Hari ini Rio dan Natalie sedang berjalan-jalan di sebuah mall untuk berbelanja keperluan harian Natalie. Mulai hari ini ia akan tinggal di kediaman Rio dan Celine. Rio mengajaknya tinggal bersama usai keributan yang dilakukan Celine kemarin. Rio mengatakan bahwa itu adalah bentuk kompensasi, sekaligus hukuman untuk Celine.
"Mulai besok, Natalie akan tinggal di rumahku!" tegas Rio kemarin, di tengah-tengah tangisan Celine.
"Tidak! Kau tidak bisa melakukan itu, Rio!" Celine tak terima.
"Bukankah aku sudah memperingatkanmu! Jika kau menyakiti Natalie sekali lagi, kau akan menerima akibatnya. Seharusnya kau bersyukur, berkat Natalie kau tidak jadi kuceraikan," cerca Rio.
"Sudahlah, Rio. Celine tidak salah. Aku lah yang salah. Maafkan aku!" Seperti biasa, Natalie berpura-pura mengalah.
"Tidak, Natalie. Seharusnya aku mengenalmu lebih dulu, bukan wanita ini!" Rio menunjuk ke arah Celine yang masih tersungkur di lantai.
"Baiklah-baiklah! Tidak ada yang bisa membantah perkataanmu. Lebih baik sekarang kau mandi. Aku akan menenangkan Celine," ujar Natalie, seraya tersenyum manis.
"Baiklah, Sayang." Rio membalas senyuman Natalie, lalu pergi ke kamar mandi.
Saat Rio tak terlihat, Natalie menatap garang ke arah Celine.
"Ini hanya permulaan, Sayang." Natalie menyentuh dagu Celine dengan jari telunjuknya."Apa salahku padamu? Aku sama sekali tidak mengingatmu," keluh Celine, dengan wajah sembab.
"Tunggulah beberapa saat lagi, Sayang. Dan kau akan segera mengetahuinya. Bersiaplah! Muah ...." Natalie mengecup pipi Celine, lalu meninggalkan gadis itu seorang diri dengan tawa kemenangan.
Celine hanya bisa menangis sesenggukan tanpa perlawanan. Ia takut Rio akan kembali menyakitinya jika ia bersuara.
Begitulah pertengkaran kemarin berakhir. Hingga Rio kembali pulang dan berjanji menjemput Natalie keesokan harinya.Sudah berjam-jam Rio mengajak Natalie berkeliling mall, hal itu membuat Natalie sakit kepala. Berkali-kali Rio menawarkan pakaian serta aksesoris wanita, tapi Natalie berusaha menolak. Alasan Natalie menolak bukan untuk menarik perhatian Rio. Melainkan ia benci memakai sesuatu di tubuhnya, apalagi pemberian dari lelaki seperti Rio.
Namun sepertinya Rio salah menanggapi hal itu. Ia mengira Natalie hanya tak terbiasa dengan perhiasan mahal. Hingga Rio terus berusaha membujuk Natalie membeli barang apapun yang disukainya.Di sela-sela kejenuhan, Natalie berpikir untuk kabur. Muncullah ide aneh di pikiran Natalie.
"Emm ... Sayang. Aku ingin pergi ke toilet sebentar ... saja. Bisakah kau menungguku?" bujuk Natalie pada Rio."Aku temani."
"What?! No. Itu toilet wanita. Kau bisa dikeroyok orang-orang jika ketahuan." Natalie menolak tegas.
"Tapi ...." Rio tampak murung.
"Aku tak tahan." Natalie tampak mengeratkan kedua kakinya.
"Ya sudah. Aku tunggu di sini." Akhirnya Rio mengalah.
"Fyuh ...." Natalie menarik napas lega. Setelahnya ia segera menjauh dari Rio.
"Uh ... menyebalkan! Berapa lama lagi aku akan bersama dengan lelaki buruk ini?" Natalie terus mengeluh sepanjang jalan.
Ia berusaha mencari jalan keluar dari mall tersebut. Ia ingin menenangkan diri sebentar, karena sudah terlalu sumpek berada di samping lelaki berengsek itu. Kini ia berada tepat di jalan raya. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya. Lalu mencari tempat untuk santai sejenak, sebelum ia melanjutkan tugas.
Natalie melihat sebuah cafe di ujung jalan. Dengan buru-buru ia menyeberang, agar segera bisa merilekskan pikirannya. Saat di pertengahan, ia tak sadar jika berada di jalan besar, hingga sebuah mobil terpaksa berhenti, ketika Natalie melintas.
"Uh ... astaga! Hampir saja." Natalie mengelus dadanya yang berdebar karena terkejut.
"Hei, Nona! Kau mau mati, ya?!" Seorang pria tampak memunculkan kepalanya dari balik kaca mobil yang terbuka.
"Maaf-maaf. Ini salahku. Aku minta maaf. Aku sedang terburu-buru, oke." Natalie kembali berlari, usai mengatakan itu.
"Dasar wanita tak tahu adab!" Pengendara itu masih mengumpat.
"Sudahlah! Biarkan saja wanita itu. Ia terlihat buru-buru." Terdengar suara pria lain dari mobil yang sama.
"Kita lanjutkan saja perjalanan kita," lanjut suara itu lagi."Siap, Bos!" Setelahnya, mobil itu kembali bergerak menjauh.
***"Uh ... hari ini benar-benar melelahkan! Berjalan bersama Rio memang selalu membawa sial," Natalie terus mengumpat, seraya meminum jus yang ia pesan.
"Tenanglah, Natalie. Jika tugas ini berhasil, kau bisa mengambil liburan panjang." Natalie coba menenangkan diri.Tak lama kemudian, ponsel Natalie berbunyi. Terlihat jelas nama si pemanggil di layar ponselnya.
"Rio?! Cepat sekali ia mencariku," Natalie berbicara, seolah ia baru pergi beberapa detik. Padahal sudah setengah jam sejak ia meninggalkan Rio di mall. Natalie hanya membiarkan ponselnya berdering. Beberapa detik kemudian, ponsel itu berdering lagi."Baiklah-baiklah! Cukup istirahatnya. Saatnya kembali untuk tugas, Natalie." Natalie pun meraih ponselnya, lalu menerima panggilan Rio.
"Natalie ... ada di mana kau? Aku sudah menunggumu sedari tadi. Apa terjadi sesuatu padamu?" Suara Rio terdengar cemas.
"Rio ...." Natalie melembutkan suaranya. "Maaf, aku pulang duluan. Kita bertemu di rumahku saja, ya," lanjut Natalie.
"Tapi kenapa?" Rio kebingungan.
"Tadi aku melihat seorang pria tua yang dulu ingin membeliku. Aku takut, jika ia melihatku bersamamu, kau akan jadi pelampiasannya," Natalie memberi penjelasan.
"Aku bisa melindungimu, Natalie. Kenapa kau takut?"
"Aku tak mau merepotkanmu, Rio. Aku tak ingin kau diterpa gosip. Aku hanya ingin melindungimu." Natalie coba beralasan.
"Hah?! Seharusnya aku yang melindungimu, Natalie." Suara Rio terdengar berat.
"Sudahlah, Rio. Sampai jumpa. Aku menunggumu di rumah, oke. Love you." Natalie lalu buru-buru mengakhiri panggilan. Ia tak ingin mendengar balasan Rio.
"Oh, Natalieku ...." Sementara Rio mengecup layar ponselnya, di mana terdapat foto Natalie di sana.
***Setelah puas menikmati suasana cafe, Natalie melangkahkan kakinya keluar. Ia sudah siap untuk pergi ke rumah Rio hari ini.
"Lebih cepat, lebih baik," gumam Natalie.Saat akan membuka pintu cafe, Natalie berpapasan dengan seorang pria muda, memakai jas serta kacamata hitam. Ia terlihat seperti seorang mafia. Sesaat pria itu melirik ke arah Natalie dengan tatapan sinisnya. Natalie tak mempedulikan tatapan itu. Ia terus melangkah keluar, meninggalkan cafe tersebut.
Tiba-tiba ....
Bruk!
Seorang pria menabrak tubuh Natalie.
"Hei, bisakah kau hati-hati?" geram Natalie, lalu menoleh ke arah lelaki itu."Maaf, Nona. Aku tak sengaja," ujar pria itu. Alangkah terkejutnya Natalie, saat melihat sosok pria yang tadi hampir menabraknya.
"Hei, kau sopir tadi, kan?" Natalie menunjuk ke arah pria itu.
Pria itu pun mulai memperhatikan Natalie dengan seksama."Oh ... aku mengingatmu. Kau gadis yang tak hati-hati tadi, kan? Seenaknya menyeberang tanpa mempedulikan apapun. Kalau kau seperti itu, kau bisa mati. Bayangkan kalau tadi aku menabrakmu? Itu akan mengakibatkan nama baik bosku hancur." Pria itu menceramahi Natalie.
Natalie hanya melongo mendengar ocehan pria itu.
"Apa kau mengerti ucapanku, hah?!" Kembali pria itu memarahi Natalie."Mobilmu saja yang terlalu laju. Mana sempat aku menghindar." Natalie membela diri.
"Apa katamu?!" Mata pria itu membelalak ke arah Natalie.
"Hentikan, Jemz!" Terdengar suara pria lain yang muncul dari belakang Natalie.
"Rai ....," pria itu mengeluh, karena Rai tak membiarkan ia bicara.
"Maaf, Nona. Sopirku hanya khawatir akan keselamatanmu dan nama baikku. Sebenarnya dia adalah pria yang lembut," ujar pria itu memberi penjelasan.
Natalie diam, ia merasa familiar dengan wajah dan style pria di hadapannya.
"Oke. Aku tidak apa-apa. Anggap saja ini tidak pernah terjadi." Natalie memilih jalan damai."Baiklah! Semoga harimu menyenangkan, Nona." Pria itu mengakhiri perselisihan, lalu mempersilakan Natalie pergi.
...Natalie tiba di sebuah rumah yang terbilang mewah. Tanpa segan Natalie langsung masuk, karena pagar yang tak terkunci. Sampai di depan pintu, Natalie mulai menekan bel.Tak ada tanda-tanda tuan rumah akan membuka pintu, hingga Natalie mengulang perbuatannya untuk yang keempat kalinya.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Natalie menangkap wajah tak asing di balik pintu."Kau!" Wanita itu mengarahkan telunjuknya pada Natalie, dengan suara yang penuh tekanan emosi.Natalie hanya tersenyum menghadapi wanita itu."Jangan bertanya. Bukankan Rio sudah memberitahumu untuk bersiap-siap menyambutku, Celine?" Natalie memanas-manasi Celine."Ini tidak akan lama, Natalie. Aku pastikan Rio akan melihat wajah aslimu!" Celine mengancam."Oh ... aku akan menunggu dengan senang hati, Celine. Karena melihat musuh hancur tanpa perlawanan sangat tidak seru!" tantang Natalie, lalu dengan sombong menabrak tubuh Celine."Awas kau, Nata
Natalie kecil masih diam, hanya terus memperhatikan Laila yang mengeluarkan minuman dari tasnya, lalu mulai meneguk air mineral itu."Aku ingin melakukan pekerjaan sepertimu." Natalie memberanikan diri mengungkapkan keinginannya.Byur.Air menyembur keluar dari mulut Laila."Uhuk-uhuk-uhuk ...." Karena terkejut, Laila sampai terbatuk-batuk."Apa katamu?" Laila memastikan pendengarannya."Aku ingin sepertimu. Kau keren, ketika menghajar om gendut itu," ucap Natalie polos."Hahaha ... keren katamu? Kau bahkan tak tahu perjuangan seperti apa yang kulakukan hingga bisa seperti ini." Laila tertawa menanggapi ucapan gadis kecil di hadapannya.Natalie diam. Ia memang tak mengerti apa-apa saat ini. Tapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara melindungi diri. Sesaat Laila menatap ke arah gadis kecil di hadapannya. Ada rasa iba mengingat masa kecilnya hampir mirip dengan yang dialami gadis ini.Dia menghela napas panjang, la
"Apa kau tertarik dengan wanita itu, Rai?" Sebuah pertanyaan muncul dari meja lainnya."Tertarik? Pada wanita itu?" Lelaki yang dipanggil Rai itu, menunjuk ke arah Natalie."Kau pikir aku tak sadar, matamu terus menatap ke arah gadis itu,""Hei, kau jangan salah sangka! Apa kau pikir, aku akan tertarik dengan wanita seperti itu? Dia bukan seleraku!" sangkal Rei."Ckck ... jangan sampai aku tahu, kau diam-diam mencari tahu identitas wanita itu nantinya. Aku bersumpah, tak akan membantumu!""Oh ... ayo lah, Jeremy. Aku tahu kau tak akan tega." Rei menghipit leher Jeremy, kawan kecilnya itu.Sementara sorot matanya, tak lepas dari gadis seksi, yang sedari tadi terlihat mengoceh tak jelas.*** "Huh ... baiklah! Cukup senang-senangnya. Mari kita kembali ke medan perang." Natalie mengaitkan tas di tangannya, lalu mulai meninggalkan tempat.Ia berhenti di sebuah halte, menunggu taks
Cahaya pagi mulai terasa menusuk kulit serta penglihatan. Memaksa diri untuk segera membuka penglihatan."Uh ...." Natalie membuka mata, perlahan mengumpulkan kesadaran.Lama ia memperhatikan ruangan tempatnya tidur, lalu beralih ke selimut putih yang membungkus tubuhnya.Sontak ia terbangun, lalu hal pertama yang ia lakukan ialah membuka selimut. Memastikan pakaiannya masih lengkap."Fiuh ...." Natalie menarik napas lega."Sepertinya tak terjadi apa-apa," lanjutnya lagi."Tapi di mana aku?" Ia mulai meneliti setiap sudut ruangan yang serba putih itu. Ia memulai mengingat satu persatu kejadian yang berkaitan."Apa aku diculik?" pikir Natalie.Natalie lalu berdiri, membuka sebuah tirai besar yang menghalangi cahaya masuk. Nampak sebuah kolam renang di sana, dengan seorang pria yang tampak duduk santai dengan memegang laptop."Pasti dia penculiknya." Natalie lalu keluar dari kamar, akan menuju kolam renang itu.&n
Brak.Celine mendobrak pintu Natalie dengan bantuan beberapa pria kekar. Dengan tersenyum jahat, Celine memerintahkan pria-pria kekar itu menyeret Natalie keluar dari kamar."Seret wanita ini keluar! Cepat!" Perintah Celine."Baik, Nyonya!" Pria-pria itu hanya mengiyakan."Apa-apaan kau, Celine? Begini kah caramu memperlakukan tamu?" tanya Natalie, yang langsung bangkit dari tidur. Mendapati kamarnya telah dipenuhi beberapa orang."Cih! Kau menjadi tamu, hanya karena Rio menyukaimu. Tapi setelah ini, Rio tidak akan lagi memperlakukanmu dengan kasih sayang!" cebik Celine, dengan amarah yang membara."Apa maksudmu?! Apa kau pikir, aku akan pergi dari rumah ini hanya karena ancaman murahanmu itu, hah?!" Natalie bersikukuh, tak ingin pergi.Celine tak tinggal diam. Ia kemudian memperdengarkan sebuah rekaman yang ia ambil beberapa saat sebelumnya."Tidakkah ini cukup untuk membuatmu pergi?"
"Ah ... apa yang kau lakukan padaku, Natalie?" erang Celine, saat Natalie mengikat kedua tangannya, serta menyiramkan air di atas kepalanya."Tenanglah! Ini hanya air. Lagipula tidak beracun," ujar Natalie, santai."Kau gila, Natalie! Lepaskan aku!" bentak Celine lagi."Terserah! Sebelum kau mengatakan dengan jelas di mana Rio menyimpan berkas-berkas itu, aku tak 'kan melepasmu!" ancam Natalie."Sungguh, Natalie. Aku tak tahu apa-apa. Dengan posisiku saat ini, apa kau pikir Rio akan memberitahuku tentang itu." Celine mengiba.Natalie sejenak berpikir."Sial! Kau adalah nyonya di rumah ini! Kau adalah istri sah sekarang. Bagaimana bisa kau tidak tahu di mana suamimu menyimpan berkas penting seperti itu!" Natalie murka. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri."Aku tidak berbohong. Aku sungguh tak tahu. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya menginginkan posisi nyonya, sama sekali tidak memikirkan ha
"Bagus Natalie. Bagus sekali." Seorang wanita tampak memuji Natalie, usai ia menyerahkan beberapa berkas penting."Seperti yang kau tahu, Nyonya. Aku selalu profesional," puji Natalie pada diri sendiri."Aku tahu, kau tak 'kan mengecewakanku. Kupikir kau akan segera menyerah, karena di telpon tadi, kau mengatakan masih belum mendapatkan apa-apa," sindir wanita yang akrab disapa Denia itu.Deg.Jantung Natalie bagai ditombak, mendengar perkataan nyonya Denia yang begitu menusuk."Oh ... soal itu. Aku hanya ingin memberimu surprize, Nyonya. Bukankah kau merasa terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini? Seperti yang kau lihat, misiku telah selesai." Natalie berusaha tenang dalam kebohongannya. Ia tak mau hanya karena sedikit keterlambatan, kliennya merasa tidak puas. Jaringan nyonya Denia sangat luas, jika Natalie bisa memuaskan klien satu ini, kemungkinan di masa depan ia tak 'kan susah mendapatkan misi lagi. Karena nyon
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat."Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan."Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine."Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya."Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara."Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu
Sore harinya Jeremy pulang, dengan membawa beberapa obat penurun panas dan pereda nyeri untuk Rai. Meski sebenarnya ia tak ingin menyia-nyiakan uang untuk orang tak dikenal, tapi sisi kemanusiaaannya tak tega jika harus membiarkan Rai dalam keadaan sengsara.Sesampainya di rumah, ia mulai berteriak,"Bu ... Bu." Ia memastikan, jika ibunya ada di rumah."Masuklah, Jemz. Jangan berteriak seperti itu." Ibu Jeremy menasehati."Bu, di mana pria itu? Ia belum mati, kan?" canda Jeremy.Plak."Aw ... sakit, Bu." Jeremy meringis, saat sebuah sapu mendarat di kepalanya."Jaga ucapanmu, Jemz. Kau tidak lihat, pria itu duduk di kursi tamu?!" Ibu Jeremy memelototi anaknya itu."Ups!" Jeremy menutup mulutnya, saat menoleh dan mendapati Rai yang tengah menatapnya sangar."Hei, Bro. Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih bisa merasakan denyut jantungmu?" Jeremy masih saja bercanda, kemudi
"Argh ... sakit!" teriakan Celine, begitu menggelora di dalam kamar."Maafkan aku, Denia. Kumohon," pekik Celine, memelas.Ia merasakan hawa panas di sekitar wajah, juga selangkangannya. Ia bahkan tak mengingat jelas, kapan terakhir kali ia pingsan. Setiap terbangun, Celine selalu merasakan gatal di sekitar selangkangan, serta wajahnya. Ia tak tahan untuk tidak menggaruknya, membuat bagian yang sensitif itu terluka."Denia ... kumohon ampuni aku. Argh ... aku tak sanggup lagi, Denia. Kumohon, beri aku obat. Argh ...." Suara itu kemudian berubah menjadi tangis pilu.Denia hanya tersenyum puas, mendengar tangisan Celine. Ia merasa tak perlu mengotori tangannya untuk menyakiti Celine. Justru tangan Celine sendiri lah yang membuat luka di tubuhnya."Wah, wah, Nyonya. Aku sangat terkesan padamu. Kau bahkan belum menggunakan tanganmu untuk menyakiti Celine, tapi wanita itu malah teriak dengan hebohnya," puji Natalie, dengan nada menyindir. 
"Sialan! Argh ...." Rio yang stres, terus melampiaskan amarahnya pada stir mobil.Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nama Celine di sana."Cih! Untuk apa wanita murahan ini menelponku? Semua gara-gara dia. Seandainya ia tidak muncul, aku tak 'kan kehilangan kendali seperti tadi. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Denia pasti tidak akan memaafkanku." Rio merenung sesaat. Menyesali atas apa yang ia ucapkan pada Denia. Ia benar-benar takut, jika Denia mengetahui hubungan gelapnya dengan Celine.Sebagai seorang lelaki, terkadang ia ingin mendapat perlakuan mesra dari Denia. Tapi, karena Denia seorang wanita karir, membuat ia jarang berada di rumah. Rio merasa diperlakukan seperti lelaki bayaran. Sekarang ia justru terjebak karena ulahnya sendiri.Ponsel Rio masih terus berbunyi, dari kontak yang sama. Dengan terpaksa, Rio mengangkat panggilan itu."Halo." Suara serak Celine terdengar dari ujung sana.
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat."Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan."Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine."Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya."Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara."Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu
"Bagus Natalie. Bagus sekali." Seorang wanita tampak memuji Natalie, usai ia menyerahkan beberapa berkas penting."Seperti yang kau tahu, Nyonya. Aku selalu profesional," puji Natalie pada diri sendiri."Aku tahu, kau tak 'kan mengecewakanku. Kupikir kau akan segera menyerah, karena di telpon tadi, kau mengatakan masih belum mendapatkan apa-apa," sindir wanita yang akrab disapa Denia itu.Deg.Jantung Natalie bagai ditombak, mendengar perkataan nyonya Denia yang begitu menusuk."Oh ... soal itu. Aku hanya ingin memberimu surprize, Nyonya. Bukankah kau merasa terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini? Seperti yang kau lihat, misiku telah selesai." Natalie berusaha tenang dalam kebohongannya. Ia tak mau hanya karena sedikit keterlambatan, kliennya merasa tidak puas. Jaringan nyonya Denia sangat luas, jika Natalie bisa memuaskan klien satu ini, kemungkinan di masa depan ia tak 'kan susah mendapatkan misi lagi. Karena nyon
"Ah ... apa yang kau lakukan padaku, Natalie?" erang Celine, saat Natalie mengikat kedua tangannya, serta menyiramkan air di atas kepalanya."Tenanglah! Ini hanya air. Lagipula tidak beracun," ujar Natalie, santai."Kau gila, Natalie! Lepaskan aku!" bentak Celine lagi."Terserah! Sebelum kau mengatakan dengan jelas di mana Rio menyimpan berkas-berkas itu, aku tak 'kan melepasmu!" ancam Natalie."Sungguh, Natalie. Aku tak tahu apa-apa. Dengan posisiku saat ini, apa kau pikir Rio akan memberitahuku tentang itu." Celine mengiba.Natalie sejenak berpikir."Sial! Kau adalah nyonya di rumah ini! Kau adalah istri sah sekarang. Bagaimana bisa kau tidak tahu di mana suamimu menyimpan berkas penting seperti itu!" Natalie murka. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri."Aku tidak berbohong. Aku sungguh tak tahu. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya menginginkan posisi nyonya, sama sekali tidak memikirkan ha
Brak.Celine mendobrak pintu Natalie dengan bantuan beberapa pria kekar. Dengan tersenyum jahat, Celine memerintahkan pria-pria kekar itu menyeret Natalie keluar dari kamar."Seret wanita ini keluar! Cepat!" Perintah Celine."Baik, Nyonya!" Pria-pria itu hanya mengiyakan."Apa-apaan kau, Celine? Begini kah caramu memperlakukan tamu?" tanya Natalie, yang langsung bangkit dari tidur. Mendapati kamarnya telah dipenuhi beberapa orang."Cih! Kau menjadi tamu, hanya karena Rio menyukaimu. Tapi setelah ini, Rio tidak akan lagi memperlakukanmu dengan kasih sayang!" cebik Celine, dengan amarah yang membara."Apa maksudmu?! Apa kau pikir, aku akan pergi dari rumah ini hanya karena ancaman murahanmu itu, hah?!" Natalie bersikukuh, tak ingin pergi.Celine tak tinggal diam. Ia kemudian memperdengarkan sebuah rekaman yang ia ambil beberapa saat sebelumnya."Tidakkah ini cukup untuk membuatmu pergi?"
Cahaya pagi mulai terasa menusuk kulit serta penglihatan. Memaksa diri untuk segera membuka penglihatan."Uh ...." Natalie membuka mata, perlahan mengumpulkan kesadaran.Lama ia memperhatikan ruangan tempatnya tidur, lalu beralih ke selimut putih yang membungkus tubuhnya.Sontak ia terbangun, lalu hal pertama yang ia lakukan ialah membuka selimut. Memastikan pakaiannya masih lengkap."Fiuh ...." Natalie menarik napas lega."Sepertinya tak terjadi apa-apa," lanjutnya lagi."Tapi di mana aku?" Ia mulai meneliti setiap sudut ruangan yang serba putih itu. Ia memulai mengingat satu persatu kejadian yang berkaitan."Apa aku diculik?" pikir Natalie.Natalie lalu berdiri, membuka sebuah tirai besar yang menghalangi cahaya masuk. Nampak sebuah kolam renang di sana, dengan seorang pria yang tampak duduk santai dengan memegang laptop."Pasti dia penculiknya." Natalie lalu keluar dari kamar, akan menuju kolam renang itu.&n
"Apa kau tertarik dengan wanita itu, Rai?" Sebuah pertanyaan muncul dari meja lainnya."Tertarik? Pada wanita itu?" Lelaki yang dipanggil Rai itu, menunjuk ke arah Natalie."Kau pikir aku tak sadar, matamu terus menatap ke arah gadis itu,""Hei, kau jangan salah sangka! Apa kau pikir, aku akan tertarik dengan wanita seperti itu? Dia bukan seleraku!" sangkal Rei."Ckck ... jangan sampai aku tahu, kau diam-diam mencari tahu identitas wanita itu nantinya. Aku bersumpah, tak akan membantumu!""Oh ... ayo lah, Jeremy. Aku tahu kau tak akan tega." Rei menghipit leher Jeremy, kawan kecilnya itu.Sementara sorot matanya, tak lepas dari gadis seksi, yang sedari tadi terlihat mengoceh tak jelas.*** "Huh ... baiklah! Cukup senang-senangnya. Mari kita kembali ke medan perang." Natalie mengaitkan tas di tangannya, lalu mulai meninggalkan tempat.Ia berhenti di sebuah halte, menunggu taks