"Apa kau tertarik dengan wanita itu, Rai?" Sebuah pertanyaan muncul dari meja lainnya.
"Tertarik? Pada wanita itu?" Lelaki yang dipanggil Rai itu, menunjuk ke arah Natalie.
"Kau pikir aku tak sadar, matamu terus menatap ke arah gadis itu,"
"Hei, kau jangan salah sangka! Apa kau pikir, aku akan tertarik dengan wanita seperti itu? Dia bukan seleraku!" sangkal Rei.
"Ckck ... jangan sampai aku tahu, kau diam-diam mencari tahu identitas wanita itu nantinya. Aku bersumpah, tak akan membantumu!"
"Oh ... ayo lah, Jeremy. Aku tahu kau tak akan tega." Rei menghipit leher Jeremy, kawan kecilnya itu.
Sementara sorot matanya, tak lepas dari gadis seksi, yang sedari tadi terlihat mengoceh tak jelas.***"Huh ... baiklah! Cukup senang-senangnya. Mari kita kembali ke medan perang." Natalie mengaitkan tas di tangannya, lalu mulai meninggalkan tempat.
Ia berhenti di sebuah halte, menunggu taksi melintas. Jika Rio tak menelponnya, mungkin ia tak akan pulang malam ini. Ia takut Celine mengadu yang bukan-bukan. Sebenarnya tak masalah, jika Celine mengadu. Biar bagaimana pun, Rio akan lebih mempercayainya dibanding Celine. Tapi, ia tak ingin Rio menjadi cepat muak, lalu meninggalkan Celine. Karena bagaimana pun juga, Natalie tak akan sudi menggantikan tempat Celine.
Lama ia menunggu, hingga bintang perlahan mulai pudar.
"Apa hari ini akan turun hujan?" Natalie memandang langit, lalu menengadahkan tangannya."Sial! Kuharap hujan tak akan turun sekarang," gerutu Natalie lagi.Sayangnya, alam seperti tak bersahabat dengan Natalie. Tiba-tiba saja turun hujan dengan lebatnya, disertai dengan petir yang menggelegar.
"Uh ... apa yang harus kulakukan sekarang?"Dengan nekat, akhirnya Natalie coba menerobos hujan. Berharap di tengah perjalanan, ia bisa menemukan kendaraan untuk ditumpangi.
Benar saja, beberapa menit kemudian, mobil terlihat dari jarak 100 meter. Natalie yang sudah kedinginan, coba menghalang mobil tersebut, dengan berdiri di tengah jalan, seraya melambai-lambaikan kedua tangannya. "Kumohon, berhentilah!" gumam Natalie.Mobil yang sedari tadi membunyikan klakson itu, akhirnya berhenti tepat di hadapan Natalie.
Pengendara mobil tersebut membuka kaca mobil, tampaklah seorang pria di dalam."Hei, Nona! Apa kau gila? Kalau ingin mati, jangan di depan mobil ini! Darahmu bisa menodai mobil ini!" bentak pria itu."Maaf, Tuan. Aku sedang buru-buru, bisakah aku menumpang? Kasihani lah aku." Natalie memelas, sementara dalam hati, sedang mengumpat.
"Maaf, Nona. Bukan aku tak mau, tapi bosku tak suka bila ada orang yang numpang di mobilnya," tegas si sopir.
"Baiklah! Kalau begitu, aku akan minta ijin bosmu saja." Natalie beralih menggedor kaca mobil belakang.
"Apa?! Hei, Nona. Kau tidak tahu siapa tuanku. Dia sangat tidak suka ...."
"Diamlah, Jemz!" Belum sempat Jeremy, menyelesaikan kata-katanya, pria yang duduk di belakang, lebih dulu menghentikan perkataannya.
"Tuan kaya, bisakah kau biarkan aku menumpang? Aku sangat buru-buru. Anakku pasti sedang menungguku di rumah. Hu-hu-hu ... dia pasti menangis saat ini. Kasihanilah aku, Tuan." Natalie memperlihatkan kemampuan aktingnya.
"Cih! Anak apanya? Melihat stylenya saja, orang pasti tahu kalau gadis ini sedang berbohong!" gerutu Jeremy, yang mendengar ucapan Natalie.
Tak lama kemudian, pintu mobil itu terbuka. Terlihatlah seorang pria duduk di dalamnya.
Natalie terdiam, sedikit hanyut dalam pesona yang dipancarkan pria itu."Apa yang kau tunggu? Masuklah, Nona. Kau tidak ingin anakmu menunggu, bukan?" Pria itu mempersilahkan Natalie masuk." Oh ... baiklah!" Tanpa segan Natalie duduk di samping pria itu, lalu menutup pintu mobil.
"Ayo jalan!" perintah Natalie, seenaknya."Ckck ... kenapa aku harus menuruti perintahmu? Kau bukan bosku," sewot Jeremy.
"Sudahlah, Jemz! Lanjutkan saja perjalanannya." Pria tampan di samping Natalie, ikut memberi perintah.
Mobil pun kembali berjalan menyusuri hujan.
"Hoam ... kehujanan, membuatku ngantuk." Natalie menguap."Tuan, bisakah kau menyuruh sopirmu mengantarku ke perumahan cempaka?" pinta Natalie pada pria di sampingnya."Hei, Nona, apa kau sadar sedang memerintah siapa?" Jeremy kembali menyela.
"Sepertinya kau bukan bawahan yang baik." Natalie ikut mencela.
"A-apa maksudmu? Begini-begini, aku orang kepercayaan lelaki di sampingmu itu." Jeremy tak terima dengan ucapan Natalie.
"Kalau begitu, kenapa kau mencela ucapanku? Aku, kan, sedang berbicara dengan tuanmu. Apa kau ingin mendahului bosmu." Natalie tak mau kalah.
"A-apa katamu?!"
"Jemz!" Suara tegas itu kembali membungkam Jeremy.
"Uh ...." Jeremy hanya bisa mengeluh.
"Di mana alamatmu?" tanya pemilik mobil.
"Di perumahan cempaka. Kau bisa mengantarku ke sana, kan?" Natalie memperlihatkan senyum menggoda.
"Baiklah!" Hanya itu jawaban yang ditrima Natalie.
'Ckck ... pria ini lumayan juga' gumam Natalie dalam hati.
***Tanpa terasa, mobil mereka telah berada di jalan selama satu jam. Sementara itu, entah sejak kapan Natalie terlelap di bahu pria yang dipanggil bos oleh sopirnya.
"He, Rai. Kenapa kau membiarkan wanita ini naik ke mobilmu? Bagaimana jika wanita ini membuat masalah? Sepertinya dia bukan wanita baik-baik." Jeremy membuka suara."Baik atau tidak, tak cukup dilihat dari luar. Aku rasa gadis ini cukup pintar," puji Rai, lalu melirik ke arah Natalie.
"Sejak kapan kau peduli pada sifat wanita? Lagipula wanita ini cukup mencurigakan. Apa dia mata-mata yang dikirim seseorang? Melihatnya nekat menerobos hujan dan minta menumpang. Bukankah itu aneh?" Jeremy menaruh curiga.
"Entah. Tapi aku tak merasakan adanya bahaya," balas Rai, seraya terkikik kecil.
"Hah ... kau ini, sungguh keras kepala. Entah bagaimana bisa kakekmu mempercayakan jabatan CEO kepadamu," singgung Jeremy.
"Entah! Aku juga ingin menanyakan hal yang sama pada pak tua itu." Rai masih menanggapi ucapan Jeremy dengan santai.
"Rasanya aku benar-benar semakin iri padamu."
"Sungguh?! Kalau begitu, kau bisa meminta jabatan ini pada kakek, dengan senang hati aku akan melepasnya," tantang Rai.
"Sial! Kau menantangku karena tahu aku tak memiliki kemampuan itu, kan?" sungut Jeremy.
"Aku rasa kau cukup memiliki kemampuan itu. Kenapa kau jadi rendah diri. Di mana Jeremy yang dulu penuh percaya diri?"
"Apa kau percaya, aku akan melemparmu di jalan sekarang, Rai?" ancam Jeremy, seraya melirik ke arah cermin di atasnya.
"Ahahah ... baiklah-baiklah. Aku bercanda. Kenapa kau selalu kaku, sih." Rai terbahak, lalu disambut dengan Jeremy yang ikut tertawa.
"Tapi, Rai ... kau sungguh tak menaruh curiga sedikit pun pada gadis di sampingmu itu? Kau tak mungkin sungguh percaya kalau dia wanita yang memiliki anak, kan? Mana ada seorang ibu yang meninggalkan anaknya di rumah, lalu nongkrong dengan santai di sebuah cafe." Jeremy kembali serius.
"Hemm ... bagaimana, ya? Mungkin kita bisa mencari tahu itu nanti," ujar Rai, lalu kembali melirik ke arah gadis yang terlelap itu.
Sejujurnya, Rai sedikit menaruh curiga pada gadis yang terlelap di bahunya. Apalagi menilai dari betapa beraninya tindakan yang ia lakukan, saat menghentikan mobilnya. Apalagi ia sangat hapal dengan wajah gadis ini. Wajah yang sama, saat beberapa waktu lalu hampir bertabrakan dengan mobilnya. Sekarang ia bahkan memakai alasan anak, agar bisa menumpang di mobilnya.
"Apa ini kebetulan, Gadis? Sungguh ceroboh," gumam Rai, pelan.
Setelah itu, Rai lalu menyelimuti Natalie dengan jas yang ia kenakan.
...Bersambung ....Cahaya pagi mulai terasa menusuk kulit serta penglihatan. Memaksa diri untuk segera membuka penglihatan."Uh ...." Natalie membuka mata, perlahan mengumpulkan kesadaran.Lama ia memperhatikan ruangan tempatnya tidur, lalu beralih ke selimut putih yang membungkus tubuhnya.Sontak ia terbangun, lalu hal pertama yang ia lakukan ialah membuka selimut. Memastikan pakaiannya masih lengkap."Fiuh ...." Natalie menarik napas lega."Sepertinya tak terjadi apa-apa," lanjutnya lagi."Tapi di mana aku?" Ia mulai meneliti setiap sudut ruangan yang serba putih itu. Ia memulai mengingat satu persatu kejadian yang berkaitan."Apa aku diculik?" pikir Natalie.Natalie lalu berdiri, membuka sebuah tirai besar yang menghalangi cahaya masuk. Nampak sebuah kolam renang di sana, dengan seorang pria yang tampak duduk santai dengan memegang laptop."Pasti dia penculiknya." Natalie lalu keluar dari kamar, akan menuju kolam renang itu.&n
Brak.Celine mendobrak pintu Natalie dengan bantuan beberapa pria kekar. Dengan tersenyum jahat, Celine memerintahkan pria-pria kekar itu menyeret Natalie keluar dari kamar."Seret wanita ini keluar! Cepat!" Perintah Celine."Baik, Nyonya!" Pria-pria itu hanya mengiyakan."Apa-apaan kau, Celine? Begini kah caramu memperlakukan tamu?" tanya Natalie, yang langsung bangkit dari tidur. Mendapati kamarnya telah dipenuhi beberapa orang."Cih! Kau menjadi tamu, hanya karena Rio menyukaimu. Tapi setelah ini, Rio tidak akan lagi memperlakukanmu dengan kasih sayang!" cebik Celine, dengan amarah yang membara."Apa maksudmu?! Apa kau pikir, aku akan pergi dari rumah ini hanya karena ancaman murahanmu itu, hah?!" Natalie bersikukuh, tak ingin pergi.Celine tak tinggal diam. Ia kemudian memperdengarkan sebuah rekaman yang ia ambil beberapa saat sebelumnya."Tidakkah ini cukup untuk membuatmu pergi?"
"Ah ... apa yang kau lakukan padaku, Natalie?" erang Celine, saat Natalie mengikat kedua tangannya, serta menyiramkan air di atas kepalanya."Tenanglah! Ini hanya air. Lagipula tidak beracun," ujar Natalie, santai."Kau gila, Natalie! Lepaskan aku!" bentak Celine lagi."Terserah! Sebelum kau mengatakan dengan jelas di mana Rio menyimpan berkas-berkas itu, aku tak 'kan melepasmu!" ancam Natalie."Sungguh, Natalie. Aku tak tahu apa-apa. Dengan posisiku saat ini, apa kau pikir Rio akan memberitahuku tentang itu." Celine mengiba.Natalie sejenak berpikir."Sial! Kau adalah nyonya di rumah ini! Kau adalah istri sah sekarang. Bagaimana bisa kau tidak tahu di mana suamimu menyimpan berkas penting seperti itu!" Natalie murka. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri."Aku tidak berbohong. Aku sungguh tak tahu. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya menginginkan posisi nyonya, sama sekali tidak memikirkan ha
"Bagus Natalie. Bagus sekali." Seorang wanita tampak memuji Natalie, usai ia menyerahkan beberapa berkas penting."Seperti yang kau tahu, Nyonya. Aku selalu profesional," puji Natalie pada diri sendiri."Aku tahu, kau tak 'kan mengecewakanku. Kupikir kau akan segera menyerah, karena di telpon tadi, kau mengatakan masih belum mendapatkan apa-apa," sindir wanita yang akrab disapa Denia itu.Deg.Jantung Natalie bagai ditombak, mendengar perkataan nyonya Denia yang begitu menusuk."Oh ... soal itu. Aku hanya ingin memberimu surprize, Nyonya. Bukankah kau merasa terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini? Seperti yang kau lihat, misiku telah selesai." Natalie berusaha tenang dalam kebohongannya. Ia tak mau hanya karena sedikit keterlambatan, kliennya merasa tidak puas. Jaringan nyonya Denia sangat luas, jika Natalie bisa memuaskan klien satu ini, kemungkinan di masa depan ia tak 'kan susah mendapatkan misi lagi. Karena nyon
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat."Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan."Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine."Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya."Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara."Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu
"Sialan! Argh ...." Rio yang stres, terus melampiaskan amarahnya pada stir mobil.Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nama Celine di sana."Cih! Untuk apa wanita murahan ini menelponku? Semua gara-gara dia. Seandainya ia tidak muncul, aku tak 'kan kehilangan kendali seperti tadi. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Denia pasti tidak akan memaafkanku." Rio merenung sesaat. Menyesali atas apa yang ia ucapkan pada Denia. Ia benar-benar takut, jika Denia mengetahui hubungan gelapnya dengan Celine.Sebagai seorang lelaki, terkadang ia ingin mendapat perlakuan mesra dari Denia. Tapi, karena Denia seorang wanita karir, membuat ia jarang berada di rumah. Rio merasa diperlakukan seperti lelaki bayaran. Sekarang ia justru terjebak karena ulahnya sendiri.Ponsel Rio masih terus berbunyi, dari kontak yang sama. Dengan terpaksa, Rio mengangkat panggilan itu."Halo." Suara serak Celine terdengar dari ujung sana.
"Argh ... sakit!" teriakan Celine, begitu menggelora di dalam kamar."Maafkan aku, Denia. Kumohon," pekik Celine, memelas.Ia merasakan hawa panas di sekitar wajah, juga selangkangannya. Ia bahkan tak mengingat jelas, kapan terakhir kali ia pingsan. Setiap terbangun, Celine selalu merasakan gatal di sekitar selangkangan, serta wajahnya. Ia tak tahan untuk tidak menggaruknya, membuat bagian yang sensitif itu terluka."Denia ... kumohon ampuni aku. Argh ... aku tak sanggup lagi, Denia. Kumohon, beri aku obat. Argh ...." Suara itu kemudian berubah menjadi tangis pilu.Denia hanya tersenyum puas, mendengar tangisan Celine. Ia merasa tak perlu mengotori tangannya untuk menyakiti Celine. Justru tangan Celine sendiri lah yang membuat luka di tubuhnya."Wah, wah, Nyonya. Aku sangat terkesan padamu. Kau bahkan belum menggunakan tanganmu untuk menyakiti Celine, tapi wanita itu malah teriak dengan hebohnya," puji Natalie, dengan nada menyindir. 
Sore harinya Jeremy pulang, dengan membawa beberapa obat penurun panas dan pereda nyeri untuk Rai. Meski sebenarnya ia tak ingin menyia-nyiakan uang untuk orang tak dikenal, tapi sisi kemanusiaaannya tak tega jika harus membiarkan Rai dalam keadaan sengsara.Sesampainya di rumah, ia mulai berteriak,"Bu ... Bu." Ia memastikan, jika ibunya ada di rumah."Masuklah, Jemz. Jangan berteriak seperti itu." Ibu Jeremy menasehati."Bu, di mana pria itu? Ia belum mati, kan?" canda Jeremy.Plak."Aw ... sakit, Bu." Jeremy meringis, saat sebuah sapu mendarat di kepalanya."Jaga ucapanmu, Jemz. Kau tidak lihat, pria itu duduk di kursi tamu?!" Ibu Jeremy memelototi anaknya itu."Ups!" Jeremy menutup mulutnya, saat menoleh dan mendapati Rai yang tengah menatapnya sangar."Hei, Bro. Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih bisa merasakan denyut jantungmu?" Jeremy masih saja bercanda, kemudi
Sore harinya Jeremy pulang, dengan membawa beberapa obat penurun panas dan pereda nyeri untuk Rai. Meski sebenarnya ia tak ingin menyia-nyiakan uang untuk orang tak dikenal, tapi sisi kemanusiaaannya tak tega jika harus membiarkan Rai dalam keadaan sengsara.Sesampainya di rumah, ia mulai berteriak,"Bu ... Bu." Ia memastikan, jika ibunya ada di rumah."Masuklah, Jemz. Jangan berteriak seperti itu." Ibu Jeremy menasehati."Bu, di mana pria itu? Ia belum mati, kan?" canda Jeremy.Plak."Aw ... sakit, Bu." Jeremy meringis, saat sebuah sapu mendarat di kepalanya."Jaga ucapanmu, Jemz. Kau tidak lihat, pria itu duduk di kursi tamu?!" Ibu Jeremy memelototi anaknya itu."Ups!" Jeremy menutup mulutnya, saat menoleh dan mendapati Rai yang tengah menatapnya sangar."Hei, Bro. Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih bisa merasakan denyut jantungmu?" Jeremy masih saja bercanda, kemudi
"Argh ... sakit!" teriakan Celine, begitu menggelora di dalam kamar."Maafkan aku, Denia. Kumohon," pekik Celine, memelas.Ia merasakan hawa panas di sekitar wajah, juga selangkangannya. Ia bahkan tak mengingat jelas, kapan terakhir kali ia pingsan. Setiap terbangun, Celine selalu merasakan gatal di sekitar selangkangan, serta wajahnya. Ia tak tahan untuk tidak menggaruknya, membuat bagian yang sensitif itu terluka."Denia ... kumohon ampuni aku. Argh ... aku tak sanggup lagi, Denia. Kumohon, beri aku obat. Argh ...." Suara itu kemudian berubah menjadi tangis pilu.Denia hanya tersenyum puas, mendengar tangisan Celine. Ia merasa tak perlu mengotori tangannya untuk menyakiti Celine. Justru tangan Celine sendiri lah yang membuat luka di tubuhnya."Wah, wah, Nyonya. Aku sangat terkesan padamu. Kau bahkan belum menggunakan tanganmu untuk menyakiti Celine, tapi wanita itu malah teriak dengan hebohnya," puji Natalie, dengan nada menyindir. 
"Sialan! Argh ...." Rio yang stres, terus melampiaskan amarahnya pada stir mobil.Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nama Celine di sana."Cih! Untuk apa wanita murahan ini menelponku? Semua gara-gara dia. Seandainya ia tidak muncul, aku tak 'kan kehilangan kendali seperti tadi. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Denia pasti tidak akan memaafkanku." Rio merenung sesaat. Menyesali atas apa yang ia ucapkan pada Denia. Ia benar-benar takut, jika Denia mengetahui hubungan gelapnya dengan Celine.Sebagai seorang lelaki, terkadang ia ingin mendapat perlakuan mesra dari Denia. Tapi, karena Denia seorang wanita karir, membuat ia jarang berada di rumah. Rio merasa diperlakukan seperti lelaki bayaran. Sekarang ia justru terjebak karena ulahnya sendiri.Ponsel Rio masih terus berbunyi, dari kontak yang sama. Dengan terpaksa, Rio mengangkat panggilan itu."Halo." Suara serak Celine terdengar dari ujung sana.
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat."Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan."Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine."Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya."Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara."Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu
"Bagus Natalie. Bagus sekali." Seorang wanita tampak memuji Natalie, usai ia menyerahkan beberapa berkas penting."Seperti yang kau tahu, Nyonya. Aku selalu profesional," puji Natalie pada diri sendiri."Aku tahu, kau tak 'kan mengecewakanku. Kupikir kau akan segera menyerah, karena di telpon tadi, kau mengatakan masih belum mendapatkan apa-apa," sindir wanita yang akrab disapa Denia itu.Deg.Jantung Natalie bagai ditombak, mendengar perkataan nyonya Denia yang begitu menusuk."Oh ... soal itu. Aku hanya ingin memberimu surprize, Nyonya. Bukankah kau merasa terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini? Seperti yang kau lihat, misiku telah selesai." Natalie berusaha tenang dalam kebohongannya. Ia tak mau hanya karena sedikit keterlambatan, kliennya merasa tidak puas. Jaringan nyonya Denia sangat luas, jika Natalie bisa memuaskan klien satu ini, kemungkinan di masa depan ia tak 'kan susah mendapatkan misi lagi. Karena nyon
"Ah ... apa yang kau lakukan padaku, Natalie?" erang Celine, saat Natalie mengikat kedua tangannya, serta menyiramkan air di atas kepalanya."Tenanglah! Ini hanya air. Lagipula tidak beracun," ujar Natalie, santai."Kau gila, Natalie! Lepaskan aku!" bentak Celine lagi."Terserah! Sebelum kau mengatakan dengan jelas di mana Rio menyimpan berkas-berkas itu, aku tak 'kan melepasmu!" ancam Natalie."Sungguh, Natalie. Aku tak tahu apa-apa. Dengan posisiku saat ini, apa kau pikir Rio akan memberitahuku tentang itu." Celine mengiba.Natalie sejenak berpikir."Sial! Kau adalah nyonya di rumah ini! Kau adalah istri sah sekarang. Bagaimana bisa kau tidak tahu di mana suamimu menyimpan berkas penting seperti itu!" Natalie murka. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri."Aku tidak berbohong. Aku sungguh tak tahu. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya menginginkan posisi nyonya, sama sekali tidak memikirkan ha
Brak.Celine mendobrak pintu Natalie dengan bantuan beberapa pria kekar. Dengan tersenyum jahat, Celine memerintahkan pria-pria kekar itu menyeret Natalie keluar dari kamar."Seret wanita ini keluar! Cepat!" Perintah Celine."Baik, Nyonya!" Pria-pria itu hanya mengiyakan."Apa-apaan kau, Celine? Begini kah caramu memperlakukan tamu?" tanya Natalie, yang langsung bangkit dari tidur. Mendapati kamarnya telah dipenuhi beberapa orang."Cih! Kau menjadi tamu, hanya karena Rio menyukaimu. Tapi setelah ini, Rio tidak akan lagi memperlakukanmu dengan kasih sayang!" cebik Celine, dengan amarah yang membara."Apa maksudmu?! Apa kau pikir, aku akan pergi dari rumah ini hanya karena ancaman murahanmu itu, hah?!" Natalie bersikukuh, tak ingin pergi.Celine tak tinggal diam. Ia kemudian memperdengarkan sebuah rekaman yang ia ambil beberapa saat sebelumnya."Tidakkah ini cukup untuk membuatmu pergi?"
Cahaya pagi mulai terasa menusuk kulit serta penglihatan. Memaksa diri untuk segera membuka penglihatan."Uh ...." Natalie membuka mata, perlahan mengumpulkan kesadaran.Lama ia memperhatikan ruangan tempatnya tidur, lalu beralih ke selimut putih yang membungkus tubuhnya.Sontak ia terbangun, lalu hal pertama yang ia lakukan ialah membuka selimut. Memastikan pakaiannya masih lengkap."Fiuh ...." Natalie menarik napas lega."Sepertinya tak terjadi apa-apa," lanjutnya lagi."Tapi di mana aku?" Ia mulai meneliti setiap sudut ruangan yang serba putih itu. Ia memulai mengingat satu persatu kejadian yang berkaitan."Apa aku diculik?" pikir Natalie.Natalie lalu berdiri, membuka sebuah tirai besar yang menghalangi cahaya masuk. Nampak sebuah kolam renang di sana, dengan seorang pria yang tampak duduk santai dengan memegang laptop."Pasti dia penculiknya." Natalie lalu keluar dari kamar, akan menuju kolam renang itu.&n
"Apa kau tertarik dengan wanita itu, Rai?" Sebuah pertanyaan muncul dari meja lainnya."Tertarik? Pada wanita itu?" Lelaki yang dipanggil Rai itu, menunjuk ke arah Natalie."Kau pikir aku tak sadar, matamu terus menatap ke arah gadis itu,""Hei, kau jangan salah sangka! Apa kau pikir, aku akan tertarik dengan wanita seperti itu? Dia bukan seleraku!" sangkal Rei."Ckck ... jangan sampai aku tahu, kau diam-diam mencari tahu identitas wanita itu nantinya. Aku bersumpah, tak akan membantumu!""Oh ... ayo lah, Jeremy. Aku tahu kau tak akan tega." Rei menghipit leher Jeremy, kawan kecilnya itu.Sementara sorot matanya, tak lepas dari gadis seksi, yang sedari tadi terlihat mengoceh tak jelas.*** "Huh ... baiklah! Cukup senang-senangnya. Mari kita kembali ke medan perang." Natalie mengaitkan tas di tangannya, lalu mulai meninggalkan tempat.Ia berhenti di sebuah halte, menunggu taks