Natalie kecil masih diam, hanya terus memperhatikan Laila yang mengeluarkan minuman dari tasnya, lalu mulai meneguk air mineral itu.
"Aku ingin melakukan pekerjaan sepertimu." Natalie memberanikan diri mengungkapkan keinginannya.Byur.
Air menyembur keluar dari mulut Laila.
"Uhuk-uhuk-uhuk ...." Karena terkejut, Laila sampai terbatuk-batuk."Apa katamu?" Laila memastikan pendengarannya."Aku ingin sepertimu. Kau keren, ketika menghajar om gendut itu," ucap Natalie polos.
"Hahaha ... keren katamu? Kau bahkan tak tahu perjuangan seperti apa yang kulakukan hingga bisa seperti ini." Laila tertawa menanggapi ucapan gadis kecil di hadapannya.
Natalie diam. Ia memang tak mengerti apa-apa saat ini. Tapi yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara melindungi diri. Sesaat Laila menatap ke arah gadis kecil di hadapannya. Ada rasa iba mengingat masa kecilnya hampir mirip dengan yang dialami gadis ini.
Dia menghela napas panjang, lalu berkata, "Nak, kau masih belum mengerti dunia ini. Mungkin kau melihatku sebagai pahlawan, tapi beberapa orang justru memandang rendah terhadapku. Karena pekerjaanku tak seindah yang kau khayalkan," nasihat Laila."Apakah kau menjual dirimu?" tanya Natalie dengan wajah polosnya.
"What?! Hei, dengar, Nak! Meski aku berpenampilan seperti ini, kau tidak bisa menilaiku sembarangan. Begini-begini aku masih perawan!" Laila membanggakan diri.
"Lalu ... mengapa aku tak boleh? Selama ini kau masih bisa menjaga keperawananmu, bukankah artinya pekerjaanmu itu baik? Biarkan saja orang berkata apa, selama kita tidak melakukannya. Lagipula selama ini orang-orang selalu membicarakanku di belakang. Aku sudah tidak peduli lagi. Satu hal yang pasti, jika aku ikut denganmu, aku yakin bisa menjaga diri, melihat kau bisa mengalahkan om gendut tadi dengan kekuatanmu sendiri." Ucapan Natalie mampu membuat Laila trenyuh.
"Uh ... anak kecil. Tak kusangka kau sangat pandai bicara. Apa ayahmu yang mengajarkanmu?"
"Tidak. Aku tak mengenal ayahku, karena ia telah pergi meninggalkan ibu bersama wanita lain." Natalie menunduk, mengingat hal buruk tentang ayahnya.
"Sial! Kenapa semua lelaki harus seberengsek itu?!" keluh Laila, seraya memukul dinding.
"Hah ... baiklah-baiklah! Kau boleh ikut denganku." Laila pun mengiyakan permintaan Natalie."Benarkah?" Terlihat binar di wajah Natalie.
"Iya-iya. Sekarang, ayo! Aku akan mengantarmu pulang." Laila pun menarik tangan gadis kecil itu, serta menanyakan alamat rumahnya.
Sejak saat itu, Laila memperlakukan Natalie seperti keponakannya. Setiap hari Laila menjemput Natalie di cafe tempat Natalie kerja. Tak hanya sampai di situ, Laila juga mengajarkan ilmu bela diri kepada Natalie, sebagai syarat utama agar ia bisa bekerja bersama Laila.
Hubungan Laila dan ibu Natalie pun semakin akrab, karena Natalie tak memiliki anggota keluarga lain. Mungkin karena ibu Natalie miskin, hingga tak ada satu pun kerabat yang sudi mengakuinya.
Butuh dua tahun lamanya hingga Natalie siap memulai misi pertamanya. Hingga kini, di usia Natalie yang menginjak 23 tahun, ia selalu mengambil misi yang berkaitan dengan wanita simpanan dan sejenisnya. Sekedar melampiaskan dendam, sekaligus menghukum para lelaki buaya.
***Sudah sebulan sejak kedatangan Natalie di rumah Rio, tapi ia tak juga menemukan petunjuk apapun mengenai berkas yang dimaksud kliennya. Ia mulai muak, karena setiap hari harus berpapasan dengan Rio yang selalu diam-diam menyelinap ke kamarnya tengah malam. Untungnya Natalie selalu sudah memperkirakan hal tersebut. Hingga ketika Rio tiba di kamarnya, Natalie akan lebih dulu menjamunya dengan minuman serta buah-buahan. Belum lagi Celine yang setiap hari selalu mencari perkara dengannya.
"Aku lelah. Baiknya aku keluar, menghibur diri," gumam Natalie, lalu bangkit mengambil tasnya.
"Mau ke mana kau?" Celine mencegah Natalie yang berniat pergi.
"Cih! Untuk apa kau menghalangiku? Bukankah kau senang setiap kali aku pergi?" Natalie mencebik.
"Kau keterlaluan, Natalie! Setiap hari hanya tahu bersenang-senang. Apa kau lupa, siapa nyonya di rumah ini?"
"Ya-ya-ya. Kita berdua tahu, siapa nyonya yang sesungguhnya. Yang jelas bukan kau. Ckck ...," gumam Natalie pelan.
"Apa katamu?"
"Bukan apa-apa. Ayolah, Celine. Kita akhiri saja perselisihan ini, oke. Biar bagaimana pun, aku hanya simpanan. Apa kau tidak malu berdebat setiap hari dengan seorang simpanan sepertiku?" Natalie coba berunding.
"Kau-kau!" Celine yang emosi tak mampu mengeluarkan kata-kata.
"Sudahlah! Nikmati peranmu sebagai nyonya rumah ini, oke. Mana tahu suatu saat, gelar nyonya ini akan berpindah ke orang lain." Natalie memegang pundak Celine sambil tersenyum licik.
"Oh iya, aku lupa memberitahumu. Hari ini aku akan pergi ke bar, mencari pria gigolo lainnya. Sampaikan salamku pada suamimu, ya. Muah... Bye, Celine ...." Natalie pun berlalu, meninggalkan Celine yang hanya menatap kosong."Argh ... awas kau, Natalie!" Celine melampiaskan emosinya dengan menghancurkan perabotan antik miliknya.
Sementara Natalie tertawa bahagia mendengar Celine yang mulai frustrasi.***Di sebuah cafe ....
"Ugh ... aku rindu masa-masa bersama Tante Laila. Apa yang ia lakukan ya sekarang? Ia pasti sibuk dengan bulan madunya bersama pria bule itu," Natalie bergumam, seraya menopang dagu.
Sudah lama sekali Natalie tak bercengkerama langsung dengan Laila. Dulu, jika ada waktu senggang, Laila akan menemani Natalie untuk sekedar menghabiskan waktu bersama, sekaligus menjadi pengawal bagi Natalie. Mengingat kemampuan bela diri Natalie belum sebaik sekarang.
Kadang Laila berdebat dengan Natalie, hanya karena panggilan ‘Tante’ yang disematkan Natalie.
"Hei, anak kecil, aku bahkan tidak mengenal pamanmu, kenapa kau selalu memanggilku Tante?" protes Laila kala itu."Ibuku bilang, kita harus memanggil Tante kepada orang yang lebih tua,"ujar Natalie polos.
"Ugh ... bisakah kau tidak membawa-bawa ajaran ibumu?" Laila mulai meremas tangan dengan geram.
"Aku bahkan belum menikah, tapi kau sudah memanggilku Tante. Adikku saja seusia dirimu, harusnya kau panggil saja aku Kakak," Laila melanjutkan ucapannya."Apa kau punya adik?"
Sesaat hening.
Laila tak mampu menjawab pertanyaan sederhana itu.
"Apa aku menanyakan pertanyaan yang tak seharusnya?" Natalie kecil memecah keheningan."Ada. Tapi kini ia telah bahagia di suatu tempat, di dunia lain." Mata Laila berkaca-kaca mengingat kejadian itu. Natalie diam, tak lagi coba bertanya.
Hingga kini, Natalie tak pernah tahu apa yang terjadi pada adik Laila, hingga ia terlihat sesedih itu.Ponsel berdering, memecah lamunan Natalie. Terlihat nama si pemanggil di layar.
"Sial! Untuk apa Rio menelpon? Bukankah harusnya ia masih ada di luar kota?" umpat Natalie kesal."Hello, Beib…," Natalie berusaha menjawab panggilan setenang mungkin.
"Sayang ... kau di mana? Celine mencarimu. Katanya kau tidak ada di kamar. Ke mana kau malam-malam begini?" Suara Rio terdengar khawatir.
Natalie lalu memijat keningnya, tahu apa yang terjadi.
'Sialan kau, Celine!' Natalie mengumpat dalam hati."Aku sedang ada urusan, Sayang. Kau tahu, kan, ibuku ... dia ...." Natalie menjeda ucapannya.
"Apa yang terjadi pada ibumu? Dia baik-baik saja?" Suara Rio meninggi.
"Dia baik-baik saja. Dia hanya sedikit kelelahan, hingga harus dirawat," Natalie menjelaskan.
"Kapan kau akan pulang? Jika kau butuh sesuatu, aku akan meminta Celine menyiapkannya."
"Tak perlu, Rio. Aku bisa sendiri. Kau tenang saja! Aku yakin, kau pasti lelah. Pikirkan kesehatanmu sendiri, oke." Suara Natalie terdengar manja, seperti biasa.
"Baiklah, Sayang. Kau memang selalu menjadi yang terbaik. Bersabarlah sebentar lagi, maka kau akan resmi menjadi istriku."
Mendengar itu, Natalie serasa ingin memuntahkan isi perutnya. Bisa-bisanya Rio menggombal dengan kalimat buruk seperti itu.
"Baiklah, Sayang. Aku masih harus membereskan beberapa tugas. Secepatnya aku akan pulang, oke. Bye ... love you," ujar Rio lagi, seraya menutup panggilan."Oek ...." Natalie menekan perutnya, usai panggilan dimatikan.
"Cih! Pede sekali pria ini. Melihat wajahnya saja bisa mengurangi selera makanku. Aku harap sebelum dia pulang, aku sudah menemukan berkas yang dimaksud Nyonya Bos," sambung Natalie lagi, lalu mulai menenggak minumannya."Yah ... setidaknya aku tidak sepenuhnya berbohong soal ibu, dia memang sedikit perlu perawatan." Natalie mulai memikirkan ibunya yang kini tinggal di luar negeri bersama Laila. Ia tak ingin ibunya tinggal bersamanya, lalu menjadi incaran beberapa orang untuk membalas dendam. Lagipula Natalie merasa ibunya akan lebih aman bersama Laila, yang telah berhenti dari pekerjaannya begitu ia dilamar.Sementara di ujung sana, terlihat seorang pria memperhatikan gerak-gerik Natalie. Kadang ia tersenyum licik, sembari menikmati minuman di atas meja. Cara bicara gadis itu mengundang perhatiannya.
.
.
.
"Apa kau tertarik dengan wanita itu, Rai?" Sebuah pertanyaan muncul dari meja lainnya."Tertarik? Pada wanita itu?" Lelaki yang dipanggil Rai itu, menunjuk ke arah Natalie."Kau pikir aku tak sadar, matamu terus menatap ke arah gadis itu,""Hei, kau jangan salah sangka! Apa kau pikir, aku akan tertarik dengan wanita seperti itu? Dia bukan seleraku!" sangkal Rei."Ckck ... jangan sampai aku tahu, kau diam-diam mencari tahu identitas wanita itu nantinya. Aku bersumpah, tak akan membantumu!""Oh ... ayo lah, Jeremy. Aku tahu kau tak akan tega." Rei menghipit leher Jeremy, kawan kecilnya itu.Sementara sorot matanya, tak lepas dari gadis seksi, yang sedari tadi terlihat mengoceh tak jelas.*** "Huh ... baiklah! Cukup senang-senangnya. Mari kita kembali ke medan perang." Natalie mengaitkan tas di tangannya, lalu mulai meninggalkan tempat.Ia berhenti di sebuah halte, menunggu taks
Cahaya pagi mulai terasa menusuk kulit serta penglihatan. Memaksa diri untuk segera membuka penglihatan."Uh ...." Natalie membuka mata, perlahan mengumpulkan kesadaran.Lama ia memperhatikan ruangan tempatnya tidur, lalu beralih ke selimut putih yang membungkus tubuhnya.Sontak ia terbangun, lalu hal pertama yang ia lakukan ialah membuka selimut. Memastikan pakaiannya masih lengkap."Fiuh ...." Natalie menarik napas lega."Sepertinya tak terjadi apa-apa," lanjutnya lagi."Tapi di mana aku?" Ia mulai meneliti setiap sudut ruangan yang serba putih itu. Ia memulai mengingat satu persatu kejadian yang berkaitan."Apa aku diculik?" pikir Natalie.Natalie lalu berdiri, membuka sebuah tirai besar yang menghalangi cahaya masuk. Nampak sebuah kolam renang di sana, dengan seorang pria yang tampak duduk santai dengan memegang laptop."Pasti dia penculiknya." Natalie lalu keluar dari kamar, akan menuju kolam renang itu.&n
Brak.Celine mendobrak pintu Natalie dengan bantuan beberapa pria kekar. Dengan tersenyum jahat, Celine memerintahkan pria-pria kekar itu menyeret Natalie keluar dari kamar."Seret wanita ini keluar! Cepat!" Perintah Celine."Baik, Nyonya!" Pria-pria itu hanya mengiyakan."Apa-apaan kau, Celine? Begini kah caramu memperlakukan tamu?" tanya Natalie, yang langsung bangkit dari tidur. Mendapati kamarnya telah dipenuhi beberapa orang."Cih! Kau menjadi tamu, hanya karena Rio menyukaimu. Tapi setelah ini, Rio tidak akan lagi memperlakukanmu dengan kasih sayang!" cebik Celine, dengan amarah yang membara."Apa maksudmu?! Apa kau pikir, aku akan pergi dari rumah ini hanya karena ancaman murahanmu itu, hah?!" Natalie bersikukuh, tak ingin pergi.Celine tak tinggal diam. Ia kemudian memperdengarkan sebuah rekaman yang ia ambil beberapa saat sebelumnya."Tidakkah ini cukup untuk membuatmu pergi?"
"Ah ... apa yang kau lakukan padaku, Natalie?" erang Celine, saat Natalie mengikat kedua tangannya, serta menyiramkan air di atas kepalanya."Tenanglah! Ini hanya air. Lagipula tidak beracun," ujar Natalie, santai."Kau gila, Natalie! Lepaskan aku!" bentak Celine lagi."Terserah! Sebelum kau mengatakan dengan jelas di mana Rio menyimpan berkas-berkas itu, aku tak 'kan melepasmu!" ancam Natalie."Sungguh, Natalie. Aku tak tahu apa-apa. Dengan posisiku saat ini, apa kau pikir Rio akan memberitahuku tentang itu." Celine mengiba.Natalie sejenak berpikir."Sial! Kau adalah nyonya di rumah ini! Kau adalah istri sah sekarang. Bagaimana bisa kau tidak tahu di mana suamimu menyimpan berkas penting seperti itu!" Natalie murka. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri."Aku tidak berbohong. Aku sungguh tak tahu. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya menginginkan posisi nyonya, sama sekali tidak memikirkan ha
"Bagus Natalie. Bagus sekali." Seorang wanita tampak memuji Natalie, usai ia menyerahkan beberapa berkas penting."Seperti yang kau tahu, Nyonya. Aku selalu profesional," puji Natalie pada diri sendiri."Aku tahu, kau tak 'kan mengecewakanku. Kupikir kau akan segera menyerah, karena di telpon tadi, kau mengatakan masih belum mendapatkan apa-apa," sindir wanita yang akrab disapa Denia itu.Deg.Jantung Natalie bagai ditombak, mendengar perkataan nyonya Denia yang begitu menusuk."Oh ... soal itu. Aku hanya ingin memberimu surprize, Nyonya. Bukankah kau merasa terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini? Seperti yang kau lihat, misiku telah selesai." Natalie berusaha tenang dalam kebohongannya. Ia tak mau hanya karena sedikit keterlambatan, kliennya merasa tidak puas. Jaringan nyonya Denia sangat luas, jika Natalie bisa memuaskan klien satu ini, kemungkinan di masa depan ia tak 'kan susah mendapatkan misi lagi. Karena nyon
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat."Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan."Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine."Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya."Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara."Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu
"Sialan! Argh ...." Rio yang stres, terus melampiaskan amarahnya pada stir mobil.Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nama Celine di sana."Cih! Untuk apa wanita murahan ini menelponku? Semua gara-gara dia. Seandainya ia tidak muncul, aku tak 'kan kehilangan kendali seperti tadi. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Denia pasti tidak akan memaafkanku." Rio merenung sesaat. Menyesali atas apa yang ia ucapkan pada Denia. Ia benar-benar takut, jika Denia mengetahui hubungan gelapnya dengan Celine.Sebagai seorang lelaki, terkadang ia ingin mendapat perlakuan mesra dari Denia. Tapi, karena Denia seorang wanita karir, membuat ia jarang berada di rumah. Rio merasa diperlakukan seperti lelaki bayaran. Sekarang ia justru terjebak karena ulahnya sendiri.Ponsel Rio masih terus berbunyi, dari kontak yang sama. Dengan terpaksa, Rio mengangkat panggilan itu."Halo." Suara serak Celine terdengar dari ujung sana.
"Argh ... sakit!" teriakan Celine, begitu menggelora di dalam kamar."Maafkan aku, Denia. Kumohon," pekik Celine, memelas.Ia merasakan hawa panas di sekitar wajah, juga selangkangannya. Ia bahkan tak mengingat jelas, kapan terakhir kali ia pingsan. Setiap terbangun, Celine selalu merasakan gatal di sekitar selangkangan, serta wajahnya. Ia tak tahan untuk tidak menggaruknya, membuat bagian yang sensitif itu terluka."Denia ... kumohon ampuni aku. Argh ... aku tak sanggup lagi, Denia. Kumohon, beri aku obat. Argh ...." Suara itu kemudian berubah menjadi tangis pilu.Denia hanya tersenyum puas, mendengar tangisan Celine. Ia merasa tak perlu mengotori tangannya untuk menyakiti Celine. Justru tangan Celine sendiri lah yang membuat luka di tubuhnya."Wah, wah, Nyonya. Aku sangat terkesan padamu. Kau bahkan belum menggunakan tanganmu untuk menyakiti Celine, tapi wanita itu malah teriak dengan hebohnya," puji Natalie, dengan nada menyindir. 
Sore harinya Jeremy pulang, dengan membawa beberapa obat penurun panas dan pereda nyeri untuk Rai. Meski sebenarnya ia tak ingin menyia-nyiakan uang untuk orang tak dikenal, tapi sisi kemanusiaaannya tak tega jika harus membiarkan Rai dalam keadaan sengsara.Sesampainya di rumah, ia mulai berteriak,"Bu ... Bu." Ia memastikan, jika ibunya ada di rumah."Masuklah, Jemz. Jangan berteriak seperti itu." Ibu Jeremy menasehati."Bu, di mana pria itu? Ia belum mati, kan?" canda Jeremy.Plak."Aw ... sakit, Bu." Jeremy meringis, saat sebuah sapu mendarat di kepalanya."Jaga ucapanmu, Jemz. Kau tidak lihat, pria itu duduk di kursi tamu?!" Ibu Jeremy memelototi anaknya itu."Ups!" Jeremy menutup mulutnya, saat menoleh dan mendapati Rai yang tengah menatapnya sangar."Hei, Bro. Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih bisa merasakan denyut jantungmu?" Jeremy masih saja bercanda, kemudi
"Argh ... sakit!" teriakan Celine, begitu menggelora di dalam kamar."Maafkan aku, Denia. Kumohon," pekik Celine, memelas.Ia merasakan hawa panas di sekitar wajah, juga selangkangannya. Ia bahkan tak mengingat jelas, kapan terakhir kali ia pingsan. Setiap terbangun, Celine selalu merasakan gatal di sekitar selangkangan, serta wajahnya. Ia tak tahan untuk tidak menggaruknya, membuat bagian yang sensitif itu terluka."Denia ... kumohon ampuni aku. Argh ... aku tak sanggup lagi, Denia. Kumohon, beri aku obat. Argh ...." Suara itu kemudian berubah menjadi tangis pilu.Denia hanya tersenyum puas, mendengar tangisan Celine. Ia merasa tak perlu mengotori tangannya untuk menyakiti Celine. Justru tangan Celine sendiri lah yang membuat luka di tubuhnya."Wah, wah, Nyonya. Aku sangat terkesan padamu. Kau bahkan belum menggunakan tanganmu untuk menyakiti Celine, tapi wanita itu malah teriak dengan hebohnya," puji Natalie, dengan nada menyindir. 
"Sialan! Argh ...." Rio yang stres, terus melampiaskan amarahnya pada stir mobil.Beberapa menit kemudian, ponselnya berbunyi. Tertera nama Celine di sana."Cih! Untuk apa wanita murahan ini menelponku? Semua gara-gara dia. Seandainya ia tidak muncul, aku tak 'kan kehilangan kendali seperti tadi. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Denia pasti tidak akan memaafkanku." Rio merenung sesaat. Menyesali atas apa yang ia ucapkan pada Denia. Ia benar-benar takut, jika Denia mengetahui hubungan gelapnya dengan Celine.Sebagai seorang lelaki, terkadang ia ingin mendapat perlakuan mesra dari Denia. Tapi, karena Denia seorang wanita karir, membuat ia jarang berada di rumah. Rio merasa diperlakukan seperti lelaki bayaran. Sekarang ia justru terjebak karena ulahnya sendiri.Ponsel Rio masih terus berbunyi, dari kontak yang sama. Dengan terpaksa, Rio mengangkat panggilan itu."Halo." Suara serak Celine terdengar dari ujung sana.
Wanita paruh baya itu tersenyum, melihat wajah Celine yang mendadak pucat."Terkejut? Kau pasti tak 'kan mengira hari ini akan datang, bukan?" Wanita itu mencibir."Natalie ... apa maksudnya ini?" Celine yang dipenuhi rasa penasaran, mulai mempertanyakan."Apa kau sungguh ingin tahu, atau kau takut menebak?" Bukannya menjawab, Natalie malah sengaja memancing amarah Celine."Ka-kau!" Celine tak mampu berkata-kata, saking emosinya."Bagaimana rasanya menjadi istri yang dibuang, Celine? Sakit, bukan?" Denia kembali buka suara."Seperti itu lah yang kurasakan lima tahun lalu! Kau merebut segala yang kupunya hanya dengan modal tubuhmu itu! Kau menghancurkanku, hanya dengan mengandalkan wajahmu! Sekarang, akan kubuat kau merasakan, perasaan dibuang. Dan ...." Denia mengangkat wajah Celine menggunakan telunjuknya."Akan kuhancurkan wajah cantik ini, agar tak ada lagi kebahagiaan yang rusak karena wajah ini!" Denia mengatakan itu, dengan penu
"Bagus Natalie. Bagus sekali." Seorang wanita tampak memuji Natalie, usai ia menyerahkan beberapa berkas penting."Seperti yang kau tahu, Nyonya. Aku selalu profesional," puji Natalie pada diri sendiri."Aku tahu, kau tak 'kan mengecewakanku. Kupikir kau akan segera menyerah, karena di telpon tadi, kau mengatakan masih belum mendapatkan apa-apa," sindir wanita yang akrab disapa Denia itu.Deg.Jantung Natalie bagai ditombak, mendengar perkataan nyonya Denia yang begitu menusuk."Oh ... soal itu. Aku hanya ingin memberimu surprize, Nyonya. Bukankah kau merasa terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini? Seperti yang kau lihat, misiku telah selesai." Natalie berusaha tenang dalam kebohongannya. Ia tak mau hanya karena sedikit keterlambatan, kliennya merasa tidak puas. Jaringan nyonya Denia sangat luas, jika Natalie bisa memuaskan klien satu ini, kemungkinan di masa depan ia tak 'kan susah mendapatkan misi lagi. Karena nyon
"Ah ... apa yang kau lakukan padaku, Natalie?" erang Celine, saat Natalie mengikat kedua tangannya, serta menyiramkan air di atas kepalanya."Tenanglah! Ini hanya air. Lagipula tidak beracun," ujar Natalie, santai."Kau gila, Natalie! Lepaskan aku!" bentak Celine lagi."Terserah! Sebelum kau mengatakan dengan jelas di mana Rio menyimpan berkas-berkas itu, aku tak 'kan melepasmu!" ancam Natalie."Sungguh, Natalie. Aku tak tahu apa-apa. Dengan posisiku saat ini, apa kau pikir Rio akan memberitahuku tentang itu." Celine mengiba.Natalie sejenak berpikir."Sial! Kau adalah nyonya di rumah ini! Kau adalah istri sah sekarang. Bagaimana bisa kau tidak tahu di mana suamimu menyimpan berkas penting seperti itu!" Natalie murka. Ia mulai tak bisa mengendalikan diri."Aku tidak berbohong. Aku sungguh tak tahu. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku hanya menginginkan posisi nyonya, sama sekali tidak memikirkan ha
Brak.Celine mendobrak pintu Natalie dengan bantuan beberapa pria kekar. Dengan tersenyum jahat, Celine memerintahkan pria-pria kekar itu menyeret Natalie keluar dari kamar."Seret wanita ini keluar! Cepat!" Perintah Celine."Baik, Nyonya!" Pria-pria itu hanya mengiyakan."Apa-apaan kau, Celine? Begini kah caramu memperlakukan tamu?" tanya Natalie, yang langsung bangkit dari tidur. Mendapati kamarnya telah dipenuhi beberapa orang."Cih! Kau menjadi tamu, hanya karena Rio menyukaimu. Tapi setelah ini, Rio tidak akan lagi memperlakukanmu dengan kasih sayang!" cebik Celine, dengan amarah yang membara."Apa maksudmu?! Apa kau pikir, aku akan pergi dari rumah ini hanya karena ancaman murahanmu itu, hah?!" Natalie bersikukuh, tak ingin pergi.Celine tak tinggal diam. Ia kemudian memperdengarkan sebuah rekaman yang ia ambil beberapa saat sebelumnya."Tidakkah ini cukup untuk membuatmu pergi?"
Cahaya pagi mulai terasa menusuk kulit serta penglihatan. Memaksa diri untuk segera membuka penglihatan."Uh ...." Natalie membuka mata, perlahan mengumpulkan kesadaran.Lama ia memperhatikan ruangan tempatnya tidur, lalu beralih ke selimut putih yang membungkus tubuhnya.Sontak ia terbangun, lalu hal pertama yang ia lakukan ialah membuka selimut. Memastikan pakaiannya masih lengkap."Fiuh ...." Natalie menarik napas lega."Sepertinya tak terjadi apa-apa," lanjutnya lagi."Tapi di mana aku?" Ia mulai meneliti setiap sudut ruangan yang serba putih itu. Ia memulai mengingat satu persatu kejadian yang berkaitan."Apa aku diculik?" pikir Natalie.Natalie lalu berdiri, membuka sebuah tirai besar yang menghalangi cahaya masuk. Nampak sebuah kolam renang di sana, dengan seorang pria yang tampak duduk santai dengan memegang laptop."Pasti dia penculiknya." Natalie lalu keluar dari kamar, akan menuju kolam renang itu.&n
"Apa kau tertarik dengan wanita itu, Rai?" Sebuah pertanyaan muncul dari meja lainnya."Tertarik? Pada wanita itu?" Lelaki yang dipanggil Rai itu, menunjuk ke arah Natalie."Kau pikir aku tak sadar, matamu terus menatap ke arah gadis itu,""Hei, kau jangan salah sangka! Apa kau pikir, aku akan tertarik dengan wanita seperti itu? Dia bukan seleraku!" sangkal Rei."Ckck ... jangan sampai aku tahu, kau diam-diam mencari tahu identitas wanita itu nantinya. Aku bersumpah, tak akan membantumu!""Oh ... ayo lah, Jeremy. Aku tahu kau tak akan tega." Rei menghipit leher Jeremy, kawan kecilnya itu.Sementara sorot matanya, tak lepas dari gadis seksi, yang sedari tadi terlihat mengoceh tak jelas.*** "Huh ... baiklah! Cukup senang-senangnya. Mari kita kembali ke medan perang." Natalie mengaitkan tas di tangannya, lalu mulai meninggalkan tempat.Ia berhenti di sebuah halte, menunggu taks