"Suaminya mana, Buk?" tanya seorang perawat ketika Zoya masuk ke ruang unit gawat darurat.
Zoya meringis sambil terus memegangi perut bagian bawah. Rasanya calon bayinya sudah mendesak hendak keluar. Dia mengusap bulir-bulir keringat dingin di pelipisnya dan berkata, "Sakit sekali, Suster. Tolong ...."Perawat tadi sigap memapah Zoya naik ke atas brankar rumah sakit, juga memasang alat pemeriksa denyut jantung di jari si wanita. Matanya berkaca-kaca menatap langit-langit ruangan, mengingat tidak ada seorang pun yang menemani saat dia melahirkan."Buk, kita periksa dulu jalan lahirnya, ya."Zoya mengangguk. Dia membiarkan perawat tadi memeriksa jalan lahir dengan memasukkan jari yang sudah memakai sarung tangan lateks. Dia pasrah apa pun yang dilakukan padanya asal calon bayinya baik-baik saja."Sudah bukaan delapan, Buk. Sebentar lagi, ya." Perawat tadi membuka sarung tangan lateksnya kemudian membuang ke tempat sampah medis. "Apa suaminya sudah dihubungi, Buk?" Lagi perawat itu bertanya.Zoya menggeleng lemah. Kedua sudut matanya meneteskan air mata. Kepedihan menikam dadanya mengingat tidak satu pun pesan yang dia kirim ke ponsel Septian dibaca."Coba saya hubungi, ya.""Makasih, Suster, ponsel saya di dalam saku tas bagian depan," balas Zoya lirih.Perawat yang menggunakan hijab hitam itu mengambil ponsel Zoya, lalu menghubungi suami si wanita. Hampir lima menit mencoba, tetapi tetap saja tidak direspon."Ibuk pernah berobat di sini?" Sang perawat menyerah. Dia memasukkan kembali ponsel Zoya ke dalam tas."Pernah, Sus. Surat-suratnya di dalam tas."Sang perawat segera mengambil semua dokumen yang dibawa Zoya. Di dalam buku kontrol KIA, dia tahu nama dokter yang selalu menangani si wanita setiap kali ke rumah sakit. Perawat itu membawa semua dokumen Zoya untuk diserahkan kepada bagian administrasi sekaligus menghubungi dokter yang bersangkutan.Sementara di ruang unit gawat darurat, Zoya berjuang menahan rasa sakit yang terus menghantam perut bagian bawahnya. Seluruh persendian wanita itu seakan lepas, badannya lemah. Bahkan, untuk memiringkan tubuh saja dia tidak berdaya. Berjuang sendiri tanpa ada siapa pun yang menguatkannya, membuat tangis wanita itu pecah. Dia terisak keras, rasa sakit semakin menjadi-jadi karena diabaikan oleh Septian."Buk, jangan bersuara, nanti tenaganya habis." Perawat tadi kembali mendekati Zoya. Hatinya tersentuh melihat wanita itu berjuang sendiri tanpa ada yang menemani. Dia mengerti rasanya karena dia juga seorang wanita."Sakit, Sus, sakit banget." Zoya merintih. Rasa-rasanya seluruh daya di tubuhnya tersedot habis."Sabar, Buk, sebentar lagi dokter datang. Kita akan segera mengeluarkan bayinya."Perawat itu memiringkan tubuh Zoya ke kiri dan mengusap punggung wanita itu. Membantu persalinan seperti Zoya bukan pertama kali dia lakukan, tetapi tetap saja hatinya miris. Kenapa laki-laki yang harusnya melihat perjuangan seorang istri melahirkan nyawa baru ke dunia, malah mengabaikan. Harusnya mengerti keberadaan mereka di samping istri akan memberi suntikan semangat. Selain itu agar mereka lebih menghargai istrinya setelah melihat perjuangan yang tidak mudah. Seperti menyabung nyawa hidup atau mati.Tidak lama seorang wanita memakai baju OK (operatie kamer) berwarna biru muda masuk. Dia bertanya status Zoya sambil memasang sarung tangan lateks. Sang perawat menjelaskan mulai dari denyut jantung, repetisi kontraksi, dan pembukaan jalan lahir.Setelah mendapat penjelasan dari perawat tadi dan memeriksa jalan lahir Zoya, dokter itu memerintahkan membawa pasien ke dalam ruangan bersalin. Zoya pasrah apa pun yang akan dilakukan padanya. Dia bahkan hampir kehilangan separuh kesadaran jika sang perawat tidak menepuk-nepuk pipinya. Dia mengikuti instruksi dokter. Mengejan bila waktunya mengejan, diam bila tidak ada gelombang kontraksi. Tiga puluh menit perjuangan Zoya hingga lengking tangis bayi terdengar memekakkan telinga.*"Pasien banyak kehilangan darah, tapi untungnya dia sangat kuat. Jadi, tidak ada yang perlu dicemaskan.""Makasih banyak, Dok."Sayup-sayup suara Septian terdengar oleh Zoya. Wanita itu membuka kelopak matanya pelan-pelan. Pertama yang dilihatnya adalah plafon rumah sakit berwarna putih dan cahaya lampu yang membuat matanya silau. Zoya juga bisa merasakan masker oksigen melekat di wajahnya."Mas ...," lirih suara Zoya memanggil Septian ketika mendengar ketukan sepatu menjauh."Kamu udah sadar?" Septian menghampiri. Dia menggengam tangan Zoya, "Maaf, ya, aku enggak dengar telepon darimu, baru baca sampai di rumah tengah malam. Langsung ke sini karna takut terjadi sesuatu padamu dan anak kita."Zoya tersenyum kecut. Alasan yang sama dikemukakan Septian. Ingin rasanya mencerca lelaki itu, tetapi kondisi tubuhnya masih sangat lemah. Dia cukup lega Septian ada di sampingnya sekarang. Begitu lemah hatinya, sedikit perhatian dari sang suami mampu menjinakkan rasa kecewa yang bergumpal di dada. "Di mana anak kita?" Justru pertanyaan itu yang keluar dari bibir Zoya."Dia di ruang NICU. Putri kita sangat cantik, persis Ibunya."Zoya tersenyum mendengar pujian Septian. Dia bahagia doa-doa yang diuntai setiap malam menjadi kenyataan. Dia selalu meminta agar Tuhan mengembalikan suaminya yang dulu. Septian yang memiliki kasih dan kelembutan. Lelaki yang selalu membuatnya nyaman."Makasih, ya, Mas. Aku senang kamu di sini."Septian mengusap pucuk kepala Zoya. "Aku yang harusnya berterima kasih kamu udah memberikanku bayi yang sangat cantik."Seperti gurun pasir yang ditimpa hujan deras, hati Zoya basah karena bahagia. Berkah dari kesabarannya beberapa bulan ini terasa manis, Septian kembali seperti dulu kala mereka masih menjadi pengantin baru."Mas, aku ingin melihat anak kita," pinta Zoya. Dia tersenyum mendengar jawaban Septian."Sebentar lagi perawat akan membawanya ke sini."Pandangan keduanya serempak menatap ke arah pintu ketika seorang perawat masuk membawa kereta bayi berbentuk kotak. Dia menyerahkan bayi merah yang dibungkus bedong kain bermotif bunga sakura."Ibu bisa menyusui?" tanya sang perawat.Zoya mengangguk. Matanya tak lepas menatap bayinya yang tertidur pulas. Rambut hitam si bayi terlihat sangat legam. Pipi kemerahan, bibir dan hindung mungil membuat rasa haru menyusup ke dadanya. Begitu indah titipan Tuhan padanya. Air mata Zoya menetes begitu saja melihat kepala bayinya bergerak-gerak di dadanya.*Dua malam tiga hari Zoya di rumah sakit untuk pemulihan pasca melahirkan. Beruntung jalan lahirnya tidak perlu dijahit sehingga kondisinya bisa pulih lebih cepat. Selama di rumah sakit Septian selalu datang pada malam hari, padahal jam kantornya berakhir pukul lima sore. Ingin Zoya bertanya, tetapi urung karena tidak ingin membuat hubungan mereka kembali merenggang. Dia takut lelaki itu merasa dicurigai. Zoya mengusir semua hal ganjil yang dia rasakan beberapa bulan belakangan. Toh, sekarang Septian selalu di sampingnya meski hanya untuk tidur saja.Setiap malam Zoya terjaga untuk menyusui bayinya. Dia menatap lekat wajah Septian yang terlihat lelah. Wajar jika dia selalu khawatir jika lelaki itu berpaling. Suaminya memiliki tulang hidung tinggi dan bibir kemerahan. Bila tersenyum terlihat manis sekali, ditambah alis tebal yang membingkai wajah tampannya. Apalagi jika berpakaian rapi, Zoya yakin para gadis pun akan terpesona menatapnya."Buk, nanti sore sudah boleh pulang. Apa Ibuk mau saya bantu bersiap-siap atau menunggu suami?" Suara perawat yang bertugas di ruangan Zoya meletuskan lamunan si wanita.Zoya diam sejenak. Jika menunggu Septian pasti tengah malam sampai di rumah dan tidak baik untuk bayinya. Lagipula dia ingin memberi kejutan. Bukankah lelaki itu berkata, selalu pulang ke rumah terlebih dahulu sebelum menemaninya di rumah sakit?"Sus, saya pulang sekarang saja. Bisa tolong kemas pakaian saya.""Ibuk bisa pulang sendiri?" Sang perawat bertanya lagi.Zoya mengangguk mantap. "Saya baik-baik aja. Lagian nanti tinggal pesan kendaraan lewat aplikasi aja."Perawat tadi tersenyum. Dia segera membantu mengepak semua barang-barang Zoya. Setelah semua beres, dia juga memberikan surat-surat yang harus ditandatangi. Beruntung semua biaya persalinan ditanggung perusahaan tempat Septian bekerja, sehingga dia tidak perlu mengerluarkan sepeser pun."Jaga kesehatan Ibuk dan dedek bayi, ya. Jangan lupa kontrol dua minggu lagi." Sang perawat berpesan setelah Zoya dan bayinya duduk di dalam mobil. Dia menutup pintu perlahan setelah mendengar jawaban si wanita.Sepanjang jalan pulang dada Zoya berdebar sangat kencang. Dia tidak tahu kenapa, rasanya ada sesuatu mengimpit dada. Untuk mengusir resah yang tiba-tiba hadir dia silih berganti memandang wajah putrinya yang tertidur di dalam selimut tebal, lalu ke jalan raya.Mobil yang ditumpangi Zoya berhenti di depan rumahnya. Senja sudah membuat langit di bagian barat berwarna merah saga, sebentar lagi malam menjelang pertanda waktunya bulan beredar menjaga bumi. Dahi Zoya berkerut melihat mobil Septian sudah terparkir di pekarangan rumah. Setelah sopir meletakkan barang-barangnya di atas kursi di teras rumah, dia membuka pintu perlahan.Langkah Zoya tertahan melihat ceceran baju di sepanjang ruang tamu menuju kamarnya. Detakan jantung wanita itu semakin menggila ketika sayup-sayup mendengar desahan bersahutan dari dalam kamar. Meski otaknya melarang, tetapi hatinya terus menyuruh maju. Pegangan Zoya pada bayinya semakin menguat. Bibirnya terkatup rapat ketika suara desahan itu terdengar semakin keras. Dia bisa merasakan tubuhnya bergetar hebat. Walau bisa menebak siapa yang ada di dalam kamar, tetapi tangannya tetap bergerak menekan gagang pintu kamar ke bawah.Mata Zoya terbelalak melihat pemandangan di hadapan. Septian dan Mira asyik bergumul di atas ranjang miliknya. Raungan histeris Zoya baru menyadarkan keduanya."Keparat kalian!" Mata Zoya memerah menatap Septian dan Mira yang kelabakan menutupi tubuh polos mereka.Belum sempat berpakaian, para tetangga ikut masuk menerobos dan menjadi saksi perzinaan keduanya."Sekarang bagaimana? Kami tidak ingin ada pasangan zina di komplek kami." Suara ketua RT terdengar menengahi para warga yang sudah berkumpul di dalam rumah Zoya. Suasana malam yang biasa tenang kini ramai oleh cacian orang-orang kepada Septian. Bukan hanya di dalam, tetapi di luar rumah."Usir saja, Pak! Kami tidak mau ikut menanggung dosa mereka." Seorang wanita bertubuh subur menuding ke arah Septian dan Mira yang diamini oleh semua yang hadir."Nikahkan saja, Pak. Daripada zina terus." Seorang lagi bersuara."Gila, kamu! Trus Zoya mau di kemanain? Mana ada wanita mau dimadu." Pendapat tadi ditimpali oleh orang lain hingga suara kembali menjadi ramai."Sudah! Sudah!" Kita dengar jawaban Pak Septian." Sang ketua RT kembali bersuara. Septian yang didudukkan bersebelahan dengan Mira mengangkat kepalanya. Dia menatap sekilas Zoya yang terduduk lemah di samping istri ketua RT. Wajah wanita itu pucat pasi, pandangannya pun terlihat kosong."Sa-saya akan menikahi Mira, Pak," jawab Septian
"DIAM!" Zoya menutup telinga dengan bantal berharap tangisan bayinya tidak lagi terdengar. Namun, suara bayi yang baru berumur empat hari itu semakin melengking."DIAM. DIAM! Bisa diam enggak?!" Wanita itu mulai kehilangan akal sehatnya. Sejak pertengkaran hebat dengan Septian, emosinya semakin labil. Dia selalu menangis tanpa sebab dan mengabaikan putri kecilnya. Baru setelah tenang Zoya kembali memeluk bayi tidak berdosa itu. Sembari menyusui, air matanya terus menetes. Dia bersenandung untuk menghibur diri sendiri. Alih-alih merasa lega, jusru tangisannya semakin keras. Sementara Septian menghilang entah ke mana. Bibir Zoya tidak berhenti mengucapkan sumpah serapah. Bahkan, dia mendoakan sesuatu yang mengerikan menimpa lelaki tersebut.Tak kunjung diam, Zoya turun dari tempat tidur. Dia meraih selimut yang awalnya menutupi tubuhnya, bermaksud membekap bayinya. Akal sehat dan nurani wanita itu telah mati. Pikirannya dipenuhi kebencian dan amarah."Ya, Allah ... Zoya!" Seorang wani
"Keluar dari rumahku!" Septian mengusir Yani yang menatapnya dan Zoya bergantian."Kamu kok, kasar gitu, sih?" tanya Yani. Dia berdiri menantang Septian yang sama sekali tidak ramah. Bukannya tidak menghormati sang empunya rumah, tetapi sikap lelaki itu sangat tidak sopan. Apalagi Zoya semakin mempererat pegangan di tangannya. "Suka-suka aku! Ini rumahku dan dia istriku," balas Septian lebih keras, membuat Yani beristigfar dalam hati. Dia memang tidak mengenal dekat si lelaki, bertemu pun baru tiga kali dengan hari ini. Pertemuan pertama dan kedua saat lamaran dan pesta pernikahan keduanya. Dia pikir sifat Septian sama kalem dengan wajahnya, ternyata pepatah, 'don't jugde a book bu it's cover' memang pantas disematkan untuk lelaki itu."Istrimu? Memangnya kamu tahu apa yang terjadi sama dia barusan?" Mau tidak mau Yani ikut naik pitam melihat cara Septian memperlakukan Zoya. Lelaki itu menarik tangan si wanita yang memegang tangannya dengan kasar."Yan, kamu pulang dulu, ya. Makasih
Kaki Yani seakan tidak mengenal kata lelah. Sejak tadi dia berjalan mondar-mandir di depan ruang unit gawat darurat. Tangannya memegang ponsel di telinga sambil sesekali melihat ke arah pintu, berjaga-jaga jika dokter yang menangani Zoya keluar."Mas, aku nemenin Zoya dulu, ya. Nanti kalau udah dapat kabarnya aku telepon lagi." Yani menghubungi suaminya. Bagaimana pun dia tidak ingin membuat lelaki yang menikahinya setahun yang lalu cemas karena pergi terlalu lama. "Iya, nanti kalau mau pulang kabarin, biar Mas jemput."Yani tersenyum, meski dia tahu sang suami tidak bisa melihat. "Iya. Maaf, ya, aku bikin Mas nunggu."Jawaban suaminya selanjutnya membuat lengkung bibir Yani semakin lebar. Keduanya berbicara sebentar sebelum mengakhiri pembicaraan, tepat saat dokter keluar dari ruangan instalasi gawat darurat."Dok, gimana keadaan Zoya?" Raut Yani terlihat cemas."Anda keluarganya?"Yani mengangguk."Sebaiknya kita bicara di ruangan saya." Yani mengikuti dokter tadi ke dalam ruanga
"Apa?" Yani panik mengetahui Bayi Zoya dibawa pergi Septian, "kok, bisa, Buk?"Wanita yang merupakan tetangga Zoya tempat Yani menitipkan Bayi Zoya menggeleng lemah dengan raut menyesal. "Saya tidak bisa melarang, Mbak. Septian Ayah bayi itu. Dia mengancam akan melaporkan saya ke polisi kalau menghalangi membawa anaknya sendiri."Yani menatap tidak percaya mendengar penjelasan si wanita. Namun, dia tidak bisa menyalahkan wanita tersebut. Sebagai ayah, Septian memang berhak mengambil putrinya, tetapi tidak dengan cara seperti itu."Kenapa waktu itu Mbak tidak menelepon saya?" "Tidak sempat, Mbak. Septian marah-marah sambil teriak di depan rumah. Saya tidak mau anak-anak saya celaka, lagipula orang tua saya udah tua. Saya takut mereka kenapa-kenapa."Helaan napas Yani terdengar berat. Dia memilih kembali ke rumah sakit setelah membawa beberapa pakaian ganti untuk Zoya. Sepanjang perjalanan dia bingung bagaimana menyampaikan pada wanita tersebut. Jalan satu-satunya menyampaikan pelan-pe
Andai membunuh tidak berdosa, Zoya akan menerkam dan menghabisi Septian detik ini juga. Habis sudah cinta untuk lelaki itu. Dia tidak mengerti, apakah matanya yang salah menilai atau memang sejak awal Septian sangat mahir berpura-pura. Satu tahun pernikahan semua masih terasa manis, meski soal keuangan lelaki itu memberi nafkah pas-pasan. Septian mengatakan hanya memberi sang istri seperlunya saja karena takut wanita itu boros. Padahal, Zoya bukanlah tipe wanita yang suka menghambur-hamburkan uang. Bekerja selama lima tahun, dia mampu membeli sepeda motor dan mempunyai tabungan yang tidak sedikit. Akan tetapi, semua tabungan itu habis digunakan untuk resepsi pernikahan yang dilaksanakan di gedung. Saat itu dia tidak memiliki kecurigaan apa pun kepada Septian. Meski tanpa restu dari mamanya, Zoya tetap bahagia. Dia berpikir lambat-laun sang mama akan menerima suaminya. Zoya yakin jika Septian lelaki baik dan sangat bertanggung jawab. Ditambah status si lelaki sebagai karyawan di sebu
"Aku kenalin sama suamiku," ajak Yani begitu mendapat kabar suaminya sudah menunggu di depan rumah Zoya. Zoya menggeleng, "Lain kali aja, masih banyak waktu.""Ya, sudah, aku balik dulu, ya. Hari ini aku langsung pulang. Kamu baik-baik si sini, kalau ada apa-apa segera kasih tahu aku."Yani memeluk Zoya erat-erat. Wanita itu sudah seperti saudaranya sendiri. Sayang sekali Zoya tidak datang saat pernikahannya dulu karena dilangsungkan di kota asal sang suami, lagipula Septian tidak mengizinkan istrinya ke mana-mana saat itu, hingga sang sahabat tidak sempat berkenalan dengan suaminya. Senyum Zoya menghilang setelah mobil yang ditumpangi Yani menghilang dari pandangan. Dia menganjur napas dalam dan panjang, lalu memandang sekeliling. Dua orang tetangga melambai padanya, dia membalas dengan senyum tipis."Mbak Zoya, gimana kabarnya? Jarang keliatan sekarang," sapa salah satu tetangga yang melambai padanya."Baik, Mbak Ita."Kedua orang itu gegas mendekat ke pagar, berdiri tepat di depa
"Apa?" Zoya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika mendengar recepsionis mengatakan kalau Septian tidak lagi bekerja di sana."Iya, Buk. Pak Septian mengajukan resign sekitar satu bulan yang lalu." Sang resepsionis menjelaskan kembali."Mbak tahu di mana dia bekerja sekarang?" Gadis muda yang mengenakan setelan blazer berwarna cokelat itu menggeleng. "Ibuk siapa, ya?"Zoya memegang tangan gadis yang dia taksir berumur dua puluh tahunan itu. "Mbak, tolong kasih tahu di mana Septian sekarang. Dia nipu saya. Saya mantan istrinya."Gadis yang rambutnya dicepol itu menatap iba melihat kondisi Zoya. Wajah wanita tersebut tampak pucat dan penampilannya kusut masai. Dia menoleh ke kiri dan kanan sebelum mendekatkan wajahnya ke arah Zoya."Sebenarnya Pak Septian dipecat dengan tidak hormat, Buk," bisiknya sangat pelan Mata Zoya melebar. "Pak Septian ketahuan menggelapkan uang perusahaan sebesar 300 juta, tapi berhubung beliau sudah lama bekerja di sini, maka pimpinan berbaik hati
Mungkin rezekimu bukan harta atau tahta, bagaimana jika rezekimu adalah cinta Allah padamu? Maka bersabarlah karena sabar itu lebih baik dari berputus asa.---------"Ayo menikah denganku!""Hah?!" Kelopak mata Zoya melebar, mulutnya pun menganga mendengar perkataan David."Enggak susah kaget gitu diajak nikah sama orang ganteng." David mengedipkan mata dan memasang raut tengil, senyumnya semakin lebar melihat pipi Zoya yang memerah."Enggak usah geer!" Zoya mendengkus, dia berjalan melewati David dengan bibir manyun. Laki-laki itu sungguh keterlaluan. Baru saja dia melayang karena lamaran tiba-tiba, sekarang laki-laki itu kembali bertingkah tengil.Tawa David semakin lebar melihat bibir Zoya komat-kamit, entah apa yang diucapkan wanita itu, tetapi dia bahagia bisa mengerjai pujaan hatinya. Dia mengikuti langkah gegas wanita tersebut. Kali ini dia tidak akan lengah sedetik pun, kalau perlu ngintilin sampai ke kamar dijabanin!'Astaga! David! Segitunya ngebetnya, Lo!' Batinnya mencemoo
Senyum Yani mengembang melihat Zoya masuk ke dalam ruang perawatannya. Wanita itu menenteng buah yang disusun cantik dalam keranjang yang dihiasi pita warna-warni. Wajah Zoya terlihat cerah serupa dengan cahaya pagi yang mencuri-curi masuk melalui ventilasi jendela kamar."Duh, cerahnya pagi ini? Ada apa gerangan?" Yani menggoda Zoya yang meletakkan buah tangannya ke atas meja, tepat di sebelah tempat tidurnya.Senyum Zoya semakin lebar, dia duduk di pinggir ranjang dan menggenggam tangan Yani."Tentu aja aku bahagia. Akhirnya Lea bakal punya teman. Semoga nanti anakmu kembar, jadi sekali lahir langsung dua."Mendengar ucapan Zoya, dada Yani menghangat dan mengaminkan doa sahabatnya itu. Dia sangat malu pada-Nya karena sempat berprasangka buruk. Dia juga sungkan kepada Zoya, sebab wanita itu yang telah menyadarkannya, menamparnya dengan kata-kata bahwa tidak baik mendahului takdir Tuhan. Yani merasa sangat kerdil saat membandingkan pola pikirnya dengan sang sahabat. Padahal dia sudah
Nabil tersenyum melihat reaksi para pengguna sosial media terhadap video permintaan maaf Septian. Mereka yang tadinya menghujat Zoya dan perusahaannya, kini balik merutuki mantan suami Zoya tersebut. Berbagai komentar tidak berhenti masuk di postingan itu mengatakan jika Septian tidak memiliki malu, bermuka tebal, dan lain sebagainya. Begitulah kebanyakan penduduk maya, mudah sekali menurut ke mana arah angin.Suami Yani itu lega. Dengan tertangkapnya Septian akhirnya kasus pencemaran nama baik itu selesai. Mantan suami Zoya tersebut akan mendekam lama di balik jerusi besi. Selain dijerat kasus UU ITE, dia juga dijerat dengan pasal pencurian, penculikan, dan perbuatan tidak menyenangkan dengan ancaman hukuman lebih dari lima tahun penjara."Permisi, Pak." Zoya mengetuk pintu ruangan Nabil, wanita itu masuk setelah Nabil memberi isyarat."Ini laporan keuangan yang Bapak minta."Nabil meletakkan ponselnya untuk melihat dokumen yang diletakkan Zoya ke atas mejanya. 'Bagus, sepertinya se
Sejauh apa pun terpisah, kalau susah jodohnya maka Dia akan melipat waktu dan jarak agar terjadi sebuah pertemuan.-----------Kaki Zoya melangkah pelan-pelan mendekati ranjang tempat David berbaring. Ada letupan kecil di dada yang membuat mata wanita itu menghangat, sebab saat bibirnya hanya meminta kebaikan kepada Rab-nya bukan lagi sebuah pertemuan, justru kini Dia menghadirkan sosok lelaki yang kerap menggoda hatinya untuk merindu. Tangan Zoya menekan dada untuk merasakan jantungnya kembali berdegup kencang, melihat wajah David lagi membuat usahanya selama belasan purnama berusaha melupa menjadi sia-sia.'Dia berlari ke tengah jalan raya untuk menyelamat Lea yang terlepas dari tangan Septian. Situasi sangat kacau saat itu karena dari arah depan sebuah mini bus berkecepatan tinggi meluncur ke arah Lea, beruntung David bisa menarik Lea, tapi sayang kecelakaan tidak bisa terelakkan, sehingga tubuhnya terlempar beberapa meter sementara Lea didorong ke arah taman jalan dan jatuh tepat
Berlarilah sekuat yang kau bisa untuk menghindari takdir yang telah dijatuhkan atas namamu. Namun, sekeras apa pun mencoba kau tetap akan sampai di garis yang telah Dia tentukan untukmu. Jadi, kenapa harus berlelah-lelah jika milikmu akan tetap menjadi milikmu.-----------Yani terus berjalan mondar-mandir sambil melihat ke arah pekarangan rumah berharap mobil Nabil segera datang membawa suaminya. Dia melirik Zoya yang duduk di atas sofa sambil menahan tangis. Dia mengerti kecemasan yang kini menyergap dada Zoya, segala pikiran buruk pasti berkecamuk di tempurung kepala wanita tersebut. Batita cantik itu dibawa pergi oleh Septian. Entah apa motif laki-laki itu membawa putrinya. Setelah sekian lama tidak pernah muncul kini tiba-tiba melarikan Lea begitu saja."Mbak Zoya, Buk Yani ... saya benar-benar minta maaf sudah lalai menjaga Lea." Sang pengasuh menangis menyadari kesalahannya membiarkan orang tidak dikenal menggendong anak asuhnya. Tubuh wanita itu gemetar merasa dia yang pali
Septian membuang puntung rokoknya ke tanah dengan kesal. Alih-alih membuat Zoya kembali dekat padanya, wanita itu justru semakin menunjukkan ketidaksukaannya. Ternyata pesonanya tidak lagi berpengaruh pada mantan istrinya. Laki-laki itu menggeram marah ketika kata-kata Zoya kembali memantul-mantul di tempurung kepalanya. Dia tidak mengira wanita itu memiliki keberanian untuk membalas semua perkataannya. Padahal dulu, mendengar suaranya sedikit keras Zoya sudah gemetar ketakutan.Dering ponsel membuat niat Septian hendak membakar rokoknya urung. Dia merogoh ponsel dan melihat nama rekan kerjanya tampak di layar ponselnya. "Hallo!" Septian mengepitkan ponsel ke telinga dengan bahu, sementara tangannya hendak menyalakan korek api gas."Lo di mana?" Suara temannya terdengar kesal.Septian mengembuskan asap rokok yang baru dia isap. Tangannya kembali memegang ponsel. "Di luar. Ngapain nelpon? Gue, kan, lagi off?" "Lo keterlaluan. Gara-gara lo, gue kena masalah." Terdengar nada suara tema
Kelopak mata Zoya melebar mendengar pernyataan Yani. Dia tidak mengira wanita itu meminta pamrih atas kebaikannya selama ini. Bahu Zoya meluruh, punggungnya bersandar lemah di sandaran kursi."Maaf, Yan ... aku enggak bisa." Zoya menjawab lirih, dia menunduk dan memilin ujung jilbabnya. "Aku belum kepikiran menikah lagi.""Sekarang pikirkanlah. Mas Nabil laki-laki yang sangat baik. Kita akan hidup bahagia, Zoya." Yani menggenggam tangan Zoya, membuat wanita itu mengangkat pandangannya. Dia melihat senyum terulas di bibir Yani, seolah-olah sangat meyakini ucapannya."Yan, di dunia ini enggak ada wanita yang mau dimadu. Kenapa kamu malah mendorongku menikahi suamimu?"Sekarang Zoya mengerti kenapa Yani selalu melibatkannya dalam setiap liburan akhir pekan keduanya. Sudah benderang mengapa wanita yang gemar mengenakan gamis lebar berwarna gelap itu selalu berusaha mendekatkannya dengan Nabil.Air muka Yani berubah. Tatapannya kini berlabuh ke arah pintu, jauh menerawang ke depan."Aku e
Nabil menunggu panggilan telepon whatsapp yang belum terhubung. Dia mulai bertindak tegas melihat perkembangan suasana yang semakin memburuk karena postingan fitnahan oleh akun bodong, yang membuat banyak para calon jamaah menuntut pengembalian uang. Hal itu juga membuat para penanam modal ketar-ketir. Mereka mencemaskan dana yang telah ditanam di perusahaan Nabil, padahal laki-laki itu telah menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya. Para investor mungkin bisa menerima, tetapi tidak untuk semua calon jamaah yang telanjur termakan provokasi tersebut. Satu-satunya cara adalah menempuh jalur hukum dan menemukan siapa oknum di balik penyebaran postingan tersebut. Setelah itu dia akan menuntut pembersihan nama melalui media sosial, menurut para investor hanya itu satu-satunya cara agar kepercayaan para jamaah bisa kembali."Ya, Bil, ada apa?" Suara berat menjawab di ujung telepon."David, aku mau minta bantuanmu. Aku tahu kamu banyak link ke polisi dan bagian IT.""Ada masalah apa, kay
"Duh, yang selalu terlihat kalem ternyata ....."Obrolan empat orang karyawan wanita di kantin berhenti ketika salah seorang menyikut lengan dan memberi isyarat dengan mata jika yang sedang dibicarakan mendekat.Wanita berhijab hitam dengan model dililit ke leher, mencibir ke arah Zoya. Dia kembali menatatap teman-temannya. "Kita harus ajukan petisi agar dia dipecat dengan tidak hormat dari kantor ini, kalau tidak, kita nanti yang akan kena getahnya." Dia memprovokasi teman-temannya, "kalian lihat, kan, kemarin para calon jamaah ngamuknya kayak apa? Ngeri ih.""Iya, bener." Salah seorang dari keempat wanita yang berkumpul ikut menimpali. "Aku dengar para investor juga resah dengan gosip yang beredar.""Heh, siapa bilang gosip!" Wanita tadi mencolek temannya. "kamu enggak liat postingan yang viral itu? Jelas-jelas itu muka Pak Nabil, walau muka si Zoya enggak keliatan, tapi kita semua pasti tahu itu dia.""Udaaah! Jangan ngegosip terus. Pak Nabil sama Buk Yani belum kasih statement apa