael terlihat menggelengkan kepalanya lalu menggenggam tangannya dengan erat, "Tidak, Ara akan tetap disini. Aku sudah membohongi pihak berwajib dan mereka akan datang kemari." Rafael menolehkan kepalanya ke
Tok... Tok... Tok...Alenta terbangun saat merasakan ada yang mengetuk pintu kamarnya. Ia segera terjaga hendak membuka pintu dengan cepat. Raut wajahnya berubah kecewa saat melihat sosok Rafael yang berdiri disana dengan senyumannya yang cerah. Ah, ia lupa semalam ia sudah pergi dari rumah Alden dan memilih menghubungi pria menyebalkan ini."Bagaimana? Kau sudah baikan sekarang?"Alenta mengangguk dengan lesu meski anggukannya sama sekali berbanding terbalik dengan yang ia rasakan. Sama sekali tidak, ia tidak merasa baik-baik saja setelah meninggalkan Alden tanpa pesan seperti ini."Jadi, apa kau mau sarapan? Aku sudah memesan makanan untukmu tadi.""Aku akan mandi terlebih dulu. Dimana handuknya?""Ah, ada di lemari. Semuanya baru,"Alenta mengangguk lalu beralih mengambil handuk. Ia segera berjalan ke arah kamar mandi, namun seketika tersentak saat Rafael tiba-tiba memeluknya dari belakang. Sial! Perasaan hatinya yang tengah buruk, semakin buruk saja."Rafa, aku harus mandi." ujar
Alden tersentak saat merasakan sebuah guling tergeletak di pelukannya. Ia melempar selimut yang menutupi tubuhnya ke sembarang arah. Firasatnya memburuk saat melihat keadaan kamar itu setengah kosong. Alden segera bangkit dari ranjang namun urung saat melihat tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Dengan cepat, Alden mencari celananya lalu segera memakainya sembarangan. Ia bangkit berdiri memeriksa lemari pakaian Alenta. Kosong. Semuanya kosong. Alden berdecak keras saat mendapati seluruh isi pakaian Alenta telah lenyap tak bersisa.Ia segera berlari mencari jejak Alenta di seluruh area rumah, namun batang hidung gadis itu tidak jua ia temukan. Tubuhnya terasa lemas. Tidak mungkin, Alenta tidak mungkin pergi meninggalkannya setelah percintaan mereka semalam.Ponsel. Ya, ponsel. Alden segera berlari kembali ke arah kamar Alenta. Ia mengacak-acak seluruh pakaiannya yang masih berserakan guna mencari keberadaan ponselnya. Benda elektronik itu akhirnya ia temu
Setelah mencecap habis manisnya bibir Alenta, Alden beralih ke ceruk leher gadis itu. Menyesap aroma memabukkan yang menguar dari dalam diri Alenta. Aroma yang hanya dimiliki oleh Alenta seorang, aroma yang selalu membuatnya candu, yang membuatnya ingin menyesapnya lagi dan lagi. Pakaian yang dikenakan Alenta ia lempar ke sembarang arah dan hanya meninggalkan dua buah benda bulat yang menggantung indah di kedua dada Alenta. Pakaiannya sendiri entah sudah tanggal sejak kapan, Alden tidak perduli kemana pakaian itu telah pergi.Tidak membuang waktu, Alden menangkup buah itu dengan penuh kelembutan. Ia memperlakukannya sangat lembut dan teratur, dengan hati-hati dan penuh kelembutan, Alden meremasnya perlahan. Ia mendongakkan wajahnya menatap Alenta, ia khawatir jika gadis itu merasa tidak nyaman dengan segala sentuhan yang ia beri."Jangan membuat dia merasa tidak nyaman." Lagi. Alden terus mendoktrin dirinya sendiri untuk memberi kenyamanan pada gadis itu.Alenta