"Tenang aja, kamu bisa tinggal di sini sampai semua beres."
"Apa istrimu setuju?""Pastilah dia setuju. Mana berani dia membantahku."Tangan Zoya yang memegang nampan berisi dua cangkir teh hangat mengerat, ketika mendengar percakapan suaminya dengan seorang wanita di ruang tamu. Septian memperkenalkan si wanita sebagai rekan kerjanya. Dia pikir kedatangan wanita itu hanya untuk bertamu saja, siapa kira kalau lelaki tersebut mengajak wanita lain tinggal bersama mereka.Sejak kandungan Zoya memasuki usia tiga bulan, sikap Septian berubah. Lelaki itu selalu pulang larut malam. Pesan-pesannya juga diabaikan, kadang hanya dibaca setelah beberapa jam. Septian bukan suami romantis, tetapi dia tidak pernah bersikap dingin kepada sang istri. Apalagi saat mengetahui rumah tangga mereka segera diramaikan dengan tangis bayi setelah dua tahun menunggu.Pernah wanita berkulit sawo matang itu bertanya, justru bentakan yang dia terima. Septian mengamuk membuat nyali Zoya menciut. Malam itu sejak pernikahan mereka, untuk pertama kali lelaki tersebut menyemburkan kata-kata kasar yang terus mengendap di ceruk kepalanya."Harusnya kamu bersyukur aku kerja keras. Memangnya uang turun dari langit? Untuk makanmu, biaya melahirkan butuh uang banyak. Kamu tinggal ongkang-ongkang kaki aja banyak cincong!"Lalu pintu kamar diempas Septian sangat keras. Lelaki itu tidak pulang selama empat hari membuat Zoya panik, hingga mencari ke kantor si lelaki. Alih-alih luluh melihat sang istri datang dengan perut buncit dan wajah pucat, Septian malah menarik wanita itu pulang dan mengancam agar tidak datang lagi ke kantornya. Dia bilang, Zoya membuat malu dengan penampilan lusuhnya."Zoya!" Panggilan Septian mengembalikan kesadaran si wanita. Dia mengerjap untuk menghalau kabut di matanya."Maaf, nunggu lama." Zoya meletakkan cangkir berisi teh yang dia bawa ke atas meja, "silakan diminum, Mbak."Wanita itu tersenyum tipis, seraya memindai penampilan Zoya. "Enggak perlu repot-repot."Zoya menggeleng pelan. "Enggak apa-apa, cuma teh aja."Mata Zoya memperhatikan jemari lentik si wanita, yang kukunya dihiasi kutek berwarna merah bergerak meraih gagang cangkir. Tangannya semakin terlihat cantik karena dua cincin emas melingkar di jari manis dan tengah."Ini pakai gula, ya?" Si wanita langsung memuntahkan teh di mulutnya ke dalam cangkir, lalu meletakkan benda itu ke atas meja dengan kasar."Iya, Mbak, memangnya kenapa?" Dahi Zoya berkerut. Bukankah teh memang harus diberi gula?"Apa kamu enggak kasih tahu istrimu aku biasa pakai gula diet?" Wanita itu mengabaikan pertanyaan Zoya. Dia justru menatap Septian dengan raut cemberut."Oh, maaf, aku lupa. Besok aku stock buat kamu, ya." Septian tersenyum sambil mengusap punggung tangan si wanita. Seolah-olah tidak menghargai keberadaan Zoya di sampingnya."Mas ...."Septian menoleh. Dia melengos melihat tatapan protes dari sang istri."Ini Mira. Rumahnya sedang renovasi, jadi dia akan tinggal di rumah kita untuk sementara waktu."Zoya mengernyit. Bisa-bisanya Septian mengizinkan Mira tinggal di rumah mereka tanpa membicarakan dengannya terlebih dahulu."Kalau istri kamu keberatan, enggak usah aja," ujar Mira dengan nada ketus."Ah, enggak, dia setuju, kok." Septian menoleh sekilas ke arah Zoya dengan tatapan tajam, "ayo kutunjukkan kamarmu."Septian bangkit diikuti oleh Mira. Zoya melihat suaminya menunjukkan kamar tepat di sebelah kamar mereka untuk ditempati Mira. Dia ingin memprotes saat Septian ikut masuk ke dalam kamar, tetapi tubuhnya seakan terpancang di atas kursi. Zoya bergeming sembari meredam rasa cemburu yang seketika hadir ke hatinya.Ngilu merayap pelan ke dada Zoya ketika mendengar gelak tawa dari dalam kamar. Logikanya menegur, mengingatkannya kalau apa yang dilakukan suaminya dan Mira tidak pantas. Namun, dia terlalu takut pada amukan si lelaki. Tubuhnya masih gemetar mengingat amarah Septian beberapa bulan yang lalu. Zoya hanya bisa meremas dasternya kuat-kuat dengan tatapan nanar ke arah kamar.*"Mas, sarapan dulu." Zoya meletakkan kopi yang baru dia seduh ke atas meja.Alih-alih Septian menoleh ke arah pintu kamar yang ditempati Mira tepat ketika wanita itu juga keluar. Darah Zoya berdesir melihat keduanya saling melempar senyum. Firasatnya mengatakan ada sesuatu antara suaminya dengan Mira."Mir, sarapan dulu. Zoya udah masak buat kita."Mira menengok makanan di atas meja. Dia berdecih sambil melihat jam di pergelangan tangan. "Sarapan dekat kantor aja, biar enggak telat. Lagian aku lagi pengen sarapan bubur ayam.""Ya, udah. Kita berangkat." Septian mengiyakan permintaan Mira. Dia tidak hirau melihat raut kecewa di wajah Zoya."Mas, setidaknya minum kopi dulu." Zoya mengangsurkan gelas kepada Septian. Rasa kecewa cukup terobati karena lelaki itu meneguk kopi buatannya sampai tandas.Zoya menatap kepergian kedua orang itu dengan pikiran berkecamuk. Cara Septian memperlakukan Mira sangat lembut. Lelaki itu juga lebih mendengarkan perkataan si wanita daripada ucapannya. Namun, Zoya mengusir prasangka buruk yang menghasut hati. Tidak mungkin Septian mengkhianatinya. Dia berkali-kali menyakinkan diri sendiri kalau suaminya benar-benar bekerja demi keluarga kecil mereka."Mbak, Zoya, wanita yang pergi bareng sama Septian itu siapa?" tanya salah seorang tetangga ketika Zoya mendekat untuk berbelanja di tukang sayur keliling yang berhenti di depan rumah, tepat ketika mobil Septian keluar pekarangan."Teman kantor Mas Tian, Buk," jawab Zoya sambil memilih-milih sayuran yang akan dimasak untuk makan malam."Yakin teman kerja? Hati-hati lho, Mbak. Banyak sekarang yang ngaku teman, ternyata malah pelakor.""Saya percaya Mas Tian, kok, Buk. Selama ini dia enggak pernah aneh-aneh.""Mbak Zoya polos banget. Mana ada laki-laki membawa teman wanitanya tidur di rumah kalau memang menghormati istrinya." Salah seorang tetangga ikut nimbrung. "Pokoknya Mbak Zoya enggak boleh lengah. Biasanya, istri lagi hamil suaminya suka berulah."Zoya tertegun. Kata-kata tetangganya mau tidak mau menyusup ke dalam kepalanya. Akan tetapi, cepat dia halau prasangka tersebut. Dia percaya Septian tidak akan setega itu padanya.*Malam semakin larut, tetapi Septian belum juga pulang. Pesan dan telepon dari Zoya diabaikan begitu saja. Berkali-kali wanita itu mengintip ke luar jendela setiap mendengar suara kendaraan, berharap suaminya yang pulang. Namun, sampai pukul sebelas malam tak juga tampak batang hidung Septian.Zoya berjalan mondar-mandir sambil mengelus perutnya. Dia tahu sebentar lagi bayinya segera lahir. Sejak sore gelombang kontraksi terus-menerus menghantamnya. Namun, dia menahan dengan menggigit kain kuat-kuat setiap rasa sakit itu datang. Dia masih berharap Septian menemaninya menyambut kelahiran anak mereka.Namun, rasa sakit semakin sering menerjang. Setiap lima menit Zoya harus perpegangan pada kedua lutut untuk meredam nyeri di bagian bawah perut. Dia mencoba menelepon Septian lagi, tetapi nihil. Tidak ingin terjadi sesuatu pada calon bayinya, Zoya memutuskan memesan mobil dari aplikasi dengan tujuan rumah sakit. Air matanya berderai mengingat sang suami. Di mana lelaki itu sekarang? Lupakah dia waktu bersalinnya tinggal menunggu hari saja? Untuk kesekian kali Zoya merasa diabaikan."Suaminya mana, Buk?" tanya seorang perawat ketika Zoya masuk ke ruang unit gawat darurat.Zoya meringis sambil terus memegangi perut bagian bawah. Rasanya calon bayinya sudah mendesak hendak keluar. Dia mengusap bulir-bulir keringat dingin di pelipisnya dan berkata, "Sakit sekali, Suster. Tolong ...."Perawat tadi sigap memapah Zoya naik ke atas brankar rumah sakit, juga memasang alat pemeriksa denyut jantung di jari si wanita. Matanya berkaca-kaca menatap langit-langit ruangan, mengingat tidak ada seorang pun yang menemani saat dia melahirkan."Buk, kita periksa dulu jalan lahirnya, ya."Zoya mengangguk. Dia membiarkan perawat tadi memeriksa jalan lahir dengan memasukkan jari yang sudah memakai sarung tangan lateks. Dia pasrah apa pun yang dilakukan padanya asal calon bayinya baik-baik saja."Sudah bukaan delapan, Buk. Sebentar lagi, ya." Perawat tadi membuka sarung tangan lateksnya kemudian membuang ke tempat sampah medis. "Apa suaminya sudah dihubungi, Buk?" Lagi perawat itu berta
"Sekarang bagaimana? Kami tidak ingin ada pasangan zina di komplek kami." Suara ketua RT terdengar menengahi para warga yang sudah berkumpul di dalam rumah Zoya. Suasana malam yang biasa tenang kini ramai oleh cacian orang-orang kepada Septian. Bukan hanya di dalam, tetapi di luar rumah."Usir saja, Pak! Kami tidak mau ikut menanggung dosa mereka." Seorang wanita bertubuh subur menuding ke arah Septian dan Mira yang diamini oleh semua yang hadir."Nikahkan saja, Pak. Daripada zina terus." Seorang lagi bersuara."Gila, kamu! Trus Zoya mau di kemanain? Mana ada wanita mau dimadu." Pendapat tadi ditimpali oleh orang lain hingga suara kembali menjadi ramai."Sudah! Sudah!" Kita dengar jawaban Pak Septian." Sang ketua RT kembali bersuara. Septian yang didudukkan bersebelahan dengan Mira mengangkat kepalanya. Dia menatap sekilas Zoya yang terduduk lemah di samping istri ketua RT. Wajah wanita itu pucat pasi, pandangannya pun terlihat kosong."Sa-saya akan menikahi Mira, Pak," jawab Septian
"DIAM!" Zoya menutup telinga dengan bantal berharap tangisan bayinya tidak lagi terdengar. Namun, suara bayi yang baru berumur empat hari itu semakin melengking."DIAM. DIAM! Bisa diam enggak?!" Wanita itu mulai kehilangan akal sehatnya. Sejak pertengkaran hebat dengan Septian, emosinya semakin labil. Dia selalu menangis tanpa sebab dan mengabaikan putri kecilnya. Baru setelah tenang Zoya kembali memeluk bayi tidak berdosa itu. Sembari menyusui, air matanya terus menetes. Dia bersenandung untuk menghibur diri sendiri. Alih-alih merasa lega, jusru tangisannya semakin keras. Sementara Septian menghilang entah ke mana. Bibir Zoya tidak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Bahkan, dia mendoakan sesuatu yang mengerikan menimpa lelaki tersebut.Tak kunjung diam, Zoya turun dari tempat tidur. Dia meraih selimut yang awalnya menutupi tubuhnya, bermaksud membekap bayinya. Akal sehat dan nurani wanita itu telah mati. Pikirannya dipenuhi kebencian dan amarah."Ya, Allah ... Zoya!" Seorang wani
"Keluar dari rumahku!" Septian mengusir Yani yang menatapnya dan Zoya bergantian."Kamu kok, kasar gitu, sih?" tanya Yani. Dia berdiri menantang Septian yang sama sekali tidak ramah. Bukannya tidak menghormati sang empunya rumah, tetapi sikap lelaki itu sangat tidak sopan. Apalagi Zoya semakin mempererat pegangan di tangannya. "Suka-suka aku! Ini rumahku dan dia istriku," balas Septian lebih keras, membuat Yani beristigfar dalam hati. Dia memang tidak mengenal dekat si lelaki, bertemu pun baru tiga kali dengan hari ini. Pertemuan pertama dan kedua saat lamaran dan pesta pernikahan keduanya. Dia pikir sifat Septian sama kalem dengan wajahnya, ternyata pepatah, 'don't jugde a book bu it's cover' memang pantas disematkan untuk lelaki itu."Istrimu? Memangnya kamu tahu apa yang terjadi sama dia barusan?" Mau tidak mau Yani ikut naik pitam melihat cara Septian memperlakukan Zoya. Lelaki itu menarik tangan si wanita yang memegang tangannya dengan kasar."Yan, kamu pulang dulu, ya. Makasih
Kaki Yani seakan tidak mengenal kata lelah. Sejak tadi dia berjalan mondar-mandir di depan ruang unit gawat darurat. Tangannya memegang ponsel di telinga sambil sesekali melihat ke arah pintu, berjaga-jaga jika dokter yang menangani Zoya keluar."Mas, aku nemenin Zoya dulu, ya. Nanti kalau udah dapat kabarnya aku telepon lagi." Yani menghubungi suaminya. Bagaimana pun dia tidak ingin membuat lelaki yang menikahinya setahun yang lalu cemas karena pergi terlalu lama. "Iya, nanti kalau mau pulang kabarin, biar Mas jemput."Yani tersenyum, meski dia tahu sang suami tidak bisa melihat. "Iya. Maaf, ya, aku bikin Mas nunggu."Jawaban suaminya selanjutnya membuat lengkung bibir Yani semakin lebar. Keduanya berbicara sebentar sebelum mengakhiri pembicaraan, tepat saat dokter keluar dari ruangan instalasi gawat darurat."Dok, gimana keadaan Zoya?" Raut Yani terlihat cemas."Anda keluarganya?"Yani mengangguk."Sebaiknya kita bicara di ruangan saya." Yani mengikuti dokter tadi ke dalam ruanga
"Apa?" Yani panik mengetahui Bayi Zoya dibawa pergi Septian, "kok, bisa, Buk?"Wanita yang merupakan tetangga Zoya tempat Yani menitipkan Bayi Zoya menggeleng lemah dengan raut menyesal. "Saya tidak bisa melarang, Mbak. Septian Ayah bayi itu. Dia mengancam akan melaporkan saya ke polisi kalau menghalangi membawa anaknya sendiri."Yani menatap tidak percaya mendengar penjelasan si wanita. Namun, dia tidak bisa menyalahkan wanita tersebut. Sebagai ayah, Septian memang berhak mengambil putrinya, tetapi tidak dengan cara seperti itu."Kenapa waktu itu Mbak tidak menelepon saya?" "Tidak sempat, Mbak. Septian marah-marah sambil teriak di depan rumah. Saya tidak mau anak-anak saya celaka, lagipula orang tua saya udah tua. Saya takut mereka kenapa-kenapa."Helaan napas Yani terdengar berat. Dia memilih kembali ke rumah sakit setelah membawa beberapa pakaian ganti untuk Zoya. Sepanjang perjalanan dia bingung bagaimana menyampaikan pada wanita tersebut. Jalan satu-satunya menyampaikan pelan-pe
Andai membunuh tidak berdosa, Zoya akan menerkam dan menghabisi Septian detik ini juga. Habis sudah cinta untuk lelaki itu. Dia tidak mengerti, apakah matanya yang salah menilai atau memang sejak awal Septian sangat mahir berpura-pura. Satu tahun pernikahan semua masih terasa manis, meski soal keuangan lelaki itu memberi nafkah pas-pasan. Septian mengatakan hanya memberi sang istri seperlunya saja karena takut wanita itu boros. Padahal, Zoya bukanlah tipe wanita yang suka menghambur-hamburkan uang. Bekerja selama lima tahun, dia mampu membeli sepeda motor dan mempunyai tabungan yang tidak sedikit. Akan tetapi, semua tabungan itu habis digunakan untuk resepsi pernikahan yang dilaksanakan di gedung. Saat itu dia tidak memiliki kecurigaan apa pun kepada Septian. Meski tanpa restu dari mamanya, Zoya tetap bahagia. Dia berpikir lambat-laun sang mama akan menerima suaminya. Zoya yakin jika Septian lelaki baik dan sangat bertanggung jawab. Ditambah status si lelaki sebagai karyawan di sebu
"Aku kenalin sama suamiku," ajak Yani begitu mendapat kabar suaminya sudah menunggu di depan rumah Zoya. Zoya menggeleng, "Lain kali aja, masih banyak waktu.""Ya, sudah, aku balik dulu, ya. Hari ini aku langsung pulang. Kamu baik-baik si sini, kalau ada apa-apa segera kasih tahu aku."Yani memeluk Zoya erat-erat. Wanita itu sudah seperti saudaranya sendiri. Sayang sekali Zoya tidak datang saat pernikahannya dulu karena dilangsungkan di kota asal sang suami, lagipula Septian tidak mengizinkan istrinya ke mana-mana saat itu, hingga sang sahabat tidak sempat berkenalan dengan suaminya. Senyum Zoya menghilang setelah mobil yang ditumpangi Yani menghilang dari pandangan. Dia menganjur napas dalam dan panjang, lalu memandang sekeliling. Dua orang tetangga melambai padanya, dia membalas dengan senyum tipis."Mbak Zoya, gimana kabarnya? Jarang keliatan sekarang," sapa salah satu tetangga yang melambai padanya."Baik, Mbak Ita."Kedua orang itu gegas mendekat ke pagar, berdiri tepat di depa
Mungkin rezekimu bukan harta atau tahta, bagaimana jika rezekimu adalah cinta Allah padamu? Maka bersabarlah karena sabar itu lebih baik dari berputus asa.---------"Ayo menikah denganku!""Hah?!" Kelopak mata Zoya melebar, mulutnya pun menganga mendengar perkataan David."Enggak susah kaget gitu diajak nikah sama orang ganteng." David mengedipkan mata dan memasang raut tengil, senyumnya semakin lebar melihat pipi Zoya yang memerah."Enggak usah geer!" Zoya mendengkus, dia berjalan melewati David dengan bibir manyun. Laki-laki itu sungguh keterlaluan. Baru saja dia melayang karena lamaran tiba-tiba, sekarang laki-laki itu kembali bertingkah tengil.Tawa David semakin lebar melihat bibir Zoya komat-kamit, entah apa yang diucapkan wanita itu, tetapi dia bahagia bisa mengerjai pujaan hatinya. Dia mengikuti langkah gegas wanita tersebut. Kali ini dia tidak akan lengah sedetik pun, kalau perlu ngintilin sampai ke kamar dijabanin!'Astaga! David! Segitunya ngebetnya, Lo!' Batinnya mencemoo
Senyum Yani mengembang melihat Zoya masuk ke dalam ruang perawatannya. Wanita itu menenteng buah yang disusun cantik dalam keranjang yang dihiasi pita warna-warni. Wajah Zoya terlihat cerah serupa dengan cahaya pagi yang mencuri-curi masuk melalui ventilasi jendela kamar."Duh, cerahnya pagi ini? Ada apa gerangan?" Yani menggoda Zoya yang meletakkan buah tangannya ke atas meja, tepat di sebelah tempat tidurnya.Senyum Zoya semakin lebar, dia duduk di pinggir ranjang dan menggenggam tangan Yani."Tentu aja aku bahagia. Akhirnya Lea bakal punya teman. Semoga nanti anakmu kembar, jadi sekali lahir langsung dua."Mendengar ucapan Zoya, dada Yani menghangat dan mengaminkan doa sahabatnya itu. Dia sangat malu pada-Nya karena sempat berprasangka buruk. Dia juga sungkan kepada Zoya, sebab wanita itu yang telah menyadarkannya, menamparnya dengan kata-kata bahwa tidak baik mendahului takdir Tuhan. Yani merasa sangat kerdil saat membandingkan pola pikirnya dengan sang sahabat. Padahal dia sudah
Nabil tersenyum melihat reaksi para pengguna sosial media terhadap video permintaan maaf Septian. Mereka yang tadinya menghujat Zoya dan perusahaannya, kini balik merutuki mantan suami Zoya tersebut. Berbagai komentar tidak berhenti masuk di postingan itu mengatakan jika Septian tidak memiliki malu, bermuka tebal, dan lain sebagainya. Begitulah kebanyakan penduduk maya, mudah sekali menurut ke mana arah angin.Suami Yani itu lega. Dengan tertangkapnya Septian akhirnya kasus pencemaran nama baik itu selesai. Mantan suami Zoya tersebut akan mendekam lama di balik jerusi besi. Selain dijerat kasus UU ITE, dia juga dijerat dengan pasal pencurian, penculikan, dan perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun penjara."Permisi, Pak." Zoya mengetuk pintu ruangan Nabil, wanita itu masuk setelah Nabil memberi isyarat."Ini laporan keuangan yang Bapak minta."Nabil meletakkan ponselnya untuk melihat dokumen yang diletakkan Zoya ke atas mejanya. 'Bagus, sepertinya se
Sejauh apa pun terpisah, kalau susah jodohnya maka Dia akan melipat waktu dan jarak agar terjadi sebuah pertemuan.-----------Kaki Zoya melangkah pelan-pelan mendekati ranjang tempat David berbaring. Ada letupan kecil di dada yang membuat mata wanita itu menghangat, sebab saat bibirnya hanya meminta kebaikan kepada Rab-nya bukan lagi sebuah pertemuan, justru kini Dia menghadirkan sosok lelaki yang kerap menggoda hatinya untuk merindu. Tangan Zoya menekan dada untuk merasakan jantungnya kembali berdegup kencang, melihat wajah David lagi membuat usahanya selama belasan purnama berusaha melupa menjadi sia-sia.'Dia berlari ke tengah jalan raya untuk menyelamat Lea yang terlepas dari tangan Septian. Situasi sangat kacau saat itu karena dari arah depan sebuah mini bus berkecepatan tinggi meluncur ke arah Lea, beruntung David bisa menarik Lea, tapi sayang kecelakaan tidak bisa terelakkan, sehingga tubuhnya terlempar beberapa meter sementara Lea didorong ke arah taman jalan dan jatuh tepat
Berlarilah sekuat yang kau bisa untuk menghindari takdir yang telah dijatuhkan atas namamu. Namun, sekeras apa pun mencoba kau tetap akan sampai di garis yang telah Dia tentukan untukmu. Jadi, kenapa harus berlelah-lelah jika milikmu akan tetap menjadi milikmu.-----------Yani terus berjalan mondar-mandir sambil melihat ke arah pekarangan rumah berharap mobil Nabil segera datang membawa suaminya. Dia melirik Zoya yang duduk di atas sofa sambil menahan tangis. Dia mengerti kecemasan yang kini menyergap dada Zoya, segala pikiran buruk pasti berkecamuk di tempurung kepala wanita tersebut. Batita cantik itu dibawa pergi oleh Septian. Entah apa motif laki-laki itu membawa putrinya. Setelah sekian lama tidak pernah muncul kini tiba-tiba melarikan Lea begitu saja."Mbak Zoya, Buk Yani ... saya benar-benar minta maaf sudah lalai menjaga Lea." Sang pengasuh menangis menyadari kesalahannya membiarkan orang tidak dikenal menggendong anak asuhnya. Tubuh wanita itu gemetar merasa dia yang pali
Septian membuang puntung rokoknya ke tanah dengan kesal. Alih-alih membuat Zoya kembali dekat padanya, wanita itu justru semakin menunjukkan ketidaksukaannya. Ternyata pesonanya tidak lagi berpengaruh pada mantan istrinya. Laki-laki itu menggeram marah ketika kata-kata Zoya kembali memantul-mantul di tempurung kepalanya. Dia tidak mengira wanita itu memiliki keberanian untuk membalas semua perkataannya. Padahal dulu, mendengar suaranya sedikit keras Zoya sudah gemetar ketakutan.Dering ponsel membuat niat Septian hendak membakar rokoknya urung. Dia merogoh ponsel dan melihat nama rekan kerjanya tampak di layar ponselnya. "Hallo!" Septian mengepitkan ponsel ke telinga dengan bahu, sementara tangannya hendak menyalakan korek api gas."Lo di mana?" Suara temannya terdengar kesal.Septian mengembuskan asap rokok yang baru dia isap. Tangannya kembali memegang ponsel. "Di luar. Ngapain nelpon? Gue, kan, lagi off?" "Lo keterlaluan. Gara-gara lo, gue kena masalah." Terdengar nada suara tema
Kelopak mata Zoya melebar mendengar pernyataan Yani. Dia tidak mengira wanita itu meminta pamrih atas kebaikannya selama ini. Bahu Zoya meluruh, punggungnya bersandar lemah di sandaran kursi."Maaf, Yan ... aku enggak bisa." Zoya menjawab lirih, dia menunduk dan memilin ujung jilbabnya. "Aku belum kepikiran menikah lagi.""Sekarang pikirkanlah. Mas Nabil laki-laki yang sangat baik. Kita akan hidup bahagia, Zoya." Yani menggenggam tangan Zoya, membuat wanita itu mengangkat pandangannya. Dia melihat senyum terulas di bibir Yani, seolah-olah sangat meyakini ucapannya."Yan, di dunia ini enggak ada wanita yang mau dimadu. Kenapa kamu malah mendorongku menikahi suamimu?"Sekarang Zoya mengerti kenapa Yani selalu melibatkannya dalam setiap liburan akhir pekan keduanya. Sudah benderang mengapa wanita yang gemar mengenakan gamis lebar berwarna gelap itu selalu berusaha mendekatkannya dengan Nabil.Air muka Yani berubah. Tatapannya kini berlabuh ke arah pintu, jauh menerawang ke depan."Aku e
Nabil menunggu panggilan telepon whatsapp yang belum terhubung. Dia mulai bertindak tegas melihat perkembangan suasana yang semakin memburuk karena postingan fitnahan oleh akun bodong, yang membuat banyak para calon jamaah menuntut pengembalian uang. Hal itu juga membuat para penanam modal ketar-ketir. Mereka mencemaskan dana yang telah ditanam di perusahaan Nabil, padahal laki-laki itu telah menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Para investor mungkin bisa menerima, tetapi tidak untuk semua calon jamaah yang telanjur termakan provokasi tersebut. Satu-satunya cara adalah menempuh jalur hukum dan menemukan siapa oknum di balik penyebaran postingan tersebut. Setelah itu dia akan menuntut pembersihan nama melalui media sosial, menurut para investor hanya itu satu-satunya cara agar kepercayaan para jamaah bisa kembali."Ya, Bil, ada apa?" Suara berat menjawab di ujung telepon."David, aku mau minta bantuanmu. Aku tahu kamu banyak link ke polisi dan bagian IT.""Ada masalah apa, kay
"Duh, yang selalu terlihat kalem ternyata ....."Obrolan empat orang karyawan wanita di kantin berhenti ketika salah seorang menyikut lengan dan memberi isyarat dengan mata jika yang sedang dibicarakan mendekat.Wanita berhijab hitam dengan model dililit ke leher, mencibir ke arah Zoya. Dia kembali menatatap teman-temannya. "Kita harus ajukan petisi agar dia dipecat dengan tidak hormat dari kantor ini, kalau tidak, kita nanti yang akan kena getahnya." Dia memprovokasi teman-temannya, "kalian lihat, kan, kemarin para calon jamaah ngamuknya kayak apa? Ngeri ih.""Iya, bener." Salah seorang dari keempat wanita yang berkumpul ikut menimpali. "Aku dengar para investor juga resah dengan gosip yang beredar.""Heh, siapa bilang gosip!" Wanita tadi mencolek temannya. "kamu enggak liat postingan yang viral itu? Jelas-jelas itu muka Pak Nabil, walau muka si Zoya enggak keliatan, tapi kita semua pasti tahu itu dia.""Udaaah! Jangan ngegosip terus. Pak Nabil sama Buk Yani belum kasih statement apa